-->

Kajian Hadits Masjid Akramunnas Unri.

Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.
Sabtu, 18 Ramadhan 1431H / 28 Agustus 2010

Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُجَاوِرُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ « تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ » .
Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau bersabda, “Carilah Lailatulqadar pada sepuluh terakhir Ramadhan”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - زَوْجِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ .
Dari ‘Aisyah istri Rasulullah Saw, sebenarnya Rasulullah Saw melaksanakan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai dia wafat. Kemudian istri-istri dia melaksankan I’tikaf sesudah itu. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

وقال الزهري: «عجباً من الناس، كيف تركوا الاعتكاف، ورسول الله صلّى الله عليه وسلم كان يفعل الشيء ويتركه، وما ترك الاعتكاف حتى قبض» .
Imam az-Zuhri berkata, “Manusia itu aneh, mengapa mereka tidak melaksanakan I’tikaf, biasanya Rasulullah Saw melaksanakan sesuatu kemudian tidak melakukannya. Sedangkan I’tikaf, dia tidak pernah meninggalkannya sampai dia wafat”.
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 123).

Tempat I’tikaf:
والخلاصة: إن المالكية والشافعية يجيزون الاعتكاف في أي مسجد، والحنفية والحنابلة يشترطو ن كونه في المسجد الجامع، ولا يجوز عند الجمهور الاعتكاف في مسجد البيوت، ويجوز ذلك للمرأة عند الحنفية.
Kesimpulan: Mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan I’tikaf di setiap masjid.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mensyaratkan I’tikaf di Masjid Jami’.
Menurut jumhur ulama: dihentikan I’tikaf di masjid bait (rumah).
Menurut Mazhab Hanafi: wanita boleh I’tikaf di masjid bait (rumah).
(Sumber: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 128).

Lama Waktu I’tikaf:
I’tikaf sunnat tidak mempunyai batasan waktu. I’tikaf terwujud dengan menetap di masjid dengan niat I’tikaf, apakah dalam waktu yang usang ataupun sebentar. Orang yang melakukannya tetap mendapat pahala selama ia berada di dalam masjid. Jika ia keluar, kemudian ia kembali, maka ia memperbaharui niat jikalau ia ingin berniat I’tikaf. Diriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata, “Saya menetap di masjid sesaat untuk menetap, saya gunakan untuk I’tikaf”. ‘Atha’ berkata, “Seseorang itu beri’tikaf selama ia berada di masjid, jikalau ia duduk di masjid untuk mendapat kebaikan, maka berarti ia orang yang sedang beri’tikaf. Jika tidak untuk mendapat kebaikan, berarti tidak beri’tikaf.
(Sumber: Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabib, juz: 1, halaman: 475.

Keluar Masjid Karena Perlu:
الخروج للحاجة التي لا بد منها، قالت عائشة: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله، وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة الانسان. رواه البخاري ومسلم وغيرهما.
وقال ابن المنذر: أجمع العلماء على أن للمعتكف أن يخرج من معتكفه للغائط والبول، لان هذا مما لا بد منه.
ولا يمكن فعله في المسجد، وفي معناه الحاجة إلى المأكول والمشروب إذا لم يكن له من يأتيه به فله الخروج إليه، وإن بغته القئ فله أن يخرج ليقئ خارج المسجد، وكل ما لا بد منه ولا يمكن فعله في المسجد فله خروجه إليه، ولا يفسد اعتكافه ما لم يطل. انتهى.
ومثل هذا الخروج للغسل من الجنابة وتطهير البدن والثوب من النجاسة.
Keluar masjid alasannya suatu kebutuhan. Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah Saw I’tikaf, tangan saya ke kepala beliau, saya menyisirnya. Beliau tidak masuk ke rumah kecuali alasannya kebutuhan. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan imam lain.
Ibnu al-Mundzir berkata, “Para ulama telah Ijma’ bahwa orang yang I’tikaf boleh keluar dari daerah I’tikafnya untuk buang air besar dan kecil, alasannya ini suatu kebutuhan, mustahil dilakukan di dalam masjid. Semakna dengan itu juga ialah makan dan minum, jikalau tidak ada orang lain yang mengantarkannya, maka orang yang I’tikaf boleh keluar dari masjid. Jika ia ingin muntah, maka ia juga boleh keluar untuk muntah di luar masjid. Semua masalah yang mesti dilakukan dan mustahil dilakukan di dalam masjid, maka orang yang I’tikaf boleh keluar dari dalam masjid, I’tikafnya tidak batal, selama tidak terlalu lama, selesai.
Sama juga ibarat ini, keluar dari dalam masjid ntuk mandi wajib, membersihkan tubuh dan pakaian dari najis.
(Sumber: Fiqh as-Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, juz: 1, halaman: 481-482).

Tujuan I’tikaf:
Kesucian hati dengan terus menerus mencicipi pengawasan Allah Swt dan menyambut kemuliaan-Nya. Mengkonsentrasikan diri hanya untuk beribadah kepada Allah Swt dan melepaskan dari semua aktifitas, hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Melepaskan diri dari kesibukan dan aktifitas duniawi. Menyerahkan diri kepada Allah Swt dengan menyerahkan semua masalah kepada-Nya, bersandar hanya pada kemuliaan-Nya dan berhenti di depan pintu keagungan-Nya. Terus beribadah kepada-Nya di rumah-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya semoga lebih bersahabat kepada rahmat-Nya. Menjaga diri dengan pemeliharaan-Nya. I’tikaf ialah amal yang paling mulia dan paling dicintai Allah Swt jikalau didasari keikhlasan hanya kepada-Nya. Karena orang yang melaksanakan I’tikaf itu menantikan waktu-waktu pelaksanaan shalat, maka seperti ia ibarat orang yang sedang melaksanakan shalat secara terus menerus. Ia dalam keondisi spritual yang sangat bersahabat dengan Allah Swt.
Jika ia dalam keadaan berpuasa, maka itu semakin membuatnya merasa semakin bersahabat dengan Allah Swt, alasannya limpahan kesucian hati dan ketulusan jiwa yang dirasakan orang-orang yang berpuasa. I’tikaf lebih utama (afdhal) dilakukan pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan untuk mencari Lailatulqadar yang lebih baik daripada seribu bulan.
(Disunting dari: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, juz: 3, halaman: 124).
Sumber http://somadmorocco.blogspot.com/

0 Response to "Kajian Hadits Masjid Akramunnas Unri."

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel