-->

Al-Tibyan (Nawawi) VI - budpekerti Dan Etika Membaca Al-Qur’an


Sebab orang yang membaca Al-Qur’an sudah sepatutnya menunjukkan keikhlasan - sebagaimana yang telah saya kemukakan -  dan menjaga etika terhadap Al-Qur’an. Maka patutlah dia menghadirkan hatinya karena dia sedang bermunajat kepada Allah swt dan membaca Al-Qur’an seakan-akan keadaan orang yang melihat Allah swt, bila dia tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah swt melihatnya.


Masalah ke-28:
Jika hendak membaca Al-Qur’an, hendaklah dia membersihkan lisan dengan siwak atau lainnya. Pendapat yang lebih terpilih berkenan dengan siwak ialah menggunakan kayu Arak. Bisa juga dengan kayu-kayu lainnya atau dengan sesuatu yang mampu membersihkan, seperti kain bergairah dan lainnya.

            Adapun perihal penggunaan jari yang garang ada tiga pendapat di kalangan pengikut Asy-Syafi’i. Pendapat yang lebih masyur adalah tidak menerima sunahnya. Kedua adalah mampu menghasilkan sunahnya. mampu sunahnya jika tidak mendapat lainnya dan tidak mampu jikalau ada lainnya.

            Dan hendaklah dia bersugi mulai dari sebelah kanan mulutnya dan berniat menjalankan sunahnya. Salah seorang ulama berkata, hendaklah seseorang mengucapkan ketika bersugi: “Allahumma baarik lii fiihi, ya arhamar rahimin.”

            Al-Mawardi seorang pengikut Asy-Syafi’i berkata: “diutamakan bersugi pada bagian luar gigi dan dalamnya.”

Siwak itu digosokkan pada ujung-ujung giginya dan potongan bawah gerahamnya serta kepingan atasnya dengan lembut. Mereka berkata: “Hendaklah bersugi memakai siwak yang sedang, tidak terlalu kering dan tidak terlalu berair. bila terlalu kering, maka siwaknya dilembutkan dengan air. Tidaklah mengapa jika memakai siwak orang lain dengan izinnya. Manakala kalau ekspresinya najis karena darah atau lainnya, maka tidaklah disukai baginya membaca Al-Qur’an sebelum mencucinya.

            Apakah itu haram? Ar-Rauyani, pengikut Asy-Syafi’i, mengambil kata-kata ayahnya: “Terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih kuat (sahih) ialah tidak haram.”

Masalah ke-29:
Diutamakan bagi orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. jika membaca Al-Qur’an dalam keadaan berhadas, maka hukumnya harus berdasar ijma’ul muslimin. Hadits-hadits berkenaan dengan perkara tersebut sudah dimaklumi. Immamul Haramain berkata: “Tidaklah mampu dikatakan dia melakukan sesuatu yang makruh, tetapi meninggal yang lebih utama.” bila tidak menemukan air, dia bertayamum. perempuan mustahadhah dalam waktu yang dianggap suci mempunyai aturan yang sama dengan hukum orang yang berhadas.

            Sementara orang yang berjunub dan perempuan yang haid, maka haram atas keduanya membaca Al-Qur’an, sama saja satu ayat atau kurang dari satu ayat. Bagi keduanya diharuskan membaca Al-Qur’an di dalam hati tanpa mengucapkannya dan mampu memandang ke dalam mushaf. Ijmak muslim mengharuskan bagi yang berjunub dan yang haid mengucapkan tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan membaca shalawat atas Nabi saw serta dzikir-dzikir lainnya.
           
Para sahabat kami berkata, jika orang yang berjunub dan perempuan yang haid berkata: “Khudzil kitaaba biquwwatin” sedang tujuannya ialah selain Al-Qur’an, maka aturannya bisa.
           
Demikian pula hukumnya upaya yang serupa dengan itu. Keduanya bisa mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilahi raaji’uun”. saat mendapat petaka, jika tidak bermaksud membaca Al-Qur’an. Para teman kami dari Khurasan berkata, saat menaiki kendaraan, keduanya mampu mengucapkan:

.

Terjemahan: “Maha Suci dewa yang menundukkan kendaraan ini bagi kami dan tidaklah kami mampu menguasainya sebelum ini.”
(QS Az-Zukhruf 43:13)

Dan dikala berdoa:

.

Terjemahan: “Wahai yang kuasa Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di balasanat dan lindungilah kami dari siksa neraka.”
(QS Al-Baqarah 2:102)

            Hukum tersebut berlaku selagi keduanya tidak bermaksud membaca Al-Qur’an. Imamul Haramain berkata, apabila orang yang berjunub mengucapkan: “Bismillah wal hamdulillah, maka jikalau dia bermaksud membaca Al-Qur’an, dia durhaka. jikalau dia bermaksud berdzikir atau tidak bermaksud membaca apa-apa, dia tidak berdosa. Juga diharuskan bagi keduanya membaca ayat yang telah dihapus tilawahnya seolah-olah:

.

Terjemahan: “Orang lelaki yang bau tanah dan perempuan yang renta, bila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sehingga mati.”

Masalah ke-30:
Jika orang yang berjunub atau perempuan yang haid tidak menemukan air, maka dia bertayamun dan diharuskan baginya membaca Al-Qur’an, sembahyang serta lainnya. Jika dia berhadas, haram atasnya mengerjakan sembahyang dan tidak haram membaca dan duduk di dalam masji atau lainnya yang tidak haram atas orang yang berhadas sebagaimana bila dia mandi, kemudian berhadas. Ini yaitu sesuatu yang dipersoalkan dan dianggap aneh.

Maka dikatakan, orang berjunub dihentikan sembahyang dan tidak dihentikan membaca Al-Qur’an dan duduk di masjid tanpa keperluan, bagaimana bentuknya? Inilah bentuknya. Kemudian yang lebih akrab ialah tidak ada bedanya antara tayamum orang yang berjunub di kota tempat tinggalnya dan saat musafir.

            Seorang ulama pengikut Asy-Syafi’i berkata, bahwa jika dia bertayamum di kota tempat tinggalnya, maka diharuskan sembahyang dan tidak membaca Al-Qur’an sesudahnya atau duduk di masjid. Pendapat yang lebih sahih ialah bisa melaksanakan itu sebagaimana telah saya kemukakan. Sekiranya dia bertayamum, kemudian sembahyang dan membaca Al-Qur’an, kemudian ingin bertayamum karena berhadas atau untuk mengerjakan sembahyang fardhu lainnya maka tidak haram atasnya membaca Al-Qur’an berdasarkan madzhab yang sahih dan terpilih.

            Terdapat pendapat dari sebagian pengikut Asy-Syafi’i yang mengatakan hal itu tidak mampu. Pendapat yang lebih terkenal yaitu pendapat pertama. jikalau orang yang berjunub tidak menukan air ataupun tanah, maka dia mampu sembahyang untuk memuliakan waktu berdasarkan keadaannya dan haram atasnya membaca Al-Qur’an di luar sembahyang. Diharamkan atasnya membaca dalam sembahyang lebih dari Al-Fatihah.

            Apakah haram atasnya membaca Al-Fatihah? Terdapat dua pendapat berkenaan dengan kasus ini.

Pendapat pertama: Ini pendapat yang lebih sahih dan terpilih ialah tidak haram, bahkan wajib karena sembahyang itu tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah. Manakala diharuskan sembahyang dalam keadaan darurat, dalam keadaan janabah, maka diharuskan juga membaca Al-Qur’an.
           
            Pendapat kedua: Tidak bisa, akan tetapi dia hendaklah membaca dzikir-dzikir yang dibaca oleh orang yang tidak mampu dan tidak hafaz sedikit pun dari Al-Qur’an. lantaran orang ini tidak mampu berdasarkan syarak, maka dia seakan-akan orang yang tidak mampu berdasarkan kenyataan. Pendapat yang lebih benar adalah pendapat yang pertama. Cabang-cabang yang saya sebutkan ini diharapkan olehnya. Oleh karena ini saya menyinggung kepadanya dengan kalimat yang paling ringkas. Kalau ingin lebih lengkap, maka ada dalil-dalil dan keterangan lebih lanjut yang banyak dan dikenal dalam kitab-kitab fiqh. Wallahua’lam.

Masalah ke-31:
Membaca Al-Qur’an disunahkan di kawasan yang bersih dan terpilih. Justru, sejumlah ulama menganjurkan membaca Al-Qur’an di masjid lantaran ia mencakup kebersihan dan kemuliaan kawasan serta menghasilkan keutamaan lain, yaitu Itikaf. Maka setiap orang yang duduk di masjid patut beriktikaf, sama saja duduknya lama atau sebentar. Bahkan pada awal masuknya ke masjid sepatutnya dia berniat iktikaf. Adab ini patut diperhatikan dan disebarkan biar dikatahui oleh anak-anak ataupun orang awam lantaran ia selalu diabaikan.

            Manakala membaca Al-Qur’an di kawasan mandi, maka para ulama salaf berlainan pendapat berkenaan dengan makruhnya. sahabat-sahabat kami berpendapat, tidak dihukumkan makruh. Imam yang mulia debu Bakar Ibnu Mundzir menukilnya dalam Al-Ayaraaf dari Ibrahim An-Nakha’I dan Malik dan itu jugalah pendapat Atha’.

            Beberapa jamaah diantaranya Ali bin debu Thalib ra menghukumkannya makruh. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan pendapat ini daripadanya. Ibnu Mundzir menceritakan dari sejumlah tabi’in, diantaranya bubuk Wail Syaqiq bin Salamah, Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, Makhul dan Qabishah bin Dzuaib. Kami meriwayatkannya pula dari Ibrahim An-Nakha’i. Para teman kami meriwayatkannya dari abu Hanifah ra

            Asy-Sya’bi berkata, makruh membaca Al-Qur’an di tiga tempat: Di kawasan mandi, tembuat buang air dan tempat penggilingan Gandum.

            Diriwayatkan dari busuk Maisarah, katanya:
            “Tidaklah disebut nama Allah swt, kecuali di tempat yang baik.”

            Sementara membaca Al-Qur’an di jalan, maka pendapat yang terpilih adalah bisa dan tidak makruh, bila pembacanya tidak lalai. kalau lalai, maka dieksekusikan makruh sebagaimana Nabi saw tidak menyukai membaca Al-Qur’an oleh orang yang mengantuk karena takut keliru. Diriwayatkan oleh bubuk Dawud dari Abu darda’ ra bahwa dia membaca Al-Qur’an di jalan. Diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullah bahwa dia mengizinkan membaca Al-Qur’an di jalan.

            Ibnu Abi Dawud berkata, diceritakan kepadaku oleh abu Ar’Rabi’, katanya: Diberitahukan kepada kami oleh Ibnu Wahab, katanya: “Aku bertanya kepada Malik wacana orang yang sembahyang di akhir malam, kemudian keluar ke masjid dan masih tertinggal sedikit lagi dari surah yang dibacanya. Malik menjawab, “Aku tidak tahu pembacaan yang berlangsung di jalan. Hal itu makruh dan ini yaitu isnad yang sahih dari Malik rahimahullah.

Masalah ke-32:
Diutamakan bagi pembaca Al-Qur’an di luar sembahyang supaya menghadap kiblat. Hal ini telah banyak disebut dalam beberapa hadits:

“Sebaik-baik majelis yaitu yang menghadap kiblat.”
Hendaklah dia duduk dengan khusyuk dan damai sambil menundukkan kepalanya dan duduk sendiri dengan budbahasa baik dan tunduk seakan-akan duduknya di hadapan gurunya, inilah yang paling tepat. Diharuskan baginya membaca sambil berdiri atau berbaring atau di daerah tidurnya atau dalam keadaan lainnya dan dia mendapat pahala, akan tetapi nilainya kurang dari yang pertama.

Allah ‘Azza wa JAllah berfirman:

.

Terjemahan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat gejala (keagungan Allah swt) bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah swt sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan Bumi…”
(QS Ali-Imran 3:190-191)

            Diriwayatkan dalam Shahih dari Aisyah ra.a, katanya:

            .

Terjemahan: “Bahwa Rasulullah saw bersandar di pangkuanku ketika aku sedang haid dan ia membaca Al-Qur’an.”
(Riwayat Bukhari & Muslim)
           
Dalam suatu riwayat: “Beliau membaca Al-Qur’an sedang kepalanya berada dipangkuanku.”
           
Diriwayatkan dari abu Musa Al-Asy’ari ra, katanya: “Aku membaca Al-Qur’an dalam sembahyangku dan membacanya di atas kawasan tidurku.” Diriwayatkan dari Aisyah r.a, katanya: “Sungguh saya membaca hizibku ketika saya berbaring di atas daerah tidurku.”

Masalah ke-33:
Jika hendak mulai membaca Al-Qur’an, maka dia memohon proteksi dengan mengucapkan: A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir rajiim (Aku Berlindung kepada Allah swt dari Syaitan yang terkutuk). Sebagian ulama salaf berkata: Ta’awwudz itu sepatutnya dibaca setelah membaca Al-Qur’an berdasarkan firman Allah swt:

.

Terjemahan: “Jika kau membaca Al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah swt dari syaitan yang terkutuk.”
 (QS An-Nahl 16:98)
            Maksud ayat ini menurut secara umum dikuasai ulama, apabila kamu ingin membaca Al-Qur’an, maka mohonlah perlindungan kepada Allah swt dari syaitan yang terkutuk.
           
Sejumlah ulama salaf beropini, ‘Auudzu billaahis sami’il ‘aliimi minasy-syaithaanir rajiim (aku memohon proteksi kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk). Tidaklah mengapa jikalau mengucapkan perkataan ini.
           
Bagaimanapun yang terpilih adalah bentuk ta’awwudz yang pertama. Kemudian, sesungguhnya ta’awwudz itu mustahab (disunahkan) dan bukan wajib. Ta’awwudz itu disunahkan bagi setiap pembaca Al-Qur’an, sama saja di dalam sembahyang atau di luarnya. Di dalam sembahyang diutamakan membacanya dalam setiap rakaat menurut pendapat yang sahih dari dua pendapat tersebut.

            Menurut pendapat yang kedua diutamakan membacanya pada rakaat pertama. bila ditinggalkan pada rakaat pertama, maka hendaklah dia membacanya pada rakaat kedua.

            Diutamakan pula membaca ta’awwudz dalam takbir pertama sembahyang jenazah, berdasarkan pendapat yang lebih sahih di antara dua pendapat.

Masalah ke-34:
Hendaklah orang yang membaca Al-Qur’an selalu membaca bismillahir Rahmaanir Rahiim pada awal setiap surah selain surah kafea’ah karena sebagian besar ulma mengatakan, ia ialah ayat, sebab ditulis di dalam Mushaf. Basmalah ditulis di awal setiap surat, kecuali bara’ah. jika tidak membaca basmalah, maka dia meninggalkan sebagian Al-Qur’an menurut sebagian besar ulama.
           
Kalau bacaan itu karena peran yang diwajibkan atasnya sebagai orang yang diupah dan digaji, maka perhatian atas bacaan basmalah lebih ditekankan untuk memastikan pembacaan khatam. karena bila ditinggalkannya, maka dia tidak mendapat sesuatu karena waqaf, bagi orang yang mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat di awal surat. Ini adalah penjelasan berharga yang ditekankan agar diperhatikan dan disebarkan.

Masalah ke-35:
Jika mulai membaca, hendaklah bersikap khusyuk dan merenungkan maknanya ketika membaca. Dalil-dalilnya terlalu banyak untuk dihitung dan sudah masyur serta terlalu terang untuk disebut. Itulah maksud yang dikehendaki dan dengan demikian itu dada menjadi lapang serta hati menjadi tenang. Allah Azza wa jalla berfirman:

.

Terjemahan: “Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an?”
 (QS An-Nisa’ 4:82)

Allah berfirman:

.

Terjemahan: “Ini yaitu suatu Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkat supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya…”
(QS Shaad 38:29)

            Banyak hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan perkara tersebut dan pendapat-pendapat ulama salaf tentang hal itu cukup masyur. Sejumlah ulama Salaf ada yang membaca satu ayat sambil merenungkannya dan mengulang-ulanginya sehingga pagi.
           
Sejumlah ulama Salaf telah pingsan saat membaca Al-Qur’an. Banyak pula yang mati dalnm keadaan membaca Al-Qur’an.
"); var fixArtikel = ""; for(var i = 0; i < artikelEnter.length; i++){ var artikelTemporary = ""; if(positionAds.length > 0){ for(var j = 0; j < positionAds.length; j++){ if(typeof positionAds[j] != "undefined" && positionAds[j] != ""){ if(positionAds[j] == i){ artikelTemporary += artikelEnter[i]; if(typeof ads[j] != "undefined" && ads[j] != ""){ artikelTemporary += "
"; artikelTemporary += "
"; artikelTemporary += ads[j]; artikelTemporary += "
"; break; } } } } fixArtikel += artikelTemporary == "" ? artikelEnter[i] : artikelTemporary; fixArtikel += "
"; } else { fixArtikel += artikelEnter[i]; fixArtikel += "
"; } } artikel.innerHTML = fixArtikel;

0 Response to "Al-Tibyan (Nawawi) VI - budpekerti Dan Etika Membaca Al-Qur’an"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel