Tatacara Umrah
بسم الله الرحمن الرحيم
Tatacara Umrah
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan ihwal tatacara umrah, semoga Allah menyebabkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Ta’rif (definisi) umrah
Umrah secara bahasa artinya berziarah. Adapun secara istilah, umrah yaitu menziarahi Ka’bah, berthawaf mengelilinginya, bersa’i antara Shafa dan Marwah, dan mencukur habis atau memendekkan rambut.
Umrah dilakukan kapan saja, berbeda dengan haji yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu (Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah).
Hukum Umrah
Para ulama sepakat, bahwa umrah disyariatkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah lantaran Allah.” (Qs. Al Baqarah: 196)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda ketika ditanya oleh Aisyah radhiyallahu anha, “Apakah kaum perempuan wajib jihad?” Beliau menjawab,
نَعَمْ، عَلَيْهِنَّ جِهَادٌ، لَا قِتَالَ فِيهِ: الْحَجُّ وَالْعُمْرَةُ
“Ya mereka wajib jihad yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan umrah.” (Hr. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani).
Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Abu Razin, ketika ia bertanya bahwa ayahnya tidak sanggup haji, umrah, dan menaiki kendaraan, maka Beliau bersabda,
«احْجُجْ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ»
“Hajikanlah ayahmu dan umrahkanlah.” (Hr. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Imam Ahmad dan Syafi’i berpendapat, bahwa aturan umrah yaitu wajib (bagi yang mampu). Sedangkan ulama madzhab Maliki dan Hanafi beropini bahwa hukumnya sunnah mu’akadah (sunah yang sangat ditekankan). Mengenai bilangan umrah, maka para ulama yang menyampaikan wajib itu berpendapat, bahwa wajibnya hanya sekali seumur hidup, sama halnya dengan ibadah haji.
Keutamaan umrah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ»
“Umrah yang satu ke umrah berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang terjadi antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada kesudahannya melainkan surga.” (Hr. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
«تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَإِنَّ الْمُتَابَعَةَ بَيْنَهُمَا، تَنْفِي الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ، خَبَثَ الْحَدِيدِ»
“Sertakanlah haji dengan umrah, lantaran melaksanakan demikian sanggup menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran besi.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Keutamaan Umrah di bulan Ramadhan
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«عُمْرَةٌ في رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً - أَوْ حَجَّةً مَعِي»
“Berumrah di bulan Ramadhan ibarat berhaji, atau ibarat berhaji bersamaku.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Rukun umrah
Rukun umrah yaitu ihram, thawaf, sa’i, dan halq/taqshir (cukur habis/memendekkan).
Tatacara umrah
Apabila seorang muslim telah hingga ke miqat (tempat memulai berihram)[i] (Lihat gambar miqat di sini)
maka dianjurkan untuk mandi dan mewangikan badannya[ii] sebelum berihram sekaligus bersih-bersih (seperti memotong kukunya dan bulu ketiaknya). Kemudian bagi pria menggunakan kain ihram, yang terdiri dari kain sarung dan selendang, dan dianjurkan pula mengenakan dua sandal.
maka dianjurkan untuk mandi dan mewangikan badannya[ii] sebelum berihram sekaligus bersih-bersih (seperti memotong kukunya dan bulu ketiaknya). Kemudian bagi pria menggunakan kain ihram, yang terdiri dari kain sarung dan selendang, dan dianjurkan pula mengenakan dua sandal.
Adapun bagi wanita, maka ia boleh menggunakan pakaian yang ia kehendaki selama terpenuhi syarat hijab, tidak ada bentuk tabarruj (bersolek) atau ibarat dengan laki-laki, dan tidak menggunakan minyak wangi. Ia (wanita) boleh menggunakan pakaian berwarna apa saja. Namun perlu diingat, perempuan dihentikan menggunakan epilog muka (cadar), namun boleh baginya menutupkan mukanya bila dilewati oleh pria ajaanib (bukan mahram) dengan selain cadar.
Selanjutnya seorang muslim berniat di hatinya untuk masuk ke dalam ibadah umrah dan disyariatkan mengucapkan ”Labbaika ’umrah” atau ”Allahumma labbaika umrah”, dan ucapan ini lebih utama diucapkan ketika ia telah berada di atas kendaraan, ibarat mobil, dsb.
Catatan:
- Perlu diketahui, untuk ihram tidak ada shalat khusus dua rakaat, akan tetapi apabila seorang muslim berihram sesudah shalat fardhu, maka ini lebih utama lantaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan ibarat itu. Dan boleh saja seseorang shalat sunah sesudah wudhu sesudah itu berniat ihram.
- Bagi seorang muslim boleh mensyaratkan dalam ihramnya, bila ia khawatir di tengah ibadah haji atau umrahnya ia tidak bisa melanjutkan lantaran ada penghalang, ibarat sakit, lantaran takut, atau lainnya. Yaitu dengan mengucapkan, ”In habasani haabisun famahalli haitsu habastanii” (artinya: Ya Allah, bila ada yang menghalangiku untuk melanjutkan ibadah ini, maka tahallulku yaitu di kawasan Engkau tahan aku). Manfaat syarat ini yaitu semoga bila ada penghalang yang menghalanginya untuk melanjutkan ibadahnya, maka ia bisa bertahallul tanpa mengeluarkan fidyah.
Setelah seorang muslim berihram, maka dianjurkan baginya memperbanyak talbiyah, yaitu ucapan:
لَبَّيْكَ اللّهُـمَّ لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ اْلحَـمْدَ وَالنِّعْـمَةَ لَكَ وَاْلمـُلْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ
"Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, saya penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, saya penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala kebanggaan dan nikmat serta kerajaan yaitu milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu."
Bagi pria mengucapkannya dengan jahar (keras), sedangkan bagi perempuan cukup mensir(pelan)kan saja.
Setelah hingga di Ka’bah, maka ia hentikan talbiyahnya dan beridhthiba’[iii],
kemudian ia mengusap hajar aswad dengan tangan kanannya dan menciumnya sambil mengucapkan ”Allahu akbar”. Jika tidak memungkinkan untuk menciumnya lantaran berdesakan, maka ia usap hajar aswad dengan tangannya dan mencium tangannya. Tetapi, bila tidak bisa juga, maka ia usap dengan benda yang ada padanya ibarat tongkat dan sejenisnya, kemudian ia mencium tongkat itu. Dan bila tidak memungkinkan juga mengusapnya, maka ia menghadap kepadanya dengan badannya dan berisyarat dengan tangan kanannya tanpa mencium tangannya sambil mengucapkan Allahu akbar.
kemudian ia mengusap hajar aswad dengan tangan kanannya dan menciumnya sambil mengucapkan ”Allahu akbar”. Jika tidak memungkinkan untuk menciumnya lantaran berdesakan, maka ia usap hajar aswad dengan tangannya dan mencium tangannya. Tetapi, bila tidak bisa juga, maka ia usap dengan benda yang ada padanya ibarat tongkat dan sejenisnya, kemudian ia mencium tongkat itu. Dan bila tidak memungkinkan juga mengusapnya, maka ia menghadap kepadanya dengan badannya dan berisyarat dengan tangan kanannya tanpa mencium tangannya sambil mengucapkan Allahu akbar.
Selanjutnya ia berthawaf di Ka’bah tujuh kali putaran. Setiap putaran diawali dari hajar aswad dan diakhiri dengannya, ia mengusapnya dan menciumnya sambil bertakbir setiap kali melewatinya. Tetapi bila tidak memungkinkan, maka ia berisyarat kepadanya tanpa menciumnya namun tetap bertakbir. Hal ini juga dilakukan di final putaran ketujuh.
Adapun ketika melewati rukun yamani, maka cukup mengusapnya dengan tangannya tanpa bertakbir. Jika tidak memungkinkan lantaran berdesakan, maka tidak perlu berisyarat kepadanya dan tidak perlu bertakbir, bahkan ia tetap melanjutkan terus thawafnya.
Dianjurkan ketika berada di antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad membaca doa:
رَبَّنَا اتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاخِرَةِ حَسَنَةً وَ ِقنَا عَذَابَ النَّارِ
"Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka."
Catatan:
- Untuk thawaf tidak ada dzikr khusus, kalau sesorang membaca Al Qur’an atau berdzikr yang ma’tsur (ada riwayatnya), maka tidak mengapa.
- Disunahkan dalam thawaf, seseorang melaksanakan raml (jalan cepat dengan langkah pendek) pada tiga putaran pertama.
- Menurut jumhur (mayoritas) ulama, bersuci yaitu syarat sahnya thawaf, namun yang lain di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa bersuci ketika thawaf yaitu sunah. Jika wudhunya batal di tengah-tengah melaksanakan thawaf, maka hendaknya ia keluar dan berwudhu, kemudian mengulangi thawaf dari awal, ini yaitu madzhab Maliki dan Hanbali. Namun berdasarkan madzhab Syafi’i, bahwa ketika ia berhadats ketika thawaf, maka ia keluar dari thawaf itu untuk berwudhu kemudian melanjutkan thawafnya (tanpa mengulangi dari awal). Tetapi mereka (ulama madzhab Syafi’i) berbeda pendapat, apakah memulai thawafnya dari kawasan mulai thawaf atau dari kawasan dimana ia putuskan thawafnya? Menurut Syaikh Khalid Al Mushlih, bahwa pendapat yang lebih erat (kepada kebenaran) yaitu apabila ia keluar untuk bersuci, maka ia mulai dari kawasan ia putuskan thawafnya kecuali bila jedanya usang lantaran keinginannya, maka ia mulai dari kawasan mulai thawaf, wallahu a’lam.
- Jika di tengah-tengah melaksanakan thawaf didirikan shalat jamaah, maka shalatlah bersama mereka kemudian sempurnakanlah thawafnya dari kawasan di mana ia berhenti. Jangan lupa menutupi kedua bahu kau ketika hendak salat, lantaran menutupi keduanya dalam shalat yaitu wajib.
- Jika seorang muslim ragu-ragu ihwal jumlah thawafnya, maka ia mendasari atas hal yang ia yakin, yakni ia kuatkan jumlah yang sedikit, sehingga bila ia ragu-ragu apakah sudah tiga kali putaran atau empat, maka ia anggap gres tiga untuk kehati-hatian.
Setelah ia menuntaskan thawafnya, maka ia pergi menuju Maqam (batu kawasan berdiri) Ibrahim sambil membaca firman Allah Ta’ala, ”Wat takhidzuu mim maqaami Ibraahiima mushalla,” kemudian ia shalat di belakangnya dua rakaat dengan membaca surah Al Kafirun dan surah Al Ikhlas, dan tidak dalam keadaan beridhthiba’, bahkan ia tutup pundaknya.
Jika tidak memungkinkan shalat di belakang maqam Ibrahim lantaran sesak, maka ia boleh shalat di bab mana saja di masjidil haram.
Selanjutnya, dianjurkan baginya meminum air Zamzam, kemudian pergi menuju Hajar Aswad untuk mengusapnya dengan tangan kanannya. Jika tidak memungkinkan melaksanakan hal itu, maka tidak mengapa.
Setelah itu, ia pergi menuju Shafa dan dianjurkan baginya membaca ayat berikut ketika telah erat dengan bukit Shafa,
{إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ}
Artinya: Sesungguhnya Shafaa dan Marwah yaitu sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka bahwasanya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 158).
Kemudian ia mengucapkan, ”Nabda’u bimaa bada’allahu bih” (artinya: Kami memulai dengan apa yang Allah mulai dengannya).
Selanjutnya, dianjurkan baginya naik ke Shafa kemudian menghadap ke kiblat dan mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan dengan jahar (keras) kalimat berikut:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ اَنْجَزَ وَعْدَهُ وَ نَصَرَ عَبْدَهُ وَ هَزَمَ اْلاَحْزَابَ وَحْدَهُ
Artinya: Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Tidak ada dewa yang berhak disembah selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan milik-Nya pujian. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada dewa yang berhak disembah selain Allah saja. Dia telah melaksanakan janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan pasukan bersekutu sendiri saja."
Ia ulangi dzikir tersebut sebanyak tiga kali dan berdoa pada setiap selesai membacanya dengan doa-doa yang ia kehendaki, namun untuk yang ketiga, setelahnya tidak perlu berdoa.
Kemudian ia turun dan berjalan menuju Marwah, dan disunahkan baginya mempercepat jalannya ketika berada di antara dua tanda hijau.
Jika ia telah hingga di Marwah, maka dianjurkan naik ke atasnya dan menghadap ke Ka'bah, kemudian melaksanakan sebagaimana yang ia lakukan di Shafa. Demikianlah yang ia lakukan pada putaran berikutnya. Pergi (dari Shafa ke Marwah) dihitung satu kali putaran dan kembali (dari Marwah ke Shafa) juga dihitung satu kali putaran sehingga tepat menjadi tujuh kali putaran. Oleh lantaran itu, putaran sa'i yang ketujuh berakhir di Marwah. Tidak ada dzikir (doa) khusus untuk sa'i, akan tetapi disyariatkan berdzikir dan berdoa, atau membaca Al-Qur'an.
Jika ia telah hingga di Marwah, maka dianjurkan naik ke atasnya dan menghadap ke Ka'bah, kemudian melaksanakan sebagaimana yang ia lakukan di Shafa. Demikianlah yang ia lakukan pada putaran berikutnya. Pergi (dari Shafa ke Marwah) dihitung satu kali putaran dan kembali (dari Marwah ke Shafa) juga dihitung satu kali putaran sehingga tepat menjadi tujuh kali putaran. Oleh lantaran itu, putaran sa'i yang ketujuh berakhir di Marwah. Tidak ada dzikir (doa) khusus untuk sa'i, akan tetapi disyariatkan berdzikir dan berdoa, atau membaca Al-Qur'an.
Catatan:
- Dianjurkan bagi seorang muslim dalam keadaan suci ketika bersa’i.
- Jika shalat berjamaah ditegakkan sedangkan ia dalam keadaan bersa’i, maka ia shalat berjamaah dahulu sesudah itu melanjutkan sa’inya.
Setelah selesai sa’i, maka ia cukur rambutnya (habis) atau hanya memendekkan, namun lebih utama mencukur habis, kecuali bila ia hendak melanjutkan dengan haji, maka memendekan lebih utama semoga nanti ia mencukurnya ketika melaksanakan ibadah haji.
Perlu diperhatikan, bahwa dalam memendekkan rambut hendaknya merata, tidak hanya bab tertentu saja. Adapun bagi wanita, maka hendaknya ia mengumpulkan rambutnya dan mengambil darinya kira-kira seukuran kuku.
Selesai mencukur atau memendekkan, maka selesailah pekerjaan umrah, sehingga seorang muslim telah selesai dari ihramnya.
Larangan ketika ihram
- Memakai pakaian yang dijahit membentuk tubuh, ibarat kemeja, gamis, jubah, koko, rompi, dsb. (ini untuk laki-laki).
- Memakai epilog muka bagi perempuan ibarat burqu’ (cadar berpengaruh dan tebal yang berlobang dua untuk melihat) maupun niqab (cadar yang lebih tipis dari burqu’)[iv] dan kaus tangan.
- Memakai epilog kepala, ibarat sorban, peci, dsb.
- Memakai wewangian baik di tubuh atau di pakaian.
- Menggunting kuku (baik kuku tangan maupun kuku kaki), menghilangkan rambut[v] baik dengan dicukur maupun dengan digunting (baik rambutnya sendiri maupun rambut orang lain).
- Jima’ (berhubungan suami-istri) dan pendorongnya.
- Mengerjakan maksiat.
- Bertengkar dan berdebat dalam perkara sia-sia.
- Melamar dan melaksanakan kesepakatan nikah.
- Berburu.
- Menebang pohon.
Yang Diperbolehkan ketika ihram
- Mandi untuk bersuci atau membersihkan badan, atau untuk menyegarkan badan.
- Mencabut gigi.
- Menggaruk kepala atau badan, tentunya dengan ringan.
- Memakai dua sandal, cincin, kacamata, earphone, jam tangan, ikat pinggang, dan tas.
- Mengganti pakaian ihram dan membersihkannya.
- Berteduh dengan payung.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Shifatul Haj (muraja’ah Syaikh Abdullah Al Jibrin), Al Hajjul Mushawwar At Tamatu’-terj. (Dr. Abdul ’Aziz As Sa’id) dll.
[i] Tempat memulai ihram itu adalah:
q Dzulhulaifah (sekarang bernama Abyaar ‘Ali), jauhnya dari Mekah kira-kira 428 km.
q Juhfah, namun ia sudah sudah runtuh, sehingga orang-orang berihram dari Raabigh (kampung yang erat dengan Juhfah yang jauhnya dari Mekah kira-kira 186 km).
q Yalamlam (jauhnya dari Mekah kira-kira 120 km), dan orang-orang ketika ini berihram dari desa As Sa’diyyah.
q Qarnul Manaazil (sekarang berjulukan As Sailul Kabiir), jauhnya dari Mekah kira-kira 75 km.
q Dzaatu’irq, dinamakan juga Adh Dhariibah. Sekarang miqat ini sudah ditinggalkan orang, tidak ada yang lewat dari sini.
Catatan:
- Jika jalur yang dilaluinya tidak ada miqat, maka ia berihram ketika sejajar dengan miqat yang terdekat.
- Bagi penduduk yang tinggal di antara Makkah dan miqat-miqat tersebut, maka miqat mereka yaitu dari rumahnya.
[ii] Agar lebih mudah, hendaknya bagi orang yang menuju Makkah naik pesawat yang ingin hajji atau umrah berkemas-kemas untuk itu dengan mandi dan sebagainya sebelum naik pesawat. Apabila sudah sejajar dengan miiqat ia pakai pakaian ihram kemudian mengucapkan “Labbaikallahumma ‘umrah” atau “Labbaikallahumma hajjataw wa ‘umrah”, dan bila ia menggunakan pakaian ihramnya sebelum naik pesawat atau sebelum sejajar dengan miiqat makaniy, maka tidak apa-apa, tetapi niat untuk naik hajji atau umrah serta mengucapkan “Labbaikallahumma ‘umrah” atau “Labbaikallahumma hajjataw wa ‘umrah” hanya dilakukan bila bertepatan/sejajar dengan miiqat.
[iii] Idhthiba’ artinya meletakkan pertengahan kain selendang di bawah bahu kanan, dan kedua ujungnya di atas bahu kiri.
[iv] Boleh bagi perempuan untuk menutupkan mukanya bila dilewati oleh pria ajaanib (bukan mahram) (sebagaimana dalam riwayat Hakim).
[v] Namun tidak mengapa menghilangkan rambut bila merasa terganggu dengannya, tetapi wajib membayar dam fidyah sebagaimana dalam hadits berikut ini, bahwa ada sobat yang berjulukan Ka’b bin ‘Ujrah ketika ditemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hudaibiyah dalam keadaan ihram terdapat banyak kutu di kepalanya hingga mengenai wajahnya, Beliau bertanya kepadanya, “Apa hewan kecil (kutu) ini mengganggumu?” Jawabnya,”Ya, maka sabda Beliau, “Cukurlah rambutmu atau berilah makan satu farq (3 sha’) kepada 6 orang miskin (yakni seorang miskin menerima ½ sha’), atau puasa tiga hari atau menyembelih satu sembelihan (yakni kambing).” (sebagaimana dalam riwayat Bukhari-Muslim). Dam fidyah juga wajib bagi yang mengerjakan larangan ihram yang berupa menggunakan epilog kepala, menggunting kuku, menggunakan minyak wangi dan menggunakan pakaian yang dijahit sesuai bentuk tubuh (sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abu Bakr Al Jazaa’iriy dalam Minhaajul Muslim). Namun apabila melaksanakan hal itu lantaran lupa atau tidak mengetahui hukumnya maka ia tidak dikenakan dam fidyah.
0 Response to "Tatacara Umrah"
Post a Comment