-->

Sepotong kalimat mampu menciptakan anda menyesal di akhirat kelak


Berhati-hatilah dalam membuat goresan pena/komentar/tanggapan lantaran sepotong kalimat dapat menyebabkan di hari kiamat nanti dahinya akan tertulis ungkapan: ”terputus (jauh) dari rahmat Allah.”
Jagalah lisan, dengan tidak mengucapakan kata-kata yang bersifat provokatif atau menghina salah satu belah pihak yang terlibat dalam peperangan.
Bukankah kita sudah tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah bersabda:
‘Barangsiapa yang ikut serta dalam pembunuhan seorang muslim, meskipun hanya dengan sepotong kalimat saja,
maka di hari kiamat nanti dahinya akan tertulis ungkapan: ”terputus (jauh) dari rahmat Allah.”


Jagalah tangan, tidak mengangkat senjata mengikuti salah satu pihak golongan muslim untuk melawan sesama muslim , karena darah, harta dan kehormatan seorang muslim haram hukumnya,
Jagalah hati, jangan sampai ada rasa senang dengan adanya pembombardiran, kemenangan salah satu pihak, dan sebagainya.
Apakah anda senang dengan pembunuhan seorang muslim kepada sesama muslim lainnya..?


Tidak boleh bela-membela / gembira atas kemenangan salah satu pihak alasannya semua itu adalah sebuah fitnah
Diriwayatkan hadits dari abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum tepat keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota badan yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut mencicipi sakitnya).” (HR Bukhari 5552) (HR Muslim 4685)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim yaitu kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Orang yang fasik yaitu orang yang secara sadar melanggar larangan Rasulullah atau larangan agama sebagaimana firmanNya yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sehabis perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al Baqarah [2]:27)

Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka ialah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada yang kuasa (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta pertanggung balasan) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)

bila dua orang muslim saling bertemu (untuk berkelahi) dengan menghunus pedang masing-masing, maka yang terbunuh dan membunuh masuk neraka. aku pun bertanya: Wahai Rasulullah, ini bagi yang membunuh, tapi bagaimana dengan yang terbunuh? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Dia juga sebelumnya sangat ingin untuk membunuh temannya.(HR Bukhari 30)
Pepatah orang bau tanah kita dahulu menyatakan: “Menang Kaprikornus arang, kalah Kaprikornus bubuk”. artinya mereka sama-sama dalam kerugian.

Orang-orang yang bertindak radikal
seperti orang-orang dari Al Qaeda, ISIS, para pelopor konflik Afghanistan, Suriah, Somalia, Libya, Mesir, Yaman dan lain lain pada kenyataannya orang-orang yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam goresan pena pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/…/28/wahabi-vs-syiah/
 
bahwa pada kenyataannya bahwa akibat perseteruan firqah Syiah dan firqah Wahabi yang kena getahnya adalah mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’dzom) yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat Hal ini lah yang kita bisa saksikan di Suriah, Libya, Irak dan bahkan sekarang di Yaman
Semua Ulama (Habaib) Ahlussunnah Tarim Hadhramaut terlepas dari kedua belah pihak dan mengecam perang Yaman
Berikut adalah kalam nasehat al-Habib bubukbakar al-Adni bin Ali al-Masyhur terkait konflik perang Yaman;

***** awal kutipan *****
”Bismillah…

Untuk saudaraku dan orang yang saya cintai, janganlah kau tertipu dengan rasa simpati, dan jangan biarkan dirimu terseret oleh angin puting-beliung fitnah.
Apa yang sedang terjadi sekarang ini yaitu sebuah fitnah yang konkret, bala’, ujian dan cobaan.
Semua itu tidak akan bisa diakhiri hanya dengan menembakan satu atau dua rudal saja.
Apa yang sedang terjadi yaitu sebuah peperangan antara sesama muslim, manfaatanya hanya kembali kepada Amerika, Rusia, orang-orang kafir dan para Iblis laknatulloh, mereka itulah musuh yg sebenarnya.
Adapun permusuhan antara Iran dan negara-negara teluk atau yang mereka namakan dengan perang antara Syiah dan Sunni itu hanyalah sekedar permainan dan sandiwara belaka guna menghipnotis kebijaksanaan dan fikiran orang Arab dan kaum muslim pada umumnya.
Yang harus dilakukan bagi seorang mukmin, dia harus pandai membaca situasi dan kondisi, menjaga lisannya dari mencela, menjaga tangannya dari pertumpahan darah, meminta petunjuk, dan meminta aba-aba dari ulama dan orang-orang yang hebat dalam bidangnya yang mempunyai kepercayaan yang benar, pasti mereka akan mengambarkan jalan yang lurus, dan janganlah kita terlibat dengan peperangan sesama muslim, dan sebagainya.
Seandainya mereka mengetahui kebaikan yang sebenarnya bagi orang-orang Arab, maka mereka akan bergabung menyerang Israel, tetapi mereka hanyalah bagaikan sebuah kotak yang terbungkus dengan sebuah label yang berbeda, satu terbungkus dengan label sunnah yang palsu (salafi), dan satunya dibungkus dengan label syiah bertopeng agama.
***** balasan kutipan *****

Dalam sebuah video sebagaimana yang termuat pada http://www.facebook.com/video.php?v=911970698824807 , Habib Umar bin Hafidz mengatakan,
***** awal kutipan *****
Hari ini ada dua golongan bertengkar dan saling bunuh membunuh sambil sama-sama mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar)

Demi Allah, tidak ada di antara mereka yang benar-benar membesarkan Allah
Barangsiapa yang mengerti dengan ucapan Allah Akbar pasti dapat menahan diri
Mereka bukan membesarkan Allah. Mereka membesarkan kecerdikan pikiran mereka sendiri. Mereka membesarkan ideologi mereka sendiri. Mereka membesarkan dunia ini.
***** akibat kutipan *****

Sifat Atsarah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan saya demi Allah, sungguh telah melihat telagaku kini, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi. Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang justru saya khawatirkan atas kalian ialah kalian bersaing terhadap kekayaan-kekayaan bumi.” (HR Bukhari 5946)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kau terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akibatnya kalian musnah seolah-olah kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Anshar, “sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap atsarah (sikap egoism, individualisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompok). Maka bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku dan tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah telaga al-Haudl (di surga)” . (HR Bukhari 350)
Penyebab radikalisme yaitu orang-orang yang memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan Salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sehingga mereka sombong dan menganggap dirinya benar, suci dan termasuk kekasih Allah (wali Allah), sedangkan sebaliknya mereka menganggap orang-orang yang tidak sepemahaman dengan mereka adalah salah, kotor bahkan menuduhnya laknatullah. Iblis dan Yahudi dimurkai Allah lantaran mereka sombong.
Rasulullah telah memperingatkan akan bermunculan para penuduh karena sombong akibat mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits.

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Para penuduh lantaran sombong dapat membunuh orang kafir atau kaum muslim yang dituduh kafir karena kesalahpahaman mereka contohnya salah memahami atau menyalahgunakan firman Allah yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS Al Anfaal [8]:15)
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kau; dan fitnah” (QS Al Baqarah [2]:191)
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
Para penuduh karena sombong ini dapat membunuh umat Islam bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah

Rasulullah bersabda, “Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seakan-akan panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya saya masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seolah-olah musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
“Mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan Hadits dan berkesimpulan atau menuduh kaum muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) seolah-olah menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain aturan Allah, sehingga membunuhnya namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan para penyembah berhala yang sudah terperinci kemusyrikannya.
Penyembah berhala yang populer yaitu kaum Yahudi atau yang kini dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier ialah kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu yaitu kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102)

Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menyebabkan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai sahabat? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kau. Telah positif kebencian dari ekspresi mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jikalau kau memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kau beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran murka bercampur benci terhadap kau. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu lantaran kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)

Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Kristen ialah orang-orang yang sesat.’

Dari debu Musa al-Asy’ari , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , “Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal saya ini seseorangpun dari umat kini ini. Yahudi, dan tidak pula Katolik, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka. ” Buya Hamka menjelaskan makna hadits tersebut dalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) , Juz I hal 217-218 sebagai berikut,
“dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan pedoman Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan anutan yang belum final. Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul epilog itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Katolik sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri ia telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (muslim) kepada tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, pasti nerakalah tempat mereka kelak. alasannya yaitu iman mereka kepada Allah tidak tepat, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah.”

Umat Islam yang tinggal bersama non muslim dalam perkara sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Allah tiada melarang kau untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8 )

“dan saya diperintahkan supaya berlaku adil di antara kau. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kau. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kau, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)”. (QS.Asy-Syuraa [42] : 15)
Memahami Al Qur’an dan Hadits dengan kecerdikan pikiran sendiri
Penuduh karena sombong akibat mereka salah memahami Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan disebut khawarij. Khawarij yaitu bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Penuduh karena sombong atau khawarij pada masa khalifah Sayydina Ali bin Abi Thalib yaitu Abdurrahman ibn Muljam.
Abdurrahman ibn Muljam seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. lantaran bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas ajakan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash.
Namun, karena ilmunya yang dangkal, sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (ghazwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan menentukan bergabung dengan orang-orang Khawarij hingga akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.

Mereka melarang khalifah sayyidina Ali karamallahu wajhu berhukum dengan hukum buatan insan seperti perjanjian ( tahkim / arbitrase ) dengan Sahabat Muawiyah dan menuduhnya telah kafir lantaran dianggap berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain hukum Allah. Pada akhirnya mereka menganggap halal darah Sayyidina Ali karamallahu wajhu dan berujung hukuman pembunuhan Hal itu disebabkan mereka salah memahami firman Allah seolah-olah yang artinya “Karena itu janganlah kau takut kepada insan, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kau menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu ialah orang-orang yang kafir (QS Al Maidah [5]:44). Firman Allah pada (QS Al Maidah [5]:44) yaitu ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir.

Salah satu ciri khas dari penuduh lantaran sombong atau kaum khawarij , orang-orang yang membaca Al Qur’an tidak melampaui tenggorokannya (tidak mempegaruhi hatinya) karena salah paham sehingga berakhlak jelek ialah suka memakai ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim.

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka memakai ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]
Padahal dengan memperhatikan asbabun nuzul (riwayat turunnya ayat) dari (QS Al Maidah [5]:44) maka kita akan mengetahui maksud atau tujuan dari ayat itu sebenarnya.
Oleh lantarannya Sayyidina Ali karamallahu wajhu berkata “kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang salah) ketika menanggapi semboyan kaum khawarij pada waktu itu adalah “La hukma illah lillah”, tidak ada aturan melainkan hanya dari Allah.

Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan alasannya ialah turunnya ayat ini: “Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan wacana dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha…”

Imam abu Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah (wafat 671 H) berkata : “Adapun seorang muslim dia tidak dikafirkan walaupun melakukan dosa besar. Di sini ada yang tersembunyi, yaitu siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah subhanahu wata’ala turunkan yakni menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam maka dia kafir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid. Maka ayat ini umum dalam hal ini.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda janganlah memvonis kafir atau mengeluarkan dari Islam akibat perbuatan dosa apalagi hanya lantaran perbedaan pemahaman atau pendapat Dari Anas radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tiga hal merupakan pokok iman ; menahan diri dari orang yang menyatakan Tiada dewa kecuali Allah. Tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa ; Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku hingga balasan ummatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil ; dan meyakini kebenaran takdir”.(HR. Dawud) Makara yang dimaksud tidak berhukum dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ialah bagi orang yang menolak Al-Quran dan menentang ucapan Rasululullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah kaum non muslim. Kaum muslim boleh berhukum dengan aturan buatan manusia selama isi perjanjian tidak menyalahi laranganNya atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Kaum muslim yang tinggal di negeri kaum kuffar pun tidak dianggap berhukum dengan aturan thaghut selama mereka menjalankan peritahNya dan menjauhi laranganNya.

Tutorial untuk mengatasi para penuduh lantaran sombong dalam rangka menegakkan perdamaian di muka bumi adalah dengan dibuat majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia Majelis permusyawaratan ulama tingkat dunia inilah yang berkompetensi dan berhak untuk menentukan atau memutuskan sesuatu peperangan ialah jihad atau jahat sehingga mampu kita ketahui pula apakah matinya syahid atau mati sangit.Konflik-konflik yang terjadi di Afghanistan, Irak, Somalia, Libya, Mesir, Suriah, Yaman dan lain lainnya disebabkan para penuduh karena sombong yang ingin menegakkan syariat Islam berdasarkan kesalahpahaman mereka dalam memahami Al Qur’an dan Hadits maupun perkataan salaf lantaran bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahahfi) dengan budi pikiran mereka sendiri.

Ulama dan
Penguasa
Dalam sejarah negara kita, dahulu terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo. Dia mempunyai latar belakang pendidikan Barat bukan seorang santri dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar ihwal bahasa Arab dan agama Islam. Pemberontakan DI / III ini bukan hanya membahayakan kesatuan negara dan bahaya yang serius terhadap negara yang sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam di negara Republik Indonesia yang justru karena mengatasnamakan agama Islam. Apalagi lantaran Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia, maka kedudukan Presiden Sukarno mampu goyah di mata umat Islam. Hal itu mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu “mengundang para ulama dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus wacana kedudukan Presiden Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam).” Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh lantaran untuk kawasan-daerah tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya “Kepala Negara” selain Presiden Soekarno. contohnya S.M. Kartosuwiryo yang di daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam Indonesia. Juga oleh lantaran sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang eksklusif berkaitan dengan perkara—keagamaan seakan-akan wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain. Sedang dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari aturan Islam.

Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal tahun 1954). Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar Alim Ulama Se-Indonesia itu memutuskan memberi gelar kepada Presiden Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati, “pemerintah yang kini ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasarkan (QS An Nisaa [4]:59)
Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali mengenai istilah ini dalam komentarnya ihwal (QS An Nisaa [4]:59), Ulu-l-amr ialah orang-orang yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau penyelesaian urusan. Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima kekuasaan dari Dia. lantaran Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa akan melaksanakan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus menghormati dan mematuhi keluasaan itu; kalau tidak demikian tidak akan ada ketertiban dan kepatuhan.
Ketaatan umat Islam kepada ulil amri setempat adalah para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin

***** awal kutipan *****
Pasal 1

Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) insan.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di jalan yang kuasa, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akibat kutipan *****

Selengkapnya piagam Madinah pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/piagam-madinah.pdf
 
Penguasa negeri (umaro) memang seharusnya mentaati ulil amri bahwasanya adalah para fuqaha.
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS An Nisaa [4]:59)
Siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seolah-olah Sayyidina bubuk Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.

Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita mampukan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Oleh lantarannyalah penguasa negeri yang seharusnya mengakui ketidak sanggupannya dalam pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dalam memimpin negara seharusnya dibawah nasehat dan training para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) sehingga warga negara mentaati ulil amri yang sudah dibina dan dibimbing oleh para ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam)
Ulil Amri yaitu para Ulama
Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati yaitu para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai aturan-hukum Allah sehingga negara dapat membuat hukum buatan insan yang tidak bertentangan dengan aturan Allah atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an da As Sunnah.
Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar baru Algensindo , Ali ibnu bubuk Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri ialah jago fiqih dan andal agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan debul Aliyah, bahwa makna ulil amri ialah para ulama, Syarat-syarat atau kompentensi sehingga termasuk ulama yang menguasai fiqih (hukum-hukum dalam Islam) ialah sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami sebagai berikut,

***** awal kutipan *****
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, lantaran al-quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali aturan secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-masing mensugesti aturan-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam kasus-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata Tutorial menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi yang tidak mempunyai kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam perkara-masalah ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang mampu dipertanggungjawabkan kemampuannya.

Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan ialah empat imam mujtahid, yaitu:
– Imam bubuk Hanifah Nu’man bin Tsabit;
– Imam Malik bin Anas;
– Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
– Imam Ahmad bin Hanbal.

Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan andal istidlal) yaitu fatwa sesat dan menyesatkan yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya. (lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris ke-12).

Apabila si awam menerima fatwa orang yang mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan muqallid” dalam istilah ushuliyyin ialah spesialis istidlal (mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku hebat istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun orang yang mendapat pendapat orang lain wacana suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang akseptor itu bukan atau belum termasuk andal istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek kata arti ittiba’ yang bantu-membantu dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain
***** balasan kutipan *****

Oleh karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yaitu orang yang faqih untuk menciptakan fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.

Ulama besar Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram pada akhir kala ke-19 dan awal masa ke-20 ialah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. ia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Namun setelah awal kala ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di wilayah kerajaan dinasti Saudi boleh Kaprikornus mereka tergoda hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..

Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat
adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.

Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara belajar sendiri (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.
Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan dia. Sehingga, jikalau yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan eksklusif menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab dia. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan pribadi mengklaim, bahwa ini ialah mazhab Syafi’i.

Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya mampu dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang sanggup memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
Asy-Syeikh abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab ia, kalau engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, acuannya pada http://generasisalaf.wordpress.com/…/memahami-qoul-imam-sy…/
 
Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seolah-olah Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang sanggup mencapai tingkatan mujtahid mutlak
penjelasan wacana derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada 
http://almanar.wordpress.com/…/tingkatan-mufti-madzhab-as-s…
 
’i/
Komite merembuk Hijaz, Nahdlatul Ulama Salah satu contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani yaitu perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian.
Laurens Of Arabian adalah seorang orientalis sedunia, telah menciptakan kajian-kajian tentang puncak-puncak kekuatan umat Islam. Laurens Of Arabian telah diarahkan supaya mengusut ke dalam masyarakat Islam dengan menyamar sebagai ulama dan mendalami ilmu Islam di Mekah dan Mesir dan ia telah bertemu dengan ratusan ulama besar yang masyur, memperbincangkan ihwal Cara untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia seakan-akan kebiasaan barat serta ia mengembangkan faham semoga umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik kepada aliran mazhabiah. Laurens Of Arabian mengupah para ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis sebuah buku yang menyerang tharikat. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam aneka macam bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis. jadinya kerajaan dinasti Saudi setelah diambil alih oleh pemimpin yang bermazhab Wahabiah telah mengharamkan Tasawuf dan Tharikat.

Dr Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Makah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan pedoman Muhammad bin Abdul Wahhab atau fatwa Wahabi. Tindakannya itu sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian ditolak.
Ketika ada undangan dari Ibnu Sa’ud pada kalangan Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makah, pribadi mendapat reaksi dengan dibicarakan undangan tersebut di Kongres ke-4 Al-Islam di Yogyakarta (Agustus 1925) serta Kongres Ke-5 di Bandung (Februari 1926).
Kedua kongres itu didominasi golongan pembaru Islam yang membawa anutan pembaruan Islam dalam arti memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan kebijaksanaan pikiran sendiri

Pada kongres di Bandung, KH Abdul Wahab Hasbullah atas nama ulama kalangan kaum bau tanah mengusulkan mempertahankan beragama istiqomah mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan oleh para pengikutnya berikut dengan kebiasan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh mereka. Kongres di Bandung itu ternyata tidak menyambut baik anjuran tersebut.

KH Abdul Wahab Hasbullah selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat di kalangan ulama kaum bau tanah, dimulai dari Surabaya, kemudian Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sepakat mendirikan suatu panitia yang disebut ”Komite Merembuk Hijaz”.
Butir pertama permohonan yang diajukan oleh “komite merembuk hijaz” sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/…/komite-hijaz.pdf
 
adalah
***** awal kutipan *****
Pertama, memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah satu dari mazhab empat, adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain yaitu semata-mata untuk memperkuat korelasi dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga umat Islam menjadi sebagi badan yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.
****** akibat kutipan****

Oleh karena untuk mengirim utusan ini dibutuhkan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.
Keistiqomahan ormas NU untuk mengikuti Imam Mazhab yang empat terlukis dalam lambang ormas Nu, sebagaimana yang dikutip dari situs http://al-islamjenangan.blogspot.com/…/nahdlotul-ulama-rahm…
 
Dalam klarifikasinya perihal makna lambang NU, KH Ridwan menguraikan bahwa tali ini melambangkan agama sesuai dengan firman Allah “Berpeganglah kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai.” (Q.s. Ali Imran: 103).
Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah (persatuan) kaum muslimin seluruh dunia.
Untaian tali berjumlah 99 melambangkan asmaul husna.
Bintang sembilan melambangkan Wali Sanga.
Bintang besar yang berada di tengah potongan atas melambangkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Empat bintang kecil di pecahan bawah melambangkan madzahibul arba’ah (madzhab yang empat).
Ahlussunnah wal jamaah dalam bidang i’tiqod mengikuti imam Asy’ari. Dalam bidang moral mengikuti ulama’-ulama’ tasawuf yang muktabaroh.

KH Ridwan menambahkan bahwa ormas NU didirikan untuk mengikuti sunnah Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Thabari Ra yang mengatakan; berkata kaum ulama’ bahwa jamaah ialah as-sawadul a’dzom (mayoritas kaum muslimin).
Apa yang dijelaskan oleh KH Ridwan dan sebagaimana butir pertama pemohonan “komite rembuk hijaz” menjelaskan bahwa ormas NU didirikan dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh lantaran itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, debu Nu’aim. menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in

Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yaitu bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Al Qur’an ialah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk

Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah tiba rasul-rasul dewa kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in yaitu para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim hingga akhir zaman ialah Imam Mazhab yang empat.

Ulama besar Suriah, DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi telah berdialog dengan ulama Al Albani yang merupakan pengikut pemikiran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi untuk mengetahui “pemahaman” ulama Al Albani pribadi dari lisannya. balasannya kesimpulan Syaikh al Buthi dituangkan dalam buku berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu yaitu : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.
Kalau tertarik membaca bukunya, silahkan download disini http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/al-laa-mazhabiyah…
 
Berikut cuplikan dialog antara Syaikh al Buthi bersama Ulama Al Albani, sebelum syaikh al Buthi menuliskan buku tersebut di atas

***** awal kutipan *****
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini dilema lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu aturannya haram. Bahkan dalam kepingan lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menghadapi pertanyaan tersebut, ulama al-Albani melamun.
***** akibat kutipan *****

Kutipan dialog dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/20…/…/06/bidah-yang-gawat/
 
atau pada http://www.piss-ktb.com/…/2799-mengkritisi-madzhab-panggila…
 

Salah satu penyebab radikalisme lainnya adalah pembagian tauhid Makara tiga.

Pembagian tauhid Kaprikornus tiga termasuk perkara baru (muhdats) atau bid’ah karena tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah. Bahkan hasil kajian atau telaah (istiqro) tersebut tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’ut Taabi’in serta tidak pernah pula disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat.

Prof. Dr. Assayyid Muhammad bin Assayyid Alawi bin Assayyid Abbas bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili atau yang lebih dikenal dengan panggilan debuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam makalahnya pada pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah mengatakan bahwa pembagian tauhid Kaprikornus tiga sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan lebih banyak didominasi yang menjadi karena munculnya ekstremisme atau radikalisme. Pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam kasus ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid. Kutipan makalah mampu dibaca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/ekstrem-dalam-pemikira…/
 
acuan goresan pena terkait akibat pembagian tauhid Kaprikornus tiga dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/04/01/batik-gus-mus/
 
Beberapa gejala akhir zaman adalah
1. Banyaknya pria yang ditakuti (dihormati) bukan karena sopan santun dan kebaikanya, akan tetapi lantaran orang takut akan kejahatannya
2. Orang hina (bersifat keji) menjadi pemimpin pada suatu kaum (kelompok) dan dipimpin oleh orang yang fasik diantara mereka.
3. bunyi-suara insan meninggi (berteriak) di masjid-masjid.

0 Response to "Sepotong kalimat mampu menciptakan anda menyesal di akhirat kelak"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel