-->

Tafsir Surat An-Nur Ayat 11-18

Kemenangan-kemenangan dan kejayaan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. menegakkan masyarakat Islam di Madinah, yaitu tegak di atas kesetia­an sahabat-sahabatnya dan kebencian musuh-musuhnya. Orang besar selalu diuji oleh pujaan dan celaan. Di samping orang-orang sebagai abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khathab, Usman bin Affan dan Ali bin abu Thalib yang menyediakan jiwa-raganya dan harta benda biar sama hilang sama timbul dengan Nabi, ada juga musuh-musuh besar yang dalam memusuhi itu pun mereka "besar" pula.

Musuh demikian dihadapi Nabi ketika beliau di Makkah, di antaranya ialah bubuk Jahal yang terkenal menentang Nabi terang-terangan secara jantan. Tetapi setelah Nabi s.a.w. pindah ke Madinah, dan masyarakat Islam mulai bangun, ia menghadapi musuh yang bukan satria, orang ber­jiwa kecil yang hanya berani membuat fitnah, menghasut, menggunjing, ber­bicara di belakang, sedang pada lahirnya dia bermulut manis menyatakan sepakat. Dan apabila ada jalan buat memasukkan jarum dengki dan bencinya, dimulainyalah memainkan jarum itu, walaupun di balik pembelakangan. Itulah yang dinamai golongan munafiqin yang dipimpin oleh seorang yang mengaku kawan padahal lawan, yaitu Abdullah bin Ubay.

Kalau ada musuh hendak melawan Islam, dibantunya dari belakang secara diam-diam tetapi kalau musuh itu sudah mampu dikalahkan oleh Nabi, dia pun mencuci tangan dan musuh yang kalah itu ditinggalkannya, dan dia pergi mengambil muka kepada Muslimin yang menang. Kalau dia menampak agak sedikit pintu hasutan, untuk memecahkan front Muslimin di antara Muhajirin dengan Anshar, dilaluinyalah lobang yang kecil itu, sehingga kalau kurang hati-hati pimpinan, pesatuan Islam bisa pecah awut-awutan. Tetapi Nabi s.a.w. dan sahabat-sahabatnya tetap waspada, sehingga segala usahanya tetap tidak pemah berhasil.

Akhirnya dicobakannyalah senjata penghabisan, sebagai "climax" atau puncak dari segala usahanya yang gagal selama ini, dan yang menimbulkan alasannya yaitu dari kejatuhannya buat selamanya dan dia tidak dapat mengangkat mukanya lagi. Tetapi perbuatannya ini boleh dicatat sebagai suatu perbuatan "pengecut yang sangat berani". Dia telah mencoba menunggu ketenteraman jiwa Nabi s.a.w. sendiri dan jiwa orang yang paling dekat kepada Nabi, orang yang kedua dalam pembangunan Islam, yaitu bubuk Bakar, ayah Aisyah.

Demikianlah, pada suatu hari seketika Rasulullah s.a.w. bersama sahabat­sahabatnya dan tentaranya pulang dari peperangan dengan Yahudi Bani Musthaliq dengan kemenangan gilang-gemilang.

Sudah menjadi kebiasaan Nabi s.a.w. apabila beliau pergi keluar kota memimpin suatu peperangan, beliau undi isterinya dan mana yang keluar undiannya, dialah yang ikut pergi. Dalam peperangan Bani Musthaliq ini, Siti Aisyah lah yang menang undian dan turut pergi. Dia diangkat dengan Haudaj, semacam tandu kenaikan diletakkan di atas punggung seekor unta. Usia Aisyah ketika itu greslah 14 tahun, karena dalam usia 9 tahun dia mulai diserumahkan oleh ayahnya dengan Nabi seketika mulai pindah ke Madinah, sehabis di­nikahkan di Makkah setahun terlebih dahulu. tubuhnya ringan dan kecil.

Seketika berhenti pada suatu pemberhentian, haudaj itu diturunkan orang dari punggung unta. Aisyah meraba lehernya, rupanya kalung yang di lehernya sudah tidak ada lagi, entah tercecer di tengah jalan. kemudian dia turun dari haudaj nya dan dia pergi ke daerah yang telah dilalui tadi, mencari kalungnya yang hilang. Rupanya setelah agak lama mencari tak bertemu, lalu dia kembali ke tempat haudajnya terletak.

Tetapi sayang, rombongan telah berangkat lebih dahulu lantaran tidak ada orang yang tahu bahwa dia telah turun dari dalam­nya, dan tidak pula ada orang yang memeriksanya, lantaran beliau menggunakan hijab dan badan ia amat ringan, sehingga sama saja berat haudaj itu baik dia ada di dalam ataupun tidak ada.

Maka berhentilah beliau duduk melepaskan lelahnya di perhentian yang telah ditinggalkan itu, dengan kepercayaan apabila orang mengetahui nanti bahwa dia tidak ada, niscaya orang akan kembali menjemputnya. alasannya kalau berjalan pula mengejar rombongan itu pada padang pasir yang demikian teriknya, agaknya tidaklah akan terkejar.

Dalam beliau termenung seorang diri­nya itu sambil menyelimutkan selendang ke badannya, tiba-tiba datanglah seorang pemuda, sahabat Nabi juga, bernama Shafwan Ibnu Mu'aththil Assulami, yang kebetulan berjalan terkemudian dari rombongan, karena ada keperluan yang diurusnya. Demi dilihatnya Aisyah, yang dikenalnya sebelum turun ayat hijab, dia pun terkejut kemudian mengucapkan "Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un" dan segera menanyakan mengapa beliau terkemudian. Aisyah tidak menjawab. Kemudian Shafwan membawa untanya ke muka beliau, dan diper­silakannya beliau naik, kemudian ia pun naik dan Shafwan berjalan menuntun unta tersebut, sampai mampu tersusul rombongan yang telah berangkat itu.

Cepat sebagai kilat, tersebar berita dari verbal ke verbal, Aisyah telah ber­laku serong dengan Shafwan, mereka telah berjalan berdua-dua, mereka rupanya telah berjanji akan mengkhianati Rasulullah, dan sebagainya. Diatur berita itu demikian rupa, diterima dari satu ekspresi dan pindah ke lisan lain, bisik berantai sehingga "menjadi rahasia umum". Yang berbagi berita ini diketahui kemudian, yaitu Abdullah bin Ubay.

Sebagaimana melawan penjajahan, kerapkali pihak musuh berbagi berita bisik berantai seakan-akan demikian, untuk menimbulkan kekacauan fikiran. Dan dalam saat yang demikian, orang tidak sempat mengadakan penyelidikan atau mempertimbangkan dengan kebijaksanaan sihat. Inilah yang dalam bahasa sekarang disebut "propokasi".
Khabar warta ini telah tersiar, cepat sebagai api memakan lalang. Jarang orang yang dapat memikirkan benar atau tidaknya. Yang tadinya masih mampu menimbang pun boleh menjadi ragu karena di kiri­kanan orang telah membicarakannya. "Siti Aisyah, isteri kesayangan Rasulullah yang masih muda belia, berjahat dengan seorang sahabat muda."

Adakah orang yang sempat berfikir bahwa berita itu harus diselidiki kebenarannya? karena ini adalah soal besar? Soal rumahtangga Nabi? Soal terganggukah ataia tidak perasaan ia? Betapakah agaknya abu Bakar, sahabat karib Nabi semenjak agama ini dibangunkan dan dida'wahkan, selalu di akrab Nabi? Bagaimana dia mendidik anak perempuannya? Hat itu tidaklah sempat difikirkan orang lagi. Propokasi itu kadang kala amat berpengaruh sehingga orang tidak sempat berfikir.

Dalam tafsir ini hendak kita sarikan isi riwayat nasib penanggungan batin yang dirasai Aisyah lantaran malapetaka tuduhan yang amat besar itu yaitu berdasarkan Hadis yang dirawikan oleh Bukhari clan lain-lain dari `Urwah bin Zubair, dari Makciknya Aisyah sendiri.

Aisyah sendiri bercerita bahwa setelah dia turun dari atas unta itu dan kembali ke haudajnya disangkanya tidak ada apa-apa: sebenarnya bisik-desus telah menjadi-jadi dan dia telah menjadi buah ekspresi orang, samasekali dia tidak tahu. Dan perjalanan pulang ke Madinah dilanjutkan dengan selamat. Aisyah berkata selanjutnya bahwa sesampai di Madinah, beliau ditimpa demam; mungkin lantaran penatnya dalam perjalanan jauh itu. Khabar berita propokasi itu telah tersiar luas dan merata, namun dia belum juga tahu-menahu bahwa dia telah menjadi buah mulut orang. Dan warta itu pun rupanya telah hingga ke pendengaran Rasulullah s.a.w. sendiri, bahkan telah sampai kepada ayah­bundanya, Saiyidina debu Bakar dan isterinya , tetapi tidak seorang jua pun di antara mereka, Rasulullah, bubuk Bakar, dan ibunya, yang membayang-bayang-kan hal itu kepada Aisyah.

Cuma fikiran saya menjadi bertanya-tanya melihat perilaku lemah-lembutnya menanyakan kepadaku wacana tubuhku yang sedang kurang sihat itu, sehingga menimbulkan kurang puasku, ada apa. karena kalau dia masuk melihatku, sedang ibuku duduk akrabku merawatku, ia ber­tanya: " Bagaimana keadaanmu ? " Tidak lebih dari itu, beliau pun keluar. karena melihat sikap beliau yang demikian, timbullah jengkelku. kemudian saya ber­kata kepadanya: "Kalau engkau izinkan, saya hendak pulang saja ke rumah ibu." beliau menjawab: "Baiklah." sebab sudah mendapat izin itu, saya pun pulanglah ke rumah ibuku, dan di sana sampai saya sembuh, setelah menderita demam lebih dari 20 hari.

Aisyah berkata seterusnya: "Kami orang Arab pada periode itu tidaklah mem­punyai tempat buang air dalam rumah, sebagai orang Ajam, kami benci dan jijik dengan dia. Kalau kami hendak buang hajat, kami keluar ke tengah padang malam-malam, terutama kami kaum perempuan. Pada suatu malam, saya pun keluarlah ditemani oleh Mak si Misthah. Tiba-tiba sedang kami melangkah itu, teracung kaki Ummi Misthah, lalu dia menyumpah: "Barang dicelakakan dewalah si Misthah." Saya terkejut mendengar dia menyumpah, kemudian saya berkata: "Mengapa disumpahi seorang pejuang yang telah turut dalam pe­perangan Sadar?"

Lalu berkatalah Ummi Misthah: "Tidakkah engkau mendengar khabar hai anak abu Bakar?" "Khabar apa?" tanyaku pula. lalu diceritakannyalah warta yang telah tersiar tentang diriku itu."Betulkah demikian?" tanyaku. Ummi Misthah menjawab: "Betul!"
Berkata Aisyah selanjutnya: "Demi mendengar apa yang dikatakan oleh Ummi Misthah itu , demi Allah ( lemah rasanya segala persendianku ), sehingga tidak upaya aku lagi melepaskan hajatku selain aku segera pulang. Demi Allah, aku menangis sehingga rasanya jantungku akan pecah karena tersangat tangis­ku.
Lalu aku berkata kepada ibuku: "Tuhan moga-moga memeliharamu, ibuku, sudah demikian kata orang wacana diriku, namun ibu tak menyebut-nyebutnya kepadaku sedikit jua." Ibuku dengan tenangnya menjawab: "Anakku sayang, tenangkan hatimu. Demi Allah, jaranglah perempuan cantik yang memiliki suami yang amat dicintainya dan mempunyai pula banyak sembayan (madu), yang tidak terlepas dari buah verbal orang, dan saya banyaklah dongeng orang atas dirinya."

Dalam keadaan saya demikian itu, rupanya di luar pengetahuan saya juga, Rasulullah telah berdiri di hadapan sahabat-sahabatnya berpidato.

Setelah ia memuji Allah, ia berkata:

"Wahai sekalian insan! Mengapa orang orang telah menyakiti diriku dari hal isteriku? Dia dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak ? Demi Allah, yang aku ketahui tentang ahliku ialah baik belaka. Dan disebut-sebut pula nama seorang pria yang demi Allah dia pun saya kenal seorang yang baik. Dia belum pemah masuk ke daiam rumahku, kecuali bersama aku."
Perkataan Rasulullah itu rupanya membisubil berat oleh Abdullah bin Ubay, berhubungan dengan beberapa orang sahabat dari Bani Khazraj. Dan bersamaan pula dengan itu tersangkut pula nama Misthah dan seorang perempuan bernama Hammah binti Jahasy, ini yaitu maduku pula, kata Aisyah selanjutnya, yang penghargaan Rasulullah terhadap dirinya hampir sama juga dengan penghargaannya terhadap diriku. Adapun Zainab sendiri dipelihara tuhanlah daripada menuduh-nuduh. Perkataannya perihal diriku adalah baik. Tetapi Hammah berbagi berita bohong itu, untuk menyakiti hatiku lantaran benci dan cemburu tersebab saudaranya.

Setelah Rasulullah s.a.w. final berpidato itu berkatalah Ussaid bin Hudhair (dari Bani Aus): "Ya Rasulullah, kalau yang menyiarkan berita bohong itu dari kaumku Aus, serahkan sajalah penyelesaiannya kepada kami, niscaya akan kami bereskan. Tetapi kalau dari saudara kami Bani Khazraj, perintahkan­lah kepada kami apa yang diperintahkan Allah. Demi Allah, memang mereka itu pantas dipotong leher belaka."
Mendengar ucapan itu, bangkitlah Saad bin 'Ubbadah (dari Bani Khazraj), yang selama ini terkenal seorang yang shalih, dia berkata: "Engkau bohong. Demi Allah. Tidaklah engkau mampu memotong leher mereka. Engkau berkata begitu lantaran engkau tahu bahwa mereka dari Khazraj. Kalau begitu kaummu sendiri, engkau tidak akan bercakap sekeras itu " Usaid menyambut lagi: "Engkaulah yang bohong, demi Allah, bahkan engkau munafik, engkau membela orang-orang yang munafik."

Maka ributlah orang bertengkaran, terutama di antara kedua kaum ini, sehingga nyarislah terjadi hal yang tidak diingini. Maka Rasulullah pun turunlah dari mimbar, dalam pada itu masuklah Ali bin bubuk Thalib. Rasulullah memanggil Ali dan Usamah bin Zayid dan mengajak keduanya musyawarah.
Adapun Usamah memberikan pujian yang baik terhadapku dan berkata: "Ya Rasulullah, jago rumah engkau, tidak ada yang kami ketahui tentang dirinya hanyalah yang baik saja."
Tetapi Ali menjawab: "Ya Rasulullah, perempuan banyak, tuan sanggup menggantinya dengan yang lain. Mintalah gadis mana yang engkau suka, pasti dialah yang akan membayar maskawin kepada engkau." Setelah itu Ali minta panggil seorang perempuan nama Burairah untuk ditanya.

Rasulullah memanggil pula Burairah, lalu menanyainya. kemudian Ali bangkit, dipukulnya Burairah seraya berkata dengan kerasnya: "Katakan apa yang sebenamya kepada Rasulullah!" lalu Burairah menjawab: "Demi Allah, yang saya ketahui yaitu baik saja. Cuma celaanku kepada Aisyah hanya satu saja, yaitu bahwa saya menumbuk tepung, saya minta tolong kepadanya menjaga tepung itu, kemudian dia tertidur. tiba kambing, lalu dimakannya tepung itu."
Aisyah meneruskan dongeng lagi: "Kemudian itu masuklah Rasulullah ke rumah, sedang saya tengah duduk dengan kedua orang ayah-bundaku. Waktu itu ada pula tetamu seorang perempuan Anshar, saya tengah menangis dan perempuan itu menangis pula, lantaran kasihan kepadaku. lalu Rasulullah duduk, dipujinya Allah dan dimuliakanNya, kemudian dia berkata: "Hai Aisyah, sudah banyak kata orang perihal dirimu, takwa sajalah kepada Allah. Kalau benar-benar engkau telah berbuat salah sebagai dikatakan orang-orang itu. Taubat sajalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mendapat taubat hambaNya."

Berkata Aisyah: "Demi Allah, Rasulullah telah berkata demikian pula, sehingga tersenak airmataku, sehingga tak ada perasaanku lagi. aku tunggu sajalah moga-moga kedua ayah-bundaku mampu menyambut perkataan beliau, namun tidak ada yang menyahut!"
Berkata Aisyah: "Demi Allah, aku merasa diriku ini kecil, sehingga tiadalah kelayakan bagiku akan diturunkan Tuhan al-Quran lantaranku, dalam mimpinya itu tuhan menerangkan bohongnya tuduhan-tuduhan itu, sehingga beliau tahu bahwa saya higienis.
Adapun akan turun al-Quran, belumlah terlintas di anganku, aku yaitu merasa sangat kecil buat mendapat kehormatan setinggi itu." Kedua ayah-bundaku tidak juga bercakap. kemudian aku tegur: "Jawablah wahai ayah dan bunda perkataan Rasulullah itu." Ayah-bundaku menjawab: "Demi Allah, kami tak tahu apa yang akan kami jawabkan kepada ia." Demi Allah, seru sekalian alam, belumlah saya mengetahui ada rumahtangga lain yang menderita batin sehebat yang diderita oleh rumahtangga bubuk Bakar di hari itu.

Setelah kedua ayah-bundaku ternyata galau hendak menyambut ucapanku itu, aku menangis kembali, kemudian aku berkata: "Demi Allah, saya tidak akan taubat kepada Allah, selama-lamanya saya tidak akan taubat perihal hal ini. Demi Allah, saya lebih mengetahui, kalau saya mengakui apa yang diperkatakan orang-orang itu. Allah lebih mengetahuinya bahwa saya tidak bersalah. pasti saya mengatakan apa yang tidak pernah terjadi. Sebaliknya kalau saya ingkari tuduhan mereka itu, namun ayah-bunda dan suami tidak juga percaya."
Dalam pada itu teringatlah olehku nama Nabi Ya'kub ketika dia kehilangan puteranya Yusuf, lalu saya ulangkan ucapan yang pernah diucapkannya :
"Aku tabah, yang mulia indah, Allah kawasanku memohon pinjaman pada yang kamu sifatkan itu."
Demi Allah, tidak usang antaranya, ia, Rasulullah yang duduk pada kawasan duduknya itu, tiba-tiba dia mulai pingsan, yaitu pingsan yang selalu kejadian alamat Wahyu akan datang, lalu dia diselimuti dan saya letakkan bantal di kalangan hulu ia.

Adapun saya sendiri - kata Aisyah - setelah saya lihat hal itu, demi Allah, tidaklah saya merasa gentar dan tidaklah saya merasa cemas, saya yakin bahwa saya higienis dari tuduhan, dan ilahi tidak akan menganiayaku. Adapun kedua ayah-bundaku, setelah mereka melihat yang demikian itu, kelihatan beliau­beliau pucat seakan-akan nafas dia akan keluar dari tubuh, kalau-kalau Wahyu yang akan turun itu membenarkan apa yang dipercakapkan orang selama ini. Sesaat kemudian Rasulullah yang mengalir keringat di dahinya itu berkata: "Gembirakan hatimu Aisyah. dewa Allah telah menurunkan kesaksian bahwa engkau suci!" aku jawab perkataan Rasulullah itu dengan pendek, "Alhamdulillah."

Bukan main gembiranya ayah-bundaku lantaran datangnya Wahyu itu, lalu bundaku berkata: "Tegaklah Aisyah, ucapkanlah terimakasihmu kepada Rasulullah!" saya jawab: "Saya tidak akan berdiri untuk itu dan tidak ada yang akan saya puji, melainkan Allah, alasannya yaitu Allahlah yang menurunkan Wahyu ihwal kesucianku."
Setelah itu Rasulullah keluarlah kembali kepada orang banyak, kemudian ia berpidato dan dibacanyalah:
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu, yaitu golongan kau juga. Janganlah kamu sangka berita bohong itu membawa balasan buruk bagi kamu, tetapi adalah itu membaikkan. Setiap orang akan mendapat hukuman tersebab dosa yang diperbuatnya, dan bagi yang mengambil bagian terbesar (dalam penyebaran warta bohong itu), akan ditimpakan azab siksa yang besar." (ayat 11).
Maka terpeliharalah Aisyah dari tuduhan nista dan rendah itu, dilakukan hukuman dera dengan rotan 80 kali, kepada orang-orang yang tersangkut, termasuk Hasan bin Tsabit dan Hammah sendiri. Adapun Abdullah bin Ubay yang "lempar watu sembunyi tangan", tidaklah diapa-apakan oleh Rasulullah. Barangkali beliau tidak menuntutnya ialah dengan maksud terlebih tinggi, yaitu sanksi batin yang lebih hebat atas dirinya bukanlah lantaran didera, me­lainkan dengan kebencian orang banyak atas dirinya. Kemana-mana akan di­sorokkannya mukanya. Bahkan seketika beberapa tahun di belakang Abdullah bin Ubay mati, Rasulullah s.a.w. pun masih bersedia menyembahyang­kan jenazahnya, meskipun Saiyidina Umar bin Khathab kurang setuju atas "toleransi" yang terlalu itu. Yang penting rupanya bagi Rasulullah sebagai seorang pembangun ummat bukan kepuasan batin karena mampu membalaskan kesakitan yang ditimpakan Abdullah bin Ubay itu. Yang penting bagi Rasulul­lah ialah memperlihatkan kepada Abdullah bin Ubay bahwa segala usahanya betapa pun curang dan nistanya, tidak akan mampu menghambat dan meng­halangi terbit memancarnya matahari Islam.
Seorang perawi Hadits yang masyhur, yaitu Masruq, apabila membawakan Hadis dari Aisyah selalu berkata:

"Telah memberitakan kepadaku "shiddiqah anak Shiddiq (si jujur anak si jujur), kecintaan Rasulullah s.a.w. yang dijamin kesuciannya dari langit."
Dengan demikian maka fitnah yang disebarkan itu, yang tadinya disangka akan dapat meruntuhkan dan menumbangkan pohon kemuliaan yang besar, telah bertukar menjadi penolong buat memperteguh uratnya ke bumi.

Dan lantaran ayat-ayat yang khas diturunkan ilahi untuk membela ke­sucian dan kehormatan Siti Aisyah ini teringatlah kita suatu insiden, bahwa seorang Katolik yang sengaja hendak menghina Nabi kita, telah sengaja mengejekkan yang kuasa untuk membela kesucian dan di hadapan seorang Muballigh Islam. Dan mengatakan bahwa Wahyu-wahyu ini hanyalah dibuat-buat saja oleh Muhammad, untuk membela isterinya, karena dia sangat kasih kepada isterinya itu.

Ejekan yang demikian telah dijawab oleh Muballigh Islam tadi demikian: "Dua orang wanita yang suci telah mendapat tuduhan yang sama beratnya oleh musuh-musuh dewa. Di sini tersebut Aisyah, padahal ada seorang lagi.

Dan yang seorang lagi itu lebih berat lagi tuduhan orang kepadanya: "Dia dituduh berzina pula mendapat anak dari perhubungan jahat itu." Sedang Aisyah tidak­lah dituduh hingga beranak.
Si Nasrani bertanya: Siapa..... ?
Si Muballigh rnenjawab: "Maryam ibu Isa Almasih. Keduanya sama ter­tuduh, tetapi kedua perempuan suci itu telah sama mendapat pembelaan dari al-Qurari. Al-Quran mempertahankan kesucian Maryam ibu Isa sama dengan mempertahankan Aisyah anak bubuk Bakar as-Shiddiq. Wahyu dewa memper­tahankan kesucian Maryam itu lebih jelas daripada catatan-catatan yang tertulis dalam kitab-kitab Injil yang tuan pegang. Dan kami orang Islam mempercayai bantu-membantu kedua Wahyu pembelaan kesucian itu sama datangnya dari ilahi dan kami percayai pula keduanya. Maka kalau saudara tidak percaya Wahyu yang diturunkan untuk membela Aisyah, haruslah saudara tidak percaya pula akan Wahyu yang mempertahankan Maryam ibu Isa."

Dalam permulaan ayat sudah ditegaskan bahwa ini adalah ijki, warta bohong, khabar bohong dan dusta yang dibentuk-buat. Dengan permulaan ayat ini saja, warta yang ditunggu kesucian Aisyah telah terang sehingga orang tidak usah menunggu lebih lama lagi. Dan telah diisyaratkan di sini sebenarnya warta bohong ini bukan datang dari orang luar, tetapi dari golongan sendiri "orang dalam". Ada karena dengan maksud tertentu dan ada lantaran ke­bodohannya. alasannya yaitu khabar warta ifki yang sengaja disebarkan untuk menciptakan kekacauan fikiran, cepat benar merata, laksana api makan lalang. Kadang­kadang orang yang jujur dapat terjebak ke dalam pemfitnahan itu lantaran pengaruh "bisik-desus" sehingga tidak dapat menimbang. Dalam ayat ini diberikan tuhan pedoman agar orang yang beriman berfikir hening.

Dipandang sepintas kemudian amatlah jeleknya hal ini, tetapi kalau direnungkan lebih men­dalam, ada pula hikmat tertinggi yang membawa kebaikan. Siti Aisyah memang dihormati selama ini, karena suaminya Rasulullah dan ayahnya pem­bantu utama Rasulullah. Tetapi meskipun Nabi dan ayahnya orang-orang yang utama, belum jelas apakah dia orang yang mempunyai peribadi sendiri pula yang menyebabkan dia utama lantaran keutamaannya sendiri. Berapa banyak orang "turut besar" karena ayahnya orang besar atau suaminya orang besar, padahal dirinya sendiri tidak ada harga apa-apa. Dengan 15 ayat pembelaan yang diturunkan ilahi kepada Rasulullah membela Aisyah, teranglah bahwa Aisyah besar bukan lantaran suaminya Nabi dan ayahnya ummat Nabi yang utama saja, dia sendiri pun besar.

Orang-orang yang terbawa-bawa oleh gelombang fitnah, sebagai Hasan bin Tsabit dan Misthah mendapat sanksi berdasarkan undang-undang yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu didera 80 kali. Apa boleh buat, aturan mesti berjalan, walaupun Hasan dikenal seorang pujangga, bergelar "Penyair Nabi" yang di ketika-saat penting ketika menghadapi musuh, atau menyambut utusan telah mempergunakan keahliannya bersyair, Dan selepas beroleh hukuman itu kedudukannya dalam masyarakat Islam diperbaiki kembali. Pe­kerjaan-pekerjaan penting diserahkan kepadanya. Bahkan setelah Rasulullah wafat, Hasan duduk dalam panitia pengumpul al-Quran.

Di dalam ayat ini disebutkan bahwa yang Kaprikornus pemegang peranan besar dalam penyebaran berita bohong itu, atau "biang keladi"nya akan diberikan hukuman yang berat pula. Orang itu ialah Abdullah bin Ubay. Tetapi dalam kenyataan Abdullah bin Ubay tidak dihukum, tidak dirajam. Mengapa demikian?

Kalau orang fikirkan betapa kompak teguhnya masyarakat Islam ketika itu, akan maklumlah orang bahwa tidak dirajamnya Abdullah bin Ubay ialah sanksi yang amat berat baginya. Dia dipandang sebagai "orang lain", dia tidak dipercaya lagi, dia tidak dibawa sehilir semudik lagi, sehingga lantaran dia tidak dieksekusi, padahal Rasulullah mempunyai cukup wibawa buat menghukumnya, yaitu satu pukulan batin yang amat besar baginya.

Hanya orang Mu'min yang mengenal rahasia ini.
( 12 ) Mengapa setelah mendengar warta-berita bohong itu orang­orang yang beriman, baik laki laki ataupun perempuan, tidak meletakkan sangka yang baik terhadap dirinya, mengapa tidak mereka katakan bahwa berita itu adalah bohong belaka?


"Alangkah baiknya setelah mendengar berita itu, berbaik sangka pria yang beriman, dan perempuan yang beriman kepada diri mereka, dan mereka langsung berkota: "Ini adaloh bohong yang songat positif." (ayat 12).
Dalam ayat ini diberikan tuntunan hidup bagi orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan biar mereka berbaik sangka kepada saudaranya Mu'min. Bahkan hendaklah orang-orang yang beriman itu memandang saudaranya sebagai dirinya sendiri. buruk sangka kepada sesama Islam, apalagi sesama mu'min mustahil kejadian dalam masyarakat Islam. Baik sangka yaitu salah satu akhir daripada doktrin. Dan teman harus dipandang sebagai diri sendiri.

Mengapa sampai dikatakan bahwa saudaramu itu yaitu dirimu? Tafsir ini kalau dimasukkan dalam rangka Ilmu Jiwa ialah dalam sekali. kalau terdengar tuduhan jelek kepada seseorang, terutama seseorang sebagai Siti Aisyah itu, hanya orang yang tidak beriman saja yang akan timbul goncang hatinya lantaran pengaruh khabar itu. Adapun orang yang beriman tidak segera menerimanya, spontan serta-merta dia akari menolak. Dikaji terlebih dahulu peribadi Aisyah sendiri, perempuan muda yang selama ini jujur belum cacat namanya, ghafilat dan muhshanat, bersuami seorang insan besar, Muhammad s.a.w. dan anak seorang pejuang Islam yang besar, abu Bakar, yang sejak Islam dipancangkan di muka bumi ini, dialah orang pertama yang tegak berdiri di samping Nabi.

Ibu Aisyah sendiri pun tidak ada terkenal cacat namanya semenjak zaman jahiliyah hingga ke zaman Islam. Orang mungkin dapat berbuat dosa kecil (shagaair) karena insan terjadi dari air dan tanah, tetapi orang yang beriman, akan sengaja berbuat dosa besar (kabaair), yaitu zina, maka jiwa seorang Mu'min serta-merta akan menolak berita itu. lantaran hal itu diukurnya dengan dirinya sendiri pula.

Bandingkanlah hal ini dengan tuduhan yang ditimpakan orang kepada Maryam Albatul, Ibu Nabi Isa `alaihis-salam. Tiba-tiba dia sudah beranak saja padahal dia masih dara, maka orang-orang yang melihat kenyataan itu, karena akidahnya masih mengakui kesucian Maryam berkata, sebagai yang diterangkan dewa dalam Surat Maryam ayat 28.
"Hai saudara perempuan . Harun, kami mengenal ayahmu tidaklah seorang jahat dan ibumu pun tidaklah seorang perempuan yang dikenal buruk."
Adakah engkau orang beriman? Kalau engkau jawab: "Ada!", maka tidak mungkin engkau berfikir lain. Engkau akan menjawab: "Khabar itu bohong."

Untuk menjadi perbandingan hendak kita kisahkan satu kisah yang ter­hadap pada penulis Tafsir ini sendiri. Pada tahun 1952 dia melawat ke Amerika selama 4 bulan. Di satu kota besar, kalau tak salah San Fransisco bertemulah seorang mitra lama yang sama datang dari Indonesia. mitra itu berkata sambil bergurau: "Sudah pernahkah saudara selama di Amerika pelesir dengan wanita Amerika?" Dia menjawab: "Belum pernah dan tidak pernah, Insya Allah!" mitra itu berkata lagi: "Ah bohong. Saya tidak percaya." lalu dia men­jawab: "Kalau saudara tidak mau percaya, apakah yang akan saya katakan lagi."

Niscaya kawan itu tidak juga akan percaya, selama dia masih mengukur orang lain dengan dirinya. Dan kalau dia menjadi seorang Mu'min, dia pun akan percaya balasan itu, alasannya adalah dia pun mengukur dengan dirinya.

Satu kisah lain pula. Seorang pemuda naik Haji ke Makkah, lalu pulang dan berjumpa pula dengan Penulis Tafsir ini. Dengan sedikit perilaku sombong dia berkata: "Sekarang saya sudah tahu, di Makkah pun ada perempuan lacur."
Lalu Penulis Tafsir ini menjawab: "Satu abnormalitas, Saudara naik Haji ke Makkah, di sana Saudara bertemu dengan perempuan lacur. Saya sudah ke negeri Belanda, ke Amerika, ke Australia dan ke Paris, namun saya tak bertemu perempuan lacur."

Orang yang tidak beriman percaya kepada berita yang pertama, dan orang yang beriman percaya kepada warta yang dibawakan oleh yang kedua itu. alasannya masing-masing orang mengukur orang lain dengan dirinya.
Oleh sebab itu maka salah satu prinsip pendirian Islam ialah:
"
Hendaklah berbaik sangka terhadap sesama Islam. "
( 13 ) Mengapa mereka menuduh tetapi tidak mengemukakan empat orang saksi; kalau mereka tidak mengemukakan saksi-saksi itu, mereka ialah pembohong belaka dalam pandangan Allah


Mengapa dalam hal ini mereka tidak mengemukakan empat orang saksi? Kalau mereka tidak mengemukakan saksi-saksi itu maka di sisi Allah yaitu mereka pembohong belaka." (ayat 13).
Di sini nampaklah bahwa dilarang murah-murah menjatuhkan tuduhan: Tuduhan yang tidak beralasan hanyalah membawa kekacauan dan fitnah. Mu'min sejati tidaklah sudi menjadi tukang fitnah.

Di sisi Allah ialah mereka pembohong belaka. Tetapi di sisi si munafik, bohong itulah yang mereka benarkan dan yang benar, itulah yang mereka bohongkan. sekarang engkau hendak menuruti pendirian Allah atau menuruti pendirian orang-orang munafik?
( 14 ) Kalau bukanlah kemurahan dewa Allah dan kasih rahmat­Nya kepada kamu di atas dunia ini dan di darul baka kelak, pasti kau akan ditimpa oleh azab yang amat besar karena berita yang kamu siarkan itu.



"Dan kalau tidaklah anugerah tuhan dan rahmatNya kepada kamu di dunia dan di alam baka niscaya azab siksa besarlah yang akan ditimpakan yang kuasa kepadamu karena penyebaran warta bohong itu." (ayat 14).
Dapatlah dirasakan sendiri di dalam zaman moden ini apa intisari ayat ini. Dalam satu masyarakat yang teratur, keamanan dan ketenteraman umum wajib dijaga. Dan di samping itu kehormatan Kepala Negara wajib pula dipelihara dan dibela. ialah suatu dosa besar, suatu perbuatan yang amat merusak apa­bila maruah Rasulullah, Nabi dan Rasul, satria dan Pemimpin, pembentuk Agama dan masyarakat Agama, diganggu ketenteramannya dengan menciptakan tuduhan demikian rendah terhadap kepada isterinya.

Adalah suatu perbuatan yang sangat rendah dan mengacau ketenteraman umum jikalau kehormatan diri seorang pejuang besar, abu Bakar, dijadikan permainan mulut dengan mem­perkatakan jelek bagi anak perempuannya yang dengan penuh rasa cinta dan hormat telah diserahkannya menjadi isteri Rasulullah. ialah suatu dosa besar menuduh buruk kepada perempuan suci, dan lebih besar lagi dosa itu jika di­hadapkan kepada isteri Nabi dan anak pejuang besar Islam. Tetapi kurnia ilahi masih ada, rahmatNya masih meliputi alam, alasannya adalah itu gres pengalaman pertama. Dan dengan Wahyu-wahyu yang demikian keras. dapatlah menjadi pengajaran buat seterusnya.

Bagi kita di zaman moden hal ini pun menjadi perbandingan pula. Kita menegakkan demokrasi , kebebasan menyatakan perasaan dan fikiran. Tetapi demokrasi yang menjamin keselamatan dunia adalah demokrasi yang timbul dari budi luhur. Hasad, dengki, benci dan dendam yang ada dalam batin yang kotor, mampu juga memakai alasan "demokrasi" untuk melepaskan hawanafsu bencinya menyinggung kehormatan seseorang. Maka penguasa pun berhak membungkem demokrasi yang diartikan dengan salah itu.
( 15 ) Ketika kau sambut berita itu dari lidah ke pengecap, kamu katakan dengan verbalmu masalah yang samasekali tidak kau ketahui; kau sangka bahwa cakap­cakap demikian perkara kecil saja, padahal dia yaitu masalah besar pada pandangan Allah


"Seketika kamu sambut berita itu dengan pengecapmu, don kau katakan dengan ekspresimu, perkara yang sebenamya tidak kau ke:ahui duduknya, dan kamu sangka bahwa itu kasus kecil, padahal di sisi Allah dia masalah besar." (ayat 15).
Ayat ini mengandung materi yang amat kaya untuk mengetahui apa yang dinamai "Ilmu Jiwa Masyarakat" atau "Mass Psychologie", Tukang propokasi berbagi khabar-khabar bohong, di zaman perang dahulu dinamai "Radio Dengkul". Tidak tentu dari mana pangkalnya dan apa ujungnya.

Disambut dengan lidah saja , sambut-menyambut , pengecap ke pengecap , dan diberi nafas buat "menceknya" kata orang kini. kadang kala timbullah kebingungan dan panik. Orang-orang yang hendak dirugikan dengan berbagi berita itu kadang-kadang tidak diberi kesempatan berfikir, sehingga dia sendiri pun adakala Makara ragu akan kebenaran pendiriannya. Orang-orang yang lemah jiwa, yang hidupnya tidak mempunyai pegangan praktis terjebak kepada propokasi yang dernikian.

Tetapi orang-orang yang masih sadar, lantaran teguh persandarannya kepada ilahi, hanya sebentar mampu dibingung­kan oleh berita itu. Di sini nampaklah kebesaran peribadi Aisyah. Dia yakin bahwa dia tidak salah. Demi seketika ayat turun membersihkannya dari tuduhan yang nista itu, ibunya menyuruhnya berdiri untuk mengucapkan terimakasih kepada Nabi, namun dia tidak berkocak. Dia berkata dengan tegas: "Tidak, anakanda tidak hendak bangkit mengucapkan terimakasih kepada Rasulullah, tetapi anakanda hendak mengatakan puji-puja eksklusif kepada Allah, sebab Allahlah yang membersihkan anakanda dari tuduhan."

Memanglah dia berhak mendapat julukan "Ummul Mu'minin", ibu dari sekalian orang yang percaya. Adapun si lemah yang tidak berpendirian, mampulah diombang-ambingkan oleh berita itu, menjadi keinginan yang amat jelek, bila bertemu satu sama lain, mempercakapkan keburukan orang lain. karena tabiat (instink) ingin tahu pada insan, ingin pula mengemukakan warta ganjil, sehingga menjadi "rahasia umum". Disangka kasus mudah, padahal kasus besar.

Sesudah itu maka di ayat berikut (ayat 16) sekali lagi ilahi memberikan pedoman hidup bagi orang beriman.
( 16 ) Alangkah baiknya ketika kamu mendengar berita itu kau kata­kan saja: Tidak sepatutnya kami membicarakan berita bohong ini. Amat Suci Engkau ya tuhan, berita ini adalah bohong besar belaka !
"Mengapa ketika kamu mendapat warta itu tidak kau katakan saja: "Tiada sepatutnya bagi kami akan turut memperkatakan hal itu. Amat Suci Engkau Tuhan, ini ialah suatu kebohongan besar." (ayat 16)
Tidak sepatutnya bagi kami, artinya bagi orang yang beriman terbawa rendong ke dalam kancah kerendahan budi. Hidup Muslimin memiliki pegangan teguh, mempunyai apa yang di zaman moden disebut "kode" dan "etik".

Orang yang heriman, lidahnya berbicara dengan penuh tanggungjawab. Dia mempunyai kepercayaan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati sanu­bari , semuanya akan bertanggungjawab di hadapan dewa. Semua perbuatan dan perkataannya tercatat oleh kedua Malaikat, Raqib dan 'Atid.

Memang berat menegakkan budi dalam dunia ini dan berat beban menjadi orang Islam. Pagar budi, membatasi kita jangan berlaku curang dalam hidup. Jika si munafik, tidak ada yang mengontrolnya buat membikin hasutan dan fitnahan, namun kita dijaga dan dipelihara oleh ayat-ayat dewa supaya jangan berbuat begitu.

Abraham Lincoln, meninggalkan pesan kata hikmat yang dalam: "Suatu kedustaan bisa laris dalam satu kurun untuk satu golongan. Tetapi satu ke­bohongan tidak bisa laris untuk segala masa dan untuk segala golongan." Kemudian itu tuhan bersabda:
(17)  Tuhan memberi pengajaran bagi kamu, supaya jangan meng­ulangi lagi perbuatan seperti itu buat selama-selamanya. Kalau betul kamu mengakui beriman.
"Tuhan memberi pengajaran bagi kau, supaya jangan mengulangi lagi perbuatan seperti itu buat selama-selamanya. Kalau betul kamu mengakui ber­iman. " (ayat 17).
Cukuplah hal yang sekali ini buat menjadi pengalaman bagi kau. Jangan­lah terulang lagi yang kedua kali dan yang seterusnya. lantaran perbuatan begini tidak mungkin timbul dari orang yang beriman, kalau tidak lantaran kolot clan tololnya. Orang yang beriman tidaklah akan telap oleh propokasi. Penyiar khabar nista mustahil orang yang beriman. Penyiar khabar dusta sudah pasti orang yang munafik atau bau hati, karena maksud yang tertentu, dan yang mampu menerimanya hanyalah orang yang goyang doktrinnya.

Kamu senantiasa wajib waspada, karena kesatuan dogmamu mustahil dirusakkan dari luar, tetapi hendak diruntuhkan dari dalam. Kaum munafikin tidak senang hati melihat gemilang jaya Nabi Muhammad dengan perjuangannya: Segala persekongkolan hendak menentang Nabi telah mereka coba. Semuanya gagal. Jalan satu-satunya buat melepaskan sakit hati ialah mengganggu perasaannya , menuduh isterinya berbuat serong. Sekarang ayat-ayat ini ialah Kurnia ilahi dan RahmatNya, Tutorial kasarnya ialah bahwa "Tuhan turun tangan" membersih­kan nama Aisyah.

Lalu ilahi bersabda selanjutnya:
( 18 ) Dan telah dijelaskan oleh dewa ayat-ayatNya kepada kau! Dan yang kuasa Allah adalah Maha Me­ngetahui dan Maha Bijaksana.
"Dan telah dijelaskan oleh ilahi ayat-ayatNya kepada kau! Dan dewa Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (ayat 18).
Tersimpullah sudah apa yang telah disabdakan yang kuasa di permulaan Wahyu, bahwa hal ini meskipun ditimbulkan "musuh dalam selimut" dengan maksud buruk, akibatnya yaitu baik. Nama Aisyah higienis, suci gemilang, yang bahkan Aisyah sendiri pun tadinya tidak menyangka akan mendapat kehormatan dari dewa sebesar itu, hingga dia berkata yang artinya: "Belumlah tarafnya hamba mendapat kehormatan setinggi itu."

Dan seterusnya pun Aisyah menjadi peribadi yang besar, sehingga di atas haribaannyalah beberapa tahun di belakang itu. Rasulullah s.a.w. meng­hembuskan nafasnya yang penghabisan, meninggalkan dunia yang fana ini. Di dalam bilik kediamannyalah Nabi dan kedua sahabat pembelanya, debu Bakar dan Urnar dikuburkan. Dan sebelum Urnar dikuburkan di bilik itu Aisyah yang masih tetap berdiam di bersahabat kubur suami dan ayahnya kerapkali dengan kutang sehelai saja di dalamnya, lantaran tidak ada orang lain.

Tetapi setelah Urnar bin Khathab luka ditikam orang, dan merasa dirinya akan mati, mengirim puteranya Abdullah bin Umar, kepada Aisyah memohon diizinkan berkubur di akrab kedua sahabatnya, di unjuran saja pun Jadi. Sampai ia berpesan kepada Abdullah bin Umar: "Jika Aisyah izinkan, senanglah hatiku berkubur di sana, di dekat kedua orang kekasihku. Tetapi jika dia tidak berkenan, hantar­kan aku ke Padang Baqi'."

Aisyah memberi izin.

Dan setelah Umar berkubur di sana, sampai Aisyah meninggal pula 65 tahun kemudian, didindingnya baik-baik di antara pusara itu dengan kursi tidumya, dan jika dia masuk ke pusara itu, dipakainya pakaian yang lengkap, ditutupnya rambutnya rapat-rapat.

0 Response to "Tafsir Surat An-Nur Ayat 11-18"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel