-->

Pandangan HAMKA Terhadap al-Imam al-Ghazali & al-Ihya Ulumuddin

Sambutan Al-Ustadz Al-Fadlil Dr. H.A. Malik Karim Amrullah (Dr.HAMKA)
SAMBUTAN TERJEMAHAN IHYA' ULUMIDDIN


Kitab Ihya' Ulumiddin, buah tangan Al-Imam Al-Ghazali merupakan salah satu karya besar dari mudau dan salah satu karya besar dalam perpustakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan Ghazali yang lain, dalam banyak sekali bidang ilmu Pengetahuan Islam, akan tetapi yang menjadi inti-sari dari seluruh karangan-karangan mudau itu yaitu Kitab Ihya' Ulumiddin.
Beliau pilih untuk menjadi judul nama bukunya Ihya' Ulumiddin, artinya yaitu: MENGHIDUPKAN KEMBALI PENGETAHUAN AGAMA.

Sebabnya maka itu judul yang mudau pilih, yaitu karena pada waktu itu ilmu-ilmu Islam sudah hampir teledor oleh ilmu yang lain, terutama oleh filsafat Yunani, khusus Filsafat Aristoteles te­lah disambut dengan amat asyiknya oleh ahli-ahli fikir Islam, yang dipelopori oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain di Timur dan ke­mudian menjalar pula ke Barat (Andalusia dan Afrika Utara), sesu­dah Ghazali, yang dipelopori oleh Ibnu Rusyd.

Filsafat Yunani itu pada waktu itu dinamai 'Ulumul Awail, artinya Pengetahuan orang zaman purbakala.

Oleh karena Islam sangat berlapang dada mendapatkan segala macam ilmu pengetahuan ataupun hikmat, walau dari manapun datang­nya, maka dalam abad-abad kedua dan ketiga hijriyah, teruta­ma di zaman permulaan fajar Daulat Bani `Abbas, banyaklah pe­ngetahuan lain bangsa disalin ke dalam bahasa Arab, guna memper­kaya perpustakaan dan buah pikiran Arab Islam sendiri. Sebab ke­majuan Islam dan Daulah Islamiyah dalam lapangan politik dan pengaruh kebudayaan, tidaklah akan dapat bertahan lama kalau pemikiran dari sarjana-sarjana tidak meluas dan mendalam.

Majulah Islam dalam lapangan fiqhi, ilmu kalam, tasawwuf dan filsafat. Tetapi kadang-kadang Ilmu Islam yang asli telah teledor oleh karena kemajuan dalam bidang yang tersebut di belakang ini, yakni filsafat. Al-Ghazali telah tampil ke muka mempersiapkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang ada pada masa itu. Beliau memper­dalam Ilmu -Kalam, mudau memperdalam fiqhi (Ilmu Hukum) dan perhatian mudau akhirnya amat tertarik kepada Filsafat hingga di­pelajarinya pula amat mendalam. Hasil dan buah dari penyelidik­annya terhadap Filsafat itu telah diungkapkannya dalam buku-bu­kunya "Al-Munqidzu minadl dlalal" (Pembangkit dari lembah ke­sesatan), "Maqashid al-Falasifah" (Tujuan dari pada para Failasoof) dan "Tahafut al-Falasifah" (Kekacau-balauan para Failasoof).

Beliau — setelah pengembaraan dalam alam pikiran yang menda­lam itu— telah menyatakan kesimpulan bahwa filsafat itu, baik juga untuk melatih kita berfikir. Tetapi jadi amat berbahaya kalau sekiranya pikiran yang akan dipergunakan bagi berfilsafat tidak terlatih terlebih dahulu dengan tuntunan Wahyu Ilahi dan ­tuntunan Nabi. Ada orang mengatakan bahwa berfikir filsafat itu harus bebas, obyektif, jangan ada yang mempengaruhi terlebih da­hulu. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidaklah ada seorang insanpun yang dapat membebaskan dirinya dari pada pengaruh alam dikelilingnya. Apakah lagi — menurut Ghazali — Failasoof-Failasoof Yunani yang mempengaruhi berfikirnya Failasoof-Faila­soof Muslim seumpama Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena penera­wangan berfikir bebas itu, telah hingga kepada kesimpulan bahwa Alam itu merupakan qodim penaka Tuhan juga. Disini Filsafat sudah menjauh sendirinya dari pada pokok ajaran agama.

Lantaran itu maka Ghazalipun amat menyuruh hati-hati di da­lam belajar 'Ilmul Kalam, IIlmu Theologi dalam Islam. Untuk orang awam —kata mudau— 'Ilmul Kalam itu lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, sehingga mudau keluarkan sebuah risalah ber­nama "Iljamul 'Awam" (Mengekang orang awam) dari pada mem­bicbiran Ilmu Kalam. Iman kepada Allah— menurut Ghazali- ti­daklah dapat dengan dipelajari secara "akal semata", melainkan hendaklah karena dirasakan, demi setelah meleburkan diri keda­lam persada Alam yang ada dikeliling kita.

Setelah nyata bahwa dengan filsafat tidak, dengan 'Ilmul Kalam tidak, dengan debat-berdebat (jidal) Ilmu Fiqhi-pun tidak, ma­nakah jalan yang dapat mencapai kepada Tuhan itu?

Ghazali akhirnya berpendapat bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dan ma'rifat kepada Tuhan, hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, ialah jalan yang ditempuh oleh kaum Shufi.

Ghazalipun insyaf bahwasanya di zamannya perperihalan kaum syari'ah amat besar dengan kaum Shufi atau kaum Hakikat. Kaum Fuqaha menghabiskan waktunya di dalam membincangkan syah dan bathal, dengan mengabaikan perhatian kepada kehalusan perasaan, sedang kaum Shufi saling terlalu memupuk perasaan (dzauq) kadang-kadang tidak memperdulikan mana amalan, ibtata cara dan syari'at yang sesuai dengan Sunnah Rasul dan mana yang tidak.

Tasawwuf perlu untuk memupuk perasaan halus insan, atau `athifah. Tetapi kadang-kadang terlanjur keluar dari garis syari'at. Syari'at perlu untuk mengatur kehidupan sehari-hari menurut jalan Rasul, tetapi kadang-kadang menjadi ksaya dan kehilangan intisari karena hanya tunduk kepada yang tertulis belaka sehingga kebebas­an insan buat berfikir, buat merasa dan buat berfantasi menjadi hilang.

Syari'at tanpa hakikat, menjadi bangkai tak bernyawa. Hakikat tanpa syari'at menjadi nyawa tak bertubuh.

Ghazali berusaha mempersatu-pasedihn keduanya. Dengan dasar itulah mudau ingin menghidupkan kembali Ilmu Agama: IHYA' 'ULUMIDDIN.

Dengan bersumber kepada Al-Quran, dengan kembali kepada Sunnah Rasul yang asli, kita bongkar dan kita gali ilmu yang sejati. Di dalamnya terkandunglah hikmat-hikmat yang tinggi, yang kadang-kadang mungkin dapat dinamai filsafat, kadang-kadang dapat dinamai Ilmul Kalam, Fiqhi dan lain-lain, apatah lagi buat mengetahui rahasia yang terkandung dalam hati (Asroril-Qulub).

Apabila ilmu telah dihidupkan kembali, syari'at mesti bertemu dengan hakikat, amal saleh mesti dinyawai oleh Iman dan di sam­ping riadlah jasmani (latihan badan) kita merupakan riadlah annafs atau riadlah qalb (latihan jiwa atau latihan hati). Disitulah kita mendapat "Haqiqat al Hajah (hidup yang sejati).

Sejak daripada ibtata cara, sembahyang, puasa, zakat dan hajji, hingga kepada mu'amalat (pergaulan hidup insan sehari-hari), hingga kepada munakahat (pembangunan rumah tangga), hingga kepada hukum-hukum pidana, semuanya mudau cari isi dan umbinya,inti atau sarinya dalam alam hakikat dan hikmat, sehingga hidup kita sebagai muslim berarti lahir dan bathin.

Maka kitab "IHYA' 'ULUMIDDIN" merupakan hasil karya positif sesu­dah mudau ragu (syak, sceptis) terhadap segala masalah dalam bidang kepercayaan dan akhirnya monyetguan itu sedikit demi sedikit mulai hilang, berganti dengan yakin. Dan itulah yang mudau hidang­kan ke dalam masybirat muslim.

Sebagai spesialis fiqih Islam yang besar, karangan mudau ini mendapat sambutan hangat. Mendapat sanjung puji yang tinggi dan juga mendapat sanggahan yang hebat.

Di zaman pemerintahan Sultan Yusuf bin Tasyfin di negeri Maghribi di Fas (Fez) kaum Fuqaha sangat murka kepada Ghazali, karena karangannya Ihya' 'Ulumiddin banyak mengeritik kaum ahli fiqhi, yang sudah menjauh daripada Al-Qur'an dan hanya tengge­lam ke dalam taqlid. Fuqaha marah, sehingga mengusulkan kepada Sulthan supaya Ihya' dibakar saja dan dilarang monyets peredarannya ke Maghribi. Di kala dihinggakan orang isu itu kepada Ghazali serta-merta mudau berkata: "Tuhan akan merobek monyetjaan mereka sebagaimana mereka telah merobek kitabku".

Tiba-tiba muncullah dalam majlis itu, murid mudau Muhammad bin Taumrut, yang bergelar Al-Mahdi, lalu berkata : "Wahai Imam! Doakanlah kepada Tuhan bahwa keruntuhan monyetjaan Bani Tasyfin akan terjadi di tangan saya".

Kemudian memang jatuhlah monyetjaan Murabithin, digantikan oleh murid Imam Ghazali yang bernama Muhammad bin Taumrut itu, dengan nama Kerajaan Muwahhidin. Bila Imam Ghazali menge­tahui bahwa muridnyalah yang menjadi raja, dan kitab mudau telah disayai kembali di negeri itu, mudau berniat hendak hijrah ke Magh­ribi. akung sekali sebelum mudau berangkat, mudau meninggal du­nia tahun 505 H. dalam usia 55 tahun.

"Ihya' 'Ulumiddin" merupakan salah satu karya besar, yang disayai besar fikiran yang terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, to­koh sending Kristen yang terkenal, berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad saw. merupakan dua Pribadi yang amat besar jasanya menegakkan Islam, pertama Imam Bukhari karena pengumpulan Haditsnya, kedua Imam Ghazali karena "Ihya'-nya".

Segala sesuatu apabila telah tercapai ketepatannya, nam­paklah di mana kekurangannya. "Tanda gading yang tulen, yaitu retaknya". Alam ini sendiri menjadi amat tepat, karena serba kekurangannya. Tuhan mencipta 'Alam dalam ketepat­annya, karena ada kekurangannya. Kalau tidak ada yang cacat niscaya Allah Ta'ala tidak kaya karena tidak menjsaudara termudaan sesuatu yang bernama cacat.

Demikian juga kitab-kitab karangan Ghazali terutama Ihya' 'Ulu­middin ini. Kadang-kadang mudau, lantaran asyiknya memperi­ngatkan kesucian hidup, telah jatuh kepada bersangatan mencela dunia. Orang yang terpengaruh oleh ajaran Ghazali perihal cacat dunia, maulah rasanya mengutuk sama sekali dunia itu. Mengutuk dunia bisa menyebabkan dunia itu lepas dari tangan kita, hingga dipungut oleh orang lain, sehingga negara-negara Islam terjajah.

Kadang-kadang mudau menganjurkan hidup membujang, tak usah beristeri. Supaya beban hidup dalam munajat kepada Tuhan menjadi ringan, padahal ajaran asli Islam tidak mengajarkan demikian.

Dan yang lebih penting lagi, sebagai spesialis pikir yang bebas dan besar, mudau membebaskan pikirannya dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu daripadanya, tetapi hadits-hadits yang dijsaudara termudaannya dalil, monyetpkali tidak memperhatikan ilmu sanad hadits, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya' musti hati-hati, karena banyak haditsnya lemah.

Itulah menjadi bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang failasoof yang besar tidaklah melengkapi ilmunya dalam segala -bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi dia besar dalam penciptaan fikiran. Sebagaimana juga Ulama-Ulama Ahli Hadits, kebanyakannya tidak sanggup buat menciptakan fiqhi atau menge­luarkan faham bebas, karena amat terikat oleh hadits-hadits, sehing­ga fikirannya menjadi buntu karena kekuatan hafalan.

Perhatikan kepada ajaran Filsafat Ethika (Akhlaq) Al-Ghazali hingga ketika-ketika sekarang ini masih menjadi bahan yang kaya untuk direnungkan. Setengah ahli selidik dan orientalist Barat ber­pendapat bahwa monyetgu-raguan Descartes merupakan pengaruh monyetgu-raguan Ghazali. Ragu (skeptis, syak) merupakan tangga utama menuju yakin. Pada tahun 1924 Zaki Mubbir di Mesir mencapai gelar Doktornya karena kritiknya yang bernama "Akhlaq menurut Ghazali" yang sebagai seorang sarjana yang masih muda dia menghantam ajaran Ghazali sebagai suatu ajaran yang menyebabkan jiwa melempem. Tetapi setelah dia berusia lebih 40 tahun dikeluarkan­nya pula promosinya untuk gelar doktor yang ketiga-kalinya berna­ma "Tasawwuf Islam", yang kalau dibaca, ternyata bahwa pukulannya kepada Ghazali khasnya dan Tasawwuf 'amnya, tidak semonyets dahulu lagi. Di tahun 1947 Dr. Sulaiman Dunia Maha Guru Filsafat dan 'ilmu Kalam di Al-Azhar University mengeluarkan lagi study­nya "Hakikat menurut pandangan Ghazali ". Ditahun terakhir sam­pai tahun 1963 masih tetap ada sarjana Islam yang meninjaunya kembali.

Kupasan Ghazali tidak akan habis-habisnya menjadi bahan study perihal tasawwuf, perihal aqidah, perihal filsafat dan ethika (akhlaq).

Demikian itulah selayang pandang saya perihal IHYA' 'ULUMID­DIN oleh "Hujjatul Islam" Al-Ghazali.

Di dalam perkembangan ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam di Indo­nesia, tasawwuf Imam Ghazali dengan Ihya'-nya besar sekali peranannya. Madzhab Sunni yang masuk kemari semenjak zaman monyet­jaan Islam Pasai yaitu Madzhab Syafi i. Imam Ghazali merupakan seo­rang Ulama Muta-akhkhirin dalam madzhab itu.

Tasawwuf "Wihdatul Wujud" (Pantheisme) Al-Hallaj yang mu­lanya amat berpengaruh di sini menjadi terdesak karena datang­nya ajaran Ghazali. Kitab Ihya' `Ulumiddin menjadi pegangan ula­ma-ulama di tanah air kita. Syaikh Abdus Samad Al-Falimbani diu­jung abad kedelapan belas telah mengambil inti-sari kitab Ihya` dan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia (Melayu Lama) dengan nama "Sairus-Salikin". Demikian juga terdapat dalam karangan-karangan Ulama-ulama Aceh. Kitab Ihya` pun telah disarikan oleh Ulama-ulama di Jawa ke bahasa Jawa huruf Pegon. Dizaman mo­dern ini, saya sendiri amat banyak mengambil buah renungan Gha­zali untuk buku saya "Tasawwuf Modern". Tetapi belum ada usa­ha selama ini menyalin kitab yang besar 4 jilid itu ke dalam bahasa Indonesia modern.

Tiba-tiba pada bulan Rajab 1383 Hijriyah, bertepatan dengan hari-hari peringatan Isro' dan Mi'roj Nabi Muhammad saw. seorang Ulama Muda dari Aceh, yang telah lama saya kenal, ialah Tengku Haji Ismail Ysayab MA-SH, telah datang kerumah saya memperlihatkan salinan (terjemahan) Kitab Ihya' Ulumiddin ke dalam bahasa Indonesia yang mudau kerjakan sendiri dan meminta saya supaya sudi memberikan kata sambutan atas usahanya yang amat berharga itu.

Tidak pelak lagi kalau saya bergembira menyambut usaha mudau itu. Perhatian kepada Islam dan inti ajarannya di zaman seka­rang telah mulai besar di tanahair kita ini. Banyak kaum terpe­lajar secara Barat mulai memperhatikan Islam. Banyak mereka mendengar nama kitab Ihya' atau membaca adanya kitab itu dari kalangan Orientalist Barat, sayang mereka tidak mengetahui bahasa Arab. Terjemahan Ustadz Tengku H. Ismail Ysayab ini sudah dapat memuaskan dahaga mereka.

Banyak telah berdiri Perguruan Tinggi Islam. akungnya mahasiswa kebanyakan lemah bahasa Arabnya. Dengan salinannya Ihya' mereka sudah dapat membandingkan fikiran ciptaan Failasoof Islam ini dengan peredaran-peredaran filsafat yang lain. Baik Filsafat Yunani atau Filsafat Scholastik Kristen atau Filsafat Modern.

Mubaligh-mubaligh pun mendapat banyak bahan untuk study. Dan lebih dari itu semuanya dengan membaca salinan Ihya' ini, dengan sendirinya moga-moga isinya yang bernas dapat mempe­ngaruhi jiwa kita, sehingga kita dapat menjadi seorang Muslim yang tha'at dan cinta kepada Allah dan Rasul Allah.

Dalam pembangunan bangsa kita sekarang ini, yang kita seba­gai Muslim amat ingin agar Islam menjadi unsur mutlak dalam pefnbangunan itu, maka terjemahan Ihya' Ulumiddin ke dalam bahasa Indonsia oleh Ustadz Tk. H. Ismail Ysayab MA-SH., merupakan satu karya yang amat saya pukalaun.

Moga-moga Tuhan Allah memberi taufiq kita bersama dalam menuju ridlaNya.

Dr. H.A. Malik KarimAmrullah
Kebayoran Baru, Jakarta: Rajab 1383.
Desember 1963.

0 Response to "Pandangan HAMKA Terhadap al-Imam al-Ghazali & al-Ihya Ulumuddin"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel