-->

Adab Terhadap Mayat (2)

بسم الله الرحمن الرحيم
orang yang mengikutinya hingga hari selesai zaman Adab Terhadap Jenazah (2)
Adab Terhadap Jenazah (2)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pembahasan wacana adat terhadap jenazah, semoga Allah menimbulkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Adab terhadap jenazah
6. Tidak meratap, menampar pipi, dan tidak merobek baju.
Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ»
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, merobek baju, dan menyeru dengan permintaan jahiliyah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Maksud menyeru dengan permintaan jahiliyyah ialah bahwa kebiasaan kaum Jahiliyyah saat salah seorang di antara mereka kalah dalam bertengkar, maka ia menyeru dengan bunyi yang tinggi kepada kaumnya, “Wahai kabilah fulan!” Maka kabilahnya pun segera membelanya baik yang dibela itu seorang yang zalim atau dizalimi.
7. Melaksanakan wasiat atau pesannya selama tidak mengandung maksiat, dan jikalau berupa harta, maka wasiat si mayit tidak boleh melebihi 1/3 hartanya.
Amr bin Ash radhiyallahu anhu berkata, “Jika saya mati, maka janganlah diiringi ratapan dan api. Jika kalian kuburkan aku, maka tuanglah tanah kepadaku, dan berdirilah di atas kuburku (untuk mendoakanku) dalam jangka waktu yang cukup dilakukan penyembelihan unta dan pembagian dagingnya semoga saya sanggup merasa nyaman dengan kalian dan sanggup mengetahui jawabanku kepada para utusan Tuhanku.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَالَ: جَاءَنِي رَسُوْلُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بي، فقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إنِّي قَدْ بَلَغَ بي مِنَ الوَجَعِ مَا تَرَى، وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلاَ يَرِثُني إِلاَّ ابْنَةٌ لِي، أَفأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: «لاَ» ، قُلْتُ: فالشَّطْرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَقَالَ: «لاَ» ، قُلْتُ: فالثُّلُثُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الثُّلُثُ والثُّلُثُ كَثيرٌ - أَوْ كَبِيْرٌ - إنَّكَ إِنْ تَذَرْ وَرَثَتَكَ أغنِيَاءَ خيرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يتكفَّفُونَ النَّاسَ، وَإنَّكَ لَنْ تُنفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجهَ اللهِ إلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ في فِيِّ امْرَأَتِكَ»
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku alasannya sakit parah yang kuderita, kemudian saya berkata, “Wahai Rasulullah, bahwasanya sakitku ini begitu parah ibarat yang engkau lihat, dan saya seorang yang mempunyai harta, namun tidak ada yang menjadi Ahli Warisku kecuali puteriku. Bolehkah saya beramal dengan dua pertiga hartaku?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” Aku berkata lagi, “Kalau begitu separuh saja?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” Aku berkata lagi, “Kalau begitu sepertiga wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Sepertiga saja. Sepertiga itu sudah banyak -atau besar-. Sesungguhnya engkau meninggalkan Ahli Warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia. Sesungguhnya engkau tidaklah mengeluarkan sebuah infak alasannya mengharapkan keridhaan Allah melainkan engkau akan diberi pahala kesudahannya hingga makanan yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
8. Mendoakannya.
Hendaknya sehabis mayit dikuburkan, kaum muslimin yang mengantarkannya mendoakannya dengan ikhlas, dan meminta kepada Allah semoga diberi keteguhan, diampuni, dan dirahmati-Nya.
Dari Utsman radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat selesai penguburan mayit berdiri di atasnya dan bersabda,
اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ, فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
“Mintalah ampunan kepada Allah untuk saudaramu dan keteguhan baginya, alasannya kini ia akan ditanya.” (Hr. Abu Dawud dan Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani)
9. Membuatkan makanan untuk keluarga si mayit
Dari Abdullah bin Ja’far ia berkata, “Saat hingga informasi wafatnya Ja’far, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«اصْنَعُوا لِأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ»
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, alasannya mereka sedang mendapat sesuatu yang menyibukkan mereka.” (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani)
10. Melunaskan utang si mayit
Jabir radhiyallahu anhu berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyalatkan mayit yang menanggung utang. Suatu saat ada mayit yang dihadirkan, kemudian Beliau bertanya, “Apakah ia punya utang?” Para sahabat menjawab, “Ya, ia punya utang 2 dinar.” Maka Beliau bersabda, “Shalatkanlah mitra kalian.” Abu Qatadah berkata, “Kedua dinar itu saya yang menanggungnya wahai Rasulullah.” Beliau pun menyalatkannya. Namun saat Allah telah menawarkan kemenangan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
«أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ»
 “Aku lebih berhak terhadap diri orang mukmin daripada dirinya. Barang siapa yang meninggalkan utang, maka itu tanggunganku, dan barang siapa yang meninggalkan harta, maka untuk para Ahli Warisnya.” (Hr. Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
11. Berta’ziyah (menghibur saudaranya  yang mendapat musibah)
Hendaknya seorang muslim menghibur orang yang mendapat musibah, mendorong mereka untuk bersabar dan ridha atas takdir Allah Azza wa Jalla. Ta’ziyah hukumnya sunah meskipun kepada kafir dzimmiy (yang tinggal di tengah pemerintahan Islam dengan membayar upeti). Ta’ziyah ditujukan kepada semua keluarga mayit dan kerabatnya, baik yang renta maupun yang muda, pria maupun wanita, hanyasaja para ulama mengecualikan untuk perempuan gadis yang menarik, maka hendaknya yang menta’ziyahnya ialah mahramnya.
Ta’ziyah sanggup dilakukan sebelum dimakamkan maupun setelahnya, batasnya hingga tiga hari setelahnya, kecuali jikalau orang yang dita’ziyahi sedang tidak ada, maka tidak mengapa setelahnya.
Lafaznya sanggup menggunakan lafaz apa saja yang sanggup meringankan musibahnya, tetapi jikalau mengikuti lafaz yang disebutkan dalam hadits tentu lebih utama.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma, bahwa puteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirimkan seseorang untuk memberitahukan kepada Beliau bahwa cucunya wafat, maka Beliau mengirimkan seseorang untuk memberikan salam dan mengatakan,
«إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلٌّ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى، فَلْتَصْبِرْ، وَلْتَحْتَسِبْ»
“Sesungguhnya milik Allah apa yang diambil-Nya, milik-Nya apa yang diberikan-Nya, semua telah ditetapkan ajalnya di sisi-Nya, maka bersabarlah dan haraplah pahala.”
Contoh-contoh kalimat Ta’ziyah
Para ulama berkata, “Jika seorang muslim menta’ziyah muslim lainnya, maka ucapannya,
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ وَغَفَرَ لِمَيِّتِكَ
“Semoga Allah membesarkan pahalamu, memperbagus dalam menghiburmu, dan mengampuni mayitmu.”
Jika ia menta’ziyah orang muslim alasannya kerabatnya yang kafir meninggal dunia, maka ucapannya,
أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ، وَأَحْسَنَ عَزَاءَكَ
“Semoga Allah membesarkan pahalamu dan memperbagus hiburan bagimu.”
Jika ia menta’ziyah orang kafir alasannya kerabatnya yang kafir meninggal dunia, maka ucapannya,
أَخْلَفَ اللهُ عَلَيْكَ
“Semoga Allah memberi ganti kepadamu.”
Adapun tanggapan seorang yang dita’ziyahi ialah dengan mengaminkan dan mengucapkan kepada orang yang menta’ziyahinya,
آجَرَكَ اللهُ
“Semoga Allah memberimu pahala.”
(Lihat Fiqhussunnah karya Syaikh Sayyid Sabiq wacana Ta’ziyah).
Menurut Imam Ahmad, orang yang berta’ziyah boleh berjabat tangan dan boleh tidak kepada orang yang dita’ziyahi. (Tentunya sesama jenis).
Dan jikalau seseorang melihat ada yang merobek-robek baju, maka hendaknya ia menta’ziyahinya dan menyabarkannya, dan jikalau ia sempat melarangnya, maka itu bagus.
Namun perlu diketahui, cara berta’ziyah yang benar ialah menghibur keluarga si mayit dan kerabatnya sehabis itu pulang tanpa perlu duduk-duduk lama. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku tidak suka ma’tam, yaitu berkumpul bersama meskipun tidak hingga menangis, alasannya hal itu memperbaharui kesedihan dan membebankan biaya yang timbul daripadanya.”
Imam Nawawi berkata, “Syafi’i dan kawan-kawannya yang semadzhab berkata, “Makruh duduk-duduk untuk berta’ziyah.”
Mereka mengatakan, bahwa maksud duduk-duduk di sini ialah berkumpulnya keluarga mayit di rumah semoga didatangi oleh orang yang berta’ziyah, bahkan sepatutnya mereka kembali mengurus kebutuhannya.
Selamatan Kematian
Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Adapun yang dilakukan sebagian insan pada hari ini ibarat berkumpul untuk ta’ziyah, membangun tenda, menghamparkan karpet, mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk tujuan berbangga-bangga ialah kasus yang gres dan bid’ah munkar yang wajib dijauhi kaum muslimin, dan haram melakukannya. Apalagi terjadi di dalamnya perbuatan-perbuatan yang menyelisihi petunjuk Kitabullah dan ajaran-ajaran As Sunnah, serta aktivitas itu berjalan mengikuti kebiasaan Jahiliyyah sambil menyanyikan Al Qur’an, demikian pula tidak memperhatikan adat saat membaca, tidak membisu menyimak, bahkan ada yang sibuk merokok atau lainnya. Bukan hanya itu, bahkan sebagian besar pengikut hawa nafsu melampaui batas tidak hanya pada hari-hari pertama, mereka adakan juga hari ke-40 untuk mengulangi lagi kemungkaran dan bid’ah-bid’ah tersebut. Mereka juga mengadakan peringatan setahun sehabis wafatnya, peringatan kedua, dan seterusnya yang sama sekali tidak sejalan dengan nalar dan dalil.” (Fiqhussunnah 1/564)
12. Menjauhi na’yu (pengumuman kematian) ala jahiliyyah
Dari Hudzaifah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang na’yu.” (Hr. Ahmad, Tirmidzi dan ia menghasankannya)
Tirmidzi menafsiran maksud na’yu dalam hadits tersebut, yaitu mengumumkan di tengah-tengah insan bahwa si fulan telah meninggal dunia semoga mereka menghadiri jenazahnya. Sebagian Ahli Ilmu berkata, “Tidak mengapa seseorang memberitahukan kabar kematian kepada kerabat dan saudara-saudaranya. Telah diriwayatkan dari Ibrahim (mungkin An Nakha’i) ia berkata, “Tidak mengapa seseorang memberitahukan kabar kematian kepada kerabatnya.”
Ada yang berpendapat, bahwa yang diharamkan ialah ibarat yang dilakukan kaum Jahilyyah, dimana mereka mengirimkan sesorang untuk memberitahukan kematian di pintu-pintu daerah pemukiman dan di pasar-pasar.”
Dalam An Nihayah disebutkan, “Yang masyhur di tengah-tengah bangsa Arab ialah saat ada di antara mereka seorang terhormat meninggal dunia atau terbunuh, maka mereka utus seorang dengan menaiki kendaraan ke suku-suku memberitahukan kabar kematian kepada mereka dengan mengatakan, “Kabar kematian si fulan,” atau mengatakan, “Wahai orang-orang Arab! Ada kabar kematian, yaitu telah meninggal si fulan,” atau mengatakan, “Orang-orang Arab telah binasa alasannya meninggal si fulan.”
Menurut Ash Shan’ani, termasuk pula (na’yu yang terlarang) memberitahukan kabar kematian di atas menara sebagaimana sudah masyhur di zaman-zaman kini saat ada orang-orang terhormat meninggal dunia.
Abu Bakar Al Jazairiy berkata, “Na’yu yang terlarang ialah yang dilakukan di jalan-jalan dan di pintu-pintu masjid dengan bunyi keras dan teriak-teriak. Hal ibarat ini tidak boleh secara syara.” (Minhajul Muslim hal. 209)
Ibnu A’rabiy berkata, “Dari hadits-hadits yang ada sanggup ditarik tiga kesimpulan, yaitu:
Pertama, pemberitahuan kepada keluarga, kawan, dan orang-orang saleh, maka ini sunnah.
Kedua, mengundang jamaah banyak untuk sama-sama berduka, maka ini makruh.
Ketiga, pemberitahuan dalam bentuk lain, ibarat dengan meratap atau semisalnya, maka ini haram.”
Pemberitahuan yang pertama ialah sunnah semoga mereka sanggup membantu mengurus jenazahnya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan kabar kematian As-hamah An Najasyi, Raja Habasyah kepada para sahabat untuk ikut menyalatkan dengan melakukan shalat ghaib.
13. Ihdad (Berkabung)  terhadap si mayit
Wanita diperbolehkan berkabung terhadap kerabatnya yang mati hingga tiga hari selama suaminya tidak melarang. Dan diharamkan lebih dari itu, kecuali jikalau yang meninggal ialah suaminya, maka ia wajib berkabung selama masa iddah, yaitu 4 bulan sepuluh hari. Hal ini menurut hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dari Ummu Athiyyah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تُحِدُّ الْمَرْأَةُ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ، فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلَا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا، إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ، وَلَا تَكْتَحِلُ، وَلَا تَمَسُّ طِيبًا إِلَّا أَدْنَى طُهْرَتِهَا إِذَا طَهُرَتْ مِنْ مَحِيضِهَا بِنُبْذَةٍ مِنْ قُسْطٍ، أَوْ أَظْفَارٍ» - قَالَ يَعْقُوبُ: - «مَكَانَ عَصْبٍ إِلَّا مَغْسُولًا» - وَزَادَ يَعْقُوبُ: - «وَلَا تَخْتَضِبُ»
“Wanita tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap kematian suaminya, maka ia berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Ia tidak mengenakan pakaian yang bercelup (berwarna), kecuali burdah Yaman (kain bergaris yang bertenun). Ia juga tidak bercelak, tidak menggunakan wewangian kecuali mendekati sucinya ketka suci dari haidnya, maka boleh menggunakan sedikit dari Qusth atau azhfar (dua jenis wewangian). –Ya’qub (seorang rawi) meriwayatkan dengan redaksi, “Kecuali telah dicuci” sebagai ganti kata “burdah Yaman.” Ya’qub juga menambahkan, “Demikian pula tidak menggunakan inai.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat, bahwa tidak boleh bagi perempuan yang berkabung mengenakan pakaian mu’ashfar (yang dicelup warna kuning) dan yang dicelup/diwarnai selain warna hitam, maka Imam Malik dan Syafi’i menawarkan dispensasi (warna hitam), alasannya pakaian itu tidak digunakan berhias, bahkan termasuk pakaian kesedihan.”
Berkabung artinya meninggalkan berhias, baik dengan pakaiannya, dengan celak, inai, maupun wewangian. Hal ini wajib bagi istri selama masa iddah sebagai bentuk setia terhadap suami dan memperhatikan haknya.
14. Mengambil pelajaran dari kematian seseorang
Seorang muslim hendaknya mengambil pelajaran dari kematian yang menimpa orang lain, dan bahwa dirinya juga akan merasakannya. Oleh alasannya itu, ia pun mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian dengan bekal takwa yang merupakan sebaik-baik bekal, alasannya perjalanan sehabis kematian begitu panjang, jikalau bekalnya sedikit, tentu ia akan menyesal.  Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, bahwasanya sebaik-baik bekal ialah takwa.” (Qs. Al Baqarah: 197)
Wallahu a’lam, wa shallahu alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Wajiz (Syaikh Abdul Azhim bin Badawi), Subulussalam (Imam Ash Shan’ani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jazairiy), Aunul Ma’bud (Muhammad Asyraf Al Azhim Abadi), http://islam.aljayyash.net  dll.

0 Response to "Adab Terhadap Mayat (2)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel