-->

Pengantar Ilmu Fiqih (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxISEhUSEhAVFhUVFRUVFRcXFxUXFRYXFxUWFxUXGRUYHSgiGBolHRUXITEhJSkrLi Pengantar Ilmu Fiqih (5)
Pengantar Ilmu Fiqih (5)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pengantar ilmu fiqih yang perlu kita ketahui sebelum mencar ilmu fiqih, semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
12. Sikap Seorang Muslim Terhadap Khilaf
Kaum muslimin di hadapan ilmu terbagi tiga, yaitu: ulama, penuntut ilmu, dan orang awam.
Para ulama berhak ijtihad. Mereka yaitu orang yang bisa melihat dalil dan mengambil kesimpulan daripadanya. ia berhak menggali aturan dari dalil itu meskipun hasil istinbatnya menyelisihi yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila tiba kepada mereka suatu isu ihwal keamanan ataupun ketakutan, mereka kemudian menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri (ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (Qs. An Nisaa: 83)
Jika ijtihadnya betul, maka ia akan memperoleh dua pahala dan jikalau salah maka ia memperoleh satu pahala lantaran niatnya mencari yang hak sesudah melalui jalur-jalurnya (seperti melalui Ushul Fiqh yang dimiliknya, pengetahuannya yang luas terhadap dalil, Qawaa'id fiqhiyyah, dsb). Mereka tidak bisa disalahkan jikalau ijtihadnya keliru, lantaran "Maa 'alal muhsiniin min sabiil", yakni orang yang telah bersusah payah dengan niat yang baik untuk memperoleh yang hak tidaklah bisa disalahkan.
Para ulama mujtahid ada yang mencapai derajat mujtahid mutlak, mirip imam yang empat, Bukhari, Tirmidzi, dan semisalnya.
Ada pula mujtahid yang muqayyad mengikuti ushul (pijakan) salah satu madzhab.
Jika seorang telah mencapai tingkatan ijtihad, maka hendaknya ia memperhatikan problem itu dan dalilnya, kemudian menghukumi sesuai ijtihadnya.
Kalangan penuntut ilmu hendaknya berittiba, yakni tidak ikut-ikutan kecuali sesudah tahu dalilnya. Dan jikalau dihadapkan kepadanya perbedaan pendapat ulama, maka ia menentukan yang rajih (lebih kuat) atau lebih akrab kepada dalil. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
 “Yang mendengarkan perkataan kemudian mengikuti apa yang paling baik di antaranya…dst.” (Terj. Qs. Az Zumar: 18)
Sedangkan kalangan awam, maka mereka tidak dituntut untuk meneliti problem dan dalilnya, akan tetapi yang dilakukannya yaitu bertanya kepada Ahli Ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jikalau kau tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)
Jika dihadapkan kepadanya perbedaan balasan ulama, maka dipilihnya ulama yang lebih wara, takwa, dan lebih dalam ilmunya, tidak mencari balasan yang sesuai hawa nafsunya atau mengutamakan fatwa-fatwa rukhshah (keringanan), lantaran jikalau begitu sama saja ia mengikuti hawa nafsunya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Qashas: 50)
Sulaiman At Taimiy rahimahullah berkata, “Jika engkau pegang rukhshah (keringanan) setiap ulama, maka akan berkumpul dalam dirimu seluruh keburukan.” (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlih 2/92)
Intinya, bahwa khilaf dihentikan menciptakan seseorang bertengkar dan bermusuhan, hendaknya ia menawarkan udzur kepada mereka yang berbeda dengannya, tidak mencari-cari keringanan, dan bahwa kebenaran itu hanya satu, wallahu a’lam.
13. Wajibkah bermadzhab?
Syaikh M. bin Umar Bazmul menerangkan, bahwa seorang muslim tidak harus berpegang dengan salah satu madzhab, akan tetapi seorang muslim yang awam mengikuti madzhab pemberi fatwanya. Jika difatwakan oleh muftinya, maka ia mengikutinya.
Jika suatu madzhab lebih tersebar di negerinya atau ulama suatu madzhab lebih banyak, maka tidak mengapa memegang fatwa ulama negerinya, akan tetapi dihentikan ia mewajibkan dirinya mengikuti madzhab tertentu dengan menolak madzhab yang lain, atau menganggap bahwa dirinya dihentikan mengambil madzhab yang lain, lantaran yang diwajibkan kepadanya yaitu mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ
“Sesungguhnya saya telah meninggalkan kepada kalian dua kasus yang kalian tidak akan tersesat setelahnya (jika berpegang kepada keduanya), yaitu kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah hingga mendatangi telagaku.” (Hr. Daruquthni (4/245), Hakim dalam Al Mustadrak, Baihaqi dalam Al Kubra (10/114). Penyusun Al Majma berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, namun dalam sanadnya terdapat Shalih bin Musa Ath Thalhi, seorang yang dhaif.” Syaikh M. bin Umar Bazmul berkata, “Dalam sanad tersebut semuanya terdapat Shalih bin Musa, akan tetapi Hakim dan Baihaqi di daerah yang sama menyebutkan dari Ibnu Ibnu Abbas sebuah hadits yang isinya, “Wahai manusia! Sesungguhnya saya telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang jikalau kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan sunnahku.” Ini merupakan syahid yang shalih (baik). Dan dalam Al Muwaththa di kitab Al Jami, potongan larangan memperdalam berbicara ihwal qadar disebutkan, “Dari Malik, bahwa hingga kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua kasus yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu KItabullah dan sunnah Nabi-Nya.” Sehingga hadits ini insya Allah naik menjadi hasan lighairih.”)
Lajnah Da’imah (Komite Fatwa Ulama KSA) pernah ditanya, “Apa aturan membatasi diri dengan madzhab yang empat dan mengikuti mereka dalam setiap keadaan dan waktu?”
Lajnah menjawab, “Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasul-Nya, keluarganya, dan para sahabatnya, amma ba’du:
Pertama, madzhab yang empat dinisbatkan kepada imam yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Madzhab Hanafi dinisbatkan kepada Abu Hanifah, dan begitulah seterusnya.
Kedua, para imam tersebut mengambil fiqih dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan melaksanakan ijtihad. Seorang mujtahid jikalau benar mendapat dua pahala; lantaran ijtihadnya dan lantaran benarnya. Jika salah, maka mendapat pahala lantaran ijtihadnya, dan dimaafkan kekeliruannya.
Ketiga, bagi seorang yang bisa melaksanakan istinbath (mengeluarkan hukum) dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka ia boleh pribadi mengambilnya sebagaimana para ulama sebelumnya, dan tidak dibenarkan baginya bersikap taqlid (ikut-ikutan) jikalau dia meyakini bahwa ternyata yang hak (benar) tidak demikian, bahkan hendaknya ia pegang yang ia yakini bahwa itu hak (benar), dan boleh baginya taqlid dalam hal yang ia tidak bisa dan ia butuh terhadap hal itu.
Keempat, barang siapa yang tidak bisa beristinbath, maka boleh mengikuti orang yang ia merasa damai mengikutinya. Dan jikalau dirinya belum merasa tenang, maka hendaknya bertanya supaya dirinya tenang.
Kelima, dari klarifikasi di atas terang bagimu, bahwa engkau dihentikan mengikuti pendapat dalam setiap keadaan dan waktu, lantaran mereka bisa keliru, bahkan yang diikuti yaitu kebenaran di antara pendapat mereka yang memang ditunjukkan dalil. (Fatawa Al Lajnah 5/28).
14. Mengenal Fiqih Syafi’i
Ada seorang yang bertanya kepada Syaikh Masyhur Hasan Salman hafizhahullah (murid Syaikh Al Albani rahimahullah),
“Sebagian penuntut ilmu ada yang lebih mengutamakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah daripada Imam Syafi’i, apa komentar Anda?”
Ia menjawab, “Ini yaitu kejahilan dan kezaliman. Seandainya Imam Ibnu Taimiyah mendengar kata-kata ini tentu dia akan murka sekali. Sedangkan Imam Syafi’i rahimahullah tidak pernah menempatkan dirinya pada posisi itu. Tentang Imam Syafi’i, saya pernah mendengar guru kami Al Albani berkata beberapa kali ihwal beliau, “Kalau sekiranya boleh bagi seseorang bertaklid kepada orang lain, maka saya tidak akan bertaklid kecuali kepada Imam Syafi’i.”
Guru kami Syaikh Al Albani mengenal jauh Ibnu Taimiyah, hidup bersama kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah, serta tahu kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah, sehingga perilaku mengedepankan Ibnu Taimiyah di atas Imam Syafi’i yaitu lantaran tidak mengetahui kedudukan Imam Syafi’i.
Manusia dalam hal memadukan antara hadits dan fiqih butuh Imam Syafi’i rahimahullah.
Imam Syafi’i ketika memasuki negeri Irak mendapat madrasah ra’yu.
Saat itu ada halaqah (majlis) Abu Hanifah dan ada halaqah Ahli Hadits, namun dia hadir di halaqah ini dan itu, kemudian dia berkata, “Aku akan memadukan antara dua halaqah ini (majlis ra’yu dan hadits).”
Maka Imam Syafi’i pun memadukan antara fiqih hadits dan hadits itu sendiri, yakni madrasah Imam Syafi’i memadukan antara hadits riwayat (kajian makna hadits) dan hadits dirayah (kajian sanad hadits).
Imam Ahmad ketika bertemu dengan Imam Syafi’i, maka Imam Syafi’i mendapat Imam Ahmad sebagai seorang yang mempunyai riwayat yang banyak. Imam Syafi’i berkata kepada Imam Ahmad, “Engkau menyerupai apotik, sedangkan kami para dokternya (yang menciptakan resep). Obat ada pada sisimu; riwayat-riwayat ada pada dirimu.” Riwayat-riwayat pada Imam Ahmad lebih banyak daripada riwayat-riwayat Imam Syafi’i. akan tetapi siapakah yang menyimpulkannya? Tentunya Imam Syafi’i.
Oleh lantaran itu, ketika Imam Syafi’i berdebat dengan seseorang, dan orang yang pertama dia debat yaitu Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani (murid Abu Hanifah) lantaran dia  tidak berjumpa dengan Imam Abu Hanifah. Para ulama menyatakan, bahwa di sana ada diam-diam yang dalam, yakni Imam Syafi’i lahir di masa wafatnya Abu Hanifah, sehingga ia tidak berjumpa dengan Abu Hanifah, namun ia berjumpa dengan murid-murid Abu Hanifah. Ketika itu, Imam Syafi’i punya perdebatan menarik dengan Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani. Para ulama menyatakan, bahwa Imam Syafi’i jikalau berdebat dengan seseorang, maka seolah-olah dia mirip singa yang membuka mulutnya, yakni menciptakan lawan debatnya tidak bisa bicara (bungkam).
Dengan demikian, kedudukan Imam Syafi’i sangat tinggi. Akan tetapi terkadang timbul perilaku ghuluw (berlebihan) dari sebagian penuntut ilmu, dimana perilaku itu timbul lantaran kejahilan dan tidak mengetahui pihak kedua.
Saya pernah mendengar seorang perjaka berkata kepada guru kami Al Albani di perpustakaannya, “Engkau lebih tahu daripada para imam Ahli Hadits mirip Abu Dawud dan Tirmidzi. Buktinya mereka menuliskan hadits-hadits dha’if, sedangkan saya tidak melihat dalam kitab-kitabmu hadits-hadits dha’if.” Maka Syaikh Al Albani murka besar ketika itu.
Bahkan ada yang berkata kepada dia –dan ini termasuk yang saya dengar-, “Engkau lebih tahu daripada Ibnu Taimiyah,” maka Syaikh Al Albani pun murka besar.
Maka di manakah kedudukan guru kami Al Albani dan Ibnu Taimiyah? Tentunya, hal ini tidak mengurangi keutamaan guru kami Al Albani, akan tetapi hanya untuk mengenal kedudukan Syaikh Al Albani dan Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan mengenal kedudukan Ibnu Taimiyah dengan Imam Syafi’i.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Dan saya diperintahkan supaya verlaku adil di antara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kau amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)." (Qs. Asy Syuuraa: 15)
Sikap adil yaitu wajib. Akan tetapi, bukankah mungkin ada kebenaran pada pihak yang kalah utama dan ada kesalahan pada pihak yang utama? Jelas mungkin sekali.
Ilmu yaitu hujjah. Maksudku bukanlah, bahwa Imam Syafi’i lebih utama dari fulan, dan bahwa semua pernyataannya yaitu benar, sedangkan semua pernyataan orang lain yaitu salah. Ilmu itu tidak demikian. Ilmu itu didasari hujjah, bukti, dan dalil.
Akan tetapi secara garis besar, para ulama besar yaitu orang-orang besar. Allah menjadikan mereka diterima, dan mereka juga orang-orang yang menyiapkan pondasi. Jelas berbeda antara orang yang menyiapkan pondasi dengan orang yang memakai pondasi itu dan mencabangkannya. Para imam itu telah menyiapkan pondasi.
Meskipun begitu, mudah-mudahan pertanyaan yang diajukan mendapat balasan insya Allah, wallahu a’lam.
4 Sya’ban 1438 H/20 April 2018 M
(Lihat teks orisinil Fatwa Syaikh Masyhur Hasan Salman, di link ini: http://meshhoor.com/fatwa/2140/ )
Beberapa catatan:
1. Tidak ada perbedaan di kalangan ulama dalam problem Aqidah. Hal itu, lantaran dogma dasarnya yaitu tauqifi (diam menunggu dalil) dan tidak ada ruang ijtihad di sana. Di samping itu, ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan ihwal perpecahan umat menjadi 73 golongan, semuanya terancam dengan neraka kecuali satu golongan yang keadaannya mirip keadaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Perbedaan hanyalah dalam problem fiqih yang di antara sebabnya yaitu lantaran adanya ijtihad ketika mengambil kesimpulan aturan fiqih dari dalil-dalilnya secara rinci selama ijtihad itu memenuhi syarat dan berasal dari para ahlinya. Akan tetapi jikalau dalilnya telah tampak di hadapan salah seorang mujtahid, maka wajib baginya mengambil yang sesuai dalil dan meninggalkan kasus yang tidak ada landasan dalilnya.
Sebagian ulama berkata,
وَلَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا  إِلاَّ خِلاَفٌ لَهُ حَظٌّ مِنَ النَّظَرِ
“Tidak semua khilaf itu diakui, kecuali khilaf yang mempunyai sudut pandang dari dalil.”
Perbedaan yang timbul dari ijtihad fiqih ketika dalilnya belum tampak di antara ulama yang berselisih pendapat, maka dalam hal ini tidaklah diingkari jikalau seseorang mengambil salah satu pendapat. Oleh lantaran itu, ada ungkapan yang masyhur ‘Laa inkaara fi masa’ilil ijtihad’ (tidak ada pengingkaran dalam problem ijtihad), dan perselisihan ini dihentikan menimbulkan permusuhan, lantaran masing-masingnya berkumungkinan di atas kebenaran. (Diringkas dari Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan dalam Al Ijtima wa Nabdzul Furqah hal. 48-50).
2. Bagi seorang penuntut ilmu hendaknya memahami, bahwa pernyataan kami ‘harus berpegang kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu alahi wa sallam’ bukan berarti dihentikan mempelajari fiqih sebuah madzhab.
Hal itu yaitu lantaran seorang penuntut ilmu di zaman kini tidaklah mempelajari fiqih kecuali melalui salah satu di antara madzhab-madzhab yang ada, dimana madzhab-madzhab itu telah tetap kitabnya, telah diketahui dasarnya, dan ada syarahnya, serta banyak karya tulis ihwal aneka macam masalah. Jika seorang penuntut ilmu mempelajari fiqih melalui salah satu madzhab, maka caranya sudah benar, akan tetapi dengan syarat, jikalau dalam madzhab tersebut terdapat ketetapan yang menyalahi dalil, maka ia harus mengikuti dalil dan meninggalkan madzhab tersebut.
3. Bagi penuntut ilmu hendaknya ketika mempelajari fiqih dengan salah satu madzhab menentukan kitab-kitab madzhab yang mempunyai sandaran yang jelas. Misalnya:
a. Ath Thalihah sebuah nazham fiqih Maliki yang mempunyai sandaran pendapat dalam madzhab Maliki, karya Muhammad An Nabighah Al Ghalawiy Asy Syinqiti rahimahullah (w. 1245 H).
b. Syarh Al Manzhumah dengan nama ‘Uqud Rasmil Mufti’ karya Ibnu Abidin yang memuat risalah-risalah karya Ibnu Abidin (w. 1252 H) yang mengambarkan kepada kita kitab-kitab yang terang riwayatnya di kalangan madzhab Hanafi.
c. Mukaddimah Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab karya Imam Nawawi (w. 676 H) yang akan mengambarkan kepada kita terkait madzhab Syafi’I, kitab-kitabnya, istilah-istilahnya, dan hal lain yang diharapkan untuk mereka yang hendak mendalami fiqih Syafi’i.
d. kitab Al Madkhal Ilaa Madzhabil Imam Al Mubajjal Ahmad ibni Hanbal karya Ibnu Badran rahimahullah (w. 1346 H), di dalamnya mengambarkan kitab-kitab ulama madzhab Hanbali yang terpercaya, istilah-istilah dalam madzhab tersebut, serta yang diharapkan oleh seorang yang mendalami madzhab Hanbali.
4. Jika engkau bertanya, “Manakah di antara madzhab yang empat yang lebih disarankan untuk dipelajari?”
Jawab, “Madzhab Hanbali dan madzhab Syafi’i, lantaran keduanya termasuk madzhab yang gampang dan mempunyai banyak syaikh yang mengajarkannya di aneka macam Negara. Tetapi jikalau engkau berada di negeri dimana para ulamanya bermadzhab Hanafi atau Maliki, maka silahkan pelajari fiqih kepada para syaikh di negeri itu supaya engkau sanggup mengambil pelajaran dari mereka. Apa yang disebutkan di sini juga bukan sebagai perilaku meremehkan madzhab mana pun, yang terpenting bagi kita yaitu mengikuti dalil meskipun menyelisihi madzhab.
5. Imam Syathibi dan lainnya dari kalangan ulama mirip Ibnu Shalah menerangkan, bahwa tidak patut bagi orang awam mengkritik kitab-kitab fiqih atau mengkritik fatwa-fatwa yang disampaikan oleh ulama.
6. Sikap berwala (cinta dan membela) orang yang sama madzhabnya dan memusuhi orang yang berlainan madzhabnya dalam hal fiqih yaitu tercela.
7. Madzhab-madzhab fiqih yang empat yaitu madzhab-madzhab yang diterima kaum muslimin, dan tidak dibenarkan menyerukan untuk membatalkannya atau meninggalkan kitab-kitab itu.
8. Orang yang bermadzhab jikalau telah mencapai tingkatan ijtihad dan menyelisihi madzhab imamnya lantaran melihat yang lain lebih rajih yaitu hal yang baik.
Wallahu a’lam wa shalllahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil alamin.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Ushul min Ilmil Ushul (M. bin Shalih Al Utsaimin), Al Khilaf bainal Ulama (Syaikh Ibnu Utsaimin), Muqaddimah fi Ilmil Fiqh (M. bin Umar Bazmul), Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), Madkhal Ilal Fiqhil Islami (Dr. Amir bin Umar Bahjat),   https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=100894 , https://islamqa.info/ar/21420 , http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=107461dll.

0 Response to "Pengantar Ilmu Fiqih (5)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel