-->

Syarah Kitab Tauhid (27)

بسم الله الرحمن الرحيم
karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi  Syarah Kitab Tauhid (27)
Syarah Kitab Tauhid (27)
(Macam-Macam Sihir)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, semoga Allah mengakibatkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Imam Ahmad berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Hayyan bin Ala, telah menceritakan kepada kami Qathan bin Qabishah, dari ayahnya, bahwa ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعِيَافَةَ، وَالطَّرْقَ، وَالطِّيَرَةَ مِنَ الْجِبْتِ
“Sesungguhnya Iyafah, Tharq, dan Thiyarah termasuk Jibt.”
Auf berkata, “Iyafah yakni meramal nasib dengan burung. Tharq yakni meramal nasib dengan menciptakan garis di atas tanah, sedangkan Jibt sebagaimana yang dikatakan Al Hasan yakni bunyi setan.” (Hadits tersebut isnadnya jayyid.  Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya juga meriwayatkan hadits tersebut tanpa menyebutkan tafsirannya).
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ahmad (3/477), (5/60), Abu Dawud (3907), Nasa’i dalam Al Kubra sebagaimana diterangkan dalam Tuhaftul Asyraf (8/275), Ibnu Hibban (1426-Mawarid), dan didhaifkan oleh Al Albani dalam Takhrij Riyadhush Shalihin (1668), demikian pula didhaifkan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah (15915 dan 20603). Hal itu alasannya yakni majhulnya Hayyan dan tidak terang nasabnya. Ada yang mengatakan, bahwa ia yakni Hayyan Al ‘Ala, atau Hayyan Abul ‘Ala, atau Hayyan bin Umair, atau Hayyan bin Makhariq Abul ‘Ala, wallahu a’lam, sedangkan para perawi lainnya yakni tsiqah.
Setelah penyusun (Syaikh Muhammad At Tamimi) rahimahullah menyebutkan perihal sihir dan hukumnya, maka di sini dia menyebutkan sebagian misalnya alasannya yakni sering terjadi, namun masih samar keadaan yang tolong-menolong bagi insan sehingga mereka mengira sebagai karamah, dan hingga mereka menyembah para pelaku sihir sehingga terjatuh ke dalam syirik besar.
Maksud meramal nasib dengan burung yakni dengan namanya, suaranya, dan terbangnya ke mana.
Termasuk ke dalam suara setan adalah semua lagu atau musik.
Kesimpulan:
1.    Haramnya mengaku tahu yang gaib, dan bahwa hal itu menafikan tauhid.
2.    Haramnya meramal nasib dengan burung.
3.    Haramnya lagu, nyanyian, dan alat musik alasannya yakni termasuk bunyi setan dan sanggup melalaikan seseorang dari ketaatan, serta sanggup menghalangi insan dari jalan Allah Azza wa Jalla.
4.    Sihir termasuk syirik yang sanggup menafikan tauhid, alasannya yakni di dalamnya terdapat seruan pertolongan kepada setan serta bergantung kepada mereka.
**********
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ النُّجُومِ، اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ»
“Barang siapa yang mempelajari sebagian dari ilmu nujum, maka tolong-menolong ia telah mengambil salah satu cabang ilmu sihir, semakin bertambah ilmunya, maka semakin besar dosanya.” (Hr. Abu Dawud dengan isnad yang shahih)
**********
Penjelasan:
Hadits di atas dalam Sunan Abu Dawud di no. 3905, dan dihasankan oleh Al Albani.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan yang maksudnya yakni melarang dan memperingatkan, bahwa mempelajari sebagian ilmu nujum, sama saja telah mempelajari sebagian ilmu sihir. Setiap kali bertambah ilmu nujumnya, maka bertambah pula ilmu sihir, dan bertambah pula dosanya. Hal itu alasannya yakni ilmu nujum merupakan bentuk meramal ilmu gaib, dimana Ahli Nujum berusaha menyingkap bencana di masa mendatang, padahal hanya Allah yang mengetahuinya.
Hadits ini menunjukkan, bahwa ilmu nujum yakni satu ilmu sihir.
Kesimpulan:
1.      Haramnya ilmu nujum, yakni ilmu yang mempelajari perihal informasi di masa mendatang dengan bersandar kepada keadaan bintang. Hal ini haram, alasannya yakni sama saja mengaku tahu yang gaib.
2.      Ilmu nujum termasuk ilmu sihir yang sanggup menafikan tauhid.
3.      Semakin bertambah ilmu nujum seseseorang, maka semakin bertambah ilmu sihirnya, dan semakin bertambah pula dosanya.
**********
Dalam riwayat Nasa’i dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu disebutkan,
«مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً، ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ، وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ، وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ»
“Barang siapa yang menciptakan suatu buhul, kemudian meniupnya (sebagaimana yang dilakukan tukang sihir), maka sesungguhnya ia telah melaksanakan sihir. Barang siapa yang telah melaksanakan sihir, maka ia telah berbuat syirik, dan barang siapa yang bergantung kepada suatu benda (jimat), maka ia dijadikan Allah bersandar kepada benda tersebut.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas disebutkan dalam Sunan Nasa’i di no. 4079, namun didhaifkan oleh Al Albani rahimahullah. Di dalam sanadnya terdapat Abbad bin Maisarah seorang yang lunak haditsnya, sedangkan Al Hasan tidak mendengar dari Abu Hurairah.
Hadits di atas menandakan salah satu macam sihir sebagai peringatan agar tidak melakukannya. Hadits tersebut juga menerangkan, bahwa salah satu macam sihir yakni menciptakan buhulan dari benang kemudian meniup-niup dengan mengeluarkan ludah tipis sebagaimana yang dilakukan para pesihir semoga tercapai maksud mereka sambil meminta pertolongan kepada setan.
Kesimpulan:
1.      Salah satu teladan sihir yakni menciptakan buhulan kemudian meniup-niupnya.
2.      Sihir merupakan kemusyrikan alasannya yakni meminta pertolongan kepada setan.
3.      Barang siapa yang bergantung kepada selain Allah, maka dia akan ditelantarkan dan dihinakan.
**********
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَلَا أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ؟ هِيَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ»
“Maukah kalian saya beritahukan perihal ‘adh? Ia yakni perbuatan mengadu domba, yaitu banyak membicarakan keburukan dan menghasut di antara manusia.” (Hr. Muslim)
**********
Penjelasan:
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam memperingatkan umatnya semoga tidak mengadu domba, dan bahwa hal tersebut bab dari sihir alasannya yakni sama menyerupai sihir yang merusak kekerabatan insan dan memecah belah mereka.
Kesimpulan:
1.      Namimah (adu domba) merupakan salah satu bentuk sihir, alasannya yakni menyerupai yang dilakukan para pesihir, yaitu merusak dan memecah belah kekerabatan manusia, tetapi tidak menyerupai pesihir hukumnya (tidak kafir dan tidak mendapat had yang sama menyerupai pesihir).
2.      Haramnya namimah, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
3.      Pengajaran dengan metode tanya-jawab, dan bahwa hal itu sanggup lebih masuk ke dalam hati manusia dan lebih diterima.
**********
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنَ البَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya di antara susunan kata yang indah itu terdapat sihir.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas dalam Shahih Bukhari no. 5146 dan Muslim no. 869.
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menandakan salah satu macam sihir, yaitu penggunaan sastra yang indah sehingga menciptakan hati terpedaya dan indera pendengaran serius menyimak. Penggunaan sastra yang indah menjadi tercela dikala dipakai untuk menghias kebatilan atau mencampuradukkan yang benar dengan yang batil sehingga kebenaran menjadi samar.
Kesimpulan:
1.      Salah satu macam sihir yakni penggunaan sastra yang indah.
2.      Penggunaan sastra yang indah yang menjadi salah satu macam sihir yakni dikala dipakai menghias kebatilan dan mengkritik kebenaran. Adapun bila dipakai untuk menghias kebenaran, menguatkannya, dan menyingkirkan kebatilan, maka hal ini terpuji.
Bersambung...
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Fathul Majid (Abdurrahman bin Hasan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Tahdzibu Kamal (Yusuf bin Abdurrahman Al Mizziy), dll.

0 Response to "Syarah Kitab Tauhid (27)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel