-->

Habib Salim bin Jindan Seorang Ulama Pejuang Kemerdekaan


Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin Umar bin ‘Abdullah bin Jindan bin Syaikhan bin Syaikh bubuk Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Awal ia menuntut Ilmu Agama di Madrasah al-Khairiyyah, Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah dan belajar dengan banyak ulama. 


Ulama Jakarta ini seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis (i.e. ada yang menyampaikan ratusan ribu hadis), Ia juga pejuang kemerdekaan. ia juga seorang andal sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah dia menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan sempurna. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, alasannya yaitu tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim karena ia tidak memerlukan penghargaan.

Seperti lazimnya para ulama, semenjak kecil ia juga menerima pendidikan agama dari ayahandanya. Menginjak usia sampaumur ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Ketika Menunaikan Ibadah Haji
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. bila dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih

Dari perjalanan ta'limnya itu, karenanya Habib Salim sanggup menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan lantaran menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
 

Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka.”

Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib bubukbakar bin Muhammad Assegaf.
Tentang Habib Alwi Alhaddad dan Habib bubukbakar Assegaf, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”


Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). 
Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi, Habib Ali bin Husein Alatas dan Habib Salim bin Jindan

Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta mencar ilmu kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.

Seorang Ulama Pejuang Kemerdekaan
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke aneka macam kawasan. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta memperabukan semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu karenanya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.

Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang mengalah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. alasannya adalah, hubbul wathan minal doktrin–cinta tanah air adalah sebagian dari pada akidah. 

Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai kawasan Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Mempunyai ramai murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib AbdurRahman al-Attas dan banyak lagi.

Habib Salim juga aktif dalam usaha kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepun, ia juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan sesudah kemerdekaan Indonesia, dia juga sering keluar masuk penjara kerana kritikannya yang tajam terhadap kerajaan apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.

Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan ramai yang belajar kepada dia, Presiden Soerkano sendiri pernah mencar ilmu dengan ia dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, dia turut naik atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lain. beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta.

Fatwa Habib Salim mengenai Ratapan 10 Muharram.
Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakyah Syiah yang kononnya menyayangi hebatl Bait. Habib Salim ialah seorang hebat berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. 


Dialog dengan Ulama Syi'ah Syekh Mudzaf

Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis, antaranya:

• Dan di antara seburuk-buruk adab mereka daripada bid`ah adalah puak Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya al-Husain. Maka ini yaitu satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya dan tidak sewajarnya bagi orang yang arif untuk meratap seakan-akan anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.

• Junjungan Rasulullah s.a.w. telah menegah daripada perbuatan sedemikian (yakni meratap) dan Junjungan Rasulullah s.a.w. telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Junjungan Rasulullah s.a.w. daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah biar mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Junjungan s.a.w. bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”.

• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahawa Junjungan s.a.w bersabda: “Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini yaitu perbuatan haram dan pelakunya terkeluar daripada umat Muhammad s.a.w. sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.

• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li mahirs Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di tempat India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang mirip kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. bekerjsama Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada masangan mereka dan akan dihimpun bersama mereka pada hari akhir zaman.”


Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar kondusif, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia tulus berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seolah-olah Singapura, Malaysia, Kamboja.

Ketika berdakwah di tempat-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.


Kebangkitan Dakwah dibawah bimbingan Habib Salim
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang andal dalam menjawab aneka macam duduk masalah – yang adakala menjebak. misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. alasannya yang mati sudah Kaprikornus bangkai.” Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.” “Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. karena, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar balasan diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, kemudian pamit pulang. saat itu banyak kaum Nasrani yang karenanya memeluk Islam sesudah bertukar pikiran dengan Habib Salim.

Sejak usang, jauh-jauh hari, Habib Salim sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akhir pornografi dan kemaksiatan.

“Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, lantaran hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.

Bersama sahabat dan Sanak Keluarga
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari aneka macam pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang hingga ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur. Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Habib Novel bin Salim bin Jindan
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seakan-akan jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.

Ada sebuah hikmah almarhum Habib Salim bin Jindan yang hingga sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga tabiat keluarga. 

”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang mampu merusak akhlak. sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. pesan tersirat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”

0 Response to "Habib Salim bin Jindan Seorang Ulama Pejuang Kemerdekaan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel