Mengenai Habaib/Saadah/Syarif/Ba'Alwiy .... ( Kalam-2 Salaf Bani 'Alawiy )
Dalam kitabnya Al-Barqah al-Musyiqah, Imam Ali bin Abi Bakar al-Sakran menulis :
“Adapun keturunan Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di Hadramaut serta bertempat tinggal di Tarim, merupakan tempat tinggal yang memberi ketenangan,
mereka ialah orang –orang berdarah mulia yang berbudi pekerti luhur, berkepribadian tinggi, berprilaku santun, berjiwa mulia, bersemangat tinggi, memiliki tekad yang besar lengan berkuasa, dan mempunyai rasa cinta serta kasih sayang mendalam kepada kebajikan, sekaligus orang yang suka kebajikan hingga menghapus dan menafikan diri mereka sendiri, mereka lebih mengutamakan hal itu dan mengorbankan diri mereka untuk kepentingan orang lain sekalipun mereka memiliki kebutuhan yang mendesak. Dengan kata lain, mereka mengabaikan hak mereka sendiri dalam banyak hal, menghilangkan kepentingan eksklusif, sebaliknya menegakkan hak-hak orang lain dan tidak mengungkit-ungkitnya semoga dianggap banyak berbuat baik.”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata :
“Sesungguhnya Sayid Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir, dikala melihat merajalelanya bid’ah dan rusaknya moral lantaran mengikuti hawa nafsu, munculnya pertentangan pendapat di Iraq, maka beliau hijrah dari negeri itu, dan mengembara hingga tiba ke negeri Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah memberkati keturunan ia sehingga banyak dari kalangan mereka yang mahir ilmu, ibadah, wilayah dan ma’rifah. Tidak melibatkan golongan dari ahlu bait dari masalah bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan disebabkan berkah dari Imam yang terpercaya, lantaran beliau menghindar dengan membawa agama dari kubangan fitnah.”
Berkata Imam al-Haddad :
“Tidak pantas bagi siapapun dari keluarga Abi Alawi untuk menyalahi metode yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, berpaling dari thariqah dan prilaku mereka atau mengikuti orang lain yang menyalahi thariqahnya sendiri, yaitu thariqah dan sikap keluarga Abi Alawi, lantaran thariqah mereka telah disyahkan berdasarkan Alquran-hadits dan atsar yang disepakati, serta prilaku kamum salaf yang terhormat, lantaran mereka mewarisi itu dari generasi salaf ke generasi khalaf, dari ayah dan kakeknya hingga sampai kepada Rasulullah saw. Mereka pun mempunyai maqam yang bertingkat mulai dari yang utama, paling utama, sempurna hingga paling tepat.”
Selanjutnya Imam al-Haddad berkata :
“Sebaiknya dan sudah seyogyanya siapapun dari keluarga Abi Alawi itu mengajak manusia dan mendorongnya pada thariqah yang ia jalani, dan tidak sepatutnya mengabaikan thariqah pendahulunya dan mempunyai pikiran bahwa mereka bukan pada thariqah yang utama. Ya Allah, tidak dijadikan thariqah itu kecuali sebagai jalan mendapatkan keberkahan serta berpegang teguh pada perjalanan para pendahulu dan aqidah mereka. Maka tidak seorang dari keluaga Abi Alawi pun diberi keberkahan kalau mereka meninggalkan thariqah pendahulunya dan menempuh selain thariqah mereka.”
Berkata pula Al-Imam al-Haddad : “Dua hal yang merupakan anugerah paling besar yang diberikan kepada keluarga Abi Alawi yaitu Syekh Ahmad bin Isa bersama keluarga Abi Alawi keluarga dari bid’ah dan fitnah, dan al-Faqih al-Muqaddam al-Imam Muhammad bin Ali menyelamatkan keluarga Abi Alawi dari membawa senjata (untuk berperang).
Dan telah dinukil dari perkataan Al-Allamah Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqd al-Yawaqit al-Jauhariyah, perihal sebagian ulama yang menggambarkan thariqah al-Saadah Bani Alawi, berkata :
“Sungguh telah terkumpul nasab keagamaan dan pertalian darah ini dalam bentuk ilmu, amal, keledzatan ibadah, riwayah, dirayah, tahqiq dalam diri keturunan ‘cucu kedua’ –keturunan Imam al-Husein- yang dipuji yaitu keluarga Abi Alawi, yang siapapun masuk dalam thariqah mereka yaitu golongan mereka. Dan dikatakan padanya : ‘Sungguh kami telah melindungi siapa yang engkau lindungi hai ummu Hani, Salman dari kita ahlul bait’. Dan semua itu berpusat kepada pengumpul segala hakikat, samudra ilmu dan ma’rifat, Imam Ali bin Abi Thalib ra, dan orang yang terlahir dari dua nasab yang agung dan mempunyai dua arah kemuliaan, Ali bin Husein Zainal Abidin, sungguh wirid yang dilaziminya mencapai seribu rakaat dan lainnya, hingga keistimewaan-keistimewaan yang bersinar dan keagungan yang tinggi itu berakhir pada keluhuran yang mulia ke sentra orang-orang yang bertawajjuh, dan penghubung para kamum ahli hakikat al-Ustadz al-A’dzham, al-Faqih al-Muqaddam -yang menanamkan cahaya thariqah al-Syu’aibiyah[1]- dan yang cahaya-cahaya thariqahnya menembus seluruh Hadramaut, lalu memancarlah cahaya itu dan bergeraklah rahasia-rahasianya pada kaum khawas di aneka macam penjuru serta menebarlah keberkahannya kepada para ayah dan ibu.”
Dan jika anda menginginkan penjelasan perihal segala hal mengenai kelompok ini dan thariqahnya seperti hakikat-hakikat, syiar-syiar, acuan hidup dan peninggalan mereka maka lihatlah pada kitab al-Masra’, al-Jauhar, al-Iqd al-Nabawi, al-Ghuror, Qurah al-Ain, Bahjah al-Fuad, Syarah al-Ainiyah dan lain-lain sebagaimana yang telah dituturkan dalam bahasan sebelumnya. Mereka dan orang-orang yang menyusul mereka telah mengumpulkan peringkat lahir dan bathin. Mereka yaitu seperti rantai jikalau bergerak seuntai bergerak pula untaian yang lain. Semua mereka ahlu sunnah, bermadzhab Syafi’i, beraqidah Asy’ari.
Maka jikalau engkau telah mengetahui bahwa thariqah keluarga Abi Alawi, zhahirnya ialah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya adalah penitian maqam dan hal. Adapun budbahasanya ialah menjaga belakang layar dan semangat penuh pengorbanan. Maka zhahir mereka yang apa yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali daripada ilmu dan amal menurut manhaj yang terbimbing. Sedang bathinnya mereka ialah apa yang dijelaskan oleh al-Syadzili wacana penitian hakikat dan pemurnian tauhid.
Dan telah menulis Al-Allamah Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih yang merupakan tanggapan atas pertanyaan yang ditujukan kepadanya ihwal thariqah al-Saadah Abi Alawi, sebagai berikut :
“Adapun dasar thariqah al-Saadah Abi Alawi adalah thariqah Abi Madyan Syu’aib al-Maghribi, inti dan azas hakikatnya ialah al-Ghauts Syekh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi al-Husaini al-Hadramiy, yang dipelajari secara turun menurun dan diwarisi oleh pembesar-pembesar yang telah mencapai maqam dan hal. Akan tetapi oleh karena thariqahnya penitian, dzauh dan diam-diam-rahasia, maka mereka tidak memperkenalkannya dengan menyusun goresan pena-tulisan dan buku. Demikianlah generasi pertama berlalu hingga zaman al-Aydrus dan saudaranya syekh Ali. Kemudian begitu dunia makin meluas, jarak makin jauh, yang erat masih dapat berhubungan dengan mereka berbeda dengan yang jauh, maka mendesak untuk dilakukan pembukuan, penjelasan dan diperkenalkan. Dan alhamdulillah, dada ini merasa lega dan hati menjadi damai dengan munculnya kitab-kitab al-Kibrit, Juz’u al-Lathif, al-Mi’raj, al-Barqah dan lain-lain yang tak terhitung jumlahnya dan telah tersebar luas.”
Menurut Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad : Thariqah Alawiyin adalah Sirath Allah al-Mustaqiem. Al-Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan mengatakan :
“Sungguh bahwa thariqah Abi Alawi ialah thariqah yang paling lurus dan paling lempang. Perjalanan mereka adalah sebaik perjalanan dan yang paling utama. Bahwa mereka ialah pada jalan yang utama dan lorong yang lurus, dan syarat yang paling terperinci, dan jalur yang paling sehat dan tepat. Tidak seyogyanya bagi seorang dari Bani Alawi untuk menentang jalur yang telah berjejak padanya para salafnya. Dan pula ia dihentikan menyimpang dari perjalanan dan lintasan mereka. Bahkan ia harus mengikuti dan bergelantungan serta menghamparkan jalannya bagi setiap orang yang mengaku melintasi dari para penentang perjalanan dan thariqahnya. Thariqah al-Abi Alawi dan perjalanan mereka adalah thariqah yang telah disaksikan kebenarannya oleh Quran dan Sunnah serta tilasan-tilasan yang diridhoi ia ialah perjalanan salaf yang mulia.
Al-Saadah al-Abi Alawi diharapkan mampu mengajak insan biar mereka menjejaki jalan yang telah dilintasi oleh mereka. Tidak dibenarkan untuk mengabaikan thariqah leluhur mereka dan mendaftarkan diri mereka, bahwa mereka tergolong dari thariqah yang paling utama. saat datang Syaikh Barakwah ke kota Tarim dan ia bermaksud untuk menghukum dan mendikte para Saadah Alawi wacana Cara yang telah dikenal dari perjalanannya. Ia bermimpi melihat Sayiduna al-Faqih al-Muqaddam berkata kepadanya : “Keluarlah kau dari kota ini supaya jangan tertipu anak-anakku dengan pekertimu yang menarik itu.”
Telah ditanya Sayiduna al-Habib al-Imam Abdurahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih perihal thariqah al-Saadah al-Abi Alawi, beliau menjawab : “Ketahuilah bahwa thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah Sabil al-Thoriqah al-Shufiah yang pada dasarnya ialah mengikuti al-Kitab dan al-Sunnah.”
Thariqah al-Saadah al-Abi Alawi yaitu zahirnya adalah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya ialah tahkik maqaamat dan ahwal. Thariqah ini tidak sinis terhadap orang yang tiba yang tidak sejalan dengan thariqah yang dianutnya. Thariqah al-Abi Alawi yaitu siapa yang memperhatikannya, pasti ia mengetahui bahwa ia ialah thariqah yang menengah sederhana yang tidak dapat dipungkiri, karena para pimpinannya bersifat tawadhu’, zuhud, wara’, tidak suka terkenal, berhati suci dan berlapang dada.
Para tokoh dan penduduk Yaman mengetahui akan keunggulan thariqah al-Abi Alawi dari thariqah lainnya, baik para ulama, cendekiawan fiqih serta tokoh tasawuf. Berkata al-Imam Ahmad bin Zein al-Habsyi : “Thariqah Saadah al-Abi Alawi, tiada lain adalah ilmu, amal, wara, takut dan ikhlas kepada Allah SWT. Thariqah ini tidak menyimpang seujung kaki semut pun dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Barang siapa yang meninggalkan jalan para habaib yang shalih, menuju kepada jalan lain, ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah”.
Berkata Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan dalam kitabnya al-Futuhat al-Arsyiyah : “Sungguh mereka al-Saadah al-Alawiyin semoga Allah memberi manfaat kepada kita lantaran mereka dan asrar mereka, mereka tidak memperhatikan dan bergiat serta berijtihad melainkan dengan mentahkik ilmu-ilmu muamalat secara pengetahuan dan praktek serta mengenyampingkan kenikmatan”
Secara garis besar mampu dikatakan bahwa sebagian dari akhlaq kaum Alawiyin adalah bersibuk akan ilmu-ilmu dan menuntutnya serta secara tekun menelaah kitab-kitab mereka. Bergiat untuk memetik jadinya serta memeriksa cabang dan menjaga ushulnya. Sebagian lainnya menuangkan perhatian bahkan kebanyakan dari mereka berda’wah mengajak hamba Allah untuk berpijak pada jalan yang lurus pada setiap tempat untuk menata amalan mereka. Sebagian mereka menentukan untuk da’wah di beberapa majlis dan berda’wah ke seluruh pelosok desa dan kota dengan disertai akhlaq yang luhur, amalan yang terpuji dan kesabaran yang tinggi untuk menghadapi masyarakat. Banyak dari mereka yang mencurahkan waktunya beri’tikaf di masjid, mengisi dengan ibadah, majlis ilmu, wirid dan lainnya. Sebagian mereka mengumpulkan doa dan dzikir sebagai puncak amalan yang dilaksanakan selama sehari semalam. Sebagian lagi mengadakan pembacaan ratib-ratib, bertahlil bahkan ada yang lebih mengutamakan ber’uzlah dan tidak menyukai untuk menonjolkan diri. kamum Alawiyin yaitu orang kaya karena tidak membutuhkan dan bergantung kepada orang lain. Ia merasa puas dengan dunia yang sedikit dan perbekalan yang amat sederhana. Sayyiduna al-Imam al-Quthub Ali bin bubuk Bakar al-Sakran dalam kitabnya al-Barqatul al-Musyiqah menyatakan :
“Adapun keturunan al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa, mereka adalah tokoh mulia yang berbudi pekerti luhur, memiliki sopan santun yang tinggi serta berjiwa luhur, bertekad tinggi, cerdas, tawadhu’ dan memiliki naluri serta karakteristik tersendiri. Mereka memiliki cinta yang besar lengan berkuasa dan kasih sayang yang ketat terhadap kebaikan dan orang-orang baik. Mereka mengorbankan diri mereka demi kepentingan orang, sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak. Banyak diantara mereka menjadi tokoh ilmu fiqih dan para ilmuwan serta para imam. Pada mereka ada yang menjadi tokoh ulama/syaikh yang mulia yang diantaranya berkisar para Aqthab, Autad, Abdal, jago ibadah, para wali. Dan Saadah al-Alawiyin, hati mereka tenggelam dalam lembah cinta kepada Allah SWT, mereka mempunyai kasyaf yang khariqah dan firasat yang benar serta musyahadah untuk sinar asma’ dan sifat Allah, serta cahaya sinar hakekat ma’rifat kelembutan rahasia Dzat Allah. Mereka mampu melacak barzah dan ahlul barzah, mereka pun menikmati kelezatan melihat dan berjumpa dengan Rasulullah, mereka mempunyai kedudukan martabat keguruan yang hakiki terpancang seolah-olah tancapan gunung yang kokoh. Adapun mereka berijtihad secara kully (keseluruhan) di dalam beribadah dengan disertai meninggalkan pekerjaan yang tradisional dan mengabaikan syahwat kelezatan, bila malam tiba mereka tegak di atas kaki, sambil menampilkan wajah mereka dengan aliran air mata. Bilamana berakhir salah seorang dari mereka sehabis melipat hamparan tidur menjauhi pergaulan masyarakat awam, melainkan untuk tujuan da’wah dan ta’lim.”
Ketahuilah bahwa kawasan thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah senantiasa menutupi dan tidak mau berlebih-lebihan dan penonjolan diri, kecuali penonjolan yang didasari oleh ilmu dan hidayat. Sebagian thariqah mereka adalah berkunjung kepada teman/handai taulan dan berziarah kepada sahabat, para shalihin yang telah meninggal dunia seperti kuburan salafus sholeh dengan husnuz zhon yang tepat selama tidak dibarengi oleh hal-hal yang makruh atau haram, menghadiri majlis ilmu, maulid, dzikir dan disertai adab dengan diharamkanya hadir/campur baur dengan lawan jenis.
Berkata Sayiduna al-Imam Thahir bin Husain bin Thahir : “Ini, thariqah salaf al-Alawiyah adalah thariqah yang diridhoi, higienis, lurus, praktis, suci, tidak ada lika likunya dan tidak ada yang mudhorot dan memberi mudhorot, perjalanan mereka masyhur dan sejarah mereka terang berderang.”
Para al-Saadah al-Abi Alawi, mereka selalu menghidupkan mujahadat dalam zaman apa saja. Diantara mereka ada yang seusai shalat tarawih, di dalam shalat dua rakaat (nafilah) membaca Alquran seluruhnya. Banyak dari mereka yang menghindari tidur malam selama lebih dari dua puluh tahun. Ada pula di antara mereka bertahajud, kemudian membaca sepuluh juz Alquran mulai tengah malam hingga subuh. Di antara mereka ada juga yang bertahun-tahun duduk seperti sedang membaca tasyahud sebagai tata krama di hadapan Allah SWT. Ada pula di antara mereka yang membiasakan diri sedikit makan hingga lambung mereka tidak mampu mendapat kuliner lebih dari sepertiga atau seperempat suap. Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi menyampaikan :
“ Dari kamum Sayyid Bani Alawiy, yang paling rendah ilmunya ialah yang ilmunya tidak dibutuhkan oleh ulama selain mereka. Setiap orang dari mereka hafal akan manaqib (sifat-sifat utama) keluarganya, perilakunya, riwayat hidupnya dan kekeramatannya. Seorang Sayyid Bani Alawiy dalam mengajarkan ilmu dan budbahasa (sastra) lebih banyak menempuh Tutorial lisan (talaqqi) dan mengamalkan ta’addub (sopan santun dan tata krama) dalam praktek, tidak dengan banyak membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah-ceramah …”
Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas berkata :
“ Orang saleh dari kamum Alawiyin zaman dahulu dan orang-orang selain mereka dalam mengajarkan ilmu lebih menitikberatkan pada pendidikan untuk menyelamatkan dada (membersihkan dan meluruskan hati), menanamkan prasangka baik terhadap Allah SWT dan terhadap sesama insan, hidup zuhud (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi), mendambakan kebahagiaan alam baka, menjaga hak-hak orang lain dan menghormati ilmu, para ulama, para wali serta kamum mukminin dan muslimin. Mereka dididik dan dilatih mengawasi hati mereka sendiri dan menjaga indera pendengaran dari segala macam kericuhan yang pernah dialami sebelumnya. Tujuannya adalah semoga hati mereka tetap jernih dan bersih, jiwa mereka menjadi tentram dan menggantungkan cita impian pada kebajikan dan sarana-sarananya …”
Karena pentingnya hal di atas, maka al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata : “Tak seorangpun dari Bani Alawi boleh menyalahi Cara-cara yang ditempuh oleh sesepuhnya dahulu, dan dilarang juga menyimpang dari jalan hidup dan prilaku mereka…” selanjutnya dikatakan : “Sebab jalan mendekatkan diri kepada Allah (thariqah) yang mereka tempuh dibuktikan dengan kebenarannya oleh Alquran dan Sunnah Rasul saw, dan banyak sekali riwayat hadis serta sejarah kehidupan kamum salaf. Dan kamum salaf itulah yang secara berantai mendapat peninggalan para sesepuhnya, hingga kepada datuk pertama, Muhammad saw. Dalam hal ini masing-masing dari mereka itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri.”
“Adapun keturunan Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di Hadramaut serta bertempat tinggal di Tarim, merupakan tempat tinggal yang memberi ketenangan,
mereka ialah orang –orang berdarah mulia yang berbudi pekerti luhur, berkepribadian tinggi, berprilaku santun, berjiwa mulia, bersemangat tinggi, memiliki tekad yang besar lengan berkuasa, dan mempunyai rasa cinta serta kasih sayang mendalam kepada kebajikan, sekaligus orang yang suka kebajikan hingga menghapus dan menafikan diri mereka sendiri, mereka lebih mengutamakan hal itu dan mengorbankan diri mereka untuk kepentingan orang lain sekalipun mereka memiliki kebutuhan yang mendesak. Dengan kata lain, mereka mengabaikan hak mereka sendiri dalam banyak hal, menghilangkan kepentingan eksklusif, sebaliknya menegakkan hak-hak orang lain dan tidak mengungkit-ungkitnya semoga dianggap banyak berbuat baik.”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata :
“Sesungguhnya Sayid Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir, dikala melihat merajalelanya bid’ah dan rusaknya moral lantaran mengikuti hawa nafsu, munculnya pertentangan pendapat di Iraq, maka beliau hijrah dari negeri itu, dan mengembara hingga tiba ke negeri Hadramaut dan bermukim di sana hingga wafat. Semoga Allah memberkati keturunan ia sehingga banyak dari kalangan mereka yang mahir ilmu, ibadah, wilayah dan ma’rifah. Tidak melibatkan golongan dari ahlu bait dari masalah bid’ah dan mengikuti hawa nafsu yang menyesatkan disebabkan berkah dari Imam yang terpercaya, lantaran beliau menghindar dengan membawa agama dari kubangan fitnah.”
Berkata Imam al-Haddad :
“Tidak pantas bagi siapapun dari keluarga Abi Alawi untuk menyalahi metode yang telah ditempuh oleh para pendahulunya, berpaling dari thariqah dan prilaku mereka atau mengikuti orang lain yang menyalahi thariqahnya sendiri, yaitu thariqah dan sikap keluarga Abi Alawi, lantaran thariqah mereka telah disyahkan berdasarkan Alquran-hadits dan atsar yang disepakati, serta prilaku kamum salaf yang terhormat, lantaran mereka mewarisi itu dari generasi salaf ke generasi khalaf, dari ayah dan kakeknya hingga sampai kepada Rasulullah saw. Mereka pun mempunyai maqam yang bertingkat mulai dari yang utama, paling utama, sempurna hingga paling tepat.”
Selanjutnya Imam al-Haddad berkata :
“Sebaiknya dan sudah seyogyanya siapapun dari keluarga Abi Alawi itu mengajak manusia dan mendorongnya pada thariqah yang ia jalani, dan tidak sepatutnya mengabaikan thariqah pendahulunya dan mempunyai pikiran bahwa mereka bukan pada thariqah yang utama. Ya Allah, tidak dijadikan thariqah itu kecuali sebagai jalan mendapatkan keberkahan serta berpegang teguh pada perjalanan para pendahulu dan aqidah mereka. Maka tidak seorang dari keluaga Abi Alawi pun diberi keberkahan kalau mereka meninggalkan thariqah pendahulunya dan menempuh selain thariqah mereka.”
Berkata pula Al-Imam al-Haddad : “Dua hal yang merupakan anugerah paling besar yang diberikan kepada keluarga Abi Alawi yaitu Syekh Ahmad bin Isa bersama keluarga Abi Alawi keluarga dari bid’ah dan fitnah, dan al-Faqih al-Muqaddam al-Imam Muhammad bin Ali menyelamatkan keluarga Abi Alawi dari membawa senjata (untuk berperang).
Dan telah dinukil dari perkataan Al-Allamah Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqd al-Yawaqit al-Jauhariyah, perihal sebagian ulama yang menggambarkan thariqah al-Saadah Bani Alawi, berkata :
“Sungguh telah terkumpul nasab keagamaan dan pertalian darah ini dalam bentuk ilmu, amal, keledzatan ibadah, riwayah, dirayah, tahqiq dalam diri keturunan ‘cucu kedua’ –keturunan Imam al-Husein- yang dipuji yaitu keluarga Abi Alawi, yang siapapun masuk dalam thariqah mereka yaitu golongan mereka. Dan dikatakan padanya : ‘Sungguh kami telah melindungi siapa yang engkau lindungi hai ummu Hani, Salman dari kita ahlul bait’. Dan semua itu berpusat kepada pengumpul segala hakikat, samudra ilmu dan ma’rifat, Imam Ali bin Abi Thalib ra, dan orang yang terlahir dari dua nasab yang agung dan mempunyai dua arah kemuliaan, Ali bin Husein Zainal Abidin, sungguh wirid yang dilaziminya mencapai seribu rakaat dan lainnya, hingga keistimewaan-keistimewaan yang bersinar dan keagungan yang tinggi itu berakhir pada keluhuran yang mulia ke sentra orang-orang yang bertawajjuh, dan penghubung para kamum ahli hakikat al-Ustadz al-A’dzham, al-Faqih al-Muqaddam -yang menanamkan cahaya thariqah al-Syu’aibiyah[1]- dan yang cahaya-cahaya thariqahnya menembus seluruh Hadramaut, lalu memancarlah cahaya itu dan bergeraklah rahasia-rahasianya pada kaum khawas di aneka macam penjuru serta menebarlah keberkahannya kepada para ayah dan ibu.”
Dan jika anda menginginkan penjelasan perihal segala hal mengenai kelompok ini dan thariqahnya seperti hakikat-hakikat, syiar-syiar, acuan hidup dan peninggalan mereka maka lihatlah pada kitab al-Masra’, al-Jauhar, al-Iqd al-Nabawi, al-Ghuror, Qurah al-Ain, Bahjah al-Fuad, Syarah al-Ainiyah dan lain-lain sebagaimana yang telah dituturkan dalam bahasan sebelumnya. Mereka dan orang-orang yang menyusul mereka telah mengumpulkan peringkat lahir dan bathin. Mereka yaitu seperti rantai jikalau bergerak seuntai bergerak pula untaian yang lain. Semua mereka ahlu sunnah, bermadzhab Syafi’i, beraqidah Asy’ari.
Maka jikalau engkau telah mengetahui bahwa thariqah keluarga Abi Alawi, zhahirnya ialah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya adalah penitian maqam dan hal. Adapun budbahasanya ialah menjaga belakang layar dan semangat penuh pengorbanan. Maka zhahir mereka yang apa yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali daripada ilmu dan amal menurut manhaj yang terbimbing. Sedang bathinnya mereka ialah apa yang dijelaskan oleh al-Syadzili wacana penitian hakikat dan pemurnian tauhid.
Dan telah menulis Al-Allamah Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih yang merupakan tanggapan atas pertanyaan yang ditujukan kepadanya ihwal thariqah al-Saadah Abi Alawi, sebagai berikut :
“Adapun dasar thariqah al-Saadah Abi Alawi adalah thariqah Abi Madyan Syu’aib al-Maghribi, inti dan azas hakikatnya ialah al-Ghauts Syekh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi al-Husaini al-Hadramiy, yang dipelajari secara turun menurun dan diwarisi oleh pembesar-pembesar yang telah mencapai maqam dan hal. Akan tetapi oleh karena thariqahnya penitian, dzauh dan diam-diam-rahasia, maka mereka tidak memperkenalkannya dengan menyusun goresan pena-tulisan dan buku. Demikianlah generasi pertama berlalu hingga zaman al-Aydrus dan saudaranya syekh Ali. Kemudian begitu dunia makin meluas, jarak makin jauh, yang erat masih dapat berhubungan dengan mereka berbeda dengan yang jauh, maka mendesak untuk dilakukan pembukuan, penjelasan dan diperkenalkan. Dan alhamdulillah, dada ini merasa lega dan hati menjadi damai dengan munculnya kitab-kitab al-Kibrit, Juz’u al-Lathif, al-Mi’raj, al-Barqah dan lain-lain yang tak terhitung jumlahnya dan telah tersebar luas.”
Menurut Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad : Thariqah Alawiyin adalah Sirath Allah al-Mustaqiem. Al-Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan mengatakan :
“Sungguh bahwa thariqah Abi Alawi ialah thariqah yang paling lurus dan paling lempang. Perjalanan mereka adalah sebaik perjalanan dan yang paling utama. Bahwa mereka ialah pada jalan yang utama dan lorong yang lurus, dan syarat yang paling terperinci, dan jalur yang paling sehat dan tepat. Tidak seyogyanya bagi seorang dari Bani Alawi untuk menentang jalur yang telah berjejak padanya para salafnya. Dan pula ia dihentikan menyimpang dari perjalanan dan lintasan mereka. Bahkan ia harus mengikuti dan bergelantungan serta menghamparkan jalannya bagi setiap orang yang mengaku melintasi dari para penentang perjalanan dan thariqahnya. Thariqah al-Abi Alawi dan perjalanan mereka adalah thariqah yang telah disaksikan kebenarannya oleh Quran dan Sunnah serta tilasan-tilasan yang diridhoi ia ialah perjalanan salaf yang mulia.
Al-Saadah al-Abi Alawi diharapkan mampu mengajak insan biar mereka menjejaki jalan yang telah dilintasi oleh mereka. Tidak dibenarkan untuk mengabaikan thariqah leluhur mereka dan mendaftarkan diri mereka, bahwa mereka tergolong dari thariqah yang paling utama. saat datang Syaikh Barakwah ke kota Tarim dan ia bermaksud untuk menghukum dan mendikte para Saadah Alawi wacana Cara yang telah dikenal dari perjalanannya. Ia bermimpi melihat Sayiduna al-Faqih al-Muqaddam berkata kepadanya : “Keluarlah kau dari kota ini supaya jangan tertipu anak-anakku dengan pekertimu yang menarik itu.”
Telah ditanya Sayiduna al-Habib al-Imam Abdurahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih perihal thariqah al-Saadah al-Abi Alawi, beliau menjawab : “Ketahuilah bahwa thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah Sabil al-Thoriqah al-Shufiah yang pada dasarnya ialah mengikuti al-Kitab dan al-Sunnah.”
Thariqah al-Saadah al-Abi Alawi yaitu zahirnya adalah ilmu-ilmu agama dan amaliyah sedang bathinnya ialah tahkik maqaamat dan ahwal. Thariqah ini tidak sinis terhadap orang yang tiba yang tidak sejalan dengan thariqah yang dianutnya. Thariqah al-Abi Alawi yaitu siapa yang memperhatikannya, pasti ia mengetahui bahwa ia ialah thariqah yang menengah sederhana yang tidak dapat dipungkiri, karena para pimpinannya bersifat tawadhu’, zuhud, wara’, tidak suka terkenal, berhati suci dan berlapang dada.
Para tokoh dan penduduk Yaman mengetahui akan keunggulan thariqah al-Abi Alawi dari thariqah lainnya, baik para ulama, cendekiawan fiqih serta tokoh tasawuf. Berkata al-Imam Ahmad bin Zein al-Habsyi : “Thariqah Saadah al-Abi Alawi, tiada lain adalah ilmu, amal, wara, takut dan ikhlas kepada Allah SWT. Thariqah ini tidak menyimpang seujung kaki semut pun dari aqidah Ahlussunnah wal jamaah. Barang siapa yang meninggalkan jalan para habaib yang shalih, menuju kepada jalan lain, ia tidak bakal mendapat taufiq hidayah”.
Berkata Imam Abdullah bin Ahmad Baswedan dalam kitabnya al-Futuhat al-Arsyiyah : “Sungguh mereka al-Saadah al-Alawiyin semoga Allah memberi manfaat kepada kita lantaran mereka dan asrar mereka, mereka tidak memperhatikan dan bergiat serta berijtihad melainkan dengan mentahkik ilmu-ilmu muamalat secara pengetahuan dan praktek serta mengenyampingkan kenikmatan”
Secara garis besar mampu dikatakan bahwa sebagian dari akhlaq kaum Alawiyin adalah bersibuk akan ilmu-ilmu dan menuntutnya serta secara tekun menelaah kitab-kitab mereka. Bergiat untuk memetik jadinya serta memeriksa cabang dan menjaga ushulnya. Sebagian lainnya menuangkan perhatian bahkan kebanyakan dari mereka berda’wah mengajak hamba Allah untuk berpijak pada jalan yang lurus pada setiap tempat untuk menata amalan mereka. Sebagian mereka menentukan untuk da’wah di beberapa majlis dan berda’wah ke seluruh pelosok desa dan kota dengan disertai akhlaq yang luhur, amalan yang terpuji dan kesabaran yang tinggi untuk menghadapi masyarakat. Banyak dari mereka yang mencurahkan waktunya beri’tikaf di masjid, mengisi dengan ibadah, majlis ilmu, wirid dan lainnya. Sebagian mereka mengumpulkan doa dan dzikir sebagai puncak amalan yang dilaksanakan selama sehari semalam. Sebagian lagi mengadakan pembacaan ratib-ratib, bertahlil bahkan ada yang lebih mengutamakan ber’uzlah dan tidak menyukai untuk menonjolkan diri. kamum Alawiyin yaitu orang kaya karena tidak membutuhkan dan bergantung kepada orang lain. Ia merasa puas dengan dunia yang sedikit dan perbekalan yang amat sederhana. Sayyiduna al-Imam al-Quthub Ali bin bubuk Bakar al-Sakran dalam kitabnya al-Barqatul al-Musyiqah menyatakan :
“Adapun keturunan al-Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa, mereka adalah tokoh mulia yang berbudi pekerti luhur, memiliki sopan santun yang tinggi serta berjiwa luhur, bertekad tinggi, cerdas, tawadhu’ dan memiliki naluri serta karakteristik tersendiri. Mereka memiliki cinta yang besar lengan berkuasa dan kasih sayang yang ketat terhadap kebaikan dan orang-orang baik. Mereka mengorbankan diri mereka demi kepentingan orang, sekalipun mereka mempunyai kebutuhan yang mendesak. Banyak diantara mereka menjadi tokoh ilmu fiqih dan para ilmuwan serta para imam. Pada mereka ada yang menjadi tokoh ulama/syaikh yang mulia yang diantaranya berkisar para Aqthab, Autad, Abdal, jago ibadah, para wali. Dan Saadah al-Alawiyin, hati mereka tenggelam dalam lembah cinta kepada Allah SWT, mereka mempunyai kasyaf yang khariqah dan firasat yang benar serta musyahadah untuk sinar asma’ dan sifat Allah, serta cahaya sinar hakekat ma’rifat kelembutan rahasia Dzat Allah. Mereka mampu melacak barzah dan ahlul barzah, mereka pun menikmati kelezatan melihat dan berjumpa dengan Rasulullah, mereka mempunyai kedudukan martabat keguruan yang hakiki terpancang seolah-olah tancapan gunung yang kokoh. Adapun mereka berijtihad secara kully (keseluruhan) di dalam beribadah dengan disertai meninggalkan pekerjaan yang tradisional dan mengabaikan syahwat kelezatan, bila malam tiba mereka tegak di atas kaki, sambil menampilkan wajah mereka dengan aliran air mata. Bilamana berakhir salah seorang dari mereka sehabis melipat hamparan tidur menjauhi pergaulan masyarakat awam, melainkan untuk tujuan da’wah dan ta’lim.”
Ketahuilah bahwa kawasan thariqah al-Saadah al-Abi Alawi ialah senantiasa menutupi dan tidak mau berlebih-lebihan dan penonjolan diri, kecuali penonjolan yang didasari oleh ilmu dan hidayat. Sebagian thariqah mereka adalah berkunjung kepada teman/handai taulan dan berziarah kepada sahabat, para shalihin yang telah meninggal dunia seperti kuburan salafus sholeh dengan husnuz zhon yang tepat selama tidak dibarengi oleh hal-hal yang makruh atau haram, menghadiri majlis ilmu, maulid, dzikir dan disertai adab dengan diharamkanya hadir/campur baur dengan lawan jenis.
Berkata Sayiduna al-Imam Thahir bin Husain bin Thahir : “Ini, thariqah salaf al-Alawiyah adalah thariqah yang diridhoi, higienis, lurus, praktis, suci, tidak ada lika likunya dan tidak ada yang mudhorot dan memberi mudhorot, perjalanan mereka masyhur dan sejarah mereka terang berderang.”
Para al-Saadah al-Abi Alawi, mereka selalu menghidupkan mujahadat dalam zaman apa saja. Diantara mereka ada yang seusai shalat tarawih, di dalam shalat dua rakaat (nafilah) membaca Alquran seluruhnya. Banyak dari mereka yang menghindari tidur malam selama lebih dari dua puluh tahun. Ada pula di antara mereka bertahajud, kemudian membaca sepuluh juz Alquran mulai tengah malam hingga subuh. Di antara mereka ada juga yang bertahun-tahun duduk seperti sedang membaca tasyahud sebagai tata krama di hadapan Allah SWT. Ada pula di antara mereka yang membiasakan diri sedikit makan hingga lambung mereka tidak mampu mendapat kuliner lebih dari sepertiga atau seperempat suap. Al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi menyampaikan :
“ Dari kamum Sayyid Bani Alawiy, yang paling rendah ilmunya ialah yang ilmunya tidak dibutuhkan oleh ulama selain mereka. Setiap orang dari mereka hafal akan manaqib (sifat-sifat utama) keluarganya, perilakunya, riwayat hidupnya dan kekeramatannya. Seorang Sayyid Bani Alawiy dalam mengajarkan ilmu dan budbahasa (sastra) lebih banyak menempuh Tutorial lisan (talaqqi) dan mengamalkan ta’addub (sopan santun dan tata krama) dalam praktek, tidak dengan banyak membaca buku-buku dan mendengarkan ceramah-ceramah …”
Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Attas berkata :
“ Orang saleh dari kamum Alawiyin zaman dahulu dan orang-orang selain mereka dalam mengajarkan ilmu lebih menitikberatkan pada pendidikan untuk menyelamatkan dada (membersihkan dan meluruskan hati), menanamkan prasangka baik terhadap Allah SWT dan terhadap sesama insan, hidup zuhud (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi), mendambakan kebahagiaan alam baka, menjaga hak-hak orang lain dan menghormati ilmu, para ulama, para wali serta kamum mukminin dan muslimin. Mereka dididik dan dilatih mengawasi hati mereka sendiri dan menjaga indera pendengaran dari segala macam kericuhan yang pernah dialami sebelumnya. Tujuannya adalah semoga hati mereka tetap jernih dan bersih, jiwa mereka menjadi tentram dan menggantungkan cita impian pada kebajikan dan sarana-sarananya …”
Karena pentingnya hal di atas, maka al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata : “Tak seorangpun dari Bani Alawi boleh menyalahi Cara-cara yang ditempuh oleh sesepuhnya dahulu, dan dilarang juga menyimpang dari jalan hidup dan prilaku mereka…” selanjutnya dikatakan : “Sebab jalan mendekatkan diri kepada Allah (thariqah) yang mereka tempuh dibuktikan dengan kebenarannya oleh Alquran dan Sunnah Rasul saw, dan banyak sekali riwayat hadis serta sejarah kehidupan kamum salaf. Dan kamum salaf itulah yang secara berantai mendapat peninggalan para sesepuhnya, hingga kepada datuk pertama, Muhammad saw. Dalam hal ini masing-masing dari mereka itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri.”
0 Response to "Mengenai Habaib/Saadah/Syarif/Ba'Alwiy .... ( Kalam-2 Salaf Bani 'Alawiy )"
Post a Comment