-->

Adab Berhutang : kisah Lelaki Bani Israil Menitipkan Uang Kepada Allah

Dalam Islam, Hutang dikenal dengan istilah Al-Qardh, berdasarkan syar’i mampu diartikan memberikan harta dengan dasar kasih sayang kepada siapa saja yang membutuhkan dan akan dimanfaatkan dengan benar, yang mana pada suatu ketika nanti harta tersebut akan dikembalikan lagi kepada orang yang memberikannya.

Hutang merupakan sesuatu yang sensitif diantara korelasi sesama manusia. Meski Islam memperbolehkan untuk berhutang, itupun dengan syarat dan ketentuan dengan syariat islam. Dan berhutang beliaunjurkan hanya pada keadaan yang benar-benar sangat terdesak saja.

Di sini ada sedikit dongeng dua oarng laki-laki dari kalangan Bani Israil terlibat dalam transaksi hutang-piutang. Kisah hutang-piutang ini nenampilkan sebuah prilaku yang unik namun sangat menyetuh hati nurani yang dalam

Kisah Lelaki Bani Israil Menitipkan Uang kepada Allah


Pria pertama secara khusus mendatangi temannya sesama Bani Israil untuk keperluan meminjam uang sebesar seribu dinar. Pemilik uang pun mengajukan syarat kepada si peminjam biar mendatangkan saksi.

"Kafâ billâh syahîdan (cukup Allah saja sebagai saksi)."

"Kalau begitu, berikan saya penjamin!"

"Kafâ billâhi wakîlan (cukuplah Allah sebagai penjamin)," jawab lagi si peminjam uang.

Pemilik uang itu pun ridha. Ia setuju menyerahkan seribu dinar sebagai utang dalam jangka waktu tertentu. Si peminjam juga lega dan kesannya bisa menyeberangi maritiman dan menunaikan keperluannya.

Mereka ialah dua orang shalih yang bisa dipercaya. karena itu ketika pembayaran utang sudah jatuh tempo, si peminjam bergegas mencari bahtera untuk pergi mengembalikan utang seribu dinar. Sayang, tak satu pun sarana transportasi bahari ia jumpai.

Tekadnya yang lingkaran untuk melunasi janji secara sempurna waktu membuat laki-laki peminjam uang tersebut tidak kekurangan akal. Ia ambil sebatang kayu, ia lubangi, kemudian ia masukkan ke dalamnya uang seribu dinar juga sepucuk surat untuk temannya itu.

Selanjutnya, ia membawa kayu itu ke bahari. Dengan kepasrahan tingkat tinggi, ia bermunajat:

"Duhai Allah, sungguh Engkau mengetahui aku berutang kepada fulan seribu dinar. beliau meminta seorang penjamin kepadaku, lalu aku menjawabnya, ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin’. ia rela dengan-Mu. beliau meminta seorang saksi kepadaku, maka saya menjawabnya, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’. lalu beliau pun rela dengan-Mu. Dan aku telah berusaha mendapatkan perahu untuk memberikan haknya namun saya tidak mendapatkannya. Dan sekarang saya menitipkannya kepada-Mu.

Sebatang kayu berisi uang dan surat itu pun dilempar ke laut hingga sempat karam ke dalamnya. Sementara si pemilik pergi meninggalkan nasib kayu dengan penuh kepasrahan. Tapi laki-laki berutang tersebut tak lantas berpangku tangan. dia terus berikhtiar mencari perahu untuk bisa menyeberangi baharian.

Bagaimana nasib uang dan sepucuk surat tadi? Subhanallah, batang kayu itu tiba ke tangan pemilik piutang dalam kondisi selamat dan tepat waktu. Waktu itu sebenarnya ia hanya melihat-lihat keluar, barangkali ada bahtera datang dan seseorang membawa uang pelunasan utang. Yang terlihat justru sebatang kayu mengambang di air dan saat dibuka ternyata berisi seribu dinar dan sepucuk surat.

Si peminjam uang baru berhasil menyeberangi baharian beberapa waktu kemudian. Ia datang kepada temannya dengan perasaan bersalah. "Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari perahu untuk membayar utangku kepadamu. Tapi tidak kunjung mampu, hingga baru saat ini aku bisa menemuimu."

"Apa kamu mengirimkan sesuatu untuku?" kata pemilik uang.

"Dengar, aku tak kunjung dapat bahtera dikala itu."

“Sesungguh Allah telah mengantarkan untukmu uang pinjaman melalui perantara kayu yang kau kirim. sekarang, ambillah seribu dinarmu ini dengan baik.” Si pemberi pinjaman "menolak" utangnya dilunasi.

Kisah dari hadits shahih ini setidaknya memberi sejumlah pesan. Pertama, tentang bersama-sama antarsesama. Selagi sanggup, sudah seyogianya uluran tangan diberikan kepada mereka yang sedang membutuhkan, termasuk dalam bentuk dukungan utang.

Permintaan mendatangkan saksi dan penjamin oleh si pemberi utang adalah sebuah prosedur yang wajar. Dalam transaksi modern, saksi atau bukti-bukti berupa surat dan sejenisnya akan memperkuat akidah dan rasa tanggung jawab kedua belah pihak. dikala prosedur formal tersebut terpaksa tak mampu dipenuhi, pinjam-meminjam tetap bisa dilaksanakan selama sifat amanah diyakini ada.

Kedua, rasa tanggung jawab yang besar. Si peminjam uang bahwasanya bisa saja menyebabkan kendala teknis (tak mendapatkan perahu) sebagai alasan untuk menunda pelunasan utang di luar tempo yang sudah ditentukan. Namun, ia tak melakukannya karena dengan demikian ia melanggar kesepakatan dan hak orang lain, dan urusan utang bukanlah tanggung jawab yang sederhana.

Ketiga, ikhtiar dan kepasrahan total. Ia memakai nama Allah tak sebagaimana politisi yang garang mengeruk suara. Melainkan, membangun trust bahwa gerak-geriknya yang membawa tanggung jawab berat berada di bawah pengawasan-Nya. Tatkala tempo kewajiban itu tiba, ia pun berusaha keras mencari jalan keluar. hingga pada situasi buntu, ia mengambil jalan alternatif langka tapi dengan tawakal yang tidak setengah-setengah. Si peminjam uang menempuh ikhtiar keras sebelum akibatnya berpasrah total.

Sumber : 
http://www.nu.or.id/post/read/92351/kisah-lelaki-bani-israil-menitipkan-uang-kepada-allah

0 Response to "Adab Berhutang : kisah Lelaki Bani Israil Menitipkan Uang Kepada Allah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel