Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Al-Hâfizh adz-Dzahabi
Al-Hâfizh adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Walaupun
dalam banyak kasus adz-Dzahabi mengikuti paham ibn Taimiyah, –terutama
dalam perkara iman–, namun beliau sadar bahwa ia sendiri dan gurunya
tersebut, serta orang-orang yang
menjadi pengikut gurunya ini telah
menjadi bulan-bulanan dominan umat Islam dari kalangan Ahlussunnah Wal
Jama’ah pengikut madzhab al-Imam debu al-Hasan al-Asy’ari. Kondisi ini
disampaikan oleh adz-Dzahabi kepada Ibn Taimiyah untuk mengingatkannya
agar ia berhenti dari menyerukan paham-paham ekstrimnya, serta berhenti
dari kebiasaan mencaci-maki para ulama saleh terdahulu. Imam adz-Dzahabi
menuliskan beberapa risalah sebagai nasehat kepada Ibn Taimiyah,
sekaligus hal ini sebagai “pengakuan” dari seorang murid terhadap
kekeliruan gurunya sendiri. Kami menukil ,berikut ini, sebagian surat
adz-Dzahabi untuk Ibn Taimiyah dalam Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab dan an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah :
Risalah pertama berjudul Bayân Zghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab, dan risalah kedua berjudul an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah Li Ibn Taimiyah. Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm (risalah
pertama), adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang ditujukan kepada ibn
Taimiyah yang artinya sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh
asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min
‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab jilid. 2, halaman. 9, pent..]:
Risalah pertama:
“Hindarkanlah
olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya
dirimu kalau engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan
diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari
sesuatu yang tiba dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini
tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih
kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama ibn Taimiyah.
Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam kuliner,
dalam pakaian, dan terhadap perempuan. Kemudian ditambah lagi dengan
konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin
walau dalam keadaan apapun.
Sungguh saya telah lelah dalam
menimbang dan mengamati sifat-sifatnya (ibn Taimiyah) ini hingga saya
merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya
medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam
(sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka
membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya,
adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus
terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan lantaran sikap dengkinya
terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar
bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an ” dan perilaku kecintaan
terhadap kehormatan semacam ini!”.
Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah (risalah kedua), secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab kafeâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, jilid. 2, halaman. 9-11]:
“Segala
puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi
diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku
di dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena saya sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan fatwa-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Oh…
Alangkah murung dikarenakan telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan
pelita-pelita ilmu, orang-orang yang mempunyai sifat-sifat takwa, dan
orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!
Oh…
Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan
semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan.
Alangkah
beruntungnya seorang yang disibukkan dengan memperbaiki malunya sendiri
dari pada ia mencari-cari malu orang lain. Dan alangkah celakanya seorang
disibukan dengan mencari-cari malu orang lain dari pada ia memperbaiki
aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai ibn Taimiyah)
akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu,
sementara engkau melupakan cacat besar yang konkret-nyata berada di dalam
matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji
dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya
memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?!
Engkau selalu
mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau
tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut
orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang
baik, lantaran sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah
mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau
dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib
itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah
merasakan kebenaran pedoman Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui
kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka yaitu
jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat
mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan
tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung.
Dan sungguh, mereka yaitu orang-orang yang tidak mengenal (tidak
mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali
tidak menyampaikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda
Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang ialah
apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi
dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…(Ibn Taimiyah)! ,demi Allah,
berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau ialah
seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah
mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan hingga engkau
terjerumus dalam aneka macam kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi
Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim].
Nabimu
melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. ia bersabda:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang saya khawatirkan atas
umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad). jikalau
banyak bicara tanpa dalil dalam kasus aturan halal dan haram adalah
perkara yang akan menyebabkan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi
jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat,
seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas
bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.Demi Allah, kita ini telah
menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai
kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran
kaum filsafat supaya kita mampu membantah mereka dengan logika kita??
Hai
Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan aneka macam macam racun kaum
filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan
menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh…
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah
dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah
karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berpikir.
Oh…
Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan ihwal
orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh
tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan
sebaliknya, kalau orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka
dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj
(Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan pengecap Ibn Hazm ialah laksana dua saudara
kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam
dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang
'Bid’ah al-Khamîs', atau ihwal 'Akl al-Hubûb', tetapi berbicaralah
dengan kami tentang banyak sekali bid’ah yang kami anggap sebagai sumber
kesesatan”.
(Engkau berkata); Bahwa apa yang kita
bicarakan ialah murni sebagai belahan dari sunnah dan merupakan dasar
tauhid, kafeangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau
seakan-akan keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu
maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih jelek dari pada
kekufuran Fir’aun.
(Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani
sama seolah-olah kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menimbulkan
banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu
dengan dua kalimat syahadat maka engkau yaitu orang yang akan mendapat
kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang
menjadi pengikutmu, lantaran ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk
masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi kalau
yang menjadi pengikutmu tersebut yaitu seorang yang lemah dalam ilmu
dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu
mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam
ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya,
adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa
mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang 'terikat' dan
lemah budi?! Atau kalau tidak demikian maka dia yaitu orang pendusta
yang bakir tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia ialah aneh yang
serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka
dia yaitu seorang yang [terlihat] mahir ibadah dan saleh, namun
sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau
tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi
pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai
Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan
syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! sampai kapan
engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang
saleh yang akan engkau musuhi?! hingga kapan engkau akan tetap hanya
membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang
akan engkau lecehkan?!Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan
sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau
kecilkan (hinakan)?!Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan
sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau
perangi?!Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji
pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan aneka macam Cara, yang demi
Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab
shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan Caramu tersebut?!
Oh…
Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari
keritikmu…! Tetapi sebaliknya, dengan semaumu engkau sering merubah
hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar,
atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus
diingkari.Tidakkah kini ini saatnya bagimu untuk merasa takut?!
Bukankah dikalanya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada
Allah)?! Bukankah engkau kini sudah dalam umur 70an tahun, dan
kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, saya mungkin mengira bahwa
engkau tidak akan pernah ingat akhir hayat, sebaliknya engkau akan
mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! saya juga mengira bahwa
mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku
ini, sebaliknya engkau akan tetap mempunyai harapan besar untuk
membantah lembaran ini dengan goresan pena berjilid-jilid, dan engkau akan
merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu
membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata
kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, membisulah…!”.
Jika evaluasi
terhadap dirimu dari diri saya seolah-olah ini, padahal saya sangat
menyayangi dan mencintaimu, maka bagaimana evaluasi para musuhmu
terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu ,demi Allah, mereka adalah
orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara
para pembelamu ialah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang
tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.
Aku
sangat ridha (rela) kalau engkau mencaci-maki diriku dengan
terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku
ini. “Sungguh Allah telah menyampaikan rahmat kepada seseorang, jika ada
orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan
aib-aibnya”. lantaran memang saya ialah insan banyak dosa. Alangkah
celakanya saya bila saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jikalau
aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang
ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya,
dan hidayah-Nya.Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam
semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas
keluarganya, dan para sahabatnya sekalian".
Demikianlah
sebagian acuan perihal takwil ayat Ilahi dan masih banyak lagi ayat
Ilahi yang ditakwil artinya oleh para sahabat dan tabi’in yang tidak
dikemukakan disini. Sebagaimana yang telah dikemukakan tadi
bahwa kelompok Wahabi/Salafi untuk menetapkan kesucian Allah swt.,
mereka mengatakan; Allah swt. mempunyai jasmani namun tanpa bentuk, Allah mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk dan sebagainya! Ini semua adalah keyakinan yang tidak benar!
Mari
kini kita teliti lagi riwayat-riwayat berikut ini –jelas mengarah
dan memperlihatkan tajsim dan tasybih– yang mana golongan Wahabi/Salafi dan
pengikutnya menyakini serta mempercayai makna dhohir hadits secara
hakiki, hanya manusia tidak boleh membayangkan dewanya.
– Berkata Wahab bin Munabbih waktu ditanya oleh Jaad bin Dirham wacana asma wa sifat:
Celaka engkau wahai Jaâd karena permasalahan ini. Sungguh saya mengira
engkau akan binasa. Wahai Jaâd, kalau saja Allah tidak
mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya. Bertakwalah engkau kepada Allah! (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)
–
Abdullah ibn Ahmad rh. meriwayatkan, disertai dengan menyebut
sanad-sanadnya. ia berkata, “Rasulallah saw. telah bersabda; ’Tuhan
kita telah menertawakan keputus-asaan hamba-hamba-Nya dan kedekatan yang
lainnya. Perawi berkata; ‘Saya bertanya, ‘Ya Rasulallah, apakah tuhan
tertawa?’ Rasulallah saw. menjawab, ‘Ya.’ Saya berkata, ‘Kita tidak ke hilangan ilahi yang tertawa dalam kebaikan’ “. [Kitab as-Sunnah, hal. 54].
–
Abdullah ibn Ahmad berkata, “Saya membacakan kepada ayahku. lalu, dia
menyebutkan sanadnya hingga kepada Sa’id bin Jubair yang berkata,
Sesungguhnya mereka berkata, ‘Sesungguhnya ruh-ruh berasal dari kerikil
yaqut-Nya. Saya tidak tahu, apakah dia mengatakan merah atau tidak?’
Saya berkata kepada Sa’id bin Jubair, kemudian dia berkata, ‘Sesungguhnya
ruh-ruh berasal dari watu zamrud dan naskah tulisan emas, yang yang kuasa
menuliskannya dengan tangan-Nya, sehingga para penduduk langit dapat mendengar suara gerak pena-Nya.” [Kitab as-Sunnah, hal. 76].
–
Abdullah ibn Ahmad berkata, “Ayahku berkata kepadaku dengan sanad dari
Abi ‘Ithaq yang berkata, ‘Allah menuliskan Taurat bagi Musa dengan tangan-Nya, dalam keadaan menyandarkan punggungnya kebatu, pada lembaran-lembaran yang terbuat dari mutiara. Musa dapat mendengar bunyi pena dewanya, sementara tidak ada penghalang antara dirinya dengan ilahinya kecuali sebuah tirai.’” [Kitab as-Sunnah, hal. 76].
Mari kita baca lagi riwayat lainnya dibawah ini yang memutuskan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga memutuskan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah didalam kitab at-Tauhid dengan bersanad dari Anas bin Malik ra yang berkata;
– Rasulallah saw. telah bersabda; ‘Manakala dewanya menaiki gunung, Dia mengangkat jari kelingking-Nya, dan mengerutkan sendi jari kelingkingnya itu, sehingga dengan begitu lenyaplah gunung.Humaid
bertanya kepadanya, ‘Apakah kau akan mengatakan hadits ini?’ Dia
menjawab, ‘Anas mengatakan hadits ini kepada kami dari Rasulallah,
lalu kamu menyuruh kami untuk tidak menyampaikan hadits ini?’ “ [Kitab
at-Tauhid, hal 113; Kitab as-Sunnah, hal. 65]
Hadits ini
menunjukkan bahwa Allah swt. mempunyai tangan, tangan-Nya mempunyai
jari, dan diantara jari-Nya itu ialah jari kelingking. Kemudian mereka
juga mengata- kan jari kelingking itu mempunyai sendi...!!
–
Abdullah rh juga berkata, dengan bersanad dari debu Hurairah, dari
Rasulallah saw. yang bersabda;”Sesungguhnya kekasaran kulit orang kafir
panjangnya tujuh puluh dua hasta, dengan ukuran panjang tangan Yang Maha Perkasa.” [Kitab
at-Tauhid, hal. 190]. Dari hadits ini mampu dipahami, ilahi mempunyai
dua tangan, juga kedua tangan tuhan mempunyai ukuran panjang tertentu.
Karena jikalau tidak, maka mustahil kedua tangan tersebut menjadi
ukuran bagi satuan panjang.
– Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal rh, dengan bersanad kepada Anas bin Malik yang berkata,
“Rasulallah saw. telah bersabda, ‘Orang-orang kafir dilemparkan kedalam
neraka. kemudian neraka berkata, ‘Apakah masih ada perhiasan lagi ?, maka Allah pun meletakkan kaki-Nya kedalam neraka, sehingga neraka berkata, ‘Cukup, cukup’ “. [Kitab at-Tauhid, hal. 184].
– Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari debu Hurairah, dari Rasulallah saw. yang bersabda; “Neraka tidak menjadi penuh sehingga Allah meletakkan kaki-Nya kedalamnya.
lalu, nerakapun berkata, ‘Cukup cukup.’ Ketika itulah neraka menjadi
penuh.” [Kitab at-Tauhid, hal. 184]. Dari riwayat ini dapat dipahami
bahwa Allah swt. mempunyai kaki.
Ada riwayat lebih jauh lagi dengan memutuskan bahwa Allah swt. mempunyai nafas.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, dengan bersanad kepada Ubay bin
Ka’ab yang berkata, “Janganlah kau melaknat angin, lantaran sesungguhnya
angin berasal dari nafas dewa.” [Kitab as-Sunnah, hal. 190].
– Mereka juga tetapkan dan bahkan menyerupakan suara Allah dengan suara besi. Abdullah bin Ahmad, dengan sanadnya telah berkata, “Jika Allah berkata-kata mengatakan wahyu, para penduduk langit mendengar bunyi bising tidak ubahnya suara bising besi di suasana yang tenang.” [Kitab as-Sunnah, hal. 71].
Selanjutnya, riwayat berikut ini yang memutuskan bahwa Allah swt. duduk dan mempunyai bobot.
Oleh karena itu, terdengar bunyi derit dingklik ketika Allah sedang duduk
diatasnya. jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari bunyi
derit?
– Abdullah bin Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, dengan bersanad dari Umar ra yang berkata, “Jika Allah duduk di atas dingklik, akan terdengar bunyi derit tidak ubahnya seolah-olah suara deritnya koper besi.” [Kitab as-Sunnah, hal.79]. Atau, tidak ubahnya seperti suara kantong pelana unta yang dinaiki oleh penunggang yang berat.
Beliau
juga mengatakan, dengan bersanad kepada Abdullah ibn Khalifah, “Seorang
wanita telah tiba kepada Nabi saw. kemudian berkata, ‘Mohonkanlah kepada
Allah supaya Dia memasukkan saya kedalam surga.’ Nabi saw. berkata, Maha Agung Allah.’ Rasulallah saw. kembali berkata, ‘Sungguh luas dingklik-Nya yang mencakup langit dan bumi. Dia mendudukinya, sehingga tidak ada ruang yang tersisa darinya kecuali hanya seukuran empat jari. Dan sesungguhnya Dia mempunyai bunyi tidak ubahnya seolah-olah suara derit pelana tatkala dinaiki’ “. [Kitab as-Sunnah, hal. 81].
Ada riwayat yang mengatakan lebih dari itu umpama didalam sebuah hadits disebutkan, Allah swt. membuat Adam menurut wajah-Nya, setinggi tujuh puluh hasta.
Dengan demikian insan akan membayangkan bahwa Allah swt. akan
mempunyai wajah yang berukuran tingginya seakan-akan wajah Adam as.
Hadits-hadits diatas dan berikut ini juga tidak mampu
dipertanggung-jawabkan kebenarannya lantaran bertentangan dengan firman
Allah swt..
Ada juga hadits yang tetapkan bahwa Allah swt dapat dilihat, mempunyai tangan yang cuek
dan sebagainya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah,
dengan bersanad kepada Ibnu Abbas yang berkata: Rasulallah saw. telah
bersabda, “Aku melihat dewaku dalam bentuk-Nya yang paling
bagus. kemudian ilahiku berkata, ‘Ya Muhammad.’ aku menjawab, ‘Aku tiba
memenuhi usul-Mu.’ ilahiku berkata lagi, ‘Dalam persoalan apa malaikat
tertinggi bertengkar’? aku menjawab, ‘Aku tidak tahu, wahai dewaku.’
Rasulallah saw. melanjutkan sabdanya, ‘Kemudian Allah meletakkan tangan-Nya diantara dua bahu-ku, sehingga aku mampu merasakan acuh taacuhnya tangan-Nya diantara kedua tetek-ku, maka sayapun mengetahui apa yang ada di antara timur dan barat’ “. (Kitab at-Tauhid, hal. 217).
–
Riwayat yang lebih aneh lagi, Abdullah bin Ahmad juga berkata,
sesungguhnya Abdullah bin Umar bin Khattab ra mengirim surat kepada
Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar bertanya, ‘Apakah Muhammad
telah melihat yang kuasa-nya?’ Maka Abdullah bin Abbas pun mengirim surat
jawaban kepadanya. Abdullah bin Abbas menjawab, ‘Benar.’ Abdullah bin
Umar kembali mengirim surat untuk menanyakan bagaimana Rasulallah saw.
melihat yang kuasa-nya. Abdullah bin Abbas mengirim surat balasan,
‘Rasulallah saw. melihat ilahinya di sebuah taman yang hijau, dengan permadani dari emas. Dia tengah duduk di atas kursi yang terbuat dari emas, yang diusung empat orang malaikat. Seorang malaikat dalam rupa seorang pria, seorang lagi dalam rupa seekor sapi jantan, seorang lagi dalam rupa seekor burung elang dan seorang lagi dalam rupa seekor singa.’” [Kitab at-Tauhid, hal. 194].
Lebih
aneh lagi ada riwayat yang mungkar ,berikut ini, yang dibenarkan oleh
Ibnu Taimiyah dan kelompok wahabisme/salafisme bahwa Rasulallah saw
melihat Allah swt berupa seorang muda Amrad (yang belum tumbuh
jenggot dan kumisnya). Ibnu taymiyah dan kelompok wahabisme dengan terperinci
menyatakan shahih marfu’ hadits dengan lafal pemuda amrad dalam kitabnya Bayaan Talbiis Al-Jahmiyyah
jilid 7 hal.290. Hadits ini sudah terang tidak bisa diterima
kebenarannya disamping bertentangan sekali dengan ayat-ayat al-quran
yang telah kami kemukakan tadi juga terang sekali menunjukkan bahwa Allah
swt ,naudzubillah, seorang makhluk.
Takhrij hadits Ibnu
Abbas:"Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah
dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah saw bersabda “Aku
melihat Rabbku dalam bentuk perjaka amrad berambut keriting dengan pakaian berwarna hijau”.(HR.
Al Baihaqi dalam Asmaa’ was Shifaat no 938, Ibnu Ady dalam Al Kamil
2/260-261, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/55 biografi Umar bin Musa
bin Fairuz, Adz Dzahabi dalam As Siyaar 10/113 biografi Syadzaan, abu
Ya’la dalam Ibthaalut Ta’wiilat no 122, 123, 125, 126,127 ,129, dan 143
(dengan sedikit perbedaan pada lafaznya), Ibnu Jauzi dalam Al ‘Ilal Al
Mutanahiyah no 15. Semuanya dengan jalan sanad yang berujung pada Hammad bin Salamah
dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas. Sedangkan yang meriwayatkan
dari Hammad ialah Aswad bin Amir ialah Syadzaan (tsiqat dalam At Taqrib
1/102), Ibrahim bin Abi Suwaid (tsiqat oleh bubuk Hatim dalam Al Jarh wat
Ta’dil 2/123 no 377), Abdush Shamad bin Kaisan atau Abdush Shamad bin
Hasan (shaduq oleh bubuk Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 6/51 no 272).
Hadits ini maudhu’ dengan sanad yang dhaif dan matan yang mungkar.
Hadits diatas
mengandung illat: Hammad bin Salamah, ia tidak tsabit riwayatnya dari
Qatadah. Dia walaupun disebutkan sebagai perawi yang tsiqah oleh para
ulama, dia juga sering salah lantaran kekacauan pada hafalannya
sebagaimana yang disebutkan dalam At Tahdzib juz 3 no 14 dan At Taqrib
1/238. Disebutkan dalam Syarh Ilal Tirmidzi 2/164 yang dinukil dari Imam
Muslim bahwa Hammad bin Salamah banyak melaksanakan kesalahan dalam
riwayatnya dari Qatadah. Oleh lantaran itu hadis Hammad bin Salamah dari
Qatadah ini tidak bisa dijadikan hujjah apalagi bila menyendiri dan
lafaznya mungkar.* Tadlis Qatadah, Ibnu Hajar telah menyebutkannya dalam
Thabaqat Al Mudallisin no 92 sebagai mudallis martabat ketiga, dimana
Ibnu Hajar mengatakan bahwa pada martabat ketiga hadis perawi mudallis
tidak mampu diterima kecuali ia menyebutkan penyimakannya dengan terperinci.
Dalam Tahrir At Taqrib no 5518 juga disebutkan bahwa hadis Qatadah lemah
kecuali ia menyebutkan sama’ nya dengan terperinci. Dalam hadis ini Qatadah
meriwayatkan dengan ‘an ‘anah sehingga hadis ini lemah.Kelemahan sanad
hadisnya ditambah dengan matan yang mungkar sudah cukup untuk menyatakan
hadis ini maudhu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi dalam Al
‘Ilal no 15. Kemungkaran hadis ini juga tidak diragukan lagi bahkan
diakui oleh Baihaqi dan Adz Dzahabi dalam As Siyaar. Bashar Awad Ma’ruf
dalam tahqiqnya terhadap kitab Tarikh Baghdad 13/55 menyatakan hadis ini
maudhu’.Ibnu Taimiyyah dan Syaikh wahabi ikut-ikutan menshahihkan hadis
Ibnu Abbas ini.
Dengan adanya riwayat-riwayat yang telah
kami kemukakan tadi, jelas Allah swt. menjadi seorang makhluk
–na’udzubillahi– yang mempunyai organ-organ (jari kelikingking, kaki,
tangan dan lain sebagainya) seperti yang dimiliki oleh makhluk-Nya. Para
ulama salaf bersepakat bahwa barang siapa yang menyifati Allah dengan
salah satu sifat diantara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir. Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al Muhaddits as-Salaf ath-Thahawi (227 – 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama al Aqidah ath-Thahawiyah,
menyatakan, yang artinya: “Barang siapa mensifati Allah dengan salah
satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.
Semua
riwayat hadits tersebut terang memperlihatkan tajsim atau tasybih Allah
kepada makhluk-Nya dan hal itu bertentangan dengan firman Allah swt.
yang telah dikemukakan tadi. Orang yang mempercayai hadits-hadits itu
sudah niscaya akan membayangkan yang kuasanya –walaupun mereka ini berkata
tidak membayangkan-Nya– wacana bentuk jari kelingking Allah swt.,
kaki-Nya, wajah-Nya, berat-Nya, rambut-Nya dan lain sebagainya.
Marilah
kita baca dibawah ini diskusi mengenai seputar sifat-sifat Allah antara
seorang madzhab sunnah (lebih mudahnya kita juluki si A ) dengan salah
seorang tokoh Wahabi/Salafi (kita juluki si B).Si A mensucikan Allah
dari sifat-sifat yang tersebut dalam hadits-hadits diatas ini, dan
dengan berbagai jalan berusaha membuktikan kesalahan keyakinan-keyakinan
tersebut. Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat.
Si
A (madzhab sunnah) bertanya pada si B: bila memang Allah swt. mempunyai
sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua
kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada
Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan
dan mengkhayalkan-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. lantaran jiwa
insan tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan
sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.”
Si B (madzhab Wahabi) menjawab: “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya (bentuk Allah), namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya!!”
Si
A bertanya lagi: “Apa bedanya antara anda meletakkan sebuah berhala
dihadapan anda dan kemudian anda menyembahnya dengan anda hanya
membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?”.
Si
B menjawab: “Ini ialah perkataan kelompok sesat semoga Allah
memburukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak
mensifati-Nya dengan sifat-sifat seakan-akan ini (mempunyai dua tangan, kaki
dan lain-lain). Sehingga dengan demikian, mereka itu menyembah tuhan
yang tidak ada.”
Si A ini berkata lagi: “Sesungguhnya
Allah yang Maha benar, Dia tidak mampu diliputi oleh akal, tidak mampu
dicapai oleh penglihatan, tidak mampu ditanya dimana dan bagaimana,
serta tidak mampu dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. karena
Dialah yang telah menciptakan dimana dan bagaimana. Segala sesuatu yang
tidak mampu anda bayangkan itulah Allah, dan segala sesuatu yang mampu
anda bayangkan yaitu makhluk. Kami telah mencar ilmu dari para ulama dari keturunan Nabi saw.
Mereka berkata, ‘Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meskipun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu makhluk seakan-akan kau.’ Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidak mampuan mengenal-Nya.”
Si
B berkata dengan penuh emosi, “Kami tetapkan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup ! “ Demikianlah
diskusi singkat ini.
Golongan Wahabi/Salafi berusaha
memberikan pembenaran terhadap hadits-hadits mengenai
penjasmanian/Tajsim dan penyerupaan/ Tasybih tersebut dengan alasan: “Tanpa bentuk (bi
la kaif)”?! Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair, “Mereka
telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya namun mereka takut akan kecaman manusia maka oleh lantaran itu mereka pun menyembunyikannya dengan mengatakan tanpa bentuk (bila kaif)”.
Pembenaran
golongan Wahabi/Salafi mengenai riwayat penjasmanian Allah swt. ,yang
telah diuraikan, yaitu bertentangan dengan ayat-ayat ilahi yang telah
kami kemukakan tadi. Mereka hanya ingin bermain lidah saja yang
mengatakan bahwa hadits-hadits itu benar, tapi tanpa bentuk,
karena riwayat-riwayat itu sudah terang bagi orang yang pandai sebagai
penetapan kepada makna yang hakiki/sebenarnya. Kata-kata meletakkan kaki, tangan, jari kelingking, duduk dan sebagainya yang disebut kan itu berarti mempunyai arti yang sudah dikenal yaitu penetapan tangan,
kaki, jari kelingking dan duduk itu sendiri. Sehingga bila orang
berkata si A duduk kita akan tahu bagaimana bentuknya duduk tersebut
lain dengan berdiri. Tangan si A memegang pundak saya ini berarti
penetapan bentuknya tangan itu sendiri. Jadi tidak bisa diartikan selain
daripada Tajsim atau penjasmanian dan Tasybih/Penyerupaan tuhan kepada
makhluk-Nya. Na’udzubillah
Seorang madzhab sunnah pernah berdiskusi dengan salah seorang dosennya di kampus ihwal seputar kasus duduknya Allah di atas ‘Arsy.
Ketika si dosen terdesak dia mengemukakan alasan: “Kami hanya akan
mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf, ‘Arti duduk
(al-istiwa) diketahui, tapi bentuk (al-kaif) duduknya tidak diketahui, dan pertanyaan wacananya yaitu bid’ah.”.
Seorang madzhab sunnah berkata kepadanya; “anda tidak menambahkan
apa-apa kecuali kesamaran, dan anda hanya menafsirkan air dengan air
setelah semua perjuangan ini.”
Dosen ini berkata, “Bagaimana
mungkin, padahal diskusi demikian serius.” Madzhab sunnah ini
mengatakan; “Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun
diketahui juga. Sebaliknya, kalau bentuk tidak diketahui, maka duduk pun
tidak diketahui, lantaran tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang duduk yaitu pengetahuan ihwal bentuk
itu sendiri, dan budi tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan
bentuknya, karena keduanya yaitu satu. jikalau anda mengatakan si A
duduk, maka ilmu anda perihal duduknya yaitu ihwal bentuk (kaiffiyah)
duduknya. Ketika anda mengatakan, duduk diketahui, maka ilmu
anda ihwal duduk itu yaitu tentang bentuk duduk itu sendiri. lantaran
jika tidak, maka tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan anda,
yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan
pernyataan bahwa anda mengetahui duduk, namun pada saat yang sama anda mengatakan bahwa anda tidak mengetahui bentuknya.” Kemudian si
Dosen pun termenung beberapa ketika, kemudian dengan tergesa-gesa dia meminta izin untuk pergi.!!
Kesimpulan singkat mengenai keterangan mengenai tajsim dan tasybih yang perlu dipahami ialah :
(Dimensi)
ruang/tempat, waktu, dan kesadaran ialah makhluk Allah. Allah tidak
dibatasi ruang, waktu dan kesadaran makhluk. Bukankah Allah swt. sendiri
telah berfirman: Tiada sesuatu pun yang ibarat-Nya’ (QS Asy-Syuura :11); ‘Tiada Ia tercapai oleh penglihatan mata’ (QS Al-An’aam : 103); ‘Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan’.( QS Ash-Shaffaat:159) dan ayat-ayat lain yang serupa. Ayat-ayat inilah sebagai dalil yang kuat bahwa Allah swt. tidak mampu disamakan atau disifatkan seakan-akan makhluk-Nya. Nash-nash yang menyatakan sifat atau perbuatan Sang Pencipta tentunya harus dipahami dengan landasan dalil-dalil bahwa ruang, waktu, pikiran, dan kesadaran ialah makhluk Allah, sehingga harus dipahami bahwa Allah swt. bukan makhluk, memahami makna “sifat atau perbuatan Allah”
itu tentu dalam pengertian memahami sesuatu yang diluar batas ruang,
waktu, dan kesadaran. bila memahami ayat-ayat shifat itu menggunakan bahasa
majazi/kiasan ialah sesuatu yang dibolehkan dan diajarkan oleh Nabi
saw. Hal ini paling baik karena untuk menghidari orang terjerumus dalam mujassimah. Dengan meyakini ayat-ayat itu secara dzohir
atau lahirnya ayat tanpa menjelaskan maknanya bahwa Allah swt. bukan
seperti makhluk-Nya (tidak terikat waktu, ruang dan lain sebagainya )
orang mampu terjerumus kepada mujassimah.
Lebih mudahnya kami beri teladan, tatkala kita menyebutkan kata ‘Singa’
–yaitu berupa kata tunggal– maka dengan serta merta terbayang di dalam
benak kita seekor hewan buas yang hidup dihutan. Makna yang sama pun
akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam
bentuk tarkibi (susunan kata) yang tidak mengandung qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi (tunggal). seperti kalimat yang berbunyi, ‘Saya melihat seekor singa sedang memakan mangsanya dihutan”. Kata Singa disini maknanya yaitu sama yaitu bingatang buas. Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, ‘Saya melihat singa sedang menyetir mobil ’. Maka yang dimaksud dari kata singa
yang ada didalam kalimat ini yaitu arti kiasan yaitu seorang laki-laki
pemberani, bukan berarti binatang buas. Inilah kebiasaan orang Arab
didalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata; ‘Dia
menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya
seekor burung onta yang lari karena bunyi terompet perang yang
dibunyikan’.
Dari syair ini kita mampu mengetahui bahwa kata singa
di atas tidak lain yaitu seorang pria yang berpura-pura berani di
hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang
pengecut tatkala berhadapan dengan musuh dalam peperangan. Orang yang
mengerti perkataan ini, mustahil akan menamakannya sebagai orang
yang merubah kalimat dengan sesuatu yang keluar dari makna dzahir
perkataan.
Begitu juga susunan kata seolah-olah, ‘Negeri ini berada didalam genggaman tangan Raja’. Orang akan memahami yang dimaksud kalimat ini ialah ‘Negeri ini berada dibawah kekuasaan dan kehendak Raja’. Susunan kata ini tetap sesuai atau tetap diucapkan meskipun pada kenyataannya Raja tersebut buntung tangannya. Makara kata ‘genggaman tangan’ dalam kalimat ini sebagai kata kiasan/majazi yang harus diadaptasi maknanya.
Demikian
juga halnya dengan ayat-ayat shifat Allah swt. (wajah-Nya, tangan-Nya,
betis, turun, tertawa dan lain sebagainya) baik yang tertulis dalam
Alqur’an maupun dalam Hadits, walaupun dhahir tektsnya tetap
tertulis di dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi para sahabat dan ulama
pakar menerangkan dan mensesuaikan maknanya dengan ke Maha Sucian dan
keMaha Agungan-Nya atau diserahkan pe-makna-annya kepada Allah swt.,
untuk menghindari orang terjerumus dalam mujassimah.
Disini
kita juga harus mencermati dan memahami dengan benar perkataan para
imam seolah-olah Imam Syafi’i dan para imam lainnya yang selalu dinukil oleh
golongan Mujassimah. Apakah para imam itu menghendaki makna
seperti golongan Mujassimah terjemahkan? Apakah bila para imam itu tidak
melakukan takwil berarti mereka memaknainya seperti yang golongan
Mujassimah terjemahkan?! Disinilah letak kasusnya! Para Ulama dalam
menyikapi ayat-ayat/hadits-hadits shifat mempunyai beberapa tiga
pendapat/aliran:
a). Ada golongan ulama mentafwidh artinya tidak berkomentar
apapun, tidak memberikan arti apapun ihwalnya. Mereka menyerahkan
pe-makna-annya kepada Allah swt.. Artinya para ulama golongan ini tidak
mau melibat kan diri dalam menafsirkannya, tafsirnya adalah bacaannya
itu! Kaprikornus gologan ulama ini tidak memiliki aliran tapi mereka ini tidak
berarti menjadi menta’thil (menafikan) dari pensifatan! Itu hanya khayalan kaum mujassimah dan musyabbihah belaka!
b). Ada golongan ulama yang menakwilkannya, dengan penakwilan tertentu yaitu memberikan penafsiran yang sesuai dengan ke Mahasucian dan ke-Maha-agungan Allah swt., ini dibolehkan.
c). Golongan lainnya lagi mengartikan kata-kata shifat itu dengan arti yang hakiki/sesungguhnya seakan-akan kata: Yanzilu diartikan turun secara hakiki, Yadun diartikan tangan secara hakiki, dhohika diartikan tertawa secara hakiki dan begitu seterusnya, yang semuanya ini tidak lain menjurus kepada tajsim dan tasybih Allah swt. kepada Makhluk-Nya. karena secara bahasa dhahika itu tertawa, dan tertawa itu artinya terperinci dalam kamus-kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Kata yanzilu secara bahasa artinya turun, dan turun itu meniscayakan adanya perpindahan dan perpindahan itu meniscayakan adanya gerak, dan gerak itu adalah konsekuensi dari sifat benda, itu jelas sekali ! Kalau kata yanzilu tanpa perpindahan dan gerak ya namanya bukan yanzilu! Itu berarti memaknai kata itu bukan dengan makna bahasa sesungguhnya! Wallahu a’lam.
Marilah
kita baca dibawah ini sebagian isi khotbah Amirul Mukminin Imam Ali Bin
Abi Thalib k.w. yang sangat cantik sekali mengenai sifat Allah swt. dari
kitab Nahjul Balaqhoh terjemahan O.Hashem, Syarah oleh M.Hashem, Yapi
1990, Khotbah Pertama halaman 108-109 sebagai berikut:
“Segala
puji bagi Allah yang nilai-Nya tidak terlukiskan oleh pembicara. Tidak
terhitung nikmat-Nya oleh para penghitung. Hak-Nya akan pengabdian tidak
akan terpenuhi oleh para pengupaya. Tidak mampu dicapai Dia oleh
ketinggian intelek dan tidak pula terselami oleh pemahaman yang
bagaimanapun dalamnya. Ia, yang sifat-Nya tiada terbatasi lukisan,
pujian yang tepat tidaklah maujud (Maha ada). Sang waktu tidaklah dapat
memberi batas, dan tidak era yang mengikat-Nya.
Pangkal
agama ialah ma’rifat-Nya, dan kesempurnaan ma’rifat-Nya adalah
membenarkan-Nya dan kesempurnaan iman kepada keesaan-Nya ialah ikhlas
kepada-Nya, dan kesempurnaan nrimo kepada-Nya, yaitu menafikan sifat
yang diberikan kepada-Nya, lantaran setiap sifat menerangkan bahwa ia bukanlah yang disifati dan setiap yang disifati pertanda bahwa Ia bukanlah sifat.
Dan
kafetariaangsiapa menyifatkan Allah yang Maha Suci, maka ia telah memberikan
pasangan kepada-Nya. Dan kafetariaangsiapa memberi pasangan kepada-Nya maka ia
telah menggandakan-Nya. Dan kafeangsiapa mengganda kan-Nya, maka ia
telah membagi-bagi-Nya. Dan barangsiapa membagi-Nya, maka ia telah
berlaku jahil kepada-Nya. Dan barangsiapa berlaku jahil kepada-Nya
berarti ia telah menunjuk-Nya. Dan barangsiapa memperlihatkan-Nya, berarti
telah memberi batas kepada-Nya.
Dan kafeangsiapa membatasi-Nya,
berarti memberi jumlah kepada-Nya.Dan kafetariaangsiapa berkata; ‘Di dalam apa
Dia berada’ maka ia telah menyisipkan-Nya, dan kafeangsiapa berkata; ‘Di
atas apa Dia berada’ maka sungguh Ia lepas dari hal tersebut.
Dia
maujud, Maha ada, tetapi tidak muncul dari proses peristiwa. Ia ada,
tetapi tidak dari tiada. Ia bersama segala sesuatu, tapi tidak
berdampingan. Dan Ia tidak bersama segala sesuatu, tanpa saling
berpisahan. Ia bertindak, tetapi tidak berarti ia bergerak dan
menggunakan alat. Ia Maha Melihat tapi tidak tergantung makhluk untuk
dilihat. Ia Maha Esa dan tiada sesuatupun yang menemaninya, dan tidak
merasa sepi karena ketiadaan”. Wallahu a’lam.
Semoga kita semua diberi ampunan dan hidayah dari Allah swt. Amin
Maha suci Allah dengan segala firman Nya
ReplyDelete