-->

Kisah Umar Bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu (Bag. 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
Kisah Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu (Bag. 2)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini lanjutan dongeng Umar bin Khaththab Al Faruq radhiyallahu 'anhu, semoga Allah Azza wa Jalla mengakibatkan penulisan risalah ini nrimo karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ketika Rasul shallallahhu 'alaihi wa sallam wafat
Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, maka Umar belum yakin akan wafatnya Beliau sehingga ia menolak informasi perihal wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hingga Abu Bakar membacakan ayat,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىَ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللّهُ الشَّاكِرِينَ
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah kalau ia wafat atau dibunuh kau berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak sanggup mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi jawaban kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imraan: 144)
Ketika itulah Umar mendapatkan informasi itu.
Dan pada ketika terjadi perselisihan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar perihal khalifah bagi kaum muslim sesudah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Umar tetapkan perselisihan itu dengan berkata, "Bukankah kalian tahu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar untuk shalat mengimami manusia, siapakah di antara kalian yang bahagia mendahului Abu Bakar?" Mereka menjawab, "Kami berlindung kepada Allah dari mendahului Abu Bakar."

Pada hari setelahnya Umar naik ke mimbar dan berkata, "Sebelumnya saya berharap, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hidup dan paling terakhir meninggalnya di antara kita…dst." Umar melanjutkan kata-katanya, "Jika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah wafat, maka gotong royong Allah Ta'ala telah mengadakan di tengah-tengah kalian cahaya yang kalian akan mendapatkan petunjuk dengannya, dan gotong royong Abu Bakar yaitu sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagai orang kedua ketika bersamanya. Sesungguhnya ia yaitu orang yang paling layak memimpin kalian. Oleh alasannya yaitu itu, bangkitlah dan baiatlah dia."
Sebelumnya sudah ada segolongan sahabat yang telah membaiat Abu Bakar di Saqifah (tempat tinggal) Bani Sa'idah, sedangkan bai'at orang-orang yang lain di atas mimbar.
Dengan demikian, selesailah perselisihan itu melalui Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu.
Peran Umar bin Khaththab dalam menghimpun Al Qur'an
Umar mempunyai tugas besar dalam menghimpun Al Qur'an. Ketika Abu Bakar mengirimkan pasukan untuk memerangi orang-orang yang murtad, banyak para penghapal Al Qur'an yang tewas terbunuh, maka Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menghimpun Al Qur'an dalam satu mushaf. Lalu sesudah terjadi obrolan antara Umar dengan Abu Bakar, maka Abu Bakar menyetujui tawaran itu dan meminta Zaid bin Tsabit untuk menghimpunnya.
Kekhalifahan Umar
Ketika janjkematian Abu Bakar Ash Shiddiq sudah semakin dekat, dimana melalui Beliau fitnah redam dan wilayah Islam semakin meluas, maka Abu Bakar memandang perlunya menentukan seseorang sebagai penggantinya yang melanjutkan perbaikan, membuatkan Islam, dan membawa insan ke nirwana Ar Rahman, semoga tidak terjadi kembali perselisihan di kalangan para sahabat.
Maka Abu Bakar bermusyawarah dengan Sa'id bin Zaid, Usaid bin Khudhair dan para sahabat lainnya dalam menentukan Umar bin Khaththab sebagai penggantinya, mereka pun oke terhadap pilihan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu.
Lalu Abu Bakar meminta Utsman bin Affan untuk mencatat wasiatnya perihal pengangkatan Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu.
Setelah Abu Bakar wafat, dan Umar menjadi Khalifah, maka kaum muslim memanggilnya, "Yaa khalifatu khalifati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam," (artinya: Wahai khalifah bagi khalifah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam), namun panggilan ini dianggap terlalu panjang, kemudian ada seorang Arab badui mendatangi Umar dan memanggilnya dengan "Yaa Amiral mukminin," (Wahai pemimpin kaum mukmin), kemudian para sahabat menyukai panggilan ini dan memanggil Umar dengannya.
Sebelumnya Umar biasa makan dari hasil perniagaannya, namun ia memandang perlu fokus mengurusi umat. Saat ada orang yang bertanya kepadanya perihal hak(gaji)nya dari Baitul muslimin, maka Umar berkata, "Halal bagiku dua pakaian; pakaian di ekspresi dominan hambar dan pakaian di ekspresi dominan panas, serta pakaian saya untuk berhaji dan berumrah, sedangkan makananku yaitu ibarat kuliner salah seorang dari Quraisy; bukan kuliner orang kaya dan bukan kuliner orang miskin. Aku juga yaitu salah seorang kaum muslim, saya mendapatkan sesuatu sebagaimana yang mereka dapatkan."
Meskipun demikian, Umar lebih menentukan hidup zuhud dan sederhana, ia memakan kuliner biasa dan menggunakan pakaian biasa. Ia sering menghisab dirinya sehingga para sahabat banyak yang mengkritiknya, namun ia berterima kasih atas pesan yang tersirat mereka, dan ia terangkan, bahwa sikapnya itu dilakukan alasannya yaitu ingin menyusul Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar semoga ibarat derajat mereka pada hari Kiamat.
Umar yaitu seorang yang sangat lembut hatinya dan sangat sayang, meskipun ia seorang yang tegas dalam kebenaran. Tidak hanya itu, ia seorang yang segera mengambil pelajaran dan banyak menangis sehingga pada wajahnya terdapat dua garis hitam alasannya yaitu seringnya menangis.
Umar memulai kekhalifahannya dengan mendorong insan untuk berjihad di negeri Persia alasannya yaitu mereka telah melanggar perjanjian dan menyakiti kaum muslim. Ia segera mengirimkan beberapa pasukan yang diawali dengan pasukan Abu Ubaid bin Mas'ud, kemudian pasukan Abdullah Al Bajalliy, kemudian diikuti oleh pasukan lainnya menuju Irak untuk membuatkan Islam dan mengajak insan masuk ke dalam agama Allah.
Mengetahui hal itu, maka bangsa Persia segera mengumpulkan pasukan dan berkemas-kemas memerangi kaum muslim serta mengusir mereka dari Irak. Akhirnya Al Mutsanna bin Haritsah komando pasukan kaum muslim segera mengirim surat kepada Umar perihal hal yang terjadi, kemudian Umar memerintahkan Al Mutsanna untuk mendorong jihad orang-orang yang bersamanya, kemudian Umar mengajak kaum muslim yang ada di banyak sekali negeri untuk berjihad. Ketika itulah, kaum muslim segera menyambutnya dan tiba dari segenap daerah ke Madinah. Umar ingin memimpin pasukan besar ini, namun para sahabat yang lain mengusulkan semoga ia tetap berada di Madinah menyusun pasukan dan mengikuti perkembangan perang serta menyerahkan komando pasukan kepada Sa'ad bin Abi Waqqash. Akhirnya Umar setuju.
Sa'ad bin Abi Waqqash pun berangkat ke Irak dan terjadilah pertempuran sengit dengan bangsa Persia di Qadisiyyah, dan jadinya kemenangan diraih oleh kaum muslim.
Selanjutnya, Umar memerintahkan Sa'ad melanjutkan penaklukkan ke negeri-negeri Persia untuk membuatkan cahaya Islam. Pasukan Islam pun berhasil menaklukkan Mada'in ibukota Persia, Nahawand, dan kota-kota besar Persia lainnya ibarat Ashbahan, Adzerbeijan, dan Khurasan.
Sedangkan ke Syam, pasukan Islam di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin Al Jarrah berangkat sesudah perang Yarmuk menuju negeri-negeri Syam untuk membebaskan insan dari penghambaan kepada hamba menuju kepada penghambaan kepada Tuhannya hamba dan dari kezaliman Jahiliyah kepada keadilan Islam. Ketika itu, Damaskus berhasil ditaklukkan, demikian pula Himsh, Haleb, area yang berada di pinggiran laut, dan kota-kota Syam lainnya.
Pada bulan Rabi'ul Akhir tahun 16 H, kota Al Quds berhasil ditaklukkan, maka Umar berangkat sendiri ke Syam untuk menandatangani perjanjian antara kaum muslim dengan penduduk kota itu. Disebutkan, bahwa Umar pergi ke Syam sendiri dengan menunggangi kendarannya, dan ia tidak menggunakan sorban di kepalanya. Ketika ada sebuah kolam air, maka ia turun dari kendaraannya, memegang kendali hewannya, dan melewati air itu bersama hewannya.
Sikap Umar ini menciptakan terharu para komandan pasukannya, kemudian Abu Ubaidah berbicara dengannya, namun Umar lebih menentukan darul abadi dan tidak ingin terpesona oleh kehidupan dunia dan ia berusaha menyusul kedua sahabatnya, yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Umar berkata, "Dahulu kita yaitu kaum yang hina kemudian Allah memuliakan dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selainnya, niscaya Allah akan hinakan kita."
Ketika berada di kota Ramlah, datanglah wakil dari Al Quds bersama para pemukanya, kemudian Umar mengadakan perjanjian hening dengan mereka dan memperlihatkan keamanan terhadap diri mereka, harta dan daerah ibadah mereka. Dengan demikian, Islam tidak memaksa seseorang masuk ke dalam agama Islam, dan mereka cukup membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan bagi mereka.
Selanjutnya Umar memerintahkan Amr bin Ash pergi menuju Mesir untuk menaklukkannya, maka Amr pergi mendatangi penduduk Mesir untuk membebaskan penduduknya dari kezaliman orang-orang Romawi, kemudian Umar mengirimkan lagi bala pemberian sehingga Mesir berhasil ditaklukkan, demikian pula kota-kota An Naubah, Barqah, dan Tharablis.
Az Zuhriy berkata, "Allah menaklukkan Syam melalui Umar, demikian pula Al Jazirah, Mesir, dan Irak seluruhnya. Beliau juga membentuk kabinet setahun sebelum wafatnya, dan membagikan kepada insan harta fai'nya (harta rampasan tanpa melalui peperangan)."
Di Madinah ibukotanya, Umar membangun pemerintahan yang tegak di atas syura (musyawarah), ia menentukan sekumpulan para sahabat besar dari kalangan Muhajirin dan Anshar, para penghapal Al Qur'an, dan orang-orang utama. Ia bermusyawarah dengan mereka dalam mengambil keputusan.
Contoh keadilan Umar
Umar radhiyallahu 'anhu berusaha sekali untuk adil. Oleh alasannya yaitu itu, ia memperhatikan sekali gubernurnya, ia tidaklah memperlihatkan kepemimpinan kepada orang yang tamak, bahkan ia berikan kepada orang yang zuhud, bertakwa, dan menjaga diri. Ia terus memantau para gubernurnya dan mewasiatkan mereka untuk berbuat adil.
Abu Utsman berkata, "Umar radhiyallahu 'anhu pernah mengangkat seorang dari Bani Asad sebagai gubernur, kemudian ia masuk menemuinya dan mengucapkan salam. Ia tiba kepada Umar dengan membawa sebagian anak-anaknya, kemudian Umar menciumnya. Maka orang yang berasal dari Bani Asad itu berkata, "Apakah kau mencium anak ini wahai Amirul Mukminin! Demi Allah, saya tidak pernah mencium anakku sedikit pun." Umar pun berkata, "Demi Allah, engkau kalau begitu sedikit sekali kasih sayangnya kepada bawah umur manusia, janganlah bekerja untukku selamanya, kemudian ia mengembalikan akadnya atau Umar berkata, "Apa lagi dosaku, kalau Allah Azza wa Jalla mencabut rahmat dari hatimu. Sesungguhnya Allah hanya mengasihi hamba-hamba-Nya yang sayang." Lalu Umar berkata, "Robeklah kitab (akad) itu. Sesungguhnya kalau ia tidak sayang kepada anak-anaknya, bagaimana ia akan sayang kepada rakyatnya."
Disebutkan, bahwa suatu hari Umar mendapatkan hadiah manisan. Manisan tersebut tidaklah diletakkan di hadapannya hingga ia bertanya kepada orang yang membawa manisan itu, "Makanan apa ini?" Ia menjawab, "Manisan yang dibentuk penduduk Adzerbaijan. Utbah bin Farqad –gubernur Adzerbeijan- mengirimkannya kepadamu, kemudian Umar mencicipinya, dan ia merasakan rasanya yang enak, kemudian Umar bertanya kepada utusan itu, "Apakah semua kaum muslim memakan manisan ini?" Orang itu menjawab, "Tidak. Ia yaitu kuliner orang-orang tertentu." Umar pun berkata kepada utusan itu, "Di mana untamu? Naik dan kembalikanlah kepada Utbah dan katakan kepadanya, "Umar berkata kepadamu, "Bertakwalah kepada Allah dan kenyangkanlah kaum muslim dengan kuliner yang kau kenyang dengannya."
Suatu ketika, Kaisar Roma mengirim utusan kepada Umar bin Khaththab untuk memperhatikan keadaannya. Saat utusan itu tiba di Madinah, maka ia bertanya kepada penduduknya perihal keberadaan Umar, kemudian mereka berkata, "Kami tidak mempunyai raja, tetapi kami mempunyai pemimpin yang sedang keluar ke Madinah," kemudian utusan itu keluar mencari Umar, dan ia melihat Umar sedang tidur di bawah terik matahari di atas tanah. Ketika utusan itu melihat Umar dalam keadaan ibarat itu, maka timbullah rasa khusyu dalam hatinya, ia berkata, "Inilah orang yang para raja tidak sanggup tenang alasannya yaitu kewibawaannya namun ibarat ini keadaannya. Meskipun demikian, engkau telah bersikap adil wahai Umar sehingga engkau kondusif dan sanggup tidur, sedangkan raja kami zalim, maka sudah niscaya ia tidak sanggup tidur dan merasa ketakutan. Aku bersaksi bahwa agamamu yaitu agama yang benar. Kalau bukan alasannya yaitu saya tiba sebagai utusan tentu saya akan masuk Islam, akan tetapi saya akan kembali dan masuk Islam."
Bersambung…
Wallahu a'lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': As-habur Rasul lil Athfaal (Mahmud Al Mishri), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur'ani was Sunnah), dll.

0 Response to "Kisah Umar Bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu (Bag. 2)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel