Bahaya Hadits Dha’If Dan Maudhu
بسم الله الرحمن الرحيم
Bahaya Hadits Dha’if dan Maudhu
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan perihal ancaman hadits dha’if dan maudhu’. Semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma amin.
Ta’rif (Definisi) Hadits Dha’if dan Maudhu’
Hadits Dha’if ialah hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan lantaran ada salah satu syaratnya yang hilang[i].
Contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, Ahmad dan Ibnu Kuzaimah serta yang lainnya dari Abu Sa’id Al Khudriy ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَتَعَاهَدُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ
“Apabila kau melihat seseorang rutin ke masjid, maka saksikanlah keimanannya…dst.”
Hadits ini ialah dha’if, lantaran dalam sanadnya terdapat rawi yang berjulukan Darraj bin Sam’an Abus Samh.
Adz Dzahabiy berkata tentangnya, “Darraj itu banyak hadits-hadits munkarnya.”
Imam Ahmad dan lainnya berkata, “Hadits-haditsnya munkar.”
Ibnu Hajar berkata dalam At Taqrib (no. 1824), “Sangat jujur, namun dalam riwayatnya dari Abul Haitsam ialah dha’if.”
Dan di sini Darraj meriwayatkan dari Abul Haitsam.
Hadits Maudhu’ ialah hadits yang di dalamnya terdapat dusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, baik sengaja atau tidak.
Sebagian Ahli Mushthalah Hadits membedakan antara dusta yang terjadi dengan sengaja dengan yang tidak disengaja. Jika disengaja disebut Hadits Maudhu’, sedangkan kalau tidak disengaja, maka disebut Hadits Bathil.
Contoh hadits maudhu ialah hadits yang dibentuk untuk membela madzhab, menyerupai hadits, “Siraaju ummati Abu Hanifah.” (artinya: Pelita umatku ialah Abu Hanifah) yang dibentuk oleh orang yang fanatik terhadap madzhab Hanafi. Demikian pula hadits, ‘Ali khairul basyar, man syakka fiihi kafar…dst.” (artinya: Ali ialah sebaik-baik manusia, yang meragukannya ialah kafir) yang dibentuk oleh sebagian kaum Syi’ah Rafidhah.
Sebab Terjadinya Hadits Maudhu’
Menurut M. Rasyid Ridha, ada beberapa lantaran terjadinya hadits maudhu’ (palsu), di antaranya –kesimpulannya-:
Pertama, yang dilakukan oleh kaum Zindiq, dimana tujuan mereka ialah merusak agama dan menjadikan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin[ii].
Kedua, yang dilakukan oleh kaum fanatik madzhab untuk membela madzhabnya.
Ketiga, lalai dari menghapal lantaran sibuk beribadah[iii].
Keempat, ingin mendapat kedudukan di hadapan umara (pemerintah)[iv].
Kelima, keliru dan lupa.
Keenam, memberikan hadits melalui hapalan, namun tidak berpengaruh hapalannya.
Ketujuh, bercampurnya hapalan di simpulan usia.
Kedelapan, menguatkan pendapatnya ketika berdebat dengan lawan[v].
Kesembilan, mencari keridhaan insan dan semoga diterima oleh mereka.
Kesepuluh, menguatkan targhib (dorongan) dan tarhib (ancaman) yang disampaikannya.
Kesebelas, menyetujui pembuatan sanad terhadap kata-kata mutiara semoga dianggap sebagai hadits.
Kedua belas, menciptakan hadits palsu untuk memperoleh laba dunia.
Cara Mengetahui Sebuah Hadits sebagai Hadits Maudhu
Di antara kaedah umum untuk mengetahui suatu hadits sebagai hadits maudhu’ adalah:
1. Hadits tersebut ucapannya tidak menyerupai dengan ucapan para nabi.
2. Hadits tersebut isinya batil. Ketika isinya batil sudah sanggup diketahui bahwa ia bukanlah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
3. Hadits tersebut menyelisihi ketegasan Al Qur’an.
4. Hadits tersebut isinya jelek dan dijadikan materi olok-olokan.
Hukum Meriwayatkan dan mengamalkan Hadits Dha’if dan Maudhu’
Hadits yang maudhu terang dihentikan diriwayatkan dan diamalkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta dengan nama seseorang. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia mengambil daerah duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
“Barang siapa yang memberikan dariku sebuah hadits yang diketahui dusta, maka ia salah satu di antara para pendusta.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah).
Adapun meriwayatkan dan mengamalkan hadits dhaif, maka dalam hal ini ada tiga pendapat ulama;
1. Pendapat yang menyampaikan dihentikan secara mutlak (baik dalam duduk kasus akidah, hukum, maupun fadha’ilul a’mal). Pendapat ini dipegang oleh Yahya bin Ma’in, Abu Bakar Ibnul Arabi, yang zhahir dari madzhab Imam Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm, Ahmad Syakir, dan Syaikh Al Albani.
2. Pendapat yang menyampaikan boleh secara mutlak baik dalam duduk kasus aturan maupun fadha’ilul a’mal. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Ahmad dan muridnya Abu Dawud As Sijistani. Keduanya berpendapat, bahwa hadits dhaif lebih berpengaruh digunakan dalil daripada pendapat manusia. Tetapi dhaif yang dimaksud keduanya ialah bukan dhaif yang dimaksud dalam Ilmu Musthalah Hadits pada umumnya lantaran keduanya ialah orang yang berhati-hati meriwayatkan hadits, bahkan Abu Dawud mensyaratkan dalam Sunannya, bahwa apabila ada yang dhaif, maka ia akan menjelaskan dan mengingatkannya. Hal itu, lantaran dhaif ada dua; yang matruk (ditinggalkan) dan laisa bimatruk (tidak ditinggalkan). Dhaif yang laisa bimatruk disebut oleh Imam Tirmidzi sebagai hasan, maka untuk dhaif ini yang boleh diriwayatkan.
3. Pendapat yang menyampaikan boleh dengan beberapa syarat. Di antara syaratnya ialah bahwa hadits itu tidak terlalu dha’if, tidak digunakan sebagai aturan halal dan haram, hanya dalam fadha’ilul a’mal, tidak meyakini shahihnya, dan tidak menyelisihi dasar syara’ atau berada di bawah dasar yang shahih. Dan di antara watak meriwayatkannya ialah menyebutkan dengan lafaz yang memberikan kedhaifannya, menyerupai “ruwiya” atau “wurida” (artinya: telah diriwayatkan).
Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat pertama ialah pendapat yang lebih selamat, dan lagi perihal fadha’ilul a’mal, targhib, dan tarhib telah ada hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menciptakan kita cukup dengannya tanpa perlu menoleh lagi kepada hadits yang dhaif.
Macam-Macam Hadits Dha’if
Hadits dihukumi dha’if disebabkan lantaran dua hal, yaitu: terputusnya sanad dan cacat pada rawi (periwayat hadits).
Terputusnya sanad sanggup di awal sanad (disebut mu’allaq), di simpulan sanad (disebut mursal), terputusnya seorang rawi atau lebih tidak secara berurutan (disebut munqathi’), terputusnya dua orang rawi atau lebih secara berurutan (disebut mu’dhal). Ini ialah terputusnya sanad yang tampak. Jika terputusnya tersembunyi, maka ada yang disebut mudallas (disembunyikan cacatnya), mursal khafi (periwayatan dari orang yang sezaman atau bertemu dengannya sebuah hadits yang belum didengar darinya, namun dengan lafaz yang mengandung makna mendengar), mu’an’an (periwayatan dengan menyebutkan lafaz “dari si fulan dari si fulan” sedangkan perawinya mudallis/penyembunyi cacat), dan mu-an-an (periwayatan dengan menyebutkan lafaz bahwa fulan berkata).
Adapun cacat pada rawi, maka ada yang disebabkan lantaran hilang sifat adilnya, menyerupai berdusta (haditsnya disebut maudhu), tertuduh dusta (haditsnya disebut matruk), berbuat kefasikan (haditsnya disebut munkar), berbuat bid’ah (haditsnya disebut dha’if), dan lantaran tidak diketahui rawinya (haditsnya juga disebut dha’if). Adapula yang disebabkan lantaran cacat pada ingatannya; menyerupai kesalahannya fatal (haditsnya disebut munkar), hapalannya jelek (haditsnya disebut dha’if), lupa (haditsnya disebut munkar), banyak dugaan keliru (haditsnya disebut mu’allal), dan menyelisihi perawi tsiqah (terpercaya).
Menyelisihi perawi tsiqah ada yang disebut mudraj (adanya selipan lafaz dari rawi), maqlub (adanya pergantian lafaz baik pada sanad maupun matan), mazid fi muttashilil asanid (penambahan rawi di sela-sela sanad yang tampak bersambung), mudhtharib (berbenturan baik pada sanad maupun matan, dimana masing-masingnya sama kuat), mushahhaf (terjadi perubahan kata; berbeda dengan yang diriwayatkan orang-orang yang tsiqah), dan syadz (perawi yang maqbul/diterima menyelisihi perawi lain yang lebih baik darinya).
Catatan: jika kedhaifan sebuah hadits disebabkan buruknya hapalan rawi dan semisalnya, maka hadits ini sanggup menjadi hasan atau shahih ketika banyak jalur-jalurnya. Tetapi kalau kedhaifan hadits disebabkan fasiknya rawi atau tertuduh dusta, kemudian ada jalur yang lain yang semacamnya, maka hadits itu tidaklah menaikkannya ke derajat hasan, bahkan hanya menambah dha’if saja.
Contoh-Contoh Hadits Dha’if dan Maudhu’
Berikut ini contoh-contoh hadits dha’if dan maudhu’:
1. Agama ialah akal. Tidak ada agama bagi yang tidak berakal.
2. Beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok.
3. Cinta tanah air sebagian dari iman.
4. Dua golongan umatku yang kalau keduanya baik, maka akan baik semua manusia, yaitu umara dan fuqaha.
5. Bertawassullah dengan kedudukanku, lantaran kedudukanku sangat besar di sisi Allah.
6. Perselisihan umatku ialah rahmat.
7. Barang siapa yang menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap hari Jum’at, kemudian membacakan Yasin di sisi keduanya atau salah satunya, maka akan diampuni untuknya sesuai jumlah ayat atau abjad (yang dibacanya).
8. Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal tuhannya.
9. Para sahabatku menyerupai bintang-bintang. Kepada siapa saja di antara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk.
10. Sesungguhnya segala sesuatu mempunyai jantung, dan jantung Al Qur’an ialah Yasin.
11. Carilah ilmu meskipun ke negeri Cina.
12. Dll.
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': At Ta’liqaat Al Atsariyyah ‘alal Manzhuumah Al Baiquuniyyah (Ali bin Hasan Al Halabiy), Musthalahul Hadits (M. Bin Shalih Al Utsaimin), Asbab wadh’il Hadits wakhtilaaquhu (M. Rasyid Ridha), Aatsarul ahaditsh Adh Dha’ifah wal Maudhu’ah fil ‘Aqidah (Abdurrahman Yusuf Al Jamal dan Haifa Abdurrauf Ibrahim Ridhwan), Hukmu Riwayatil Haditisi Dha’if wal ‘Amal bih (Aidah Nashr Ad Dawudi), Al Hidayah fii Masa’il Fiqhiyyah Muta’aridhah (A. Zakaria), Mushthalahul Hadits Al Muyassar (Dr. Imad Ali Jum’ah), dll. [i] Hadits hasan ialah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan orang yang adil namun kurang berpengaruh hapalannya, tanpa ada syadz dan ‘illat (cacat tersembunyi).
[ii] Salah seorang Zindiq berjulukan Abdul Karim bin Abil ‘Auja ketika ditangkap dan hendak dieksekusi mati di Bashrah berkata, “Aku telah mengembangkan untuk kalian 4.000 hadits, di dalamnya saya mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”
[iii] Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam Al Marwaziy pernah ditanya, “Dari mana kau meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas perihal keutamaan surat ini dan itu dari Al Qur’an, sedangkan di sisimu tidak ada kawan-kawan Ikrimah ini?” Ia menjawab, “Aku melihat insan berpaling dari Al Qur’an dan sibuk dengan fiqh Abu Hanifah dan Maghazi Ibnu Ishaq, maka saya buat hadits ini sambil mengharap pahala.”
[iv] Seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim An Nakha’iy ketika dizinkan masuk menemui Khalifah Al Mahdi, dimana Khalifah ini bahagia dengan burung merpati, kemudian ia memberikan hadits palsu, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami si fulan dari si fulan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada perlombaan kecuali memanah, pacuan unta, pacuan kuda, atau sayap burung.” Kemudian Al Mahdiy menghadiahkan harta dalam jumlah besar kepadanya.
[v] Ibnul Jauziy meriwayatkan dengan sanadnya dari seorang yang telah tobat dari bid’ahnya, ia berkata, “Lihatlah hadits ini! Dari siapa kau ambil? Karena kami sebelumnya ketika menentukan pandangan tertentu, kami buatkan haditsnya.” (Al Maudhu’at juz 1 hal. 38)
0 Response to "Bahaya Hadits Dha’If Dan Maudhu"
Post a Comment