-->

Fiqih Shalat Berjamaah (7)

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxQTEhUSEhIWFRUWGBgXGBgXGBYeGBcfHxUYHRoXFxoYHSggGh Fiqih Shalat Berjamaah (7)
Fiqih Shalat Berjamaah (7)
[Posisi Imam dan Makmum]
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan wacana posisi imam dan makmum, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Posisi Imam dan Makmum
Jika makmum hanya seorang saja, maka dianjurkan berdiri di samping kanan imam (sejajar). Dan bila makmum lebih dari seorang, maka mereka berdiri di belakang imam.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu anhu berikut, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bangkit untuk shalat, kemudian saya tiba dan berdiri di sebelah kirinya, maka Beliau memegang tanganku dan memindahkanku ke sebelah kanannya, kemudian Jabir bin Shakhr tiba dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau memegang tangan kami, mendorong kami, dan menempatkan kami di belakangnya.” (Hr. Muslim dan Abu Dawud)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
«بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعًا، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَدَارَنِي، فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسًا، ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ - أَوْ خَطِيطَهُ -، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ خَرَجَ، فَصَلَّى الْغَدَاةَ»
“Aku pernah bermalam di rumah bibiku Maimunah binti Harits, kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian tiba (pulang) dan shalat empat rakaat, kemudian tidur, kemudian bangkit lagi dan shalat, maka saya berdiri di sebelah kiri Beliau, kemudian Beliau menempatkanku di sebelah kanannya, ketika itu Beliau tambahkan lima rakaat, kemudian Beliau tidur kembali dan saya mendengar dengkurannya, kemudian Beliau bangkit kembali dan shalat dua rakaat, kemudian keluar dari rumah dan melaksanakan shalat Subuh.” (Hr. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Jika perempuan hadir dalam shalat berjamaah, maka ia berdiri di belakang laki-laki, dan dihentikan bershaf bersama laki-laki.
Anas radhiyallahu anhu berkata, “Aku bersama anak yatim pernah shalat di rumah kami di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sedangkan ibuku Ummu Sulaim berada di belakang kami.” Dalam sebuah lafaz disebutkan, “Maka saya dan anak yatim menciptakan shaf di belakang Beliau, sedangkan perempuan renta berdiri di belakang kami.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Dianjurkan bagi imam untuk berdiri di depan di tengah barisan. Yang demikian semoga makmum sebelah kanan dan sebelah kiri sanggup memperoeh kepingan yang sama dalam mendengar dan berada akrab dengannya.
Demikian hendaknya yang berada akrab dengannya ialah orang-orang remaja dan cerdas.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لِيَلِنِي مِنْكُمْ، أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثَلَاثًا، وَإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ»
“Hendaknya yang akrab denganku di antara kalian ialah orang yang cerdas, selanjutnya sehabis mereka, (Beliau ucapkan tiga kali). Dan jauhilah olehmu bunyi kegaduhan ibarat di pasar.” (Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahagia bila yang akrab dengan Beliau kaum Muhajirin dan Anshar, semoga mereka sanggup mengambil (Sunnah langsung) dari Beliau.” (Hr. Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani)
Hikmah dikedepankannya mereka (orang-orang cerdas berilmu) semoga mereka sanggup pribadi mengambil ilmu dari imam dan sanggup mengingatkannya bila lupa, dan imam pun sanggup mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai penggantinya bila ia membutuhkannya.
Posisi belum dewasa dan kaum wanita
Ada riwayat yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menempatkan laki-laki remaja di depan anak-anak, belum dewasa di belakang mereka, sedangkan kaum perempuan di belakang anak-anak. Akan tetapi riwayat tersebut dhaif.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Makruh seorang anak berdiri dalam barisan bersama orang-orang remaja di masjid di belakang imam kecuali bila ia telah bermimpi, tumbuh bulu kemaluan, atau usianya telah mencapai lima belas tahun (baligh). Ada riwayat dari Umar, bahwa bila ia melihat anak kecil dalam barisan, maka ia keluarkan dari shaf.”
As Subkiy menyatakan, bahwa bila belum dewasa terdiri dari dua orang atau lebih, maka mereka di belakang kaum laki-laki. Tetapi bila hanya seorang anak saja, maka ia masuk ke dalam barisan orang remaja dan tidak sendiri di belakang shaf.
Di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa ketika berkumpul laki-laki remaja dan anak-anak, maka hendaknya di antara setiap dua laki-laki remaja diselipkan seorang anak semoga mereka sanggup mengambil tatacara shalat dari mereka serta praktek pelaksanaannya.
Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki ialah pada kepingan awalnya, dan paling buruknya ialah pada kepingan akhirnya. Sebaik-baik shaf perempuan ialah pada kepingan akhirnya, sedangkan yang paling buruknya ialah pada kepingan awalnya.”
Dikatakan sebaik-baik shaf perempuan ialah pada kepingan alhasil ialah sebab hal itu lebih jauh dari bercampur dengan kaum laki-laki, berbeda dengan berada di shaf terdepan di belakang laki-laki.
Catatan:
Di kawasan tertentu di Indonesia, kami temukan beberapa masjid atau mushalla menjadikan shaf kaum perempuan di samping shaf kaum laki-laki dengan diberi kain penghalang. Hal ini terperinci merupakan kesalahan fatal, sebab gampang menjadikan fitnah dan bercampur baur laki-laki dan wanita, di samping mengarah bersentuhannya kaum laki-laki dan perempuan di masjid Allah, nas’alullahas salamah wal ‘afiyah.
Shalat sendiri di belakang shaf
Barang siapa yang bertakbir di belakang shaf untuk shalat, kemudian masuk ke dalam shaf dan ketika itu mendapat rukunya imam, maka sah shalatnya.
Dari Abu Bakrah, bahwa dirinya pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan ruku, kemudian ia ruku sebelum hingga ke dalam shaf, kemudian tragedi ini disampaikan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda,
زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Semoga Allah menambahkan semangatmu, namun jangan ulangi.” (Hr. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam “Walaa ta’ud” (jangan ulangi) ada yang mengatakan, bahwa maksudnya jangan ulangi terlambat tiba menuju shalat.
Ada pula yang mengatakan, maksudnya jangan ulangi lagi masuk ke dalam shaf sambil ruku, namun ada riwayat dari Ibnuz Zubair, ia berkata, “Jika salah seorang di antara kau masuk ke masjid ketika insan sedang ruku, maka rukulah ketika masuk kemudian berjalan dalam keadaan ruku hingga masuk ke dalam shaf, sebab itu ialah Sunnah.” Atha berkata, “Aku melihat Ibnuz Zubair melaksanakan hal itu,” Ibnu Juraij berkata, “Aku melihat Atha melaksanakan hal itu.” (Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Awsath dari riwayat Atha dari Ibnuz Zubair. Menurut Al Haitsami, para perawinya ialah para perawi kitab Shahih).
Ada pula yang mengatakan, bahwa maksudnya jangan mendatangi shalat dengan tergesa-gesa. Tampaknya, pendapat ketiga lebih sesuai, sebab ketika itu Abu Bakrah tiba ke masjid dengan tergesa-gesa, wallahu a’lam.
Dan lafaz “ ولا تعد sanggup dibaca “Walaa tu’id,” maksudnya jangan kau ulangi shalatmu, sebab shalatmu sudah sah. Bisa juga dibaca “Walaa ta’du,” artinya jangan kau berlari ketika menuju masjid, wallahu a’lam.
Adapun wacana orang yang shalat sendiri di belakang shaf, maka berdasarkan jumhur (mayoritas) ulama, shalatnya ialah sah namun makruh.
Tetapi berdasarkan Ahmad, Ishaq, Ibnu Abi Laila, Waki, Al Hasan bin Shalih, An Nakha’i, dan Ibnul Mundzir, bahwa orang yang shalat sendiri di belakang shaf hingga selesai, maka shalatnya batal.
Dari Wabishah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat seorang shalat sendiri di belakang shaf, maka Beliau menyuruhnya mengulangi shalat. (Diriwayatkan oleh lima orang Ahli Hadits, dishahihkan oleh Al Albani)
Lafaz Ahmad isinya, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya wacana seorang yang shalat di belakang shaf sendiri? Beliau bersaba, “Ia mengulangi shalatnya.”(Isnadnya jayyid)
Dari Ali bin Syaiban, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat seorang shalat di belakang shaf, maka Beliau membisu menunggu hingga orang itu salam, maka Beliau bersabda,
اِسْتَقْبِلْ صَلاَتَكَ فَلاَ صَلاَةَ لِمُفْرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ
“Bersiaplah untuk shalat, sebab tidak ada shalat bagi orang yang sendiri di belakang shaf.” (Hr. Ahmad, Ibnu Majah, dan Baihaqi. Ahmad berkata, “Hadits hasan.” Ibnu Sayyidinnas berkata, “Para perawinya ialah tsiqah dan terkenal.”)
Jumhur ulama berpegang dengan hadits Abu Bakrah, mereka beropini sah shalatnya sebab ia (Abu Bakrah) mengerjakan sebagian shalat di luar shaf, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyuruhnya mengulangi shalatnya, sehingga perintah mengulangi hanyalah memberikan sunahnya semoga memperhatikan hal yang lebih utama.
Al Kamal Ibnul Hammam berkata, “Para imam kami membawa hadits Wabishah kepada sunah, sedangkan hadits Ali bin Syaibah memberikan tidak tepat semoga sejalan dengan hadits Abu Bakrah, sebab zhahirnya tidak mengharuskan mengulangi sebab tidak ada perintah demikian.”
Dan barang siapa yang hadir dalam shalat berjamaah, namun tidak mendapat ruang dalam shaf dan celah, maka di antara ulama ada yang berpendapat, bahwa ia tidak mengapa berdiri sendiri dan makruh baginya menarik orang ke belakang. Namun di antara mereka ada pula yang berpendapat, bahwa sikapnya ialah menarik seorang yang tahu aturan hal itu ke belakang sehabis ia takbiratul ihram, dan dianjurkan bagi yang ditarik mengikutinya. Namun hadits yang memerintahkan menarik seorang ke belakang ialah dhaif, wallahu a’lam.
Perintah meluruskan dan merapatkan barisan
Dianjurkan bagi imam memerintahkan makmum untuk meluruskan dan merapatkan barisan, serta menyuruh untuk mengisi celah yang kosong sebelum ia memulai shalat.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu ia berkata, “Saat ditegakkan shalat, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menghadap kepada kami dengan wajahnya sambil bersabda,
أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، وَتَرَاصُّوا
“Luruskanlah shaf kalian dan rapatkanlah.” (Hr. Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Hibban)
Dari Anas pula, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ، مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ»
“Luruskanlah shaf kalian, sebab lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam meluruskan barisan kami sebagaimana kayu panah diratakan, sehingga kami melaksanakan dan memahaminya. Maka pada suatu ketika Beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan ternyata ada seorang yang mengedepankan dadanya, Beliau pun bersabda,
«لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ»
“Kalian harus meluruskan shaf kalian atau Allah merubah wajah kalian (atau menciptakan kalian bertengkar).” (Hr. Lima orang Ahli hadits, dishahihkan oleh Tirmidzi)
Imam Ahmad dan Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang tidak mengapa dari Abu Umamah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ، وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ؛ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ فِيمَا بَيْنَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْحَذَفِ
“Luruskanlah shaf kalian, ratakanlah pundak kalian, bersikap sepakat dengan penggeseran oleh tangan saudara kalian, dan tutuplah celah, sebab setan masuk ke tengah-tengah kalian ibarat anak kambing.”
Abu Dawud, Nasa’i, dan Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ»
“Sempurnakanlah shaf terdepan, kemudian setelahnya. Jika shaf terdepan ada yang kurang, maka hendaknya maju seseorang dari shaf terbelakang. (Dishahihkan oleh Al Albani)
Al Bazzar meriwayatkan dengan sanad hasan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Tidak ada langkah yang lebih besar pahalanya daripada langkah yang dilakukan seseorang untuk mengisi celah yang ada di shaf.”
Nasa’i, Hakim, dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ»
“Barang siapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya, dan barang siapa yang tetapkan shaf, maka Allah Azza wa Jalla akan memutuskannya.” (Dishahihkan oleh Al Albani)
Jamaah Ahli Hadits meriwayatkan selain Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaih wa sallam pernah keluar menemui kami dan bersabda, “Tidakkah kalian berbaris ibarat para malaikat berbaris di hadapan Rabb mereka?” Kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana para malaikat berbaris di hadapan Rabbnya?” Beliau bersabda,
«يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ»
“Mereka menyempurnakan shaf-shaf terdepan dan merapatkan shaf.”
Dorongan mencari shaf pertama, menyambung shaf, dan mendahulukan yang kanan kemudian kiri
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لاَسْتَبَقُوا إِلَيْهِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي العَتَمَةِ وَالصُّبْحِ، لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا»
“Kalau sekiranya insan mengetahui keutamaan azan dan shaf pertama, dan untuk memperolehnya mereka harus melaksanakan undian, tentu mereka akan melakukannya. Kalau sekiranya mereka juga mengetahui keutamaan tiba ke masjid lebih awal, tentu mereka akan berlomba-lomba kepadanya. Dan kalau mereka mengetahui keutamaan shalat Isya dan Subuh, tentu mereka akan mendatanginya meskipun harus merangkak.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Beliau pernah melihat di antara para sahabat ada yang mundur dari shaf terdepan, maka Beliau bersabda kepada mereka,
«تَقَدَّمُوا فَأْتَمُّوا بِي، وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ، لَا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللهُ»
“Majulah dan bermakmumlah kepadaku, dan hendaknya orang yang berada di belakang kalian mengikuti kalian. Jika suatu kaum, selalu berada di belakang, maka Allah akan jadi mereka terbelakang.” (Hr. Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Dari Abu Umamah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada di shaf pertama.”
Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, demikian pula shaf yang kedua?”
Beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada di shaf pertama.”
Para sahabat berkata lagi, “Wahai Rasulullah, demikian pula shaf yang kedua?”
Beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang berada di shaf pertama.”
Para sahabat berkata lagi, “Wahai Rasulullah, demikian pula shaf yang kedua?”
Beliau bersabda, “Demikian pula untuk shaf yang kedua.” (Hr. Ahmad, dan dinyatakan shahih lighairih oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلِّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ، وَمَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرْجَةً
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf. Dan barang siapa yang menutup celah, maka Allah akan mengangkat derajatnya sebab hal itu.” (Hr. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Adapun shaf kepingan kanan, sebab ia lebih utama daripada bagian kiri, tentunya hal ini jika masjidnya luas dan tidak menciptakan kiri kosong. Al Ghazali rahimahullah berkata, “Sepatutnya bagi orang yang masuk masjid menuju ke kepingan kanan shaf, sebab di dalamnya terdapat keberkahan.”
Tentang tabligh (menyampaikan suara) di belakang imam
Dianjurkan memberikan bunyi imam ke belakang bila dibutuhkan, yaitu ketika bunyi imam tidak terdengar oleh makmu. Adapun bila bunyi imam sudah terdengar oleh para makmum, maka memberikan kembali ketika itu ialah bid’ah yang dibenci berdasarkan kepepakatan para Ahli Fiqih.
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sayyid Sabiq), Al Fiqhul Muyassar (Tim Ahli Fiqih, KSA), Faidhul Qadir (Imam Al Manawiy), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Haditsiyyah (www.dorar.net), Nailul Awthar (Imam Syaukani), Aunul Ma’bud (Muhammad Asyraf Al Azim Abadi), Subulus Salam (Imam Ash Shan’ani), dll.

0 Response to "Fiqih Shalat Berjamaah (7)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel