Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Memonopoli ajaran Tauhid dan pengkafiran terhadap para ulama
Sekte Wahabi mengaku sebagai satu-satunya pemilik fatwa Tauhid yang bermula dari imam mereka, Muhamad bin Abdul Wahhab. Dengan begitu akibatnya mereka tidak mengakui konsep Tauhid yang dipahami oleh ulama muslimin selain sekte Wahabi dan pengikutnya.
Kini kita akan melihat beberapa tekts yang mampu menjadi bukti atas pengkafiran Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap para ulama, kelompok dan masyarakat muslim selain pengikut sektenya. Kita akan menjadikan buku karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Hanbali an-Najdi yang berjudul “Ad-Durar as-Saniyah” sebagai rujukan kita.
Beberapa ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab ,berikut ini, yang berkaitan dengan dakwaannya atas monopoli kebenaran konsep Tauhid versinya, dan menganggap selain apa yang dipahami sebagai kebatilan yang harus diperangi:
– “…Dahulu, saya tidak memahami arti dari ungkapan Laailaaha illallah. kala itu, aku juga tidak memahami apa itu agama Islam. (Semua itu) sebelum datangnya anugerah kebaikan yang Allah berikan (kepadaku). Begitu pula para guru (ku), tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Atas dasar itu, setiap ulama ’al-Aridh’ yang mengaku memahami arti Laailaaha illallah atau mengerti makna agama Islam sebelum masa ini (yakni sebelum masa anugerah Allah kepada Muhamad bin Abdul Wahhab, red) atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahui hal tersebut, maka ia telah melaksanakan kebohongan dan penipuan. Ia telah mengecoh masyarakat dan memuji diri sendiri yang tidak layak bagi dirinya.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 51).
Dengan ungkapannya itu Muhamad Abdul Wahhab mengaku hanya dirinya sendiri yang memahami konsep tauhid dari kalimat Laailaaha illallah dan telah mengenal Islam dengan tepat. Dia menafikan pemahaman ulama dari golongan manapun berkaitan dengan konsep Tauhid dan pengenalan terhadap Islam, termasuk guru-gurunya sendiri dari madzhab Hanbali, apalagi dari madzhab lain. Dia menuduh para ulama lain yang tidak memahami konsep Tauhid dan Islam –ala versinya– telah melakukan penyebaran aliran bathil, pedoman yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran.
– “Mereka (ulama Islam) tidak mampu membedakan antara agama Muhammad dan agama ‘Amr bin Lahyi’ yang dibentuk untuk di-ikuti orang Arab. Bahkan menurut mereka, agama ‘Amr ialah agama yang benar.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal.51).
Siapakah gerangan ‘Amr bin Lahyi itu? Dalam kitab sejarah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa: “ Ia yaitu pribadi yang pertama kali pembawa fatwa penyembah berhala ke Makkah dan sekitarnya. Dahulu ia pernah bepergian ke Syam. Disana ia melihat masyarakat Syam menyembah berhala. Melihat hal itu ia bertanya dan lantas dijawab: ‘Berhala-berhala inilah yang kami sembah. Setiap kali kami menginginkan hujan dan derma maka merekalah yang menganugerahkannya kepada kami, dan memberi kami perlindungan”. Kemudian ‘Amr bin Lahy berkata kepada mereka: ‘Apakah kalian tidak berkenan memberikan patung-patung itu kepada kami sehingga kami bawa ke tanah Arab untuk kami sembah?’.Lalu ia mengambil patung terbesar yang bernama Hubal untuk dibawa ke kota Makkah yang kemudian diletakkan di atas Ka’bah. Dia menyeru masyarakat sekitar untuk menyembahnya” (Lihat: as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam jilid 1 hal.79). Dengan demikian Muhamad bin Abdul Wahhab telah menyamakan para ulama Islam –selain dia dan pengikutnya– dengan ‘Amr bin Lahy pembawa ajaran syirik dan menuduh para ulama mengajarkan ajaran syirik serta para pengikutnya sebagai penyembah berhala yang dibawa oleh ulama-ulama Islam itu. Siapapun yang memahami ajaran Tauhid ataupun pemahaman Islam yang berbeda dengan versi Muhamad Ibnu Abdul-Wahhab dan pengikutnya, maka ia masih tergolong sesat lantaran tidak mendapat anugerah khusus Ilahi. Tidak lain lantaran, para ulama Islam –selain sekte Wahabi– meyakini legalitas aliran seakan-akan Tabarruk, Tawassul…dan sebagainya (baca bab Tawassul/Tabarruk diwebsite ini).
Muhammad bin Abdul Wahhab Mengkafirkan Beberapa Tokoh Ulama:
Disini, kita akan mengemukakan beberapa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap beberapa tokoh ulama Ahlusunah, yang tidak sejalan dengan pemikiran sektenya: Dalam sebuah surat yang dilayangkan kepada Syeikh Sulaiman bin Sahim –seorang tokoh madzhab Hanbali pada zamannya– Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: ‘Aku mengingatkan kepadamu bahwa engkau bersama ayahmu telah dengan jelas melaksanakan perbuatan kekafiran, syirik dan kemunafikan !….engkau bersama ayahmu siang dan malam sekuat tenagamu telah berbuat permusuhan terhadap agama ini !…engkau ialah seorang penentang yang sesat diatas ke ilmu- an. Dengan sengaja melakukan kekafiran terhadap Islam. Kitab kalian itu menjadi bukti kekafiran kalian!” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 31).
Dalam surat yang dilayangkan kepada Ahmad bin Abdul Karim yang mengkritisinya. Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menuliskan: “Engkau telah menyesatkan Ibnu Ghonam dan beberapa orang lainnya. Engkau telah lepas dari millah (ajaran) Ibrahim. Mereka menjadi saksi atas dirimu bahwa engkau tergolong pengikut kaum musyrik” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 64).
Dalam sebuah surat yang dilayangkan untuk Ibnu Isa –yang telah melakukan argumentasi terhadap pemikirannya –Muhammad Abdul Wahhab menvonis sesat para pakar fikih (fuqoha) secara keseluruhan.Ia (Muhamad Abdul Wahhab) menyatakan: (Firman Allah); “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai yang kuasa selain Allah”. Rasul dan para imam setelahnya telah mengartikannya sebagai ‘Fikih’ dan itu yang telah dinyatakan oleh Allah sebagai perbuatan syirik. Mempelajari hal tadi masuk kategori menuhankan hal-hal lain selain Allah. saya tidak melihat terdapat perbedaan pendapat para hebat tafsir dalam perkara ini.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal. 59).
Berkaitan dengan Fakhrur Razi –pengarang kitab Tafsir al-Kabir, yang bermadzhab Syafi’i Asy’ary– ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengatakan: “Sesungguhnya Razi tersebut telah mengarang sebuah kitab yang membenarkan para penyembah bintang” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 355). Padahal dalam karya Fakhrur Razi tersebut, menjelaskan perihal beberapa hal yang menjelaskan fungsi gugusan bintang dalam kaitannya dengan fenomena yang berada di bumi, termasuk berkaitan dengan bidang pertanian. Namun Muhamad bin Abdul Wahhab dengan keterbatasan ilmu terhadap ilmu perbintangan, telah menvonisnya dengan julukan yang tidak layak, tanpa didasari ilmu yang cukup.
Setelah adanya makalah-makalah diatas, lantas apakah layak ia disebut ulama pewaris tabiat dan ilmu Nabi, apalagi pembaharu (mujaddid) sebagaimana yang diakui oleh kaum Wahabi? Dari aneka macam pernyataan di atas maka jangan kita heran bila lantas Muhammad bin Abdul Wahhab pun mengkafirkan –serta di-ikuti oleh para pengikutnya (Wahhabi)– para pakar teologi (mutakallimin) Ahlusunnah secara keseluruhan (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 53), bahkan ia (Muhamad Abdul Wahhab) mengaku-ngaku bahwa kesesatan para pakar teologi tadi merupakan konsensus (ijma’) para ulama dengan mencatut nama para ulama seperti adz-Dzahabi, Imam Daruquthni dan al-Baihaqi.
Padahal bila seseorang meneliti apa yang ditulis oleh seorang seperti adz-Dzahabi –yang konon kata Ibnu Abdul Wahhab juga mengkafirkan para teolog– dalam kitabnya ‘Siar A’lam an-Nubala’ ,dimana ia (Adz-Dzahabi) banyak menjelaskan dan memperkenalkan beberapa tokoh teolog, tanpa terdapat ungkapan pengkafiran dan penyesatan. Walaupun masaulah umpama terdapat beberapa teolog yang menyimpang namun tentu bukan hal yang bijak jika hal itu di generalisir. jikalau kita teliti dari konteks yang terdapat dalam ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab, terperinci sekali yang ia maksud bukanlah para teolog non muslim atau yang menyimpang saja, tetapi semua para teolog muslim seperti Abul Hasan al-Asy’ari –pendiri mazhab ‘Asy’ariyah– dan selainnya sekalipun. Jangankan terhadap orang yang berlainan madzhab –konon Muhamad bin Abdul Wahhab yang mengaku sebagai penghidup pemikiran dan metode (manhaj) Imam Ahmad bin Hanbal sesuai dengan pemahaman Ibnu Taimiyah– dengan sesama madzhab pun turut disesatkan.
Kita akan melihat contoh berikut ini dari penyesatan langsung-pribadi tersebut:
“Adapun Ibnu Abdul Lathif, Ibnu ‘Afaliq dan Ibnu Mutlaq adalah orang-orang yang pencela pedoman Tauhid..., namun Ibnu Fairuz dari semuanya lebih dekat dengan Islam” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 78).
apa makna lebih akrab pada tekts diatas? Berarti mereka bukan Islam (baca:kafir) namun mendekati aliran Islam. Padahal Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengakui bahwa Ibnu Fairuz ialah pengikut dari mazhab Hanbali, penjunjung pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah. Bahkan di daerah lain, Muhammad abul Wahhab berkaitan dengan Ibnu Fairuz menyampaikan: “Dia telah kafir dengan kekafiran yang besar dan telah keluar dari millah (agama Islam)” (Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 63).
Bagaimana Muhamad bin Abdul Wahhab tega dan berani mengkafirkan orang yang se-manhaj dengannya? bila rasa persaudaraan terhadap orang yang se-manhaj saja telah sirna, lantas bagaimana mungkin ia mempunyai jiwa persaudaraan dengan pengikut manhaj lain yang di luar manhajnya? pasti pengkafirannya akan menjadi-jadi dan lebih menggila!
Kita akan kembali melihat apa yang diungkapkannya kepada pengikut ajaran lain. jikalau para ulama pakar fikih (fuqoha’) dan ahli teologi (mutak-klim) telah disesatkannya, maka jangan heran pula jika pakar ilmu mistik modern (baca: tasawwuf falsafi) seperti Ibnu ‘Arabi pun dikafirkan sekafir-kafirnya. Bahkan dinyatakan bahwa kekafiran Ibnu Arabi yang bermadzhab Maliki itu dinyatakan lebih kafir dari Fir’aun. Bahkan bukan hanya sebatas pengkafiran dirinya terhadap pribadi Ibnu Arabi saja, tetapi Muhamad Abdul Wahhab telah memerintahkan (baca: mewajibkan) orang lain untuk mengkafirkannya juga. Dia menyatakan: “Barangsiapa yang tidak mengkafirkannya (Ibnu Arabi) maka iapun tergolong orang yang kafir pula”. Dan bukan hanya orang yang tidak mau mengkafirkan yang divonis Muhamad bin Abdul Wahhab sebagai orang kafir, bahkan yang ragu dalam kekafiran Ibnu Arabi pun divonisnya sebagai orang kafir. Ia mengatakan: “Barangsiapa yang mewaspadai kekafirannya (Ibnu Arabi) maka ia tergolong kafir juga”. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 25).
Mungkinkan sekte pengkafiran ini mampu mewakili sebagai pedoman suci Rasulallah saw. yang dinyatakan sebagai “Rahmatan lil Alaminin”?
Mari kita lanjutkan lagi pengkafiran terhadap kaum muslimin yang tidak mengikuti pedoman sekte Syeikh Pendiri Wahhabi yang berasal dari Najd itu:
Pengkafiran Penduduk Makkah: Dalam hal ini Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: “Sesungguhnya agama yang dianut penduduk Makkah (pada zamannya .red) sebagaimana halnya agama yang lantarannya Rasulullah diutus untuk memberi peringatan” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal.86, dan atau pada jilid 9 hal. 291)
Pengkafiran Penduduk Ihsa’ : Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan: ‘Sesungguhnya penduduk Ihsa’ di zaman (nya) ialah para penyembah berhala (baca: Musyrik)” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal.113).
Pengkafiran Penduduk ‘Anzah: Berkaitan dengan ini, Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan: ‘Mereka telah tidak meyakini hari akibat’. ( Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal.113).
Pengkafiran Penduduk Dhufair: Penduduk Dhufair merasakan hal yang sama seperti yang dialami oleh penduduk wilayah ‘Anzah, dituduh sebagai pengingkar hari akhir (kiamat). (Lihat:Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 hal. 113).
Pengkafiran Penduduk Uyainah dan Dar’iyah: Para ulama wilayah tersebut terkhusus Ibnu Sahim al-Hanbali beserta para pengikutnya telah dicela, dicaci dan dikafirkan. Dikarenakan penduduk dua wilayah itu (Uyainah dan Dar’iyah) bukan hanya tidak mau mendapat keyakinan pedoman sekte Muhamad bin Abdul Wahhab, bahkan ada usaha mengkritisinya dengan keras. Atas dasar ini maka Muhamad bin Abdul Wahhab tidak segan-segan mengkafirkan semua penduduknya, baik ulamanya hingga kaum awamnya. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 8 halaman 57).
Pengkafiran Penduduk Wasym: Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menvonis kafir terhadap semua penduduk Wasym, baik abadngan ulamanya hingga kaum awamnya(Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 hal.77).
Pengkafiran Penduduk Sudair: Berkaitan dengan ini, Muhamad bin Abdul Wahhab telah melakukan hal yang sama sebagaimana yang dialami oleh penduduk wilayah Wasym. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 2 halaman 77).
Dari pola-contoh tadi telah terang dan tidak mungkin mampu dipungkiri oleh siapapun –baik yang pro maupun yang kontra terhadap sekte Wahabisme– bahwa Muhamad bin Abdul Wahhab telah mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sepaham dengan keyakinan-keyakinannya yang merupakan hasil inovasi (baca: Bid’ah) pikirannya. Baik bid’ah tadi berkaitan dengan konsep tauhid sehingga muncul vonis pensyirikan Muhamad bin Abdul Wahhab terhadap kaum muslimin yang tidak sejalan maupun keyakinan lain –seperti perkara wacana pengutusan Nabi, hari akibat/kiamat dan sebagainya– yang mengakibatkan munculnya vonis kafir. (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 43).
Marilah kita perhatikan ungkapan Muhamad bin Abdul Wahhab imam sekte Wahabisme berkaitan dengan kaum muslimin di zamannya secara umum. Muhamad bin Abdul Wahhab menyatakan:
“Banyak dari penghuni zaman sekarang ini yang tidak mengenal yang kuasa yang seharusnya disembah, melainkan Hubal, Yaghus, Ya’uq, Nasr, al-Laata, al-Uzza dan Manaat. jikalau mereka mempunyai pemahaman yang benar pasti akan mengetahui bahwa kedudukan benda-benda yang mereka sembah kini ini seperti insan, pohon, kerikil dan sebagainya seakan-akan matahari, rembulan, Idris, abu Hadidah ibarat menyembah berhala “ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 117).
Pada kesempatan lain Muhamad bin Abdul Wahhab menyampaikan: ‘Derajat kesyirikan kaum kafir Quraisy tidak jauh berbeda dengan dominan masyarakat sekarang ini ' (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 halaman 120). Dan pada kesempatan lain dia juga menyampaikan: ‘Sewaktu masalah ini (tauhid dan syrik .red) telah engkau ketahui niscaya engkau akan mengetahui bahwa dominan masyarakat lebih dahsyat kekafiran dan kesyirikannya dari kaum musyrik yang telah diperangi oleh Nabi’ (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1hal.160).
Namun, sehabis kita menela’ah dengan teliti konsep tauhid versi Imam sekte tersebut (Muhamad bin Abdul Wahhab dalam kitab Tauhid-nya) ternyata banyak sekali kerancuan dan ketidakjelasan dalam pendefinisian dan pembagian, apalagi dalam penjabarannya. Bagaimana mungkin konsep tauhid rancu semacam itu akan mampu menjadi tolok ukur keislaman bahkan keimanan seseorang, bahkan dijadikan tolok ukur pengkafiran? Konsep tauhid rancu tersebut ternyata dijadikan tolok ukur oleh Muhamad bin Abdul Wahhab –yang mengaku paling paham konsep tauhid pasca Nabi– sebagai neraca kebenaran, keislaman dan keimanan seseorang sehingga mampu menvonis kafir bahkan musyrik setiap ulama –apalagi orang awam– yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Sebagai dalil dari ungkapan tadi, Muhamad bin Abdul Wahhab pernah menyatakan: “Kami tidak mengkafirkan seorang pun melainkan dakwah kebenaran yang sudah kami lakukan telah sampai kepadanya. Dan ia telah menangkap dalil kami sehingga argumen telah sampai kepadanya. Namun jikalau ia tetap sombong dan menentangnya dan bersikeras tetap meyakini akidahnya sebagaimana sekarang ini kebanyakan dari mereka telah kita perangi, dimana mereka telah bersikeras dalam kesyirikan dan mencegah dari perbuatan wajib, menampakkan (mendemonstrasikan) perbuatan dosa besar dan hal-hal haram…” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 1 hal. 234) .
Disini terperinci sekali bahwa, Muhamad bin Abdul Wahhab telah menjatuhkan vonis kafir dan syirik di atas kepala kaum muslimin dengan neraca kerancuan konsep Tauhid-Syirik versinya maka ia telah ‘memerangi’ mereka. Bid’ah dan kebiasaan Muhamad bin Abdul Wahhab an-Najdi semacam ini yang hingga ketika ini ditaklidi dan dilestarikan oleh pengikut Wahabisme, tidak terkecuali di Tanah Air. Apakah kekafiran dan kesyirikan yang dimaksud oleh Muhamad bin Abdul Wahhab dalam ungkapan tersebut? Dengan singkat kita nyatakan bahwa yang ia maksud dari kesyirikan dan kekafiran tadi adalah; ‘pengingkaran terhadap dakwah Wahabisme’. Dan dengan kata yang lebih terperinci ialah; ‘Meyakini terhadap hal-hal yang dinyatakan syirik dan kafir oleh Wahabisme seperti Tabarruk, Tawassul, Ziarah Kubur…dan sebagainya’.
Padahal, hingga kini ini, para pemuka Wahabi –baik di Indonesia maupun di negara asalnya sendiri– masih belum sanggup menjawab banyak kritikan terhadap ajaran Wahabisme berkaitan dengan hal-hal tadi.
Para pengikut faham Wahabi/Salafi menyampaikan jawaban kepada para pengkaji yang melakukan penyelidikan mengenai Islam dan meneliti kitab-kitab mereka, hingga menimbulkan mereka akhirnya beranggapan bahwa Islam adalah agama yang kaku, beku, terbatas dan tidak dapat beradaptasi pada setiap masa dan zaman. Umpama nya, seorang berkebangsaan Amerika –Lothrop Stodard– mengatakan: “Kesan dari semua itu, kritikan-kritikan telah timbul lantaran ulah Wahabi berpegang kepada dalil tersebut dalam ucapan mereka hingga dikatakan bahwa Islam dari segi jauhar dan tabiatnya tidak sanggup lagi berhadapan dengan perubahan menurut kehendak dan tuntutan zaman, tidak mampu berjalan seiringan dengan keadaan kemajuan dan proses perubahan serta tidak lagi mempunyai kesatuan dalam perkembangan kemajuan zaman dan perubahan masa ..” [15 Hadir al-`Alam al-Islami, Vol.I, hal. 264].
Untuk menjelaskan kesalahan yang dilakukan secara sengaja oleh Muhamad bin Abdul Wahhab serta pengikutnya, dan juga menjelaskan kekeliruan yang menimpa banyak para pengikutnya, yang atas dasar itu kemudian mereka mengkafirkan mayoritas kaum Muslimin hingga zaman kita sekarang ini, mau tidak mau para pakar Islam berbagai madzhab meletakkan pemikiran-pemikirannya diatas meja pembahasan dan pengkajian.
0 Response to "Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Memonopoli ajaran Tauhid dan pengkafiran terhadap para ulama"
Post a Comment