Fiqih Shalat Berjamaah (1)
بسم الله الرحمن الرحيم
Fiqih Shalat Berjamaah (1)
[Keutamaan dan Hukumnya]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan perihal shalat berjamaah, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Keutamaan Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah mempunyai banyak keutamaan, sehingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendorong umatnya melaksanakan shalat berjamaah dengan menyebutkan keutamaan-keutamaannya, di antaranya sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً»
1. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri dengan 27 derajat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ»
2. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalat berjamaah mengimbangi 25 kali shalat sendiri.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Sebagian ulama berpendapat, bahwa mungkin awalnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memberikan 25 derajat, kemudian memberikan 27 derajat alasannya yaitu embel-embel karunia Allah. Ada pula yang berpendapat, bahwa 27 derajat itu bagi mereka yang shalat berjamaah di masjid, sedangkan 25 derajat bagi mereka yang shalat berjamaah di selain masjid, dan ada pula yang berpendapat, bahwa 27 derajat itu bagi yang tinggalnya jauh dari masjid, sedangkan 25 derajat bagi yang tinggalnya bersahabat dengan masjid, wallahu a’lam (Lihat Subulussalam 1/358).
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ، فَصَلَّاهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ»
3. Dari Utsman bin Affan ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu untuk shalat, kemudian ia menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan untuk shalat fardhu, ia shalat bersama orang lain atau berjamaah, atau di masjid, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (Hr. Muslim, Nasa’i, dan Ahmad)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي الجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ، وَفِي سُوقِهِ، خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ: إِذَا تَوَضَّأَ، فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى المَسْجِدِ، لاَ يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلاَةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً، إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، فَإِذَا صَلَّى، لَمْ تَزَلِ المَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ، مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ "
4. Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalatnya seseorang dengan berjamaah dilipatgandakan 25 derajat daripada shalat yang dilakukannya di rumah dan di pasarnya. Hal itu, alasannya yaitu apabila ia berwudhu, kemudian berangkat ke masjid, tidak ada yang membuatnya keluar dari rumah selain untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah satu langkah melainkan akan diangkat derajatnya dan digugurkan dosanya. Jika ia shalat, maka para malaikat akan mendoakannya selama ia berada di daerah shalatnya sambil mengucapkan, “Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.” Dan seseorang berada dalam shalat selama menunggu tibanya waktu shalat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لاَسْتَبَقُوا إِلَيْهِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي العَتَمَةِ وَالصُّبْحِ، لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا»
5. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kalau sekiranya insan mengetahui keutamaan azan dan shaf pertama, kemudian untuk memperolehnya mereka harus melaksanakan undian, tentu mereka akan melakukannya. Kalau sekiranya mereka mengetahui tiba lebih awal untuk shalat, tentu mereka akan berlomba-lompa kepadanya, dan kalau sekiranya mereka mengetahui keutamaan shalat Isya dan shalat Subuh, tentu mereka akan mendatanginya meskpun sambil merangkak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَمْرَةَ، قَالَ: دَخَلَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ الْمَسْجِدَ بَعْدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ، فَقَعَدَ وَحْدَهُ، فَقَعَدْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ، يَا ابْنَ أَخِي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ»
6. Dari Abdurrahman bin Abi Amrah ia berkata, “Utsman bin Affan pernah masuk masjid sehabis shalat Maghrib, kemudian ia duduk sendiri, kemudian saya duduk mendekatinya, kemudian ia berkata, “Wahai putera saudaraku, saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang shalat Isya berjamaah, maka seolah-olah ia shalat selama separuh malam, dan barang siapa yang shalat Subuh berjamaah, maka seolah-olah ia shalat selama semalaman suntuk.” (Hr. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)
عَنْ بُرَيْدَةَ الأَسْلَمِيِّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَشِّرِ المَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى المَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ القِيَامَةِ»
7. Dari Buraidah Al Aslamiy, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Sampaikanlah kabar bangga kepada mereka yang berjalan di kegelapan menuju masjid dengan caaya yang tepat pada hari Kiamat.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani)
Shalat berjamaah juga bab penting agama Islam dan merupakan syiarnya. Jika masyarakat kota meninggalkannya, maka mereka akan diperangi, dan jikalau masyarakat yang di kampung meninggalkannya, maka mereka dipaksa melakukannya. (Lihat Al Mughni 2/176 dan Al Majmu 4/193).
Hukum Shalat Berjamaah Bagi Laki-Laki
Para ulama berbeda pendapat perihal aturan shalat berjamaah menjadi dua pendapat, yaitu:
Pendapat pertama, shalat berjamaah hukumnya tidak wajib ‘ain. Ini yaitu pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Syaf’i, namun mereka berbeda pendapat apakah sunnah, sunnah mu’akkadah (sangat ditekankan), ataukah fardhu kifayah? Di antara alasan mereka yaitu hadits Yazid bin Aswad perihal dongeng dua orang yang shalat di rumahnya, kemudian tiba ke masjid, kemudian keduanya tidak ikut shalat bersama yang hadir di masjid, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kau berdua lakukan, jikalau kalian sudah shalat di rumah, kemudian tiba ke masjid daerah shalat berjamaah, maka shalatlah bersama mereka, alasannya yaitu shalat itu menjadi sunah bagi kalian.” (Hr. Timidzi dan Nasa’i, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Namun ada yang berpendapat, bahwa hadits tersebut merupakan insiden yang jarang yang boleh jadi mereka berdua punya udzur sehingga shalat di rumah.
Pendapat kedua, shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain (bagi setiap laki-laki) kecuali ada udzur. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa. Pendapat inilah yang dipegang oleh Atha, Al Auza’i, dan Abu Tsaur, dan merupakan pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Hazm, serta menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berdalih dengan dalil-dalil berikut:
1. Firman Allah Ta’ala,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku'.” (Qs. Al Baqarah: 43)
Ruku bersama orang-orang yang ruku hanya tercapai jikalau kita melaksanakan shalat dengan berjamaah. Di samping itu, pada asalnya perintah itu memberikan wajib.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan shalat berjamaah dalam shalat khauf sebagaimana di surat An Nisa’ ayat 102. Jika dalam kondisi mengkhawatirkan (khauf) Allah tetap memerintahkan shalat berjamaah apalagi dalam kondisi kondusif dan tenang.
3. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ، أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا، أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ العِشَاءَ»
“Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, sungguh saya ingin memerintahkan disiapkan kayu bakar, kemudian kuperintahkan biar dikumandangkan azan dan saya perintahkan seseorang untuk menjadi imam, kemudian saya pergi mendatangi beberapa orang (yang tidak ikut shalat berjamaah), kemudian kubakar rumah mereka. Demi Allah yang jiwaku di Tangan-Nya, kalau sekiranya salah seorang di antara mereka akan memperoleh tulang berlapis daging yang tebal atau dua kaki kaki kambing yang enak, tentu ia akan hadir dalam shalat Isya.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan, bahwa kalau sekiranya shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengancam demikian, demikian pula jikalau shalat berjamaah itu fardhu kifayah, tentu sudah cukup dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
4. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ، فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ، فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى، دَعَاهُ، فَقَالَ: «هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَأَجِبْ»
Ada seorang yang buta tiba kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, bekerjsama saya tidak mempunyai penuntun yang menuntunku ke masjid,” dikala itu ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biar diberi rukhshah (keringanan) untuk shalat di rumah, maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memberinya rukhshah. Ketika orang itu berpaling, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda, “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (azan)?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Kalau begitu datangilah.” (Hr. Muslim dan Nasa’i).
5. Hadits Abu Darda radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
«مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ»
“Tidaklah tiga orang berada di sebuah kampung atau pedalaman, namun tidak ditegakkan shalat berjamaah di sana melainkan setan akan menguasai mereka. Maka kerjakanlah shalat berjamaah, alasannya yaitu srigala hanya makan kambing yang jauh (sendiri).” (Hr. Abu Dawud dan Nasa’i)
6. Pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Barang siapa yang ingin bertemu Allah nanti dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat-shalat ini di daerah dikumandangkannya. Karena Allah telah tetapkan untuk Nabi kalian jalan-jalan petunjuk, dan bekerjsama shalat berjamaah termasuk jalan-jalan petunjuk. Kalau sekiranya kalian shalat di rumah sebagaimana orang yang shalat di rumah ini tentu kalian telah meninggalkan Sunnah Nabi kalian. Jika kalian telah meninggalkan Sunnah Nabi kalian, tentu kalian akan tersesat. Padahal tidak ada seseorang yang berwudhu’ dan memperbagus wudhunya, kemudian ia pergi menuju salah satu masjid ini, kecuali Allah akan mencatat untuknya pada setiap langkahnya satu kebaikan, meninggikan derajatnya, serta menghapuskan dosanya. Sungguh, kami memperhatikan bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali orang munafik yang telah diketahui kemunafikannya, padahal ada seorang yang dituntun oleh dua orang (untuk shalat berjamaah) hingga ditegakkan dalam shaff.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu merngatakan, “Kami apabila kehilangan seseorang dalam shalat Isya dan Subuh (berjama’ah), maka kami berprasangka jelek terhadapnya.”
Di antara kedua pendapat di atas, pendapat yang penulis kuatkan yaitu pendapat kedua. Oleh alasannya yaitu itu, shalat berjamaah –menurut penulis- hukumnya wajib bagi setiap pria yang sudah baligh (dewasa) dan bisa melakukannya dikala ia mendengar panggilan azan. wallahu a’lam.
Hadirnya kaum perempuan dalam shalat berjamaah di masjid
Boleh bagi perempuan keluar ke masjid dan menghadiri shalat berjamaah, namun dengan syarat mereka tidak mengenakan sesuatu yang sanggup menjadikan syahwat dan fitnah (seperti bersolek, apalagi hingga membuka aurat), dan juga tidak mengenakan wewangan.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ»
“Janganlah kalian halangi istri-istri kalian tiba ke masjid, namun rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ
“Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba Allah yang perempuan ke masjid-masjid Allah, namun hendaknya mereka keluar dalam keadaan tidak menggunakan wewangian.” (Hr. Abu Dawud, dan dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا، فَلَا تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ
“Siapa saja perempuan yang menggunakan wewangian, maka janganlah mereka ikut shalat Isya bersama kami.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Akan tetapi yang terbaik bagi mereka yaitu shalat di rumah berdasarkan hadits yang telah disebutkan sebelumnya, dan berdasarkan hadits berikut,
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: " قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِي "، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ummu Humaid istri Abu Humaid As Sa’idiy, bahwa ia pernah tiba kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya bahagia shalat bersamamu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Aku tahu, bahwa engkau bahagia shalat bersamaku, namun shalatmu di ruang (dalam kamar) lebih baik bagimu daripada shalat di kamarmu. Shalatmu di kamar lebih baik daripada shalatmu di rumah. Shalatmu di rumah lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Shalatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu daripada shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid menyuruh biar dibangunkan untuknya masjid di bab dalam rumahnya dan paling gelap, sehingga ia shalat di sana hingga menghadap Allah Azza wa Jalla.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad).
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Shahih Fiqhis Sunnah (Abu Malik Kamal), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 Response to "Fiqih Shalat Berjamaah (1)"
Post a Comment