-->

Kisah nyata : "Nasehat Dalam Pergaulan"

TerasDN
TerasDN - Bismillahirrahmanirrahim...
Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kamu bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang memiliki kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu tiba setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'.
____________

Gus Mus bercerita wacana Gus Jakfar.
Semoga bermanfaat dan Kaprikornus lebih dalam mengenal anutan tasawwuf melalui dongeng.
berikut kisah selengkapnya ... (selamat membaca)
...
Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia memiliki keistimewaan yang menciptakan namanya tenar hingga ke luar tempat, malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.

"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari ia sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari kepada mitra-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemerintah Daerah yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan bau tanah itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak usang kemudian orang sabrang itu datang melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya ia sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; mampu proyek besar ya?' Padahal ketika itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang semenjak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca gejala buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seolah-olah Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan ia. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi insan biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca gejala. Tak mau lagi menyampaikan aba-aba-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Ke mana dia pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada dia dan mengapa dia kemudian berubah."

"Tapi, bagaimanapun ini ada nasihatnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap ketika menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat nrimo mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita pribadi saja menemui dia."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.

sehabis ngobrol ke sana kemari, jadinya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seakan-akan biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca gejala orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar gres tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. diam agak usang. baru sesudah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, "Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami membisu saja.

"Kalian ingat, saya lama menghilang?" balasannya Gus Jakfar bertanya, menciptakan kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang mencar ilmu kepada ia pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak mampu menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. gres sesudah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang bau tanah yang memberi petunjuk."

'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seolah-olah yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'

'Kiai Tawakkal.'

'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'

"Saya pun mengikuti petunjuk orang renta itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."

"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah bau tanah. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan kepingan dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya terang dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang menciptakan saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening dia yang lapang ada tanda yang terperinci sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan abjad yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, cerdik tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai jago neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah delusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening dia. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin terang ketika dia habis berwudhu. Gila!"

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada ia, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah menjelma keinginan untuk menyidik dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati sikap Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. aktivitas rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melaksanakan salat-salat sunnat seakan-akan dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. bilapun dia keluar, biasanya untuk memenuhi seruan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi berdasarkan santri-santri yang usang, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal semenjak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk menerima jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, mustahil ia pergi untuk mendatangi seruan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana dia gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan termenung saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh bunyi yang tidak ajaib di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk kalem di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini mitra saya, dia baru datang dari kawasan yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang populer waliyullah dan dihormati para kiai lain mampu berada di sini. bersahabat dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seolah-olah mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."

'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba bunyi Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. seolah-olah kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata sehabis melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan kesannya hingga di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. sampai di seberang, ia menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. dia melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. hingga di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu ganjal, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah hingga pondok.'

setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan bunyi berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, 'Bagaimana? kamu sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kamu sudah menemukan pembenar dari tanda yang kamubaca di kening saya? Mengapa kau seakan-akan masih terkejut? Apakah kamu yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' acuh taacuh air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. ia yang kemudian terus berbicara.

'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya lantaran kamu melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang memperlihatkan bahwa saya memang pantas masuk neraka. lantaran, pertama, apa yang kamu lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kamu kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, saya ialah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani menyampaikan bahwa orang-orang di warung yang tadi kamu pandang sebelah mata itu niscaya masuk neraka? Kita berbuat baik lantaran kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? lantaran kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'

aku hanya mampu menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila menerima cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. seakan-akan mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang memiliki kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu tiba setiap dikala. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'

Malam itu saya benar-benar merasa menerima pemahaman dan ilham dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.

'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kamu boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangun, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan resah saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya tibai surau itu dengan impian mampu ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang ibarat dia pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. baru sehabis sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'

'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.

'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo tiba dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana dia datang dan ke mana ia pergi.'

Begitulah dongengnya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri kisahnya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih membisu tercenung sampai Gus Jakfar kembali memperlihatkan suguhannya.

Rembang, Mei 2002 (KH.Achmad Mustofa Bisri)

0 Response to "Kisah nyata : "Nasehat Dalam Pergaulan""

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel