-->

Guru Bangil Muhammad Sjarwani Abdan


Guru Bangil yang bernama lengkap H. Muhammad Sjarwani Abdan bin H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf bin H. Muhammad Shalih Siam bin H. Ahmad bin H. Muhammad Thahir bin H. Syamsuddin bin Sa’idah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di Kampung Melayu Ilir Martapura. Tidak diketahui secara pasti kapan tanggal kelahiran beliau, dari beberapa catatan yang ada hanya dituliskan tahun kelahiran ia, yakni pada tahun 1915 M/1334 H. Menurut silsilahnya, Guru Bangil merupakan zuriat ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari istri Al-Banjari yang kedua, yang bernama Tuan Bidur. Moyang Guru Bangil yang berjulukan Sa’idah yaitu anak dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Tuan Bidur. Sa’idah memiliki saudara tiga orang, yakni ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. abu Su’ud, ‘Alimul ‘Allamah Qadhi H. bubuk Na’im, dan ‘Alimul ‘Allamah Khalifah H. Syahabuddin.


Guru Bangil terlahir dari keluarga yang agamis dan dikenal luas oleh masyarakat Martapura sebagai ‘keluarga alim’. Ayahnya bernama H. Muhammad Abdan bin H. Muhammad Yusuf, sedangkan ibunya bernama Hj. Mulik. Guru Bangil mempunyai 7 orang saudara kandung, nama-nama saudara Guru Bangil tersebut yaitu: H. Ali, Hj. Intan, Hj. Muntiara, Abd. Razak, Husaini, Acil, dan H. Ahmad Ayub
Selain mempunyai saudara sekandung yang berjumlah 7 orang, Guru Bangil juga mempunyai saudara seayah, di antaranya adalah Abd. Manan dan H.M. Hasan.

Pendidikan
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama yang dirasakan oleh Guru Bangil. Berdasarkan catatan H. abu Daudi dalam bukunya, “Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar”, sejak kecil Guru Bangil sudah dikenal sebagai seorang yang mempunyai himmah berpengaruh untuk berguru dan menuntut ilmu, terutama ilmu agama.[4] Beliau dikenal sebagai anak yang rajin dan tekun dalam belajar, sehingga disayangi dan disenangi oleh guru-guru dia. Terlebih-lebih beliau berasal dari dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis dan “Serambi Mekkah”, Martapura.[5] karena itu, di samping dididik dalam lingkungan dan oleh keluarga, Guru Bangil juga mendapat didikan dan mulai menyauk ilmu agama di Pesantren Darussalam Martapura[6] dan dari sejumlah ulama besar yang hidup pada waktu itu, antara lain kepada ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, ‘Alimul Fadhil Qadhi H.M. Thaha, dan ‘Alimul Fadhil H. Isma’il Khatib Dalam Pagar, Martapura. Beliau juga pernah berguru ilmu agama dengan Guru Mukhtar Khatib, di mana berdasarkan kisah yang berkembang, beliau belajar sambil mengayuh jukung (perahu). Setelah cukup banyak belajar ilmu agama di Martapura, Guru Bangil pada usia yang masih muda meninggalkan daerah asalnya Martapura menuju pulau Jawa dan bermukim di kota Bangil, dengan satu tujuan memperdalam ilmu agama Islam. Selama beberapa tahun di kota Bangil, beliau sempat belajar dan berguru pada ulama-ulama terkenal di kota Bangil dan Pasuruan antara lain K.H. Muhdor, K.H. debu Hasan, K.H. Bajuri dan K.H. Ahmad Jufri.

Pada sekitar usia 16 tahun Guru Bangil kemudian melanjutkan mencar ilmu ilmu agama ke Tanah Suci Mekkah. ia berangkat bahu-membahu dengan saudara sepupu ia ‘Alimul ‘Allamah H. Anang Sya’rani pintar[8] di bawah pengawasan paman beliau ‘Alimul ‘Allamah H. Kasyful Anwar bin H. Ismail, yang pada ketika itu juga sedang bermukim di Mekkah. Selama di Mekkah, Guru Bangil menuntut banyak sekali cabang ilmu agama dengan beberapa orang guru, di antaranya adalah kepada ‘Alimul ‘Allamah Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syekh Umar Hamdan, dan ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[9] Di samping itu, Guru Bangil juga belajar dan mengkaji ilmu kepada Syekh Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Muhammad Arabi, Syekh Hasan Massyath, Syekh Abdullah Bukhori, Syekh Saifullah Andagistani, Syekh Syafi’i Kedah, Syekh Sulaiman Ambon, dan Syekh Ahyat Bogori.[10] abu Nazla menambahkan bahwa selama di Mekkah, Guru Bangil dan Guru Anang Sya’rani berakal juga berguru kepada Syekh Bakri Syatha dan Syekh Muhammad Ali bin Husien al-Maliki.  Selama mukim di Mekkah banyak sekali cabang ilmu agama telah dikaji dan dipelajari oleh Guru Bangil. Banyak pula silsilah sanad, ilmu dan amal yang dia terima. Salah satu cabang ilmu yang menonjol yang dikuasai oleh Guru Bangil ialah ilmu tasawuf. Di bidang ilmu tasawuf ini, Guru Bangil telah mendapat ijazah tarekat Naqsabandiyah dari ‘Alimul ‘Allamah Syekh Umar Hamdan dan ijazah tarekat Sammaniyah dari ‘Alimul ‘Allamah H. Muhammad Ali bin Abdullah al-Banjari.[12] Ijazah tarekat Idrisiyah diterima dari ‘Alimul ‘Allamah Syafi”i bin Shalih al-Qadiri.

Guru Bangil dikenal sebagai murid utama dan khalifah dari guru besar bidang tasawuf, Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi untuk Tanah Jawa (Indonesia). Dari Syekh Sayyid Muhammad Amin Kutbi inilah Guru Bangil banyak belajar dan mengkaji ilmu, khususnya tasawuf.[14] Tidak mengherankan jikalau kemudian Guru Bangil menjadi seorang ulama yang wara, tawadhu’, dan khumul, hapal Alquran serta menghimpun antara syariat, tarekat, dan hakikat.
Guru Bangil juga merupakan salah seorang guru tasawuf dari ‘Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Sekumpul. Guru Bangil Tuan Guru H. Anang Sya’rani cendekia dikenal oleh gurunya sebagai murid yang tekun dan menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu agama. Guru-guru mereka sangat sayang karena melihat talenta dan kecerdasan mereka berdua”. demikian yang tergambar dalam Manaqib Guru Bangil berkenaan dengan semangat dan ketekunan dua saudara sepupu tersebut dalam dan selama menuntut ilmu. Bahkan, keadaan dan ketekunan mereka berdua selama menuntut ilmu di Mekkah juga diibaratkan, “Siang bercermin kitab dan malam bertongkat pensil”. Sehingga wajar jikalau kemudian dalam beberapa tahun saja mereka berdua mulai dikenal di Kota Mekkah dan mendapat julukan “Dua Mutiara dari Banjar”. Bahkan mereka berdua mendapat kepercayaan untuk mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram (Mekkah) atas bimbingan Syekh Sayid Muhammad Amin kutbi.

Guru Bangil di mata guru-gurunya memang dikenal sebagai seorang murid yang cerdas, namun beliau sendiri tidak mau menampakkan kecerdasan tersebut, beliau selalu sederhana dan bahkan merendahkan hati, sehingga banyak orang yang tidak tahu wacana ia. cerita ihwal kedatangan beliau di Bangil dan tidak mau membuka pengajian karena penghormatan terhadap ulama yang ada di sana merupakan bukti kuat bahwa beliau yaitu seorang yang tidak suka menyombongkan diri, sebaliknya bersikap hormat dan selalu rendah hati. Bahkan untuk menutupi ketinggian ilmunya setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Mekkah, selama tinggal di Bangil dia menutupi diri dengan menjadi pedagang. dia juga tidak merasa kecil hati untuk belajar dan menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di Kota Bangil dan Pasuruan.  Menurut dongeng salah seorang dari muridnya, dalam salah satu tausiyahnya (agar tidak sombong) Guru Bangil juga pernah berkata dan menyatakan bahwa dia bukanlah orang cerdas sebagaimana yang disangkakan orang, ia hanya rajin, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam berguru, menjaga etika berguru, hormat dengan guru dan tawakkal kepada Allah.

Guru Bangil yaitu seorang yang pandai menyembunyikan diri (tidak suka pamer, sombong, atau takabbur), walaupun memiliki ilmu agama yang luas.[21] Selama menuntut ilmu di Mekkah mendapat julukan “mutiara dari Banjar”, pernah mengajar di Masjidil Haram, namun ia tetap rendah hati dan sederhana, sehingga di awal-awal berdiamnya dia di Kota Bangil, banyak orang yang tidak mengetahui siapa ia sebenarnya, kecuali sesudah diberitahu oleh Kyai Hamid yang merupakan Kyai Sepuh di Kota Pasuruan.

Keluarga
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba aneka macam ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarganya yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Di Kota Bangil inilah, Guru Bangil dikawinkan dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ketika berusia lebih dari 30 tahun. Hj. Bintang masih terhitung dan memiliki relasi keluarga dengan dia, lantaran Hj. Bintang ialah anak paman dia, yang berarti saudara sepupu. Dari perkawinannya dengan Hj. Bintang binti H. Abd. Aziz ini, Guru Bangil mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya: K.H. Kasyful Anwar, Zarkoni, Abd. Basit, Malihah, dan Khalwani.
Setelah isteri dia yang pertama (Hj. Bintang) meninggal dunia, beliau kemudian kawin lagi dengan Hj. Gusti Maimunah dan dari perkawinannya dengan Hj. Gusti Maimunah ini ia mendapatlan beberapa orang anak lagi, di antaranya yaitu Hj. Imil, Noval, Didi, Yuyun, dan Mahdi. Isteri beliau yang ketiga yaitu Hj. Fauziah. Dari perkawinan dengan Hj. Fauziah ini, ia menerima beberapa orang anak pula, di antaranya ialah M. Rusydi, Abd. Haris, dan Busra. Menurut keterangan Ustadz H. Mulkani jumlah anak ia keseluruhan adalah 28 orang. H. Kasyful Anwar, anak Guru Bangil yang tertua ialah generasi penerus dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dan dakwah serta pengelolaan Pondok Pesantren Datu Kalampayan di Kota Bangil hingga sekarang ini. Di samping itu dia juga tercatat sebagai seorang dosen tetap pada Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Wafat
“Sesungguhnya dicabut ilmu itu oleh Allah Swt dengan kewafatan ulama”. Setelah sekian banyak mencetak kader ulama dan berkhidmat dalam dakwah, meningkatkan ilmu dan amal bagi murid-murid dan masyarakat luas, akhirnya pada malam Selasa jam 20.00 tanggal 11 September 1989 M bertepatan dengan 12 Shafar 1410 H, Guru Bangil wafat dalam usia lebih kurang 74 tahun. beliau kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga (vam) al-Haddad, berdekatan dengan makam Habib Muhammad bin Ja’far al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondok pesantren yang dia berdiri. Makam ia sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan. Guru Bangil banyak meninggalkan pola yang patut untuk diteladani, beliau meninggalkan kebaikan yang layak untuk dikenang, dan ia meninggalkan warisan publik yang patut untuk diikuti. Kehadiran ia di tengah masyarakat Banjar dan Bangil terasa sangat luar biasa. Untuk memperingati dan mengingat jasa-jasa ia, serta untuk mengikuti jejak dan usaha ia dalam mendakwahkan Islam, saban tahun, ialah setiap tanggal 12 Shafar diadakan haul Guru Bangil, yang selalu dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai, terutama jamaah dari Kalimantan serta murid-murid dia.

KIPRAH DAN PEMIKIRAN
Setelah lebih kurang 10 tahun mukim dan menimba banyak sekali ilmu agama di Mekkah, Guru Bangil kemudian kembali ke Martapura (Kampung Melayu Ilir) pada tahun 1941 serta mengabdikan ilmu yang telah didapat untuk masyarakat luas. Namun setelah kurang lebih berdiam selama 5 tahun di Martapura, Guru Bangil kemudian pindah ke Kota Bangil pada tahun 1946 menyusul keluarga yang telah terlebih dahulu berdiam di sana.
Sebelum dia bepergian ke Bangil (dalam tahun 1945/1946), beliau sempat mengajar di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar Martapura, namun pengabdian Guru Bangil di Madrasah Al-Istiqamah Dalam Pagar ini tidak usang, karena pada tahun 1946 dia kemudian pindah dan hijrah ke Bangil, menyusul keluarga yang telah usang berdiam di sana.
Setelah beberapa tahun berdiam di kota Bangil, Guru Bangil mulai mengajar dan mengabdikan ilmunya secara luas kepada masyarakat setelah mendapatkan restu dari Kyai Hamid Pasuruan yang merupakan ulama Sepuh pada waktu itu.[26] Di samping muthala’ah dan membuka pengajian, Guru Bangil juga mendirikan pondok pesantren untuk ‘kaji duduk’ ilmu-ilmu agama yang diberi nama Pondok Pesantren “Datuk Kalampayan” pada tahun 1970. Santri-santrinya kebanyakan berasal dari Kalimantan, terutama dari Kalimantan Selatan. 

Pondok Pesantren tersebut eksklusif ditangani sendiri oleh Guru Bangil. beliau juga aktif dan tanpa kenal lelah mengajarkan ilmu kepada para santri, sekalipun dalam keadaan sakit. Malam hari pun diisi dengan berbagai kegiatan amaliyah, halaqah, dan muthala’ah. Sehingga, banyak para santri beliau yang kemudian menjadi orang alim dan tersebar diberbagai kawasan, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan lain-lain untuk meneruskan usaha Islam. 
Di antara santri/murid-murid beliau tersebut adalah:
1. ’Alimul ‘Allamah Tuan Guru H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Martapura, Pendiri Majelis Taklim Ar-Raudhah Sekumpul.
2. K.H. Prof. Dr. Ahmad Sjarwani Zuhri, Pimpinan dan Pengasuh Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Balikpapan.
3. K.H. Muhammad Syukri Unus, Pimpinan Majelis Taklim Sabilal Anwar al-Mubarak, Martapura.
4. K.H. Zaini Tarsyid, Pengasuh Majelis Taklim Salafus Shaleh Tunggul Irang Seberang, Martapura (selain sebagai murid, K.H. Zaini Tarsyid juga merupakan anak menantu Guru Bangil).
5. K.H. Ibrahim bin K.H. Muhammad Aini (Guru Ayan), Rantau.
6. K.H. Ahmad Bakri (Guru Bakri), Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin, Gambut.
7. K.H. Asmuni (Guru Danau), Pengasuh Pondok Pesantren Darul kondusif, Danau Panggang, Amuntai.
8. K.H. Sayfi’i Luqman, Tulungagung (Jawa Timur).
9. K.H. Abrar Dahlan, Pimpinan Pondok Pesantren di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
10. K.H. Muhammad Safwan Zahri, Pimpinan Pondok Pesantren Sabilut Taqwa, Handil 6, Muara Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Waktu ia banyak dihabiskan untuk mengajar, muthala’ah, dan ibadah. Sewaktu berdiam di Martapura, sekembali dari Kota Mekkah al-Mukarramah, Guru Bangil pernah ditawari untuk menduduki jabatan Qadhi di Martapura, namun jabatan tersebut ia tolak. beliau lebih bahagia berkhidmat secara berdikari dalam dunia pendidikan, dakwah, dan syiar Islam, di mana, muthala’ah, halaqah dakwah, ta’lim (mengajar), dan menulis (menghimpun) risalah menjadi kegiatan rutin dia sehari-hari.
Dalam mengajar Guru Bangil biasanya tidak panjang lebar menjabarkan dan menjelaskan suatu permasalahan, ia hanya menyampaikan apa yang ada dalam kitab dan telah dibahas secara panjang lebar oleh ulama penulis kitab. Sehingga, ketika ada yang bertanya atau mengajukan suatu permasalahan, beliau menjawabnya tidak dengan pendapatnya sendiri, tetapi dia tunjukkan dan mengutip dari pendapat para ulama dengan menyebutkan kitab-kitabnya.

Guru Bangil juga aktif menulis banyak sekali risalah agama berupa pelajaran dan pedoman Praktis dalam memantapkan keyakinan dan amaliah beragama masyarakat. Satu di antara risalah ia yang sangat terkenal, dicetak, dan beredar secara luas di tengah-tengah masyarakat yaitu buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li andal al-Istiqamah. Risalah ini berisi pembahasan perihal kasus talqin, tahlil, dan tawassul. Guru Bangil tidak mau karya tulis beliau diperjual-belikan, itulah sebabnya beberapa risalah yang beliau himpun hanya ditulis dan beredar secara terbatas, lantaran tidak dicetak. Buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li Ahli al-Istiqamah yang tersebar secara luas itupun ia izinkan untuk dicetak atas amal jariyah seorang donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Menurut santri-santrinya, Guru Bangil yaitu sosok seorang guru yang bisa memahami dengan baik kemampuan, aksara dan bakat santri-santrinya. Sehingga mereka merasa dididik sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Di samping menguasai ilmu pengetahuan agama yang dalam, Guru Bangil juga mempunyai keahlian ilmu bela diri (silat). Keahlian dalam ilmu bela diri ini juga beliau ajarkan kepada santri-santrinya sebagai bekal bagi mereka untuk berdakwah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Salah seorang santri beliau yang mewarisi dengan baik ilmu bela diri ini adalah (alm.) Guru Masdar Balikpapan.

Sebagai seorang ulama, beliau mampu memberikan solusi dan sekaligus memecahkan masalah di masyarakat beliau. Hal ini terbukti ketika masyarakat hendak memperluas berdirian masjid di Kota Bangil yang tidak mencukupi lagi untuk menampung jamaah. Sementara, ada hambatan atau permasalahan yang menciptakan ulama-ulama dan tokoh masyarakat Bangil pada waktu itu galau mencari solusinya, karena areal tanah yang hendak dijadikan ekspansi masjid terdapat kuburan. Maka, masyarakat pun akhirnya mereka meminta pendapat dan pemikiran Guru Bangil berkenaan dengan kasus tersebut, apakah masjid bisa diperluas walaupun di atas tanah bekas kuburan atau bagaimana? Dengan berpedoman kepada pendapat para ulama terdahulu Guru Bangil membolehkan. Sehingga, berdasarkan pendapat Guru Bangil, masalah tersebut balasannya dapat terpecahkan, sehingga perluasan pembangunan masjid Bangil pun dapat diteruskan.[29]

Dalam perkara kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. ia pernah diberi hadiah mobil dan rumah mewah, tetapi semua itu ditolak dia. hingga meninggal dunia beliau tidak meninggalkan harta kepada anak cucu beliau. beliau sangat hati-hati dalam hal-hal keduniawian. Guru Bangil tidak mau ikut-ikutan atau terjun ke dunia politik. Itulah alasannya yaitunya beliau mau masuk dan menjadi anggota partai politik walaupun banyak yang mengajak. Guru Bangil pernah menjadi salah seorang Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) Kota Bangil, namun ketika NU telah menegaskan arah dan tujuan organisasinya untuk khittah (kembali) ke dasar organisasi ketika organisasi ini didirikan (pada tahun 1926) dan tidak lagi sebagai partai politik. Menurut Ustadz Subki, Guru Bangil alim dan menguasai secara mendalam 14 cabang ilmu (fan) dari ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu yang dia kuasai tersebut terutama bidang fikih, hadits, ilmu hadits, ulumul Qur’an, tafsir, dan tasawuf.[32]

Dalam usia muda (di bawah 40 tahun) Guru Bangil banyak menggeluti ilmu fikih, tetapi pada usia 40 tahun ke atas ia banyak bergelut di bidang tasawuf. Tasawuf yang banyak dia pelajari ialah tasawuf Al-Ghazali.[33]
Dalam bidang hadits, dia sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam mengatakan suatu hadits, ia sangat hati-hati dan penuh adab. dia tidak setuju kalau pidato di lapangan terbuka dengan membacakan atau memakai ayat Quran maupun hadits, padahal tidak tepat dengan konteksnya.[34]
Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman ia dalam bidang fikih ini diakui oleh Tuan Guru H. Anang Sya’rani terpelajar. Sehingga, ketika ada orang yang bertanya kasus fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani berilmu, ia menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya langsung kepada Guru Bangil. Guru Bangil pernah memperdalam fikih dengan Syekh Ahyat al-Bogori. Al-Dzakhirat al-Tsaminah li ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) ialah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling populer, karena pembahasan yang ada di dalamnya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dan telah dicetak serta diterbitkan secara berulang kali oleh penerbit. Buku ini tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Islam diberbagai daerah dan dicetak atas biaya dari para donator, sehingga dibagikan secara gratis kepada masyarakat luas. lantaran, Guru Bangil tidak mau karya beliau ini diperjual belikan. Buku ini juga pernah berhenti dicetak karena ada oknum yang memperjualbelikannya untuk mengambil laba pribadi.


Buku yang berjudul Al-Dzakhirat al-Tsaminah li jago al-Istiqamah ini ditulis oleh Guru Bangil atas undangan masyarakat Bangil lantaran adanya pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh muda pemikir agama yang kontradiktif dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu itu, dan sering menganggap mudah (remeh) urusan agama, sehingga mengakibatkan pertanyaan dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat di dalam goresan pena beliau yang tertera di cuilan epilog buku tersebut.
“Akhirnya tidak lupa penulis menasehatkan di sini agar angkatan-angkatan muda dari kalangan umat Islam di Indonesia ini dalam rangka menilai suatu perkara agama itu, jangan anggap simpel atau dipermudah, tapi hendaknya di-tanyakan pribadi kepada yang betul-betul mengetahui wacana urusan agama kalau sekiranya saudara tidak mengetahui. Dan selanjutnya penulis mengharapkan jangan hingga ada atau menimbulkan hina menghina sehingga membawa akhir yang tidak diinginkan”. Menurut Guru Bangil sangat disayangkan apabila ada sementara orang dari kalangan umat Islam sendiri di dalam rangka menilai sesuatu perkara agama dengan mudah dan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengharamkan atau menghalalkan ihwal sesuatu perkara tanpa ditinjau secara teliti dan menyeluruh tentang hakikat dari aliran-ajaran Islam itu sendiri. Sebagai acuan contohnya perihal pembacaan talqin dan doa untuk jenazah serta tawassul. berdasarkan ia, buku ini ditulis sekadar untuk menangkis serangan yang dilancarkan tokoh-tokoh muda pemikir agama yang secara sembrono menyampaikan fatwa-fatwa seolah-olah para alim ulama kita yang terdahulu telah menyampaikan jalan yang sesat kepada kita.

Tulisan ini sama sekali bukanlah hasil dari penafsiran sendiri tetapi hasil dari pemikiran ulama-ulama besar kita yang telah mengambil dasar-dasar menurut rel yang sebenarnya sesuai dengan fatwa Islam. Adapun yang dibahas dalam buku ini adalah ihwal kasus talqin, bacaan dan doa untuk jenazah serta pembahasan tentang tawassul.

1. Talqin
Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pembacaan talqin itu adalah bid’ah dhalalah.[38] Dalam menjawab masalah ini Guru Bangil di dalam buku ini menjelaskan bahwa ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari bubuk Umamah sampai kepada Nabi Muhammad Saw bahwa debu Umamah telah berkata:
“Apabila saya meninggal dunia, perbuatlah diriku sebagaimana Rasulullah telah memerintahkan kepada kami, biar kami mengerjakan terhadap orang-orang yang meninggal dunia di antara kami. Telah memerintahkan Rasulullah kepada kami, dia bersabda: ”Apabila meninggal dunia salah seorang dari saudara-saudaramu, maka setelah kau ratakan dengan tanah di atas kuburnya, maka hendaklah salah seorang di antara kau berdiri di atas kepala kuburnya, kemudian katakanlah: Ya fulan bin fulan hingga kesudahannya”.
Menurut dia, hadits tersebut memang dinyatakan sebagai hadits yang dha’if (lemah) lantaran di antara perawinya ada yang kurang dhabit, karena itu tidak mampu dijadikan hujjah (dalil). Akan tetapi karena ada yang menguatkannya (syahid), maka ia dapat dijadikan hujjah. Adapun atsar yang menguatkan (syahid) hadits tersebut antara lain, yaitu:
“Dari Rasyid bin Sa’din dan Dhamrah bin Habib dan hakim bin Umir, telah berkata mereka: apabila sudah diratakan tanah atas kubur mayit, dan berpalinglah (pulang sebagaian insan daripadanya. adalah mereka itu (sahabat-sahabatnya) suka, bahwa dikatakan bagi si jenazah di sisi kuburnya, ya Fulan, katakanlah: Laa ilaaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah, Rabbiyallah wa diinil Islam wa nabiyii Muhammad Saw. Kemudian dia berpaling (pulang)”. (diriwayatkan oleh Said bin Mansur).
Ketiga orang tersebut (Rasyid bin Sa’din, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair yaitu para tabi’in). Perkataan seolah-olah tersebut di atas tidak ada jalan untuk diijtihadi. Jadi hukum perkataan tabi’in tersebut adalah eksklusif dari Nabi Saw seakan-akan tertera dalam kaidah.
Syahid-syahid yang lain yang menguatkan hadits tersebut adalah yang diriwayatkan dari Amr bin Ash pada hadits yang panjang, di dalam hadits itu terdapat perkataan:
“Maka kalau kau selesai menanam saya dan menimbun tanah kuburku, kemudian berdiamlah kau di samping kuburku sekadar selama waktu disembelih onta dan dibagi-bagikan dagingnya[39], sehingga saya mendapat kesenangan dengan kau dan supaya saya mengetahui bagaimana menjawab utusan Tuhanku”. (Riwayat Muslim dalam Kitab Shahih Muslim).
Ada lagi hadits yang diriwayatkan oleh bubuk Daud dengan jalan yang Shahih:
“Adalah Nabi saw apabila simpulan menanam mayat, maka berdiam atasnya, kemudian dia bersabda: Mintakan ampun bagi saudaramu sekalian dan mohonkan kepada Allah akan ketabahan hati baginya lantaran ia kini akan ditanya”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan abu Dawud, telah pula memperkuat isi hadits mengenai talqin tersebut. Meskipun dalam hadits ini dimaksudkan yaitu doa, akan tetapi dengan isyaratnya memperlihatkan dan menyuruh supaya kita mengerjakan sesuatu yang mengakibatkan ketabahan bagi si jenazah lantaran pada waktu itu kehadiran kita betul-betul diperlukan.
Di dalam kitab Ruh, Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah berkata bahwa hadits talqin itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadi-kan manfaat bagi si mayat. Hal ini didukung pula oleh Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muhadzab.
Menurut Guru Bangil, talqin itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati, melainkan sekadar memberi ketenangan atau ketabahan di dalam kubur,[40] seolah-olah tersebut di dalam Alquran surah al-Dzariyat ayat 55:
Artinya: “Dan tetaplah memberi peringatan, lantaran sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”.
Dengan mengutip pendapat beberapa ulama yang menguraikan dan menjelaskan perkara talqin, maka berdasarkan Guru Bangil, talqin diperbolehkan dan bukanlah perbuatan bid’ah, lantaran mempunyai dalil yang kuat.
Senada dengan klarifikasi dan uraian Guru Bangil dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li hebat al-Istiqamah ini, klarifikasi yang panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang membolehkan serta menguatkan masalah talqin, bisa dibaca dalam buku 40 perkara Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[41]

2. Bacaan dan Doa untuk mayat
Masalah bacaan dan doa untuk mayat dibahas dalam goresan pena ia ini sebenarnya berpangkal pada pertanyaan: Apakah orang yang meninggal dunia mendapat manfaat dari amal orang yang masih hidup? Ada sementara pendapat yang menyatakan bahwa manfaat tersebut tidak akan diperoleh lagi oleh orang yang meninggal dunia dengan banyak sekali macam alasan. Dalam uraian ini Guru Bangil menunjukkan hal-hal yang justru sebaliknya.
Pertama-tama Guru Bangil mengemukakan sebuah hadits dari debu Utsman: “Bacalah surah Yasin atas orang yang meninggal dunia di antara kau”
Menurut beliau kedudukan hadits tersebut dhaif karena di antara perawinya ada yang kurang berpengaruh. Tetapi ada yang menguatkan hadits tersebut, di antaranya:
Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Syuabil kepercayaan, dari Ma’qil bin Yasar, bergotong-royong Nabi Saw bersabda: “Barang siapa membaca Yasin karena menuntut pahala atau ganjaran kepada Allah, pasti diampuni dosanya yang telah kemudian. Maka bacakanlah Yasin disisi orang yang meninggal dunia diantara kamu”.
Di dalam hadits-hadits lain juga disebutkan tentang bacaan ayat-ayat Quran di atas kubur, yaitu:
Dari debu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa masuk halaman kuburan dan membaca Fatihah, Qul huwallahu minggu dan Alhakumut Takatsur, kemudian ia berkata sesungguhnya saya Makarakan pahala yang kubaca dari kalam Engkau bagi ahli kubu dari kaum mu’minin dan mu’minat, maka niscaya mereka itu memintakan syafa’at kepada Allah baginya” (Dikeluarkan oleh Zanjani di dalam kitab Fawaid).
Dari Aisyah ra: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Telah datang kepadaku Jibril, ia berkata sesungguhnya Tuhanmu memerintahkanmu tiba ke kuburan Baqi supaya kamu memintakan ampun bagi mereka. kemudian berkata Aisyah ra, “Bagaimana saya berkata untuk mereka ya Rasulallah? Rasulullah bersabda: “Sebutlah: Assalamu ahla al-diyar. Dalam riwayat lain Assalamu alaikum ahla al-diyar minal mu-minin wa al-Muslimat wa inna insya Allah lalahikun asalullaha lana wa lakum al-afiyah”. (Riwayat Imam Muslim).
Dalam membahas perkara ini, Guru Bangil juga menambahkan beberapa keterangan yang dikemukakan oleh ulama muhadditsin dan fuqaha, di antaranya: Diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia berkata: “Apabila engkau masuk halaman kuburan maka bacalah ayat dingklik dan 3 kali surah al-Ikhlas. Kemudian ucapkanlah bahwa pahalanya bagi ahli kubur”. Demikian juga dari ulama yang lain seakan-akan, Imam Syaukani, Imam Za’farani, Imam Ramli, Syekh Muhammad Faleh, Imam al-Suyuti dan lain-lain yang menguatkan kasus bacaan dan doa untuk mayit ini.
Mengenai kasus sedekah untuk si mayat, baik dalam bentuk makanan maupun amal kebaikan tidak dihentikan oleh syariat Islam. Hal ini sudah ada sejak masa teman. Ini dikuatkan pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh abu Daud dari Ashim bin Kulaib yang menceritakan tentang Nabi Saw makan bersama sahabat-sahabatnya di rumah seorang wanita yang akhir hayat suaminya. Kemudian, di dalam hadits-hadits lain dinyatakan bahwa sedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia itu sampai kepadanya. Kaprikornus, dengan demikian menurut Guru Bangil selamatan yang dikerjakan untuk si jenazah itu dibolehkan dan sunnat hukumnya. Bahkan di dalam fatwa-fatwa mereka, ulama membolehkan seseorang yang akan meninggal dunia untuk berwasiat menyuruh andalnya semoga beramal untuknya setelah ia meninggal dunia.[42]

3. Tawassul
Tawassul ialah minta sesuatu kepada Allah Swt disertai dengan ucapan: dengan berkat fulan, dengan kebesaran fulan, dengan sesuatu amal, dengan sesuatu ayat, atau dengan berkat shalawat dan lain-lain.
Guru Bangil berpendapat bahwa Cara-cara yang demikian itu tidak ada larangan dalam agama Islam, lantaran berdasarkan dia setiap Muslim tetap berkeyakinan dan percaya bahwa semuanya itu, apa saja hanyalah merupakan sebab belaka dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, sedang yang berkuasa serta yang mengabulkan sesuatu hajat itu adalah Allah Swt, tidak ada yang lain kecuali Dia.
Adapun dalil yang digunakan beliau sebagaimana pendapat ulama yang membolehkan tawassul, antara lain:
Hadits yang memperlihatkan ihwal bertawassul dengan orang yang hidup. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir wa al-Ausath, juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim, dan mereka mensahkan hadits ini. Dari sahabat Annas bin Malik, ia berkata: “Ketika Fatimah binti As’ad ra (ibunda Saidina Ali) meninggal dunia, ia pernah memelihara Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Ampuni Ya Allah, ibuku Fatimah binti As’ad, dan luaskan atasnya tempat masuknya (kuburnya) dengan haq Nabi Engkau dan Nabi-nabi sebelum aku”.
Dalil tawassul yang terdapat sehabis Nabi wafat, tawassul kepada Nabi dan selain dari Nabi. Di dalam kitab Fath al-Bari disebutkan sebuah hadits:
“Telah meriwayatkan Ibnu Abdurrazak, dari hadits Ibn Abbas, bahwasanya Sayyidina Umar minta hujan di mushalla, maka Sayyidina Umar berkata pada Sayyidina Abbas: bangunlah dan mintakan Hujan. Di antara do’a Sayyidina Abbas …… telah menghadap kaum dengan saya kepada Engkau dikarenakan relasiku dengan nabi-Mu”.
Umar bin Khattab berkata pula: “Ya Allah sebetulnya kami telah tawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, maka Engkau turunkan hujan, dan kini kami tawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan itu.” (Hadits ini dirawikan oleh Imam Bukhari dan Baihaqi. Lihat Shahih Bukhari, Jilid I, h.128 dan Baihaqi, Sunan al-Kubra, Jilid II, h.352).
Adapun mengenai tawassul dengan Nabi ketika ia sudah wafat, Guru Bangil menyampaikan pola perkataan Sayyidina bubuk Bakar: “Dengan ayah dan ibuku adalah tebusan engkau hai Muhammad, hidup dan matimu adalah baik. Hai Muhammad, sebutlah kami di sisi Tuhanmu” (diriwayatkan oleh Imam Abiddunia di dalam kitab Addharra).

Dalil-dalil tawassul lainnya yang dikemukakan Guru Bangil yang menujukkan bahwa tabi’in, tabi’it tabi’in, imam-imam dan para ulama berwasilah juga, yaitu:
a. Bahwa waktu berkunjung ke Baghdad, Imam Syafi’i berziarah dan mendatangi kubur Imam bubuk Hanifah serta bertawassul kepadanya.
b. Tatkala Imam Syafi’i mendengar jago Maghribi yang bertawassul dengan Imam Malik, beliau tidak melarang bahkan beliau pun bertawassul dengan ahl al-bait.
c. Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul dengan Imam Syafi’i.
d. Imam Al-Ghazali pun bertawassul dengan nabi-nabi dan keluarganya, dan dengan fadhilah amal-amal, sebagaimana tersebut di dalam kitab Qashidah Munfarijah.
e. Ulama-ulama besar lainnya pun bertawassul, sebagaimana disebutkan di dalam banyak kitab.
Dengan dalil-dalil tersebut yang meliputi perbuatan-perbuatan Nabi, sahabat dan ulama-ulama cukuplah kiranya bagi umat Islam menurut Guru Bangil untuk tidak mencurigai dan tidak pula mengingkari akan bolehnya bertawassul dengan nabi-nabi, wali-wali dan para shalihin (orang-orang shaleh).[43]

Berbagai hal yang telah dijelaskan dan diuraikan oleh Guru Bangil berkenaan dengan tawassul dalam buku Al-Dzakhirat al-Tsaminah li hebat al-Istiqamah ini, tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diuraikan dalam buku 40 kasus Agama, karangan K.H. Siradjuddin Abbas.[44] Di mana dalam buku 40 kasus Agama tersebut, perkara tawassul dalam mendoa dikemukakan secara panjang lebar, dilengkapi dengan tanya-jawab, dan disertai pula dengan dalil-dalil yang menyatakan tatacara dan kebolehan seseorang untuk berdoa dengan Tutorial bertawassul.

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, Tuan Guru H. Muhammad Sjarwani Abdan yang dikenal luas oleh masyarakat Banjar dan Bangil khususnya sebagai seorang ulama yang memberikan sumbangsih besar terhadap pembangunan mental spiritual umat melalui keilmuan dan kiprah keagamaan selama beliau hidup. acara ia yang tidak jauh dari rutinitas ibadah, muthala’ah, halaqah, dakwah, ta’lim, dan menulis risalah bimbingan keagamaan untuk masyarakat serta mendirikan Pondok Pesantren Datuk Kalampayan di Bangil menyampaikan imbas yang signifikan terhadap kegiatan amal ibadahn dan keagamaan masyarakat.
Berkenaan dengan hadits, dia sangat hati-hati dalam menggunakan sebuah hadits sebagai dalil, dilihat dulu bagaimana keshahihan hadits tersebut. Begitu juga dalam mengatakan hadits, ia sangat hati-hati dan penuh sopan santun. Dalam bidang fikih Guru Bangil juga sangat alim. Kealiman beliau dalam bidang fikih ini diakui oleh ‘Alimul ;Allamah Tuan Guru H. Anang Sya’rani akil. Ketika ada orang yang bertanya kasus fikih kepada Tuan Guru H. Anang Sya’rani berilmu, maka ia menyuruh orang itu untuk menanyakannya kepada Guru Bangil. Dalam perkara kehidupan Guru Bangil dikenal sebagai seorang ulama yang sangat zuhud. Beliau pernah diberi hadiah mobil dan rumah glamor, tetapi semua itu ditolak dia. sampai meninggal dunia ia tidak mewariskan harta kepada anak cucu beliau.
Al- Dzakhirat al-Tsaminah li ahli al-Istiqamah (Simpanan Berharga, Masalah Talqin, tahlil dan Tawassul) ialah salah satu karya tulis Guru Bangil yang paling terkenal. Buku ini ditulis dia atas permintaan masyarakat Bangil lantaran adanya pernyataan-pernyataan para pemikir muda yang kontradiktif (berlawanan) dengan pemahaman keagamaan masyarakat pada waktu. menurut ia, talqin, bacaan, doa dan sedekah untuk jenazah serta tawassul diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan syariat Islam asalkan sesuai dengan kaedah yang dicontohkan oleh ulama.

0 Response to "Guru Bangil Muhammad Sjarwani Abdan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel