-->

Fiqih Aurat Pria Dan Wanita

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxMTEhUTExMWFhUXGCIbGBgXGSAXHxcYGxcaGxcfGhsaHiggHR Fiqih Aurat Laki-Laki dan Wanita
Fiqih Aurat Laki-Laki dan Wanita
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan perihal fiqih aurat pria dan wanita, semoga Allah mengakibatkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) Aurat
Aurat secara bahasa artinya pecahan yang ditutupi insan alasannya ialah malu jikalau ditampakkan. Sedangkan secara istilah ialah pecahan tubuh yang diwajibkan Allah Azza wa Jalla untuk ditutupi.
Perintah Menutup Aurat
Dalam Al Qur’an, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Qs. Al A’raaf: 31)
Ayat di atas turun berkenaan dengan kaum musyrik yang berthawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang alasannya ialah menganggap bahwa pakaian yang biasa mereka pakai ialah pakaian yang biasa digunakan untuk maksiat sehingga mereka tanggalkan, maka dalam ayat di atas Allah memerintahkan insan untuk menutup auratnya.
Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan, dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kami perbuat terhadap aurat kami?” Beliau menjawab,
«احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ»
“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali terhadap istrimu atau budak yang kau miliki.”
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah jikalau antara sesama kami?”
Beliau menjawab,
«إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا»
“Jika engkau bisa untuk tidak memperlihatkannya, maka jangan perlihatkan.”
Aku bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, jikalau salah seorang di antara kami sedang sendiri?”
Beliau menjawab,
«اللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ»
“Allah lebih berhak untuk malu kepada-Nya daripada kepada manusia.” (Hr. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani) [i]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
 لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ،وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ 
“Laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki, perempuan tidak boleh melihat aurat wanita. Laki-laki tidak boleh telanjang dengan pria lainnya dalam satu selimut, dan perempuan tidak boleh telanjang dengan perempuan dalam satu selimut.” (Hr. Muslim)
Ayat dan hadits di atas merupakan dalil wajibnya menutup aurat, dan masih banyak lagi dalilnya.
Pembagian Aurat
Ahli Ilmu menyebutkan, bahwa aurat itu terbagi dua, yaitu Aurat Nazhar dan Aurat Shalat. Aurat nazhar maksudnya aurat yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain (agar orang lain tidak terfitnah), sedangkan aurat shalat ialah aurat yang wajib ditutupi di dalam shalat (sebagai bentuk memenuhi hak Allah Ta’ala). Sebagian ulama memperlihatkan pola aurat nazhar dan aurat shalat, yaitu wajah wanita, ia tidak boleh menampakkannya di luar shalat kepada pria absurd (karena sebagai aurat nazhar), tetapi boleh menampakkannya di dalam shalat (karena aurat shalat seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan). Demikian pula bahu laki-laki, ia boleh menampakkannya di  luar shalat kepada sesamanya, tetapi tidak boleh menampakkannya di dalam shalat alasannya ialah sebagai aurat shalat, wallahu a’lam.
Aurat Laki-Laki
Aurat pria ialah pecahan antara pusar dan lututnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا بَيْنَ السُّرَّةِ إِلَى الرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ»
“Antara pusar dan lutut ialah aurat.” (HR. Hakim, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5583).
Berdasarkan hadits ini, maka lutut dan pusar bukanlah aurat (ini ialah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i). Bahkan yang menjadi aurat ialah pecahan antara pusar dan lutut.
Dari Jarhad, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewatinya saat pahanya terbuka, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّهَا مِنَ العَوْرَةِ»
“Tutuplah pahamu. Sesungguhnya ia pecahan dari aurat.” (HR. Malik, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, ia berkata, “Hasan,” dan disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq dalam Shahihnya).
Akan tetapi di dalam shalat, bagi pria harus tertutup pula pundaknya saat mampu menutupnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ»
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu kain, sedangkan di pundaknya tidak ada sesuatu.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Jabir radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
«إذَا كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعًا فَالْتَحِفْ بِهِ فِي الصَّلَاةِ»
“Jika kain itu luas maka berselimutlah dengannya –yakni dalam shalat-.”  
Sedangkan dalam riwayat Muslim lafaznya,
فَخَالِفْ بَيْنَ طَرْفَيْهِ، وَإِنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاِتَّزِرْ بِهِ
“Maka rentangkanlah kedua  ujungnya, namun jikalau sempit maka jadikanlah sarung.”
Hadits di atas menunjukkan, bahwa jikalau kainnya luas, maka ia selempangkan di pundaknya sesudah menjadikannya sarung semoga pecahan atas badannya juga tertutupi. Jumhur berpendapat, bahwa perintah ini sunah, namun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hal itu hukumnya wajib, dan bahwa tidak sah shalat seorang yang bisa melaksanakan hal itu tetapi malah meninggalkannya. Namun berdasarkan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, sah tetapi berdosa.
Jika sempit, maka ia menjadikannya sebagai sarung untuk menutup auratnya.
Di samping itu, dalam shalat, hendaknya kita menggunakan pakaian yang rapi dan sopan, serta berhias untuknya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلىَّ أحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ أَنْ يُتَزَيَّنَ لَهُ
“Apabila salah seorang di antara kau shalat, maka pakaialah kedua pakaiannya, alasannya ialah bahwasanya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.” (Hasan, diriwayatkan oleh Thahawiy, Thabrani dan Baihaqi, lihat Silsilah Ash Shahiihah 1369)
Aurat Wanita di Hadapan Laki-Laki Asing
Aurat perempuan di hadapan pria absurd (bukan mahramnya) ialah seluruh badannya, dan diperselisihkan perihal muka dan telapak tangannya, sebagian ulama mewajibkan untuk ditutup. Di antara dalilnya ialah hadits perihal tertinggalnya Aisyah radhiyallahu anha dari rombongan, kemudian ditemui oleh Shafwan bin Mu’aththal As Sulamiy sedangkan Aisyah dalam keadaan tertidur, kemudian Shafwan mengucapkan istirja (innaa lillahi wa inna ilaihi rajiun), kemudian Aisyah radhiyallahu anha terbangun dan segera menutup wajahnya (sebagaimana dalam Shahih Bukhari) [ii]. Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
«المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ»
“Wanita itu aurat. Jika keluar, maka setan akan menghiasnya (di mata laki-laki).” (Hr. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Aurat Wanita Dalam Shalat
Tubuh perempuan seluruhnya ialah aurat sehingga wajib ditutup kecuali muka dan telapak tangan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.” (QS. An Nuur: 31)
Yakni janganlah menampakkan bagian-bagian pemanis kecuali muka dan kedua telapak tangan sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah radhiyallahu anhum.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia pernah ditanya, “Berapa pakaian yang digunakan perempuan untuk shalat?” Aisyah menjawab, “Bertanyalah kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian kembalilah menemuiku dan sampaikanlah jawabannya kepadaku,” maka  ia mendatangi Ali dan bertanya kepadanya perihal hal itu, kemudian Ali menjawab, “Yaitu dengan memakai  kerudung dan gamis yang lebar.” Kemudian orang ini kembali menemui Aisyah dan memberitahukan jawabannya, maka Aisyah berkata, “Benar.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 3/128, Ibnu Abi Syaibah 2/224 dari jalan Makhul dari seseorang yang bertanya kepada Aisyah...dst. Menurut Al Albani, para perawinya ialah tsiqah, namun di dalamnya terdapat seseorang yang tidak disebutkan namanya antara Makhul dan Aisyah. Akan tetapi Abdurrazzaq meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata, “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menggunakan gamis dan kerudung.” Dan isnadnya shahih).
Imam Malik, Ibnu Abi Syaibah, dan Baihaqi meriwayatkan dari Ubaidullah Al Khaulani –ia ialah seorang anak yatim yang berada di bawah asuhan Maimunah-, bahwa Maimunah shalat menggunakan gamis dan kerudung tanpa kain sarung. Menurut Al Albani, isnadnya shahih.
Al Albani dalam Tamamul Minnah berkata, “Dalam problem ini terdapat riwayat-riwayat yang lain yang memperlihatkan bahwa shalatnya seorang perempuan menggunakan gamis dan kerudung ialah hal yang sudah biasa di kalangan mereka, dan inilah kewajiban minimal bagi mereka dalam menutup aurat saat shalat. Dan hal ini tidaklah menafikan riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi dari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang perempuan shalat menggunakan tiga kain; gamis, kerudung, dan kain sarung.” Dan isnadnya juga shahih.”
Dari Ibnu Umar melalui jalan yang lain, ia berkata, “Apabila seorang perempuan shalat, maka hendaklah ia shalat menggunakan semua kainnya, yaitu gamis, kerudung, dan selimutnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih).
Perintah menggunakan semua kain ini hanyalah memperlihatkan lebih tepat dan lebih utama baginya, wallahu a’lam. (Lihat Tamamul Minnah hal. 161 karya Syaikh Al Albani rahimahullah).
Aurat perempuan antara wanita
Aurat perempuan antara perempuan muslimah ialah antara pusar dan lutut, baik antara dirinya dengan perempuan muslimah itu ada hubungan kerabat maupun tidak. Tetapi jikalau ia berada di antara perempuan kafir, maka ia wajib menutup seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan, serta pecahan yang biasa tampak saat melaksanakan pekerjaan. Hal itu, alasannya ialah Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara pria mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam.” (Qs. An Nuur: 31) [iii]
Maksud ‘wanita-wanita Islam’ pada ayat tersebut ialah perempuan muslimah. Kalau sekiranya perempuan non muslim boleh melihat perempuan muslimah, tentu tidak ada faedahnya ‘takhshis’ (pengkhususan) di atas. Telah shahih dari Umar radhiyallahu anhu, bahwa ia melarang perempuan Ahli Kitab masuk ke kamar mandi bersama perempuan muslimah.
Aurat Wanita Antara Sesama Mahram
Mahram ialah pria yang haram menikahinya. Adapun aurat perempuan terhadap mahramnya ialah semua badannya selain muka, kepala, kedua tangan, dan kedua kaki. Oleh alasannya ialah itu, haram bagi perempuan membuka dadanya di hadapan mahramnya. Dan bagi mahramnya juga dihentikan melihatnya. (lihat : http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=284)  
Di antara ulama ada yang beropini bahwa mahram boleh melihat anggota-anggota tubuh perempuan yang biasa tampak mirip anggota tubuh yang dibasuh saat berwudhu’. Madzhab Maliki beropini bahwa aurat perempuan di hadapan pria mahram ialah sekujur tubuhnya kecuali muka dan ujung-ujung anggota tubuh mirip kepala, kuduk, dua tangan dan dua kaki. Adapun madzhab Hanbali, mereka beropini bahwa aurat perempuan di hadapan pria mahram ialah sekujur tubuhnya kecuali muka, kuduk, kepala, dua tangan, kaki, dan betis.
Namun perlu diingat bahwa kebolehan melihat bagi mahram ialah bukan untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu.
Sedangkan kepada suami maka tidak ada batasan aurat sama sekali, baik suami maupun isteri boleh melihat seluruh tubuh pasangannya.
Aurat Anak-Anak
Adapun bawah umur yang masih kecil (di bawah usia tujuh tahun) atau masih menyusui, maka ia belum ada ada auratnya, akan tetapi yang tertutup minimal ialah kedua farjinya (qubul dan dubur). Ketika usia anak perempuan sembilan tahun, sedangkan anak pria sepuluh tahun, maka hendaknya diperhatikan pakaian yang syar’i untuk mereka.
Syarat Hijab Bagi Wanita
Di antara syarat hijab yang harus diperhatikan adalah: (a) bukan sebagai perhiasan, (b) tidak sempit sehingga menyifati fisik (membentuk lekuk tubuh), (c) tidak tipis apalagi transfaran, (d) tidak diberi wewangian, (e) tidak ibarat pakaian perempuan kafir, (f) bukan sebagai pakaian tenar (libas syuhrah), dan (g) tidak ibarat laki-laki, lihat pula dalil-dalilnya di sini: d/search?q=jilbab-wanita-muslimah
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Hidayatul Insan bitafsiril Qur’an (Penulis), Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (M. Asyraf Al Azhim Abadi), Maktabah Syamilah versi 3.45, Subulus Salam (Imam Muhammad bin Ismail Ash Shan’ani), http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=284, https://almunajjid.com/8123, dll.




[i] Menurut Ahli Ilmu, jikalau seorang sendiri dan butuh membuka auratnya mirip alasannya ialah hendak buang air, mencukur bulu kemaluannya, mandi, atau berafiliasi dengan istrinya, maka tidak mengapa. Adapun jikalau tidak dibutuhkan, maka sebagaimana yang diterangkan dalam hadits di atas, “Allah lebih berhak untuk malu kepada-Nya daripada kepada manusia.”
[ii] Menurut madzhab Imam Ahmad dan madzhab yang shahih dari madzhab Syafi’i, bahwa perempuan harus menutup wajah dan kedua telapak tangannya di hadapan pria asing, alasannya ialah hal tersebut merupakan aurat nazhar. Adapun berdasarkan madzhab Abu Hanifah dan Malik, bahwa menutup keduanya tidak wajib, hanya sunah. Akan tetapi ulama madzhab Hanafi dan Maliki sudah semenjak usang berfatwa wajib menutup keduanya (wajah dan tangan) saat khawatir fitnah.
[iii] Tidak disebutkan paman dari pihak bapak (‘amm) juga dari pihak ibu (khaal) meskipun sebagai mahram alasannya ialah apabila perempuan terbuka di hadapan mereka dikhawatirkan mereka menyifatinya kepada anak-anaknya. 

0 Response to "Fiqih Aurat Pria Dan Wanita"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel