-->

KETERANGAN ANTARA PERINGATAN, NASEHAT DAN GHIBAH

Allah Subhana wa Ta'ala berfirman.

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi lantaran Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, kalau ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jikalau kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah ialah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan." [An-Nisaa :135]


Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
 "Dien itu nasehat, dien itu nasehat." Mereka berkata, "Kepada siapa wahai Rasulullah?" beliau bersabda, "Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya."[15]

Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan tetapkan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang menetapkan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan masalah dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka." [18]

Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai hebat syura, "Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir," lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, ia mengakibatkan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk menentukan mereka.

"Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah ialah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya mahir bid'ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak..." "Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang memperabukan kayu bakar."[9]

Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seolah-olah perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, "Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa'ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata, 'Jelaskan keadaannya'." Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, "Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu." Maka dia berkata, "Apabila engkau membisu dan saya membisu, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!"

Apabila orang-orang munafik berbuat bid'ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu insan, kemudian tidak dijelaskan kebid'ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien mahir kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.

Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di periode Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seolah-olah Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seakan-akan ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid'ah-bid'ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid'ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da'wah yang mengajak kepada bid'ah-bid'ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala berfirman.

"Jika mereka berangkat tolong-menolong kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka."[At Taubah : 47]

Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, lantaran pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid'ah-bid'ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid'ah-bid'ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid'ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahu-membahu bid'ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari pemikiran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.

Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para hebat bid'ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As Sunnah, maka klarifikasi keadaan mereka dan peringatan umat dari ancaman mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin hingga-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, "Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber'itikaf ataukah orang yang membantah andal bid'ah?" Maka dia menjawab, "Apabila dia shalat, puasa dan i'tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama." Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid'ah termasuk jihad di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari'atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan janji kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, lantaran apabila mereka menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan andal bid'ah mereka semenjak awal sudah merusak hati-hati insan.

Setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula ..." [10]

"Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melaksanakan pelanggaran, dia shalallahu 'alaihi wasallam bersabda.

"Mengapakah orang-orang menyampaikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat."[11]

"Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian." [12]

"Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, "Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka," dan ada lainnya mengatakan, "Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur," dan orang lainnya berkata, "Saya tidak akan menikahi wanita," dan yang lainnya mengatakan, "Saya tidak akan makan daging." Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi perempuan, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku."[13]

sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya mampu dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu. Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk menerima haknya, sebagaimana Hindun berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya debu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami)," maka ia menjawab, "Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya."[14] [Muttafaq alaih]

Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda.
"Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian"[16]

Dan Allah berfirman dalam kitabNya.
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang kasatmata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya insan mampu melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan aneka macam manfaat bagi insan, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha berpengaruh lagi Maha Perkasa." [Al-Hadid : 25]

Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya insan melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi santunan.

"Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong." [Al-Furqan: 31]

Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh lantaran itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada ia Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum memerintahkan dia mengangkat pedang sampai dia hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.

Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
"Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka." [At-Taubah :73]

Dan apabila seseorang membuatkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu'min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan nrimo semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta'ala, dan biar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.

Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.

Imam Nawawi rahimahullah berkata,
"Ketahuilah ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar'i, di mana tidak mungkin hingga kepada tujuan tersebut, kecuali dengan Cara berghibah, yang demikian itu dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi :

Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan menurut ijma' kaum muslimin, bahkan mampu menjadi wajib hukumnya.

Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berafiliasi dengan ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan dihentikan ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk memberi nasehat.

Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majelis andal bid'ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan jago bid'ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya yaitu nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. lantaran terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara ialah faktor hasad, dan ini ialah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan yaitu nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan baik.

Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau lantaran ia itu ialah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi biar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat budi yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya biar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak mampu, ia menggantikannya dengan orang lain."[1]

Setelah ia menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, maka beliau berkata, "Izinkanlah dia untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya." [Muttafaq 'Alaih] [2]

Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, maka aku berkata, "Sesungguhnya debul Jahm dan Mu'awiyah, keduanya telah meminangku?" Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Adapun Mu'awiyah dia seorang faqir tidak mempunyai harta, sedangkan debul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya."

Dan dalam riwayat Muslim (lainnya), "Sedangkan abul Jahm sering memukul perempuan."

Kalimat tersebut merupakan klarifikasi dari riwayat "Ia tidak melepaskan tongkat dari bahunya." Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian (safar)." [3]

Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus Shalihin.

"Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).

Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan diingatkan oleh para huffazh."[4]

"Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi wacana enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang dia beri nama Raf'ur Raibah 'ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah, dan kini ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran dalamnya.

Asy Syaukani berkata.
"Dan saya berkata dengan memohon derma Allah dan bertawakal kepadanya sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan terperinci dalam Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma', dan konteks yang terdapat dalam Al Qur'an dan As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam kawasan tertentu bagi eksklusif atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas yang demikian maka itulah yang diperlukan, dan apabila tidak didapati dalil maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa yang
Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah" [5]

Syaikh Salim berkata pula:
"Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia menyampaikan rambu-rambu yang agung, di antaranya

[a]. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan tertentu, apabila karena tersebut telah hilang maka aturan tadi kembali kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.

[b]. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas..

Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah "mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul", dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari'at."[6]

Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:
"Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara lantaran berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan kerikil sandungan yang membuat ia terjatuh."[7]

FAEDAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bagian yang artinya, "Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah", di antaranya ia menyebutkan dalam point yang kedelapan,

"Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk mendapat nasehat, kemudian orang tersebut mendapat nasehatnya dengan jujur dan lapang dada, dan nampak dari dia harapan yang besar lengan berkuasa untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, "Si fulan melaksanakan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya."

Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut mengatakan kisah tadi di hadapan insan?!

Bukankah tujuan amar ma'ruf nahi munkar semoga yang ma'ruf tersebar diantara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma'ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran."[8]

"Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam ihwal siapa yang akan dinikahinya ia berkata, "Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya." Maka beliau menyampaikan nasehat, "Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli perempuan" dan diriwayatkan "ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya", maka ia menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini yaitu nasehat kepadanya - meskipun meliputi penyebutan malu si peminang -.

Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.

Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :

Dusta dan menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sesungguhnya beliau bersabda.
"Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus."

Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seakan-akan orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta'ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda dia, "Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang menciptakan ia tidak suka (apabila mendengarnya)," lantaran "Al-Akh" tersebut sebagai mu'min, dan "Al-Akh" yang mu'min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang bau tanah, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia." (Wallahul Musta'an.)


[1]. Riyadhus Shalihin, hal. 525-526
[2]. Ibid, no. 1539
[3]. Ibid, no. 1541
[4]. Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51
[5]. Ibid, Juz 3, hal. 35-36
[6]. Ibid, Juz 3, hal.35-36
[7]. Ibid, Juz 3, hal.46
[8] "Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama'Al-Islami" hal.58
[9]. Ar-Ruuh, hal 357-358
[10]. Majmu'Fatawa juz 28 hal.225
[11]. Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab (2563) dari Aisyah."
[12]. Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam kitab Al-I'tisham (7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati."
[13]. Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah (5062) dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5)."
[14]. Majmu Fatawa, juz 28, hal 229

0 Response to "KETERANGAN ANTARA PERINGATAN, NASEHAT DAN GHIBAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel