Pengantar Ilmu Fiqih (4)
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Ilmu Fiqih (4)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan pengantar ilmu fiqih yang perlu kita ketahui sebelum berguru fiqih, semoga Allah menyebabkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
10. Gambaran Perkembangan Madzhab Fiqih
a. Madzhab Hanafi dan para ulamanya
| Fase Pertumbuhan dan Pembentukan madzhab (sampai 204 H) | Abu Hanifah | Pondasi |
| Abu Yusuf | ||
| Muhammad bin Al Hasan | ||
| Zufar bin Hudzail | ||
| Al Hasan bin Ziyad | ||
| Fase Perluasan, pengembangan, dan penyebaran (sampai tahun 710 H) | At Thahawi | Mukhtashar Ath Thahawi |
| As Sarkhasi | Al Mabsuth | |
| Al Kasani | Bada’iush Shana’i | |
| Al Karkhi | Mukhtashar Al Karkhi | |
| Al Qaduri | Mukhtashar Al Qaduri | |
| Al Mirghanani | Bidayatul Mubtadi | |
| An Nasafi | Kanzud Daqa’iq | |
| Fase menjadi kokoh | Ibnu Nujaim | Al Bahrur Ra’iq |
| Ibnu Abidin | Raddul Muhtar |
b. Madzhab Maliki dan para ulamanya
| Fase kemunculan (sampai tahun 282 H) | Malik | Al Muwaththa |
| Ibnul Qasim | Al Mudawwanah | |
| Asad bin Al Furat | | |
| Sihnun | | |
| Fase Perkembangan (sampai 616 H) | Ibnu Zaid | Ar Risalah |
| Al Qadhi Abdul Wahhab | At Talqin | |
| Ibnu Abdil Bar | Al Kafi | |
| Al Baji | Al Muntaqa | |
| Ibnu Ruysd | Al Muqaddimat Al Mumahhadat | |
| Al Qadhi Iyadh | Al Mustanbathah | |
| Fase menjadi kokoh | Ibnul Hajib | Jami’ul Ummahat |
| Al Qarafi | Adz Dzakhirah | |
| Khalil | Al Mukhtashar | |
| Al Haththab | Mawahibul Jalil | |
| Ad Dardir | Asy Syarhul Kabir | |
| Ad Dasuqi | Al Hasyiyah |
c. Madzhab Syafi’i dan para ulamanya
| Fase Penegakkan Dasar | Syafi’i | Al Umm |
| Buwaithi | Al Mukhtashar | |
| Ar Rabi Al Muradi | | |
| Al Muzzani | Al Mukhtashar | |
| Fase Pengembangan dan Penyebaran | Ibnu Suraij | |
| Al Qaffal | Al Kabir Asy Syasyi | |
| | Ash Shaghir Al Marwazi (metode penduduk Khurasan) | |
| Al Isfirayini | Metode penduduk Irak | |
| Al Mawardi | Al Hawi | |
| Al Juwaini | Nihayatul Mathlab | |
| Asy Syirazi | Al Muhadzdzab | |
| Al Ghazali | Al Wasith | |
| Fase Penyempurnaan | Ar Rafi’i | Al Muharrar |
| An Nawawi | Minhajuth Thalibin | |
| Fase Penyempurnaan ke-2 | Ar Ramli | Nihayatul Muhtaj |
| Ibnu Hajar Al Haitami | Tuhfatul Muhtaj |
d. Madzhab Hanbali dan para ulamanya
| Fase Penegakkan Dasar (sampai 403 H) | Ahmad | Tidak mencatat madzhabnya |
| Pemilik kitab Al Masa’il | Abu Dawud, kedua anaknya, Al Kausaj | |
| Al Khallal | Al Jami | |
| Pelayan Al Khallal | Zadul Musafir | |
| Al Kharqi | Al Mukhtashar | |
| Al Hasan bin Hamid | Tahdzibul Ajwibah | |
| Fase Perbaikan (sampai 885 H) | Al Qadhi Abu Ya’la | Kitab Ar Riwayatain wal Wajhain |
| Ibnu Qudamah | Al Muqni | |
| Ibnu Taimiyah | Al Muharrar | |
| Ibnu Muflih | Al Furu | |
| Al Mardawi | Al Inshaf | |
| Fase menjadi kokoh | Al Hijawi | Al Iqna’ |
| Ibnun Najjar | Al Muntaha | |
| Mar’i Al Karmiy | Ghayatul Muntaha | |
| Al Bahutiy | Kasysyaful Qina |
11. Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Mungkin seorang bertanya, “Bukankah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, dan Qiyas yang menjadi tumpuan madzhab-madzhab yang disebutkan sebelumnya, kemudian mengapa terjadi perbedaan madzhab?”
Jawab, “Ya. Hal itu, lantaran dilema fiqih itu terbagi dua:
Pertama, dilema fiqih yang terperinci dalilnya, dimana hal ini wajib diikuti.
Kedua, dilema fiqih yang sifatnya ijtihadiyyah lantaran ketidaktegasan dalil, sehingga dibangun di atas dasar ijtihad dengan mengqiyaskan atau memperhatikan maslahat, dsb.
Masalah kedua inilah yang sering terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat), dan inilah maksud pernyataan ulama ‘Laa inkaara Fi Masa’ilil Khilaf’ (artinya: tidak berlaku inkar dalam dilema khilafiyyah).
Perlu diketahui, seorang ulama dalam memandang dilema melihat kepada beberapa sisi, yaitu:
a. Melihat adanya dalil atau melihat shahih-tidaknya dalil.
Terkadang suatu hadits belum hingga kepada seorang ulama, atau seorang ulama memandang bahwa dalil itu tidak shahih, sehingga ia tidak berpegang dengannya.
Contoh yang pertama wacana aturan puasa Syawwal. Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan lainnya beropini sunnahnya puasa Syawwal berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia ibarat berpuasa setahun.” (Hr. Jamaah Ahli Hadits selain Bukhari dan Nasa’i)
Namun Imam Malik menyampaikan makruh. Menurut Ibnu Abdil Bar, Imam Malik beropini begitu lantaran belum hingga hadits ini kepadanya. Kalau hadits ini telah hingga kepadanya, tentu Beliau juga menyampaikan sunnah.
Contoh yang kedua adalah hadits Fathimah binti Qais, ia pernah ditalaq oleh suaminya tiga kali talaq, kemudian suaminya mengutus seseorang untuk mengirimkan kepadanya gandum sebagai nafkahnya selama masa 'iddah, namun Fathimah menolak untuk menerimanya, kesannya keduanya mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa "Ia (Fathimah binti Qais) tidak berhak lagi nafkah dan kawasan tinggal" yakni lantaran sudah ditalaq tiga (talaq ba'in), di mana perempuan yang ditalaq tiga tidak berhak nafkah dan kawasan tinggal dari suaminya kecuali kalau ia hamil (Lih. Qs. Ath Thalaq: 7).
Namun aturan ini tidak diketahui oleh Umar bin Khaththab, menurutnya bahwa perempuan yang ditalaq tiga tetap mendapatkan nafkah dan kawasan tinggal, ia tidak berpegang dengan hadits Fathimah lantaran menurutnya Fathimah mungkin lupa, sampai-sampai Umar berkata, "Apakah kita akan meninggalkan firman Rabb kita hanya lantaran perkataan seorang perempuan yang tidak kita ketahui apakah ia masih ingat atau sudah lupa!?".
Oleh lantaran itu, kita menyaksikan sebagian ulama tidak berpegang dengan suatu hadits lantaran ia masih ragu tentang keshahihannya, termasuk di antaranya hadits wacana shalat Tasbih, sebagian ulama ada yang tidak menganjurkan shalat tasbih lantaran menilai haditsnya dhaif, wallahu a’lam.
b. Melihat dilalah (yang ditunjukkan) oleh dalil.
Terkadang seorang ulama menyimpulkan dari suatu dalil satu kesimpulan yang berbeda dengan yang disimpulkan oleh ulama yang lain, lantaran maknanya mengandung beberapa makna atau kemungkinan. Ulama yang satu menafsiri demikian, sedangkan yang lain tidak menafsirkan demikian, atau lantaran ada yang memalingkan ke makna lain.
Contohnya yaitu saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan menaruh perlengkapan perang, Jibril tiba dan memberitahukan untuk tidak menaruh perlengkapan perang, bahkan tetap dibawa untuk mendatangi Bani Quraizhah yang berkhianat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sobat untuk pergi ke Bani Quraizhah, Beliau bersabda,
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
"Janganlah salah seorang di antara kau shalat 'Ashar kecuali sesudah hingga di Bani Quraizhah."
Dalam memahami sabda Beliau tersebut, para sobat berbeda pendapat. Sebagian sobat beropini bahwa maksud Beliau yaitu semoga mereka segera menuju Bani Quraizhah, sehingga waktu 'Ashar tiba sedangkan mereka telah berada di Bani Quraizhah, sedangkan sobat yang lain beropini bahwa mereka dihentikan shalat 'Ashar kecuali sesudah tiba di Bani Quraizhah. Akhirnya sobat yang berpegang dengan pendapat pertama melaksanakan shalat 'Ashar pada waktunya, sedangkan sobat yang berpegang dengan pendapat kedua, melakukannya sesudah tiba di Bani Quraizhah padahal saat itu waktu 'Ashar sudah lewat. Ketika itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari salah seorang pun di antara mereka.
Namun hal ini tidaklah menyampaikan bahwa semuanya benar, lantaran kebenaran hanya satu.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa yang benar yaitu mereka yang shalat Ashar pada waktunya, lantaran nash wacana wajibnya shalat pada waktunya yaitu muhkam (jelas), sedangkan nash di atas masih samar, sedangkan yang mutasyabih (samar) harus dibawa kepada yang muhkam (jelas).
c. Melihat dalil itu tidak muhkam (masih belum jelas) atau mansukh (sudah dihapus).
Contohnya yaitu pendapat Ibnu Mas'ud, yaitu bahwa saat ruku' menurutnya disyari'atkan tathbiq (yakni meletakkan kedua telapak tangan dalam keadaan dihimpitkan jari-jarinya di antara kedua paha atau lutut). Memang di awal-awal Islam cara ruku' ibarat itu, kemudian dimansukh. Oleh lantaran itu, Sa'ad bin Abi Waqqash saat mendengarnya berkata, "Kami dahulu memang melaksanakan ibarat itu, namun kini Beliau memerintahkan kami ibarat ini." Yakni menaruh di atas lutut dengan menggenggamnya.
d. Melihat selamat-tidaknya dalil tersebut dari anggapan adanya dalil yang menyelisih.
Contohnya yaitu pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma wacana riba fadhl (adanya kelebihan dalam penukaran uang atau masakan yang sejenis), menurutnya tidak ada riba fadhl sehingga kalau dilakukan tukar menukar pada barang-barang ribawi ibarat kurma satu sha' (satu gantang) dengan kurma dua sha' secara langsung, maka tidak mengapa. Ia berdalih dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Laa ribaa illaa fin nasii'ah" (artinya "Tidak ada riba selain pada nasii'ah/hutang"). Namun para ulama sesudah Ibnu Abbas berpandangan bahwa riba ada dua; riba nasii'ah dan riba fadhl berdasarkan hadits-hadits yang lain. Hadits yang disampaikan Ibnu Abbas dengan hadits-hadits lain yang melarang riba fadhl tidaklah bertentangan, lantaran sangat mungkin sekali dijama' (dipadukan), hadits yang membatasi hanya pada nasii'ah (kelebihan dalam pembayaran hutang) maksudnya yaitu bahwa tidak ada riba yang besar selain dalam riba nasii'ah, sedangkan riba fadhl yaitu riba yang ringan, meskipun kedua-duanya haram. Riba yang pertama yaitu riba yang sesungguhnya, sedangkan riba fadhl merupakan wasilah (sarana) yang mengarah kepada riba nasii'ah.
Tetapi kesannya Ibnu Abbas rujuk dari pendapatnya itu dan beristighfar sesudah berdialog dengan Abu Sa'id (sebagaimana dalam riwayat Hakim).
Sebagian ulama sempat menyusun wacana sebab-sebab terjadinya khilaf di antara para ulama, di antaranya Al Bathliyusi dalam kitabnya ‘At Tanbih alal asbab allatiy awjabatil khilaf bainal muslimin fii aaraaihim wa madzaahibihim,’.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menulis wacana dilema ini dalam kitabnya ‘Raf’ul malam ‘anil aimmatil a’laam’, dimana ia menyebutkan 9 lantaran terjadinya perselisihan di antara ulama.
Imam Syathibi dalam ‘Al Muwafaqat’ juga menyebutkan sedikit wacana dilema ini.
Syaikh Waliyyullah Ad Dahlawi juga menyusun risalah berkaitan dengan dilema ini dengan judul ‘Asbaabu Ikhtilafi Fuqaha.’
Demikian pula Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyusun wacana perbedaan pendapat di kalangan ulama dengan judul ‘Al Khilaf bainal Ulama.’
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Ushul min Ilmil Ushul (M. bin Shalih Al Utsaimin), Al Khilaf bainal Ulama (Syaikh Ibnu Utsaimin), Muqaddimah fi Ilmil Fiqh (M. bin Umar Bazmul), Al Wajiz Fi Ushulil Fiqh (Dr. Abdul Karim Zaidan), Madkhal Ilal Fiqhil Islami (Dr. Amir bin Umar Bahjat), https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=100894 , https://islamqa.info/ar/21420 , http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=107461dll.
0 Response to "Pengantar Ilmu Fiqih (4)"
Post a Comment