-->

Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Penentangan terhadap Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.

Para ulama al-Hanbali memberontak terhadap Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dan mengeluarkan aturan bahwa akidahnya yaitu sesat, menyeleweng dan batil. Banyak  para pakar islam yang menentang anutan atau paham Muhamad Abdul Wahhab yang tidak kami cantumkan disini.
Kami hanya ingin mencantumkan penentangan dari kerabatnya yang paling bersahabat saja yaitu ayah dan saudara kandungnya sendiri, yang lebih mengetahui pribadi dan ilmunya Muhamad Abdul Wahhab.  


Tokoh pertama yang mengumumkan penentangan terhadapnya ialah ayah Muhammad Abdul Wahhab sendiri, al-Syaikh ‘Abd al-Wahhab, di-ikuti oleh saudaranya, al-Syaikh Sulaiman. Kedua-duanya adalah dari madzhab al-Hanabilah. Al-Syaikh Sulaiman menulis kitab yang berjudul al-Sawa‘iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahabiyyah untuk menentang dan memeranginya. Di samping itu tantangan juga tiba dari sepupunya, Abdullah bin Husain.
Mufti Mekkah Syeikh Zaini Dahlan mengatakan: “Abdal-Wahhab –ayah Muhammad bin abdul wahab– adalah seorang yang sholih dan merupakan seorang tokoh ahli ilmu, begitulah juga dengan saudaranya al-Syaikh Sulaiman. Al-Syaikh `Abd al-Wahhab dan al-Syaikh Sulaiman, kedua-duanya dari awal  –ketika Muhammad Abdul Wahhab mengikuti pengajarannya di Madinah al-Munawwarah– telah mengetahui pendapat dan pemikiran Muhammad yang meragukan. Kedua-duanya telah mengeritik dan mencela pendapatnya dan mereka berdua turut memperingatkan orang ramai mengenai bahayanya pemikiran Muhammad..” (Zaini Dahlan, al-Futuhat al-Islamiyah, Vol. 2, hal. 357).

Dalam keterangan Syeikh Zaini Dahlan yang lain dikatakan bahwa: “ Ayah (Muhamad Abdul Wahhab)nya ,Abdal-Wahhab, saudara (Muhamad Abdul Wahhab)nya ,Sulaiman,
serta guru-guru (Muhamad Abdul Wahhab)nya, telah dapat mengesani tanda-tanda penyelewengan agama (ilhad) dalam diri (Muhamad Abdul Wahhab)nya yang didasarkan kepada perkataan, perbuatan dan saingan Muhammad terhadap banyak duduk perkara agama.” (Syeikh Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyyah, hal.4).

Abbas Mahmud al-Aqqad al-Masri menyampaikan: “Orang yang paling besar lengan berkuasa menentang al-Syaikh (yakni Muhamad Abdul Wahhab) dalam persoalan ini ialah saudaranya ,al-Syaikh Sulaiman, penulis kitab al-Sawa`iq al-Ilahiyyah. beliau tidak mengakui saudaranya itu mencapai kedudukan ber-ijtihad dan berkemampuan memahami al-Kitab dan al-Sunnah. Al-Syaikh Sulaiman berpendapat bahwa para imam yang lalu, generasi demi generasi tidak pernah mengkafirkan ashab bid`ah, dalam hal ini tidak pernah timbul dilema kufur, sehingga timbulnya ketetapan mewajibkan mereka memisahkan diri daripadanya dan mengharuskan pula memeranginya, lantaran alasan tersebut.”

Saudara Muhammad Ibnu Abdul Wahhab yang berjulukan Sulaiman bin Abdul Wahhab, membantahnya didalam kitabnya yang berjudul ash-Shawa’iq al-Ilahiyyah fi ar-Radd ‘ala al-Wahabiyyah, antara lain ia menulis sebagai berikut:
Syeikh Sulaiman menulis: Sejak zaman sebelum Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu pada zaman para imam Islam, belum pernah ada yang meriwayatkan bahwa seorang imam kaum Muslimin mengkafirkan mereka, menyampaikan mereka murtad dan memerintahkan untuk memerangi mereka. Belum pernah ada seorang pun dari para imam kaum Muslimin yang menamakan negeri kaum Muslimin sebagai negeri syirik dan negeri perang, sebagaimana yang anda –Muhammad Abdul Wahhab– kata- kan sekarang. Bahkan lebih jauh lagi, anda mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan perbuatan-perbuatan ini, meskipun dia tidak melakukannya. Kurang lebih telah berjalan delapan ratus tahun atas para imam kaum Muslimin, namun demikian tidak ada seorang pun dari para ulama kaum Muslimin yang meriwayatkan bahwa mereka (para imam kaum Muslimin) mengkafirkan orang Muslim. Demi Allah, keharusan dari perkataan anda –Muhammad Abdul Wahhab– ini ialah anda menyampaikan bahwa seluruh umat setelah zaman Ahmad (Ahmad bin Hanbal) –semoga rahmat Allah tercurah atasnya– baik para ulamanya, para penguasanya dan masyarakatnya semua mereka itu kafir dan murtad, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Risalah Arba’ah Qawa’id, Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.4). Pada halaman 4 ini, syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab juga berkata (untuk saudaranya yaitu Muhammad Abdul Wahhab) sebagai berikut:
"Hari ini umat mendapat musibah dengan orang yang menisbahkan dirinya kepada Al-Qur’an dan sunnah, menggali ilmu keduanya, namun tidak mempeduli kan orang yang menentangnya. bila dia diminta untuk memperlihatkan perkataannya kepada andal ilmu, dia tidak akan melakukannya. Bahkan, dia mengharuskan manusia untuk menerima perkataan dan pemahamannya. Barangsiapa yang menentangnya, maka dalam pandangannya orang itu seorang yang kafir. Demi Allah, pada dirinya tidak ada satupun sifat seorang hebat ijtihad. Namun demikian, begitu mudahnya perkataannya menipu orang-orang yang udik. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya Allah, berilah petunjuk orang yang sesat ini, dan kembalikanlah dia kepada kebenaran”.

Ulama golongan Wahabi/Salafi menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman ini sudah tobat, benarkah demikian ? 
Sebenarnya penentangan yang dilakukan oleh Syeikh Sulaiman ini, berupa nasehat kepada Sang adik, baik melalui mulut maupun dengan menulis surat (risalah) yang selama ini dilakukannya atas dogma pedoman Sang adik. Bukti-bukti konkrit, berpengaruh dan ilmiah telah beliau (syeikh Sulaiman) sampaikan ke Sang adik, namun apa daya, ikhtiyar menerima kebenaran bukan terletak pada tangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab.

Sekte Wahabi menyatakan bahwa diakhir hayat Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab –saudara bau tanah dan sekandung Muhammad bin Abdul Wahhab– telah bertaubat dan meratapi segala yang telah dilakukannya yaitu penentangan keras terhadap aliran adiknya, Wahabisme.
Khairuddin az-Zarkali yang bermadzhab Wahabi asal Syria, dalam kitab al-A’lam jilid 3 halaman 130 dia menyatakan dalam karyanya tersebut: “Ada yang menyatakan(?) bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul-Wahhab telah bertaubat dalam menentang pemikiran adiknya, Muhammad bin Abdul-Wahhab”. Namun sayangnya dalam buku ini dia (az-Zarkali) tidak berani memberi aba-aba tentang kebenaran pernyataan tobatnya Syeikh Sulaiman, apalagi meyakininya dengan menyebut bukti-bukti konkrit. Hal itu karena memang ketiadaan bukti yang konkrit serta otentik akan ke-taubat-an Syeikh Sulaiman dalam penentangannya atas pemikiran adiknya.       

Ada lagi seorang penulis Wahabi lainnya asal Syria, yang juga menjelaskan tentang pribadi Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Dia adalah Umar Ridho Kahhalah pengarang kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (lihat jilid 4 hal.269, perihal Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab).
Terjadi perbedaan diantara kedua penulis diatas itu yaitu sewaktu menyebut tahun wafat Syeikh Sulaiman. Al-Kahhalah menyebutkan bahwa Syeikh Sulaiman wafat tahun 1206 Hijriyah. Sedangkan az-Zarkali menyebutkannya pada tahun 1210 Hijriyah. Bagaimana mereka berdua bisa menandakan secara konkrit  perihal tobatnya Syeikh Sulaiman, untuk mengetahui kapan wafatnya Syeikh ini mereka masih berbeda pendapat !        

Mengenai karya-karya Syeikh Sulaiman –yang menangkal pedoman adiknya (Wahabisme)– Al-Kahhalah dalam kitab “Mu’jam al-Mu’allifin” (jilid 4 halaman 269) menyebutkan judul kitab “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Madzhabal-Wahabiyah” (Petir-Petir ilahi pada Madzhab Wahabisme). Begitu juga yang dinyatakan dalam kitab “Idhoh al-Maknun” (lihat jilid 2 hal.72). Dan didalam kitab Idhoh al-Maknun ini, juga menyinggung kitab karya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab lainnya yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” (Seruan Utama pada Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab). Surat panjang yang sudah beberapa kali dicetak itu, memiliki judul “Fashlul Khitab min Kitab Rabbil Arbab, wa Hadits Rasulallah al-Malak al-Wahhab, wa eraam Uli al-Albab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab”  (Seruan Utama dari Kitab Penguasa dari segala penguasa –Allah swt.– , dan hadits utusan Maha Kuasa dan Maha Pemberi anugerah –Muhammad saw.– dan ungkapan pemilik kecerdikan sehat pada madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab).   Kitab ini telah dicetak di beberapa negara; di India pada tahun 1306 H, di Turki pada tahun 1399 H, di Mesir, Lebanon dan beberapa negara lainnya.   

Padahal abadu kita baca, kitab Syeikh Sulaiman  “As-Showa’iq al-Ilahiyah fi Madzhab al-Wahabiyah” adalah merupakan surat teguran terhadap adiknya (Muhammad bin Abdul Wahhab) secara langsung, namun kitab Syeikh Sulaiman yang berjudul “Fashlul Khitab fi Madzhab Muhammad bin Abdul Wahhab” yaitu surat yang ditujukan kepada “Hasan bin ‘Idan”, salah satu sahabat dan pendukung setia nan fanatik Muhammad bin Abdul Wahhab (pencetus Wahabisme). Kaprikornus ada dua karya yang berbeda dari Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, yang kedua-duanya berfungsi sama yaitu mengeritik pemikiran Wahabisme, walaupun keduanya berbeda dari sisi obyek yang diajak bicara. Dan tidak benar jikalau dikatakan bahwa terjadi perubahan judul dari karya dia tadi, karena adanya dua buku dengan dua judul yang berbeda tersebut.

Kedua surat itu ,walaupun memiliki perbedaan dari sisi obyek yang diajak bicara (satu buat sang adik, dan satu lagi buat pendukung fanatik buta adiknya), memiliki kesamaan dari sisi kekuatan dan keilmiahan argumentasinya, baik argument dari al-Qur’an, hadits maupun dari para Salaf Sholeh. Tentu sebagai seorang abang, Syeikh Sulaiman tahu betul sifat dan tabiat adiknya yang hidup bersamanya dari semenjak kecil. Dia paham bahwa apa yang dilakukannya akan sia-sia, namun apa yang dilakukan nya itu tidak lain hanya sebagai argumentasi pamungkas (Itmam al-Hujjah) akan segala perbuatan adiknya. Sehingga ia berpikir, dengan begitu ia tidak akan dimintai pertanggung-jawaban lagi oleh Allah, kelak di akherat, sebagai seorang kakak dan seorang ulama yang dituntut harus sigap dalam melihat dan menyikapi segala penyimpangan, menurut konsep “Amar Makruf Nahi Munkar” yang diperintahkan (diwajibkan) Islam. Namun secara realita, usaha Syeikh Sulaiman tidak memberi hasil. Muhammad bin Abdul Wahhab tetap menjadi Muhammad bin Abdul Wahhab Sang imam dari sekte Wahabisme, Syeikhul Wahabiyah. Apalagi dia merasa di atas angin sehabis mendapat pemberian penuh Kerajaan Saud (Saudi Arabia) pada waktu itu, dari sisi harta dan kekuatan.

Sedangkan sejarah telah menulis bahwa kekuatan Saud tadi didapat dari pertolongan kerajaan Inggris, –penjajah Jazirah Arab periode itu– dalam memenangkan Saud di atas semua kabilah Arab, yang menentang eksistensi imperialis Inggris kala itu. Muhammad bin Abdul Wahhab tidak lagi mau mendengar dan melihat akan kebenaran argumen al-Qur’an, hadits dan ungkapan Salaf Sholeh yang keluar dari siapapun termasuk Sang kakak, yang tergolong salah seorang ulama madzhab Hanbali dizamannya. Segala usaha Syeikh Sulaiman terhadap Sang adik dan pendukung setia adiknya tadi, ibarat apa yang pernah Allah swt. singgung dalam al-Qur’an yang artinya; “Sesungguhnya kau tidak akan mampu memberi petunjuk kepada orang  yang kau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau mendapat petunjuk” (QS al-Qoshosh: 56). Dalam ayat lainnya: “Maka apakah kau dapat menjadikan orang yang pekak mampu mendengar atau (dapatkah) kau memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang faktual?” (QS az-Zukhruf: 40). Atau ayat: “Apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan” (QS Yunus 43).  

Dari keterangan diatas terperinci sekali bahwa, kebenaran pernyataan yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab telah bertobat merupakan pernyataan yang tidak berdasar, lantaran tidak ada bukti konkrit dan otentik akan kebenaran hal itu, contohnya bukti tertulis karya Syeikh Sulaiman sendiri atau paling tidak orang yang sezaman dengan dia. Yang ada hanya pengakuan-pengakuan dari para ulama Wahabi kontemporer sendiri (yang tidak mengetahui ihwal meninggalnya Syeikh Sulaiman, apalagi hidupnya) yang menyatakan bahwa Syeikh Sulaiman telah tobat, telah mengikuti bahkan menyokong sekte pemikiran adiknya (Wahabisme).Ini adalah pembohongan yang diatas namakan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. Semua itu mereka lakukan tidak lain hanya untuk membersihkan pengaruh negatif akibat pengingkaran abang kandung penggagas Wahabisme yang akan menyampaikan image negatif terhadap perkembangan sekte Wahabisme ini.        

Jadi, atas dasar itu jangan heran jikalau pengikut Wahabi seakan-akan Khairuddin az-Zarkali tidak berani dengan terang-terangan bahkan cenderung ragu dalam menghukumi kebenarannya. Apalagi ditambah dengan kenyataan yang ada di luar bahwa para pengikut sekte Wahabi ini –terkhusus para ulamanya yang berada di Saudi, Yaman dan Kuwait– sangat membenci Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahhab. bila Syeikh Sulaiman benar-benar telah bertaubat, kenapa ada akad (terkhusus antar ulama Wahabi beserta para santri mereka) untuk mencela dan menghina ulama madzhab Hanbali (salah satu madzhab Ahlussunah wal Jama’ah) ini? jikalau madzhab Hanbali (yang metode madzhabnya banyak diadopsi oleh Wahabi) saja diolok-olok, bagaimana dengan madzhab lain Ahlussunah seakan-akan madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i?

NB: Untuk diketahui oleh pembaca nama-nama dan judul kitab golongan Wahabi kontemporer (tidak sezaman bahkan hidup jauh pasca Syeikh Sulaiman wafat) yang menulis dan mengarang-ngarang tentang taubatnya Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab dari penentangan aliran Wahabisme (sekte bikinan adiknya) yaitu: Ibnu Ghannam (Tarikh Nejed 1/143); Ibnu Bisyr (Unwan Majd hal. 25); Syaikh Mas’ud An Nadawi (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum 48-50); Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Ta’liq Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 95); Syaikh Ahmad bin Hajar Alu bubuk Thami (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 30); Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwa’ir (Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh muftara ‘alaihi lihat majalah Buhuts Islamiyah edisi 60/1421H); Syaikh Nashir Abdul Karim Al Aql (Islamiyah la Wahabiyah hal. 183); Syaikh Muhammad As-Sakakir (Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab wa Manhajuhu fi Dakwah hal. 126); Syaikh Sulaiman bin Abdurrahman Al Huqail (Hayat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 26. yang diberi kata pengantar oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh) dan lain-lain.
Jika kita lihat masa hidup mereka semua, maka bagaimana mungkin mereka akan bisa memberi kesaksian atas pertaubatan Syeikh Sulaiman sedang mereka tidak sezaman bahkan jauh dari zaman Syeikh Sulaiman wafat? Mungkinkah (secara logis dan ilmiah) orang-orang itu mampu menyampaikan secara langsung (tanpa merujuk orang-orang yang sezaman dengan Syeikh Sulaiman) kesaksian pertaubatan syeikh Sulaiman? Silahkan pembaca yang budiman renungkan!

0 Response to "Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Penentangan terhadap Muhammad Ibnu Abdul Wahhab."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel