Aku
hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil
menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat
cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah
gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. seperti mereka yang
di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kamu
bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung
membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang memiliki kemampuan
dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu tiba setiap
saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak
pihak'. ____________ Gus Mus bercerita wacana Gus Jakfar. Semoga bermanfaat dan Kaprikornus lebih dalam mengenal anutan tasawwuf melalui dongeng. berikut kisah selengkapnya ... (selamat membaca) ...
Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul
Muttaqin" dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik
perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai
saudara-saudaranya, tapi dia memiliki keistimewaan yang menciptakan namanya
tenar hingga ke luar tempat, malah konon beberapa pejabat tinggi dari
pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai
Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai
Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
"Kata Kiai,
Gus Jakfar itu lebih tua dari ia sendiri," cerita Kang Solikin suatu
hari kepada mitra-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai
Saleh itu. "Saya sendiri tidak paham apa maksudnya." "Tapi, Gus
Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemerintah Daerah yang sering
mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja
mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang
tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal
lama yang dijuluki perawan bau tanah itu, sebelum dilamar orang sabrang kan
ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu
kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?'. Tak usang kemudian orang
sabrang itu datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga begitu,"
timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar
bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan
kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata
besoknya Kang Kandar meninggal."
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus
Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak tahunya ia
sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."
"Saya malah
mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah
kepingin ikut bicara. "Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus
Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; mampu
proyek besar ya?' Padahal ketika itu saku saya justru sedang kemps. Dan
percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang
diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang semenjak tadi hanya asyik mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu
Gus Jakfar. Takut dibaca gejala buruk saya, lalu pikiran saya
terganggu." *** Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah,
masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung
yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seolah-olah Kang Solikin
yang selama ini merasa dekat dengan ia. Mula-mula Gus Jakfar
menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya
berubah menjadi insan biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi
membaca gejala. Tak mau lagi menyampaikan aba-aba-isyarat yang
berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan
keistimewaannya.
"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat
beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. "Wah,
sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"
"Ke
mana dia pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;" kata Lik
Salamun. "Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan
mengetahui apa yang terjadi pada dia dan mengapa dia kemudian
berubah."
"Tapi, bagaimanapun ini ada nasihatnya," ujar Ustadz
Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa setiap ketika menemui Gus Jakfar
tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan
niat nrimo mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang
terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang,
sebaiknya kita pribadi saja menemui dia."
Begitulah,
sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya,
saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong
sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan
merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin
karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.
sehabis ngobrol ke sana kemari, jadinya Ustadz Kamil berterus terang
mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping
silaturahmi seakan-akan biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar
belakang perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?" tanya Gus
Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada
saja. Saya kok merasa tidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa
dan suka membaca gejala orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok
sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan
diminta pun tak mau."
"O, itu," kata Gus Jakfar seperti
benar-benar gres tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. diam
agak usang. baru sesudah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan,
"Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi
kami membisu saja.
"Kalian ingat, saya lama menghilang?" balasannya
Gus Jakfar bertanya, menciptakan kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk
bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi
ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di
sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200
km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu,
hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih
100 tahun ini. Santri-santri yang mencar ilmu kepada ia pun rata-rata
sudah disebut kiai di daerah masing-masing."
"Terus terang,
sejak bermimpi itu, saya tidak mampu menahan keinginan saya untuk
berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan
diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang
ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu
beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya
jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. gres sesudah seharian
melacak ke sana kemari, ada seorang bau tanah yang memberi petunjuk."
'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas
akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas
menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk
kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan
nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah
tinggal seorang tua seolah-olah yang nakmas gambarkan. Orang sini
memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa
tadi?'
"Saya pun mengikuti petunjuk orang renta itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu."
"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya
menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi
santri-santrinya yang rata-rata sudah bau tanah. Saya diterima dengan penuh
keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan kepingan dari mereka. Dan
kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak
mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya
berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya terang
dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau
bermuatan kata-kata hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti,
menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal
yang menciptakan saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening dia
yang lapang ada tanda yang terperinci sekali, seolah-olah saya membaca
tulisan dengan abjad yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'.
Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu
gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. pasti saya
keliru. Masak seorang yang dikenal wali, cerdik tinggi, dan disegani
banyak kiai yang lain, disurati sebagai jago neraka. Tak mungkin. Saya
mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah delusi, tapi tak
bisa. Tanda itu terus melekat di kening dia. Bahkan belakangan saya
melihat tanda itu semakin terang ketika dia habis berwudhu. Gila!"
"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada ia, meskipun secara
lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah menjelma
keinginan untuk menyidik dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa
hari saya amati sikap Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali
hal-hal mencurigakan. aktivitas rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda
dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melaksanakan
salat-salat sunnat seakan-akan dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam;
menemui tamu; dan semacamnya. bilapun dia keluar, biasanya untuk
memenuhi seruan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi
pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam
tertentu; tapi berdasarkan santri-santri yang usang, itu pun merupakan
kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal semenjak muda. Semacam
lelana brata, kata mereka."
"Baru setelah beberapa minggu
tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan atau tepatnya
keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah
kesempatan untuk menerima jawaban atas tanda tanya yang selama ini
mengganggu saya."
"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya
melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah
larut, mustahil ia pergi untuk mendatangi seruan hajatan atau
lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak
terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga
ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan
ke mana dia gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata?
Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya,
khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."
"Setelah melewati
kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut
belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat
justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai
sekali. Dengan termenung saya mendekati warung terpencil dengan penerangan
petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya
lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan
sambil menebar tawa genit ke sana kemari. tidak mungkin Kiai mampir ke
warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi
warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
'Mas
Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh bunyi yang tidak ajaib di
telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang
betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam
warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk
dan menghampiri kiai yang saya yang duduk kalem di pojok. Warung penuh
dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum
penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser,
'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!' lalu, kepada orang-orang yang ada
di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, 'Ini mitra saya, dia baru
datang dari kawasan yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya'. Mereka
yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya
dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".
"Saya
masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika
tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk
asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung
sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo
royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya
menganggukkan kepala asal mengangguk."
"Kiai Tawakkal kemudian
asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya bengong
sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal
yang populer waliyullah dan dihormati para kiai lain mampu berada di
sini. bersahabat dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung.
Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain
beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seolah-olah
mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan
karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di
keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap
beliau berubah."
'Mas, sudah larut malam,'tiba-tiba bunyi Kiai
Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita pulang, yuk!' Dan tanpa
menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri,
melambai kepada semua, kemudian keluar. seolah-olah kerbau dicocok hidung,
saya pun mengikutinya. Ternyata sehabis melewati kebon sengon, Kiai
Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat,
kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."
"Kami melewati
pematang, lalu menerobos hutan, dan kesannya hingga di sebuah sungai.
Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai
Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas
jalan biasa saja. sampai di seberang, ia menoleh ke arah saya yang
masih berdiri mematung. dia melambai. 'Ayo!' teriaknya. Untung saya
bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup
lebar. hingga di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di
bawah pohon randu ganjal, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya
tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu,
insya Allah sebelum subuh kita sudah hingga pondok.'
setelah
saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan bunyi berwibawa, Kiai
berkata mengejutkan, 'Bagaimana? kamu sudah menemukan apa yang kaucari?
Apakah kamu sudah menemukan pembenar dari tanda yang kamubaca di kening
saya? Mengapa kau seakan-akan masih terkejut? Apakah kamu yang mahir melihat
tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?' acuh taacuh air
sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang
menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. ia yang kemudian
terus berbicara.
'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya
hanya lantaran kamu melihat tanda "Ahli Neraka" di kening saya. kau pun
tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang memperlihatkan bahwa saya
memang pantas masuk neraka. lantaran, pertama, apa yang kamu lihat belum
tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kamu kan
tahu, sebagaimana neraka dan sorga, saya ialah milik Allah. Maka
terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka.
Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak
memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu
pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani menyampaikan bahwa
orang-orang di warung yang tadi kamu pandang sebelah mata itu niscaya masuk
neraka? Kita berbuat baik lantaran kita ingin dipandang baik oleh-Nya,
kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut
balasan kebaikan kita. Mengapa? lantaran kebaikan kita pun berasal
dari-Nya. Bukankah begitu?'
aku hanya mampu menunduk. Sementara
Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. 'Kau
harus lebih berhati-hati bila menerima cobaan Allah berupa anugerah.
Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang
berupa penderitaan. seakan-akan mereka yang di warung tadi; kebanyakan
mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur;
ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri.
Berbeda dengan mereka yang memiliki kemampuan dan kelebihan: godaan
untuk takabbur dan sebagainya itu tiba setiap dikala. Apalagi bila
kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'
Malam itu saya benar-benar merasa menerima pemahaman dan ilham dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.
'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh.
Setelah sembahyang subuh nanti, kamu boleh pulang.' Saya tidak merasa
diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa
ini."
"Ketika saya ikut bangun, saya celingukan. Kiai Tawakkal
sudah tak tampak lagi. Dengan resah saya terus berjalan. Kudengar
azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu.
Seperti orang linglung, saya tibai surau itu dengan impian mampu
ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan
Kiai Tawakkal, orang yang ibarat dia pun tak ada. Tak seorang pun dari
mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. baru sehabis
sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah sampeyan Jakfar?'
tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah
bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini
titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.'
'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.
'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo tiba dan pergi semaunya. Tak
ada seorang pun yang tahu dari mana dia datang dan ke mana ia
pergi.'
Begitulah dongengnya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."
Gus Jakfar sudah mengakhiri kisahnya, tapi kami yang dari tadi suntuk
mendengarkan masih membisu tercenung sampai Gus Jakfar kembali memperlihatkan
suguhannya.
Rembang, Mei 2002 (KH.Achmad Mustofa Bisri)
Share this post
0 Response to "Kisah nyata : "Nasehat Dalam Pergaulan""
0 Response to "Kisah nyata : "Nasehat Dalam Pergaulan""
Post a Comment