-->

Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Apakah Al-Qur’an hanya bisa diartikan secara tekstual atau literal ?

Begitu juga kelompok Salafi/Wahabi ini percaya bahwa Al-Qur’an dan Sunnah hanya bisa diartikan secara tekstual (apa adanya tekst) atau literal dan tidak ada arti majazi atau kiasan didalamnya. Pada kenyataannya terdapat ayat al-Qur’an yang mempunyai arti harfiah dan ada juga yang
mempunyai arti majazi, yang mana kata-kata Allah swt. harus diartikan sesuai dengannya. jika kita tidak dapat membedakan diantara keduanya maka kita akan menjumpai beberapa kontradiksi yang timbul didalam Al-Qur’an. Maka dari itu sangatlah penting untuk memahami masalah tersebut. Dengan adanya keyakinan seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual atau literal dan jauh dari makna Majazi atau kiasan ini, maka risikonya mereka memberi sifat secara fisik kepada Allah swt.. (umpama Dia swt. mempunyai tangan, kaki, mata dan lain-lain seperti makhluk-Nya). Mereka juga mengatakan terdapat kursi yang sangat besar (‘Arsy) dimana Allah swt.. duduk (sehingga Dia membutuhkan ruangan atau kawasan untuk duduk) diatasnya. Terdapat banyak masalah lainnya yang diartikan secara tekstual. Hal ini telah membuat banyak fitnah diantara ummat Islam dan inilah yang paling pokok dari mereka yang membuat berbeda dari Madzhab yang lain. Salafisme ini hanya berjalan atas tiga komposisi yaitu; Syirik, Bid’ah dan Haram.     


Mengartikan ayat-ayat Ilahi dan Sunnah secara tekstual, akan secara otomatis menolak atau menyembunyikan serpihan dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang berlawanan dengan keyakinan mereka. Mereka juga kadangkala kerepotan dan kebingungan untuk menafsirkan ayat-ayat  dan hadits Rasulallah saw. yang (kelihatannya) berlawanan dan mencari jalan sedapat mungkin supaya yang berlawanan ini sampai sesuai dengan keyakinannya. Umpamanya, mereka menyampaikan kita harus eksklusif minta pertolongan dan pengampunan pada Allah swt. tidak boleh melalui hamba-Nya, dan jika seseorang meminta pertolongan dari Rasulallah saw. atau hamba Allah yang beriman maka orang itu telah Musyrik, dengan berdalil pada Al-Qur’an dan hadits yang tekts atau kalimatnya seperti yang mereka katakan. Kemudian bila mereka membaca ayat Al-Qur’an dan hadits lainnya yang menyampaikan Malaikat, para Rasul dan orang-orang yang beriman bisa sebagai penolong dan peminta ampun pada Allah swt., mereka kebingungan lagi untuk menafsirkannya lantaran ayat ini tidak sefaham dengan kepercayaan mereka yang melarang orang mohon selain kepada Allah swt.. Masih banyak lagi hal-hal serupa yang mereka larang berdasarkan pemahaman ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. secara tekstual, sehingga mereka sering berlawanan dengan pendapatnya sendiri. Jadi disatu sisi mereka menyampaikan orang harus eksklusif minta pada Allah swt. serta tidak boleh melalui hamba-Nya tapi disisi lain mereka menyampaikan boleh memohon melalui hamba Allah swt. selama mereka masih hidup serta mampu untuk menolongnya dan sebagainya seperti yang telah dikemukakan tadi.
Jadi tidak lain adalah taktik golongan ini sendiri karena ini adalah Cara paling kondusif bagi mereka untuk menghindari pertentangan yang ada pada paham atau keyakinan mereka. Diantara contoh-contoh dari ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. sebagai berikut:    

– Allah swt. berfirman bahwa Dia yang mengambil ruh pada dikala janjkematian, seakan-akan yang tercantum didalam surat Az -Zumaar :42;  ‘Allah swt. memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya…sampai akhir ayat’. Tapi dalam surat An-Nisaa (4):97; ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri…sampai akibat ayat’.

Apakah kalau ada yang menyampaikan bahwa malaikatlah yang mencabut nyawa itu syirik? Ataukah kita harus percaya bahwa ada kontradiksi dalam al-Qur’an? Tentu saja tidak, bukan Syirik ataupun pertentangan, tapi maksudnya bahwa insan dilarang lengah atau lupa bahwa sebab utama yang memilih nyawa insan yaitu Allah swt.. Sedangkan ayat yang mengatakan bahwa Allah swt. yang mencabut nyawa ialah secara majazi atau kiasan dan malaikat termasuk didalamnya yang mencabut nyawa dengan seizin-Nya.      

–  Golongan Salafi/Wahabi mengatakan kita harus minta tolong langsung pada Allah swt. tidak boleh melalui hamba-Nya yang beriman dengan  berdalil firman Allah swt. diantaranya adalah;  Dalam surat Al-Fatihah:5: ‘Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan’. Dengan berdalil dengan ayat ini mereka menyampaikan; Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah yang tidak mampu mendatangkan manfaat dan tidak pula mendatangkan madharat atau ancaman?

Dengan lain kata mereka melarang kita minta tolong kecuali pada Allah swt. Padahal yang dimaksud ayat itu bahwa insan harus mengetahui dan dihentikan lengah karena utama yang mendatangkan pertolongan yaitu dari Allah swt. Makara bukan berarti kita tidak boleh minta tolong pada hamba-Nya. karena kenyataannya terdapat banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulallah saw. yang secara jelas menunjukan bahwa pertolongan atau manfaat bisa dicari dari Rasulallah, dari orang mukminin juga dari mereka yang dikenal sebagai tanda-tanda Allah. Mari kita rujuk ayat-ayat yang berkaitan dengan keterangan diatas ‘hanya Allah-lah’  sebagai pelindung. 

Didalam surat An-Nisaa (4) :123:  ‘Dialah satu-satunya sebagai pelindung. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan pasti akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah’.

Didalam surat An-Nisaa (4) : 45:  ‘Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) ihwal musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi penolong ( bagimu)’.

Didalam surat Al-Ahzab (33) : 17; “Katakanlah: ‘Siapakah yang mampu melindungi kau dari (takdir) Allah bila Dia menghendaki tragedi atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?’ Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah”.

Juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmudzi dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulallah saw. berkata:

إذَا سَألْتَ فَاسْألِ اللهَ, وَإذَا اسْتَعَـنْتَ فَاسْتَتعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ أنَّ الاُمَّـةَ لَوِ اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََـعُوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَـَعُوكَ إلاَّ بِشَـيْئٍ قَدْ كَتَبهُ
اللهُ لَكَ, وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ

Artinya: ‘Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan kalau engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah seumpama insan sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan mampu memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimu mereka tidak akan mampu mencelakakanmu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu”.          

Golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya mengartikan ayat-ayat dan hadits diatas ini secara tekstual, sehingga hingga-sampai berani mensyirikkan orang yang minta tolong atau pelindung pada Rasulallah saw. atau hamba-hamba Allah yang sholeh. Padahal maksud dari ayat dan hadits itu yaitu insan dilarang lupa bahwa sebab utama yang melindungi dan menolong insan adalah Allah swt. Jadi bukan berarti insan haram untuk minta pertolongan atau pelindungan dari hamba-Nya yang beriman dan meminta syafa’at pada hamba Allah yang diberi izin oleh-Nya.

Bila kita mempunyai paham seakan-akan golongan ini dan mengartikan makna ayat ilahi dan hadits secara tekstual, maka akan kerepotan dan kebingungan mengartikan ayat-ayat ilahi ,berikut ini, dan hadits lainnya yang (kelihatannya) berlawanan dengan ayat dan hadits diatas ini. Marilah kita telaah ayat-ayat ilahi –yang kelihatan berlawanan dengan ayat-ayat diatas tadi– yang mengatakan ‘bukan hanya Allah swt.’ saja yang bisa menolong hamba-Nya:

Dalam surat Al-Maidah (5):55 : “Sesungguhnya penolong kamu (Waliu-kum) ialah Allah, dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk/rukuk (kepada Allah)”.

Dalam surat At-Tahrim (66) : 4: “Jika kau berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk mendapat kebaikan), dan bila kau berdua bersama-sama menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitupula) Jibril dan orang orang mukmin yang baik, dan selain dari itu malaikat-malaikat yaitu penolongnya pula”.

Dalam surat Al-Maidah (5): 56: “Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah, itulah yang pasti menang”. 

Surat An-Nisaa (4) : 75 :  ”Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik pria, perempuan-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya ilahi kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang lalim penduduknya dan berilah kami pelindung (waliyan) dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong (nasira) dari sisi Engkau”.          

Jadi terperinci selain Allah swt. sebagai Pelindung dan Penolong ada hamba- hamba-Nya dengan seizin-Nya juga sebagai Penolong dan Pelindung. Kalau kita baca ayat An- Nisaa: 75 ini manakala Allah sudah cukup sebagai Pelindung (waliyan) dan Penolong (Nasira), kemudian mengapa orang minta kepada Allah supaya orang lain (yang disisi-Nya) menjadi pelindungnya dan penolongnya? Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang juga mampu sebagai Waliyyan (Pelindung) kita dan Naseer (Penolong) bersama-sama dengan Allah? Apakah empat ayat terakhir itu berarti Allah bukan satu-satunya wali (penolong) lantaran disamping Dia ada wali-wali yang lainnya? Dan apakah ini juga berarti bahwa tidak cukup hanya Dia (Allah swt) sebagai penolong? 

Jika kita tetap menggunakan pengertian Syirik, maka kita secara otomatis dengan membaca ayat-ayatNya telah membuat Allah sendiri Musyrik -na‘udzubillah- dan begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Qur’an.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim , debu Dawud dan lainnya bahwa Rasulallah saw. bersabda:

وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ                        

Artinya: '…Allah menolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya’.

Jadi maksud ayat ilahi yang mengatakan hanya Allah swt. sebagai Penolong atau Pelindung dan hadits yang mengatakan ‘Jika engkau minta sesuatu mintalah...dan hadits Allah menolong..’ diatas ini ialah: Bila kita minta pertolongan dan perlindungan pada Malaikat, Rasulallah saw. dan hamba-Nya kita dihentikan lupa dan lengah bahwa sebab utama yang mendatangkan pertolongan dan pelindungan adalah Allah swt..Jadi keyakinannya ialah: Pada ketika Allah berkata bahwa hanya Dialah satu-satunya dan cukuplah hanya Dia sebagai Wali (Penolong/Penjaga) itu maka Malaikat, Rasulallah saw. dan orang orang beriman atas izin-Nya termasuk didalamnya.      

Kelompok Salafi, hanya akan menukil ayat-ayat yang mana Allah menyatakan bahwa hanya Dialah sebagai Wali (Penolong). Dengan hanya merujuk ayat-ayat ini –dan mengenyampingkan ayat-ayat lainnya [yang kelihatannya berlawanan] dengan ayat itu– golongan Salafi mencoba membuat kesan bahwa mempercayai Rasulallah saw sebagai Wali (Penolong) yaitu syirik. Kata-kata Wali dalam al-Qur’an sebanyak tiga puluh empat kali, dalam pengertian bahwa hanya Dia satu-satunya Pelindung, atau jangan ambil Pelindung selain Dia, atau cukuplah Dia sebagai Pelindung. Empat ayat didalam al-Qur’an, Allah swt telah berkata bahwa Rasulallah, orang-orang beriman dan malaikat juga sebagai wali (penolong) kita.         

Kalangan orang Salafi berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Allah-lah yang mampu dimohoni secara pribadi. Dan telah Syirik bila berkeyakinan bahwa Allah mempunyai beberapa perantara antara Dia dan mahluk-Nya. Mereka berkata; Apakah Allah tuli –Na’udzubillah– sehingga Dia tidak bisa mendengar kita secara eksklusif? Apakah Dia buta sehingga Dia tidak bisa melihat kita? Allah juga mengatakan bahwa tidak ada perantara disamping Dia.

Diantara dalil-dalil yang mereka sebutkan adalah:    
‘Dan sesungguhnya Kami telah membuat manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih akrab kepadanya daripada urat lehernya.’  (QS [50] : 16).     

‘Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu wacana aku, maka (jawablah), bahu-membahu aku yaitu erat. saya mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, biar mereka selalu berada dalam kebenaran’. (QS Al-Baqarah :186)

  ...maka janganlah kamu berdo’a (menyembah) kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang’.  (QS[72]: 18)  

Hanya bagi Allah-lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka’. (QS Ar Ra’ad :14)  

Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at  selain Allah. Katakanlah; ‘Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berilmu?”. Katakanlah: ‘Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya lah kamu di kembalikan’ “.(QS Az-Zumar [39]: 43-44).       

Marilah sekarang kita teliti ayat-ayat ilahi lainnya yang mengatakan bahwa hamba-Nya yang beriman bisa menjadi perantara dan memberi syafa’at dengan izin-Nya.    
Mereka tidak mampu memberi syafa’at, kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian disisi ilahi yang Maha Pemurah’. (QS.[19] : 87).   

‘Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at, akan tetapi (orang yang mampu memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (baik/benar) dan mereka mengetahuinya  (Muhammad saw.) .’ (QS Az Zukhruf [43] : 86)

Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalaulau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.(QS [4] : 64)   

Ayat An-Nisaa [4] : 64 ini, semua mahir tafsir (Mufassirin) termasuk golongan Salafi/Wahabi setuju bahwa ayat ini diturunkan ketika suatu saat sebagian sahabat melaksanakan kesalahan yang kemudian mereka sadar atas kesalahannya dan ingin bertaubat. Mereka meminta ampun secara eksklusif kepada Allah, tapi lihat bagaimana kita memahami firman Allah dalam hal ini:    

–  Alllah menolak untuk menerima permohonan ampun secara pribadi tapi Allah memerintahkan mereka untuk terlebih dahulu mendatangi Rasulallah saw. dan kemudian beliau saw. memintakan ampun kepada Allah swt..

–  Allah memerintahkan sahabat untuk bersikap seolah-olah yang di perintahkan, menyertakan Rasulallah saw. dalam permohonan ampun mereka, hanya setelah melaksanakan ini mereka akan benar-benar mendapat pengampunan dari Yang Maha Penyayang.

Dengan demikian apakah kita menyekutukan Allah ketika berkata bahwa Rasulallah juga mampu memohonkan ampun atau memberi syafa’at atas izin-Nya? Apakah ada pertentangan dalam al-Qur’an? Sudah tentu tidak. Kaprikornus yang dimaksud adalah alasannya yaitu utama bantuan ampun dan syafa’at yaitu Allah, sedangkan Rasulallah saw. dan orang yang beriman atas izin-Nya termasuk didalamnya.   Marikita rujuk lagi ayat-ayat Ilahi mengenai pengampunan melalui hamba-Nya diantaranya:

Surat Ali Imran (3) :159:... “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.”           

Surat An Nuur (24) : 62: ....maka apabila mereka meminta izin kepadamu lantaran sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kau kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’            

Surat Muhammad (47) : 19: ‘Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada yang kuasa (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui kawasan kamu berusaha dan daerah tinggalmu’.            

Surat Al-Mumtahanah (60) :12 : “ ..., maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.  

Surat Al-Munafiquun (63) : 5-6 ; ‘Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasul memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri. Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kau mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang  fasik.’            

Sebenarnya terdapat sepuluh ayat dalam al-Qur’an yang mana Allah swt. menyatakan bahwa hanya Dialah sebagai satu-satunya mediator. Dan terdapat tujuh ayat  dalam al Qur’an yang menyatakan bahwa Rasulallah, orang-orang sholeh dan malaikat mampu menjadi perantara kita atas izin Allah.

Masih terdapat banyak ayat al-Qur’an dan Hadits di mana menyampaikan bahwa pertolongan, manfaat dan sebagainya bisa didapat (secara kiasan) dari selain Allah swt. Dan orang tidak diperkenankan untuk mengartikannya secara tekstual, yang bila dilakukan akan mengakibatkan pertentangan. 

Disamping ayat-ayat Ilahi diatas ini juga ada ayat ilahi yang menerangkan disamping Allah swt. pemberi karunia bahwa Rasulallah saw. juga diberi izin untuk memberi Karunia:
Firman Allah swt. dalam ayat Al-Hadid (57):29 : ‘(Kami terangkan yang demikian itu) supaya jago Kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasanya karunia itu adalah ditangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar’.
Pada ayat Al-Hadid 29 ini golongan Salafi berusaha membuktikan dengan Tutorial yang sama bahwa orang Kafir dan hebat Kitab telah Syirik karena percaya hal-hal seolah-olah ini. Oleh lantarannya – berdasarkan mereka– orang Ahlus-Sunnah telah jatuh kedalam kemusyrikan lantarannya. Sayangnya mereka menolak sama sekali dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain diantaranya:

Surat At Taubah (9) : 59: “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. Apakah kita telah syirik dengan mengatakan bahwa Rasulallah saw.. dapat menyampaikan karunia bersama dengan Allah swt.?

Surat At-Taubah (9):74 : “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sehabis Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak mampu mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan bila mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih didunia dan diakhirat; dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi”.
Ayat-ayat seperti ini bertentangan eksklusif dengan paham golongan Wahabi/Salafi ihwal Syirik, maka mereka berusaha menolak dan mengenyampingkannya. Mereka menolak menyebutkan ayat-ayat yang serupa itu karena takut orang-orang akan  menjadi syirik!

Beberapa teladan lagi ayat-ayat didalam Al-Qur’an:   
–   Allah menggunakan kata Karim untuk mensifati diri-Nya. Dalam surat  An-Naml :40;  “Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya yang kuasaku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.  
–  Allah swt. berfirman wacana Rasul-Nya dalam surat Al-Haaqqah (69):40; ‘Sesungguhnya Al-Qur’an itu ialah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia’. Sesungguhnya kata Karim (Yang Mulia), ketika disifatkan kepada Allah itu maka itu merupakan arti literal atau arti sebenarnya. Dan ketika disifatkan kepada Rasulallah arti disana mengandung arti kiasan. Apakah kita beranggapan Allah telah syirik –na’udzubillah–  lantaran Allah telah memberikan sifat yang sama kepada selain-Nya.?
–  Allah swt. menerangkan bahwa Rasulallah saw. juga bersifat Rahiim/ Penyayang terhadap sesama mukminin, sebagaimana firman-Nya dalam surat At-Taubah:128: “Sesungguhnya telah tiba kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”.

Kata-kata Rahiim adalah sifat Allah swt. yang literal atau sebenarnya, dan ketika disifatkan pada Rasul-Nya mengandung arti majazi/kiasan. Apakah kita telah syirik dengan menyampaikan bahwa Rasulallah saw.. Rahiim/ Penyayang? Sudah tentu tidak! Buktinya masih banyak dalam ayat Al-Qur’an, yang tidak tercantum semua disini, bahwa Allah swt. menyampaikan anugerah pada para Rasul-Nya dengan mensifati mereka dengan sifat-Nya diantaranya: ‘Qawi/kuat ialah sifat Allah, dan Al-Qur’an juga mengatakan bahwa Rasulallah saw. mempunyai sifat Qawi. ’Alim yaitu sifat Allah swt., yang mana Nabi Ismail as juga dikenal dengan sifat Alimnya. Haliim adalah sifat Allah swt., Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. juga dikenal dengan sifat Halimnya. Syakur adalah sifat Allah swt., Nabi Nuh as dikenal dengan sifat Syakurnya’.      

Kelompok Salafi/Wahabi tidak siap untuk mendapat penggunaan ungkapan secara kiasan, maka bagaimana mereka akan menjawab mengapa Nabi Yusuf a.s menggunakan kata Tuanku (Robbi) –padahal kata Robbi sebutan untuk Allah swt.–kepada penguasa Mesir yang tercantum dalam surat Yusuf (12) : 23; ’Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah kesini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku (Robbi) telah memperlakukan saya dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang lalim tiada akan beruntung’.  (QS.Yusuf  : 23).
Kata-kata Tuanku (Robbi) –dalam surat Yusuf ini– sebagai ungkapan secara majazi atau kiasan dalam al-Qur’an, lantaran  terperinci kata Robbi yang diucapkan oleh Nabi Yusuf as ditujukan kepada penguasa Mesir. Untuk lebih jelas kita mampu baca ayat sebelumnya (QS Yusuf : 21) yang berkaitan dengan ayat 23 diatas, dan semua Mufasirin (ahli tafsir) mempunyai penafsiran yang sama ihwal ayat ini. Ayat ini secara tidak langsung bertentangan dengan keyakinan golongan wahabi mengenai Tauhid dan literalisme.

Maulana Maududi seorang ulama dari Pakistan dalam buku tafsirnya yang terkenal Tafhimul Alquran berusaha untuk merubah arti ayat tersebut supaya sesuai dengan keyakinannya dan keyakinan sahabat-temannya golongan Salafi. Sebagaimana yang dia tulis dalam bahasa Inggris:            
“ Normally the “Mufassireen” (have committed a mistake and) taken from it that Yusuf (as) used the word of “rabi” (lord) for his Egyptian Master that how could he fornicate with his wife, as this would contravene his loyalty. But it is not suitable for the Prophets to commit a sin for the sake of others, instead of for the sake of Allah. And in the Qur’an too, there is no example that any of Rasool ever used the word of “lord” for anyone except Allah”.
Yang terjemahan bebasnya: “Pada umumnya para mahir tafsir (telah membuat kesalahan dan) yang lantarannya (beranggapan) bahwa Yusuf (as) menggunakan kata ‘robbi’ sebagai sebutan pada penguasa Mesir dikala itu, bagaimana mungkin dia as. bekerjasama intim (selingkuh) dengan isteri sang penguasa yang tentunya hal ini bertentangan dengan loyalitasnya. Tetapi tidaklah mungkin bagi para Rasul melakukan dosa demi orang lain daripada demi Allah. Dan juga tidak ada pola didalam al-Qur’an seorang Rasul yang menyebut selain Allah dengan sebutan ‘robbi’ “.

Pernyataan ia ini tidak konsekwen lantaran Al-Qur’an telah jelas dalam kasus ini dan hampir tidak satupun hebat tafsir mulai abad pertama hijriah hingga masa ini yang memahami ayat diatas seperti Maulana Maududi menyarankannya. Begitu juga dalam perkara tawassul Maulana Maududi ini lebih extreem daripada golongan Salafi , Saudi Arabia . dia merubah arti firman Allah swt. –Surat Thaahaa berikut ini– karena bertentangan dengan keyakinannya. ‘Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu saya melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku’. (QS Thaahaa (20) : 96).
Pemerintah Saudi Arabia menerbitkan Al-Qur’an dalam bahasa Urdu yang menerima/mengakui ihwal barakah ini walaupun hal itu berlawanan dengan keyakinan mereka. Tapi Maulana Maududi berusaha dengan keras merubah arti ayat dan menolak untuk menerima tentang barakah dalam ayat ini. Hampir semua hadits Rasulallah saw. menginformasikan bahwa yang dimaksud dengan Rasul dalam ayat diatas ialah malaikat Jibril as. Semua andal tafsir dari era pertama tahun Hijriah hingga kini menerima yang adanya barokah dalam jejak Jibril as, tetapi Maulana Maududi menolak akan adanya barokah dalam jejak Jibril as. itu karena bertentangan dengan keyakinannya!

Golongan Wahabi/Salafi ini juga melontarkan kata-kata Syirik kepada para ulama –para penyair atau pengarang kitab-kitab: Diba’, Barzanji,  Burdah dan lain-lain– yang didalam bait-bait syairnya antara lain terkandung sifat-sifat Allah swt. yang ditujukan pada Rasulallah saw.. Padahal diantara sifat-sifat Allah swt (Pengampun, Penolong, Pengabul hajat dan....) yang ditujukan  pada Rasulallah saw tersebut adalah sebagai kiasan, sebagaimana firman Allah swt. yang menyebutkan sifat yang dimiliki-Nya pada para Malaikat, Nabi-Nya, semuanya itu mengandung arti kiasan. Para penyair dan pembaca serta pendengar syair itu tahu dan tidak lengah sebab utama yang memberi pelindungan, penolongan dan sebagainya ialah Allah swt., sedangkan Malaikat, Rasulallah saw. dan hamba-Nya yang sholeh termasuk didalamnya atas izin-Nya. Golongan Salafi selalu berusaha menafsirkan ayat Al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan keyakinannya walaupun tafsirannya itu bertentangan dengan para pakar tafsir  diberbagai madzhab.         

Setelah membaca keterangan-keterangan ini, insya Allah terperinci bagi para pembaca bahwa Al-Qur’an dan Sunnah mempunyai arti harfiah atau literal (apa adanya tekst atau arti sebenarnya) dan arti majazi atau kiasan. Sifat-sifat yang ada pada Allah swt. juga telah diberikan oleh Allah kepada para nabi-Nya. Tapi ini tidak berarti bahwa para Nabi as telah menjadi pemilik sifat-sifat yang ada pada Allah swt.. Mereka bukanlah pemilik, tapi hanya sekedar diberi sebagian sifat-sifat-Nya. Sifat-sifat pada Allah swt. ini adalah merupakan arti literal atau sebenarnya sedangkan yang disifatkan pada para Rasul-Nya mengandung arti kiasan. Begitupun juga halnya dengan kalimat-kalimat dalam syair (Penolong, Pelindung, Pengampun dosa dan sebagainya) yang ditulis atau diucapkan oleh para sahabat dan para pakar islam lainnya, yang ditujukan untuk Rasul  saw., untuk para waliyullah, orang-orang sholihin.
Dengan adanya penjelasan yang singkat ini, maka kita bisa ambil kesimpulan bahwa Rasulallah saw. dan para sahabat bukan dari golongan Salafi/Wahabi, ini disebabkan karena:

–  Para sahabat sering menimbulkan Rasulallah saw. dan hamba yang sholeh sebagai mediator antara Allah dan mereka, seperti halnya yang telah diterangkan diatas.  

– Para sahabat sering memerlukan Nabi saw. untuk memohonkan proteksi dan pengampunan dari Allah swt., walaupun Allah sendiri sanggup mendengar setiap ucapan dan panggilan para sahabat tersebut dan Dia juga lebih erat di banding urat lehernya (para hamba-Nya).         

–  Rasulallah saw. tidak menolak permohonan para sahabat dan tidak bersabda kepada sahabat: ‘Pergilah dan mintalah pada Allah swt. secara pribadi’!    

Begitu juga setelah membaca keterangan singkat ini, kita kini bisa sedikit mengetahui perbedaan antara paham kelompok Salafi/Wahabi dengan paham kelompok sunnah wal jama’ah wacana Tutorial memohon kepada Allah melalui Rasul-Nya atau melalui orang yang sholeh. Kita juga percaya perantaraan (tawassul) kepada Rasulallah saw. dan orang-orang yang beriman ini termasuk permohonan kepada Allah bukan permohonan pada hamba-Nya, dan ini merupakan Tutorial yang baik untuk hingga kepada Allah swt. kesempatan untuk dikabulkannya do’a kita malah lebih besar . Dan faktanya telah dibuktikan oleh Al-Qur’an dan Hadits.(keterangan lebih mendetail baca bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini). teladan ini sama seperti kita berdo’a dirumah. Tapi kalau do’a dilakukan di daerah-tempat sekitar Ka’bah, di masjid Nabi saw. sekitar makam Rasulallah saw. maka barokah dari tempat-tempat mulia tersebut juga menyertainya dan kemungkinan untuk dikabulkannya do’a kita lebih besar. Golongan Salafi/Wahabi ini ingin menghapus kebiasaan-kebiasaan Islam (seperti tawassul/tabarruk dll.) yang mereka katagorikan sebagai Syirik, maka tentu saja hal ini tidak mampu diterima oleh pakar Islam selain kalangan orang Wahabi .
Bagaimana golongan Salafi (baca: Wahabi) ini sering mengatakan akan mengajarkan aliran Islam yang paling murni dan pengikut para Salaf Sholeh, bila paham mereka ini bertentangan dengan Rasulallah saw. dan para sahabatnya (tokoh dari para Salaf Saleh)?

0 Response to "Salafi/Wahabi dan bagaimana Fahamnya - Apakah Al-Qur’an hanya bisa diartikan secara tekstual atau literal ?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel