-->

Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Al-Hâfizh adz-Dzahabi

Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun dalam banyak kasus adz-Dzahabi mengikuti paham ibn Taimiyah, –terutama dalam perkara iman–, namun beliau sadar bahwa ia sendiri dan gurunya tersebut, serta orang-orang yang
menjadi pengikut gurunya ini telah menjadi bulan-bulanan dominan umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah pengikut madzhab al-Imam debu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya agar ia berhenti dari menyerukan paham-paham ekstrimnya, serta berhenti dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Imam adz-Dzahabi menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah, sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap kekeliruan gurunya sendiri. Kami menukil ,berikut ini, sebagian surat adz-Dzahabi untuk Ibn Taimiyah dalam Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab dan an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah :
Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah. Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm (risalah pertama), adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang ditujukan kepada ibn Taimiyah yang artinya sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab jilid. 2, halaman. 9, pent..]:


Risalah pertama:
“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu kalau engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang tiba dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam kuliner, dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun.

Sungguh saya telah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (ibn Taimiyah) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan lantaran sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an ” dan perilaku kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah (risalah kedua), secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab kafeâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, jilid. 2, halaman. 9-11]:

“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.

Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena saya sedikit sekali memiliki sifat sedih!!

Oh… Alangkah disayangkan fatwa-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!

Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!

Oh… Alangkah murung dikarenakan telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang mempunyai sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!

Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan.

Alangkah beruntungnya seorang yang disibukkan dengan memperbaiki malunya sendiri dari pada ia mencari-cari malu orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari malu orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.

Sampai kapan engkau (Wahai ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang konkret-nyata berada di dalam matamu sendiri?!

Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?!

Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, lantaran sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.

Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran pedoman Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka yaitu jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka yaitu orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak menyampaikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang ialah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…(Ibn Taimiyah)! ,demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau ialah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan hingga engkau terjerumus dalam aneka macam kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim].
Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. ia bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang saya khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad). jikalau banyak bicara tanpa dalil dalam kasus aturan halal dan haram adalah perkara yang akan menyebabkan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita mampu membantah mereka dengan logika kita??

Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan aneka macam macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berpikir.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan ihwal orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, kalau orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.

Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan pengecap Ibn Hazm ialah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang 'Bid’ah al-Khamîs', atau ihwal 'Akl al-Hubûb', tetapi berbicaralah dengan kami tentang banyak sekali bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”.

(Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan ialah murni sebagai belahan dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, kafeangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seakan-akan keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih jelek dari pada kekufuran Fir’aun.
(Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seolah-olah kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menimbulkan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau yaitu orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, lantaran ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi kalau yang menjadi pengikutmu tersebut yaitu seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang 'terikat' dan lemah budi?! Atau kalau tidak demikian maka dia yaitu orang pendusta yang bakir tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia ialah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia yaitu seorang yang [terlihat] mahir ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!

Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! hingga kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan aneka macam Cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan Caramu tersebut?!

Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebaliknya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.Tidakkah kini ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah dikalanya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau kini sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, saya mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat akhir hayat, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! saya juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap mempunyai harapan besar untuk membantah lembaran ini dengan goresan pena berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, membisulah…!”.
Jika evaluasi terhadap dirimu dari diri saya seolah-olah ini, padahal saya sangat menyayangi dan mencintaimu, maka bagaimana evaluasi para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu ,demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu ialah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.

Aku sangat ridha (rela) kalau engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah menyampaikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. lantaran memang saya ialah insan banyak dosa. Alangkah celakanya saya bila saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jikalau aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian".


Demikianlah sebagian acuan perihal takwil ayat Ilahi dan masih banyak lagi ayat Ilahi yang ditakwil artinya oleh para sahabat dan tabi’in yang tidak dikemukakan disini. Sebagaimana yang telah dikemukakan tadi bahwa kelompok Wahabi/Salafi untuk menetapkan kesucian Allah swt., mereka mengatakan; Allah swt. mempunyai jasmani namun tanpa bentuk, Allah  mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk dan sebagainya! Ini semua adalah keyakinan yang tidak benar! 

Mari kini kita teliti lagi riwayat-riwayat berikut ini –jelas mengarah dan memperlihatkan tajsim dan tasybih– yang mana golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya menyakini serta mempercayai makna dhohir hadits secara hakiki, hanya manusia tidak boleh membayangkan dewanya.

 – Berkata Wahab bin Munabbih waktu ditanya oleh Jaad bin Dirham wacana asma wa sifat: Celaka engkau wahai Jaâd karena permasalahan ini. Sungguh saya mengira engkau akan binasa. Wahai Jaâd, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya. Bertakwalah engkau kepada Allah! (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)

 –  Abdullah ibn Ahmad rh. meriwayatkan, disertai dengan menyebut sanad-sanadnya. ia berkata, “Rasulallah saw. telah bersabda; ’Tuhan kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang lainnya. Perawi berkata; ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah tuhan tertawa?’ Rasulallah saw. menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Kita tidak ke hilangan ilahi yang tertawa dalam kebaikan’ “.  [Kitab as-Sunnah, hal. 54].

 –  Abdullah ibn Ahmad berkata, “Saya membacakan kepada ayahku. lalu, dia menyebutkan sanadnya hingga kepada Sa’id bin Jubair yang berkata, Sesungguhnya mereka berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari kerikil yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?’ Saya berkata kepada Sa’id bin Jubair, kemudian dia berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari watu zamrud dan naskah tulisan emas, yang yang kuasa menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya.”  [Kitab as-Sunnah, hal. 76].

 –  Abdullah ibn Ahmad berkata, “Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari Abi ‘Ithaq yang berkata, ‘Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya kebatu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi pena dewanya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan ilahinya kecuali sebuah tirai.’” [Kitab as-Sunnah, hal. 76].

Mari kita baca lagi riwayat lainnya dibawah ini yang memutuskan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga memutuskan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab at-Tauhid dengan bersanad dari Anas bin Malik ra yang berkata; 

 – Rasulallah saw. telah bersabda; ‘Manakala dewanya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingkingnya itu, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung.Humaid bertanya kepadanya, ‘Apakah kau akan mengatakan hadits ini?’ Dia menjawab, ‘Anas mengatakan hadits ini kepada kami dari Rasulallah, lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan hadits ini?’ “  [Kitab at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal. 65]
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah swt. mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai jari, dan diantara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemudian mereka juga mengata- kan jari kelingking itu mempunyai sendi...!! 

– Abdullah rh juga berkata, dengan bersanad dari debu Hurairah, dari Rasulallah saw. yang bersabda;”Sesungguhnya kekasaran kulit orang kafir panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa.” [Kitab at-Tauhid, hal. 190]. Dari hadits ini mampu dipahami, ilahi mempunyai  dua tangan, juga kedua tangan tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu. Karena jikalau tidak, maka mustahil kedua tangan tersebut menjadi ukuran bagi satuan panjang.

–  Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rh, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata, “Rasulallah saw. telah bersabda, ‘Orang-orang kafir dilemparkan kedalam neraka. kemudian neraka berkata, ‘Apakah masih ada perhiasan lagi ?, maka Allah pun meletakkan kaki-Nya kedalam neraka, sehingga neraka berkata, ‘Cukup, cukup’  “. [Kitab at-Tauhid, hal. 184].

– Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari debu Hurairah, dari Rasulallah saw. yang bersabda; “Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah meletakkan kaki-Nya kedalamnya. lalu, nerakapun berkata, ‘Cukup cukup.’ Ketika itulah neraka menjadi penuh.” [Kitab at-Tauhid, hal. 184]. Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa Allah swt. mempunyai kaki.

Ada riwayat lebih jauh lagi dengan memutuskan bahwa Allah swt. mempunyai nafas. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin Ka’ab yang berkata, “Janganlah kau melaknat angin, lantaran sesungguhnya angin berasal dari nafas dewa.”   [Kitab as-Sunnah, hal. 190].

– Mereka juga tetapkan dan bahkan menyerupakan  suara Allah dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, “Jika Allah berkata-kata mengatakan wahyu, para penduduk langit mendengar bunyi bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang tenang.” [Kitab as-Sunnah, hal. 71].
Selanjutnya, riwayat berikut ini yang memutuskan bahwa Allah swt. duduk dan mempunyai bobot. Oleh karena itu, terdengar bunyi derit dingklik ketika Allah sedang duduk diatasnya. jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari bunyi derit?  

–  Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, dengan bersanad dari Umar ra yang berkata, “Jika Allah duduk di atas dingklik, akan terdengar bunyi derit tidak ubahnya seolah-olah suara deritnya koper besi.” [Kitab as-Sunnah, hal.79]. Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat.
Beliau juga mengatakan, dengan bersanad kepada Abdullah ibn Khalifah, “Seorang wanita telah tiba kepada Nabi saw. kemudian berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.’ Nabi saw. berkata, Maha Agung Allah.’ Rasulallah saw. kembali berkata, ‘Sungguh luas dingklik-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai bunyi tidak ubahnya seolah-olah suara derit pelana tatkala dinaiki’ “. [Kitab as-Sunnah, hal. 81].

Ada riwayat yang mengatakan lebih dari itu umpama didalam sebuah hadits disebutkan, Allah swt. membuat Adam menurut wajah-Nya, setinggi tujuh puluh hasta. Dengan demikian insan akan membayangkan bahwa Allah swt. akan mempunyai wajah yang berukuran tingginya seakan-akan wajah Adam as. Hadits-hadits diatas dan berikut ini juga tidak mampu dipertanggung-jawabkan kebenarannya lantaran bertentangan dengan  firman Allah swt..

Ada juga hadits yang tetapkan bahwa Allah swt dapat dilihat, mempunyai tangan yang cuek dan sebagainya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata: Rasulallah saw. telah bersabda, “Aku melihat dewaku dalam bentuk-Nya yang paling bagus. kemudian ilahiku berkata, ‘Ya Muhammad.’ aku menjawab, ‘Aku tiba memenuhi usul-Mu.’ ilahiku berkata lagi, ‘Dalam persoalan apa malaikat tertinggi bertengkar’? aku menjawab, ‘Aku tidak tahu, wahai dewaku.’ Rasulallah saw. melanjutkan sabdanya, ‘Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya diantara dua bahu-ku, sehingga aku mampu merasakan acuh taacuhnya tangan-Nya diantara kedua tetek-ku, maka sayapun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat’ “. (Kitab at-Tauhid, hal. 217).

– Riwayat yang lebih aneh lagi, Abdullah bin Ahmad juga berkata, sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khattab ra mengirim surat kepada Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar bertanya, ‘Apakah Muhammad telah melihat yang kuasa-nya?’ Maka Abdullah bin Abbas pun mengirim surat jawaban kepadanya. Abdullah bin Abbas menjawab, ‘Benar.’ Abdullah bin Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulallah saw. melihat yang kuasa-nya. Abdullah bin Abbas mengirim surat balasan, ‘Rasulallah saw. melihat ilahinya di sebuah taman yang hijau, dengan permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang pria, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.’” [Kitab at-Tauhid, hal. 194].

Lebih aneh lagi ada riwayat yang mungkar ,berikut ini, yang dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah dan kelompok wahabisme/salafisme bahwa Rasulallah saw melihat Allah swt berupa seorang muda Amrad (yang belum tumbuh jenggot dan kumisnya). Ibnu taymiyah dan kelompok wahabisme dengan terperinci menyatakan shahih marfu’ hadits dengan lafal pemuda amrad dalam kitabnya Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah jilid 7 hal.290. Hadits ini sudah terang tidak bisa diterima kebenarannya disamping bertentangan sekali dengan ayat-ayat al-quran yang telah kami kemukakan tadi juga terang sekali menunjukkan bahwa Allah swt ,naudzubillah, seorang makhluk.
Takhrij hadits Ibnu Abbas:"Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah saw bersabda “Aku melihat Rabbku dalam bentuk perjaka amrad berambut keriting dengan pakaian berwarna hijau”.(HR. Al Baihaqi dalam Asmaa’ was Shifaat no 938, Ibnu Ady dalam Al Kamil 2/260-261, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/55 biografi Umar bin Musa bin Fairuz, Adz Dzahabi dalam As Siyaar 10/113 biografi Syadzaan, abu Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 122, 123, 125, 126,127 ,129, dan 143 (dengan sedikit perbedaan pada lafaznya), Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah no 15. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Sedangkan yang meriwayatkan dari Hammad ialah Aswad bin Amir ialah Syadzaan (tsiqat dalam At Taqrib 1/102), Ibrahim bin Abi Suwaid (tsiqat oleh bubuk Hatim dalam Al Jarh wat Ta’dil 2/123 no 377), Abdush Shamad bin Kaisan atau Abdush Shamad bin Hasan (shaduq oleh bubuk Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 6/51 no 272). Hadits ini maudhu’ dengan sanad yang dhaif dan matan yang mungkar.

Hadits diatas mengandung illat: Hammad bin Salamah, ia tidak tsabit riwayatnya dari Qatadah. Dia walaupun disebutkan sebagai perawi yang tsiqah oleh para ulama, dia juga sering salah lantaran kekacauan pada hafalannya sebagaimana yang disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 14 dan At Taqrib 1/238. Disebutkan dalam Syarh Ilal Tirmidzi 2/164 yang dinukil dari Imam Muslim bahwa Hammad bin Salamah banyak melaksanakan kesalahan dalam riwayatnya dari Qatadah. Oleh lantaran itu hadis Hammad bin Salamah dari Qatadah ini tidak bisa dijadikan hujjah apalagi bila menyendiri dan lafaznya mungkar.* Tadlis Qatadah, Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam Thabaqat Al Mudallisin no 92 sebagai mudallis martabat ketiga, dimana Ibnu Hajar mengatakan bahwa pada martabat ketiga hadis perawi mudallis tidak mampu diterima kecuali ia menyebutkan penyimakannya dengan terperinci. Dalam Tahrir At Taqrib no 5518 juga disebutkan bahwa hadis Qatadah lemah kecuali ia menyebutkan sama’ nya dengan terperinci. Dalam hadis ini Qatadah meriwayatkan dengan ‘an ‘anah sehingga hadis ini lemah.Kelemahan sanad hadisnya ditambah dengan matan yang mungkar sudah cukup untuk menyatakan hadis ini maudhu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal no 15. Kemungkaran hadis ini juga tidak diragukan lagi bahkan diakui oleh Baihaqi dan Adz Dzahabi dalam As Siyaar. Bashar Awad Ma’ruf dalam tahqiqnya terhadap kitab Tarikh Baghdad 13/55 menyatakan hadis ini maudhu’.Ibnu Taimiyyah dan Syaikh wahabi ikut-ikutan menshahihkan hadis Ibnu Abbas ini.

Dengan adanya riwayat-riwayat yang telah kami kemukakan tadi, jelas Allah swt. menjadi seorang makhluk –na’udzubillahi– yang mempunyai organ-organ (jari kelikingking, kaki, tangan dan lain sebagainya) seperti yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Para ulama salaf bersepakat bahwa barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat diantara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir. Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al Muhaddits as-Salaf ath-Thahawi (227 – 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama al Aqidah ath-Thahawiyah, menyatakan, yang artinya: “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.

Semua riwayat hadits tersebut terang memperlihatkan tajsim atau tasybih Allah kepada makhluk-Nya dan hal itu bertentangan dengan firman Allah swt. yang telah dikemukakan tadi. Orang yang mempercayai hadits-hadits itu sudah niscaya akan membayangkan yang kuasanya –walaupun mereka ini berkata tidak membayangkan-Nya– wacana bentuk jari kelingking Allah swt., kaki-Nya,  wajah-Nya, berat-Nya, rambut-Nya dan lain sebagainya. 

Marilah kita baca dibawah ini diskusi mengenai seputar sifat-sifat Allah antara seorang madzhab sunnah  (lebih mudahnya kita juluki si A ) dengan salah seorang tokoh Wahabi/Salafi (kita juluki si B).Si A mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tersebut dalam hadits-hadits diatas ini, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan kesalahan keyakinan-keyakinan tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat.

Si A (madzhab sunnah) bertanya pada si B: bila memang Allah swt. mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkan-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. lantaran jiwa insan tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.”  

Si B (madzhab Wahabi) menjawab: “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya (bentuk Allah), namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya!!”

Si A bertanya lagi: “Apa bedanya antara anda meletakkan sebuah berhala dihadapan anda dan kemudian anda menyembahnya dengan anda hanya membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?”.

Si B menjawab: “Ini ialah perkataan kelompok sesat semoga Allah memburukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seakan-akan ini (mempunyai dua tangan, kaki dan lain-lain). Sehingga dengan demikian, mereka itu menyembah tuhan yang tidak ada.”

Si A ini berkata lagi: “Sesungguhnya Allah yang Maha benar, Dia tidak mampu diliputi oleh akal, tidak mampu dicapai oleh penglihatan, tidak mampu ditanya dimana dan bagaimana, serta tidak mampu dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. karena Dialah yang telah menciptakan dimana dan bagaimana. Segala sesuatu yang tidak mampu anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang mampu anda bayangkan yaitu makhluk. Kami telah mencar ilmu dari para ulama dari keturunan Nabi saw.
Mereka berkata, ‘Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meskipun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu makhluk seakan-akan kau.’ Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidak mampuan mengenal-Nya.”

Si B berkata dengan penuh emosi, “Kami tetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup ! “ Demikianlah diskusi singkat ini. 

Golongan Wahabi/Salafi berusaha memberikan pembenaran terhadap hadits-hadits mengenai penjasmanian/Tajsim dan penyerupaan/ Tasybih tersebut dengan alasan: “Tanpa bentuk (bi la kaif)”?! Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair, “Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya namun mereka takut akan kecaman manusia maka oleh lantaran itu mereka pun menyembunyikannya dengan mengatakan tanpa bentuk (bila kaif)”.
Pembenaran golongan Wahabi/Salafi mengenai riwayat penjasmanian Allah swt. ,yang telah diuraikan, yaitu bertentangan dengan ayat-ayat ilahi yang telah kami kemukakan tadi. Mereka hanya ingin bermain lidah saja yang mengatakan bahwa hadits-hadits itu benar, tapi tanpa bentuk, karena riwayat-riwayat itu sudah terang bagi orang yang pandai sebagai penetapan kepada makna yang hakiki/sebenarnya. Kata-kata meletakkan kaki, tangan, jari kelingking, duduk dan sebagainya yang disebut kan itu berarti mempunyai arti yang sudah dikenal yaitu penetapan tangan, kaki, jari kelingking dan duduk itu sendiri. Sehingga bila orang berkata si A duduk kita akan tahu bagaimana bentuknya duduk tersebut lain dengan berdiri. Tangan si A memegang pundak saya ini berarti penetapan bentuknya tangan itu sendiri. Jadi tidak bisa diartikan selain daripada Tajsim atau penjasmanian dan Tasybih/Penyerupaan tuhan kepada makhluk-Nya. Na’udzubillah

Seorang madzhab sunnah pernah berdiskusi dengan salah seorang dosennya di kampus ihwal seputar kasus duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika si dosen terdesak dia mengemukakan alasan: “Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, ‘Arti duduk (al-istiwa) diketahui, tapi bentuk (al-kaif) duduknya tidak diketahui, dan pertanyaan wacananya yaitu bid’ah.”.  Seorang madzhab sunnah  berkata kepadanya; “anda tidak menambahkan apa-apa kecuali kesamaran, dan anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua perjuangan ini.”

Dosen ini berkata, “Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius.” Madzhab sunnah ini mengatakan; “Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun diketahui juga. Sebaliknya, kalau bentuk tidak diketahui, maka duduk pun tidak diketahui, lantaran tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang duduk yaitu pengetahuan ihwal bentuk itu sendiri, dan budi tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena keduanya yaitu satu. jikalau anda mengatakan si A duduk, maka ilmu anda perihal duduknya yaitu ihwal bentuk (kaiffiyah) duduknya. Ketika anda mengatakan, duduk diketahui, maka ilmu anda ihwal duduk itu yaitu tentang bentuk duduk itu sendiri. lantaran jika tidak, maka tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa anda mengetahui duduk, namun pada saat yang sama anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui bentuknya.” Kemudian si
Dosen pun termenung beberapa ketika, kemudian dengan tergesa-gesa dia meminta izin untuk pergi.!!
Kesimpulan singkat mengenai keterangan mengenai tajsim dan tasybih yang perlu dipahami ialah :
(Dimensi) ruang/tempat, waktu, dan kesadaran ialah makhluk Allah. Allah tidak dibatasi ruang, waktu dan kesadaran makhluk. Bukankah Allah swt. sendiri telah berfirman: Tiada sesuatu pun yang ibarat-Nya’ (QS Asy-Syuura :11); ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS  Al-An’aam : 103);  ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’.( QS Ash-Shaffaat:159) dan ayat-ayat lain yang serupa. Ayat-ayat inilah sebagai dalil yang kuat bahwa Allah swt. tidak mampu disamakan atau disifatkan seakan-akan makhluk-Nya. Nash-nash yang menyatakan sifat atau perbuatan Sang Pencipta tentunya harus dipahami dengan landasan dalil-dalil bahwa ruang, waktu, pikiran, dan kesadaran ialah makhluk Allah, sehingga harus dipahami bahwa Allah swt. bukan makhluk, memahami makna “sifat atau perbuatan Allah” itu tentu dalam pengertian memahami sesuatu yang diluar batas ruang, waktu, dan kesadaran. bila memahami ayat-ayat shifat itu menggunakan bahasa majazi/kiasan ialah sesuatu yang dibolehkan dan diajarkan oleh Nabi saw. Hal ini paling baik karena untuk menghidari orang terjerumus dalam mujassimah. Dengan meyakini ayat-ayat itu secara dzohir atau lahirnya ayat tanpa menjelaskan maknanya bahwa Allah swt. bukan seperti makhluk-Nya (tidak terikat waktu, ruang dan lain sebagainya ) orang mampu  terjerumus kepada mujassimah.

Lebih mudahnya kami beri teladan, tatkala kita menyebutkan kata ‘Singa’ –yaitu berupa kata tunggal– maka dengan serta merta terbayang di dalam benak kita seekor hewan buas yang hidup dihutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk tarkibi (susunan kata) yang tidak mengandung qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi (tunggal). seperti kalimat yang berbunyi, ‘Saya melihat seekor singa sedang memakan mangsanya dihutan”. Kata Singa disini maknanya yaitu sama yaitu bingatang buas. Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, ‘Saya melihat singa sedang menyetir mobil ’. Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada didalam kalimat ini yaitu arti kiasan yaitu seorang laki-laki pemberani, bukan berarti binatang buas. Inilah kebiasaan orang Arab didalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata; ‘Dia menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari karena bunyi terompet perang yang dibunyikan’.
Dari syair ini kita mampu mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain yaitu seorang pria yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh dalam peperangan. Orang yang mengerti perkataan ini, mustahil akan menamakannya sebagai orang yang merubah kalimat dengan sesuatu yang keluar dari makna dzahir perkataan.

Begitu juga susunan kata seolah-olah,  ‘Negeri ini berada didalam genggaman tangan Raja’. Orang akan memahami yang dimaksud kalimat ini ialah ‘Negeri ini berada dibawah kekuasaan dan kehendak Raja’. Susunan kata ini tetap sesuai atau tetap diucapkan meskipun pada kenyataannya Raja tersebut buntung tangannya. Makara kata ‘genggaman tangan’ dalam kalimat ini sebagai kata kiasan/majazi yang harus diadaptasi maknanya.

Demikian juga halnya dengan ayat-ayat shifat Allah swt. (wajah-Nya, tangan-Nya, betis, turun, tertawa dan lain sebagainya) baik yang tertulis dalam Alqur’an maupun dalam Hadits, walaupun dhahir tektsnya tetap tertulis di dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi para sahabat dan ulama pakar menerangkan dan mensesuaikan maknanya dengan ke Maha Sucian dan keMaha Agungan-Nya atau diserahkan pe-makna-annya kepada Allah swt., untuk menghindari orang terjerumus dalam mujassimah.
Disini kita juga harus mencermati dan memahami dengan benar perkataan para imam seolah-olah Imam Syafi’i dan para imam lainnya yang selalu dinukil oleh golongan Mujassimah. Apakah para imam itu menghendaki makna seperti golongan Mujassimah terjemahkan? Apakah bila para imam itu tidak melakukan takwil berarti mereka memaknainya seperti yang golongan Mujassimah terjemahkan?! Disinilah letak kasusnya! Para Ulama dalam menyikapi ayat-ayat/hadits-hadits shifat mempunyai beberapa tiga pendapat/aliran:
a).   Ada golongan ulama mentafwidh artinya tidak berkomentar apapun, tidak memberikan arti apapun ihwalnya. Mereka menyerahkan pe-makna-annya kepada Allah swt.. Artinya para ulama golongan ini tidak mau melibat kan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya itu! Kaprikornus gologan ulama ini tidak memiliki aliran tapi mereka ini tidak berarti menjadi menta’thil (menafikan) dari pensifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabbihah belaka!

b).   Ada golongan ulama yang menakwilkannya, dengan penakwilan tertentu yaitu memberikan penafsiran yang sesuai dengan ke Mahasucian dan ke-Maha-agungan Allah swt., ini dibolehkan.

c). Golongan lainnya lagi mengartikan kata-kata shifat itu dengan arti yang hakiki/sesungguhnya seakan-akan kata: Yanzilu diartikan turun secara hakiki, Yadun diartikan tangan secara hakiki, dhohika diartikan tertawa secara hakiki dan begitu seterusnya, yang semuanya ini tidak lain menjurus kepada tajsim dan tasybih Allah swt. kepada Makhluk-Nya. karena secara bahasa dhahika itu tertawa, dan tertawa itu artinya terperinci dalam kamus-kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Kata yanzilu secara bahasa artinya turun, dan turun itu meniscayakan adanya perpindahan dan perpindahan itu meniscayakan adanya gerak, dan gerak itu adalah konsekuensi dari sifat benda, itu jelas sekali ! Kalau kata yanzilu tanpa perpindahan dan gerak ya namanya bukan yanzilu! Itu berarti memaknai kata itu bukan dengan makna bahasa sesungguhnya! Wallahu a’lam. 

Marilah kita baca dibawah ini sebagian isi khotbah Amirul Mukminin Imam Ali Bin Abi Thalib k.w. yang sangat cantik sekali mengenai sifat Allah swt. dari kitab Nahjul Balaqhoh terjemahan O.Hashem, Syarah oleh M.Hashem, Yapi 1990, Khotbah Pertama halaman 108-109 sebagai berikut: 

“Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tidak terlukiskan oleh pembicara. Tidak terhitung nikmat-Nya oleh para penghitung. Hak-Nya akan pengabdian tidak akan terpenuhi oleh para pengupaya. Tidak mampu dicapai Dia oleh ketinggian intelek dan tidak pula terselami oleh pemahaman yang bagaimanapun dalamnya. Ia, yang sifat-Nya tiada terbatasi lukisan, pujian yang tepat tidaklah maujud (Maha ada). Sang waktu tidaklah dapat memberi batas, dan tidak era yang mengikat-Nya.

Pangkal agama ialah ma’rifat-Nya, dan kesempurnaan ma’rifat-Nya adalah membenarkan-Nya dan kesempurnaan iman kepada keesaan-Nya ialah ikhlas kepada-Nya, dan kesempurnaan nrimo kepada-Nya, yaitu menafikan sifat yang diberikan kepada-Nya, lantaran setiap sifat menerangkan bahwa ia bukanlah yang disifati dan setiap yang disifati pertanda bahwa Ia bukanlah sifat. 

Dan kafetariaangsiapa menyifatkan Allah yang Maha Suci, maka ia telah memberikan pasangan kepada-Nya. Dan kafetariaangsiapa memberi pasangan kepada-Nya maka ia telah menggandakan-Nya. Dan kafeangsiapa mengganda kan-Nya, maka ia telah membagi-bagi-Nya. Dan barangsiapa membagi-Nya, maka ia telah berlaku jahil kepada-Nya. Dan barangsiapa berlaku jahil kepada-Nya berarti ia telah menunjuk-Nya. Dan barangsiapa memperlihatkan-Nya, berarti telah memberi batas kepada-Nya.
Dan kafeangsiapa membatasi-Nya, berarti memberi jumlah kepada-Nya.Dan kafetariaangsiapa berkata; ‘Di dalam apa Dia berada’ maka ia telah menyisipkan-Nya, dan kafeangsiapa berkata; ‘Di atas apa Dia berada’ maka sungguh Ia lepas dari hal tersebut. 

Dia maujud, Maha ada, tetapi tidak muncul dari proses peristiwa. Ia ada, tetapi tidak dari tiada. Ia bersama segala sesuatu, tapi tidak berdampingan. Dan Ia tidak bersama segala sesuatu, tanpa saling berpisahan. Ia bertindak, tetapi tidak berarti ia bergerak dan menggunakan alat. Ia Maha Melihat tapi tidak tergantung makhluk untuk dilihat. Ia Maha Esa dan tiada sesuatupun yang menemaninya, dan tidak merasa sepi karena ketiadaan”. Wallahu a’lam.
Semoga kita semua diberi ampunan dan hidayah dari Allah swt. Amin 

1 Response to "Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Al-Hâfizh adz-Dzahabi"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel