-->

Pengertian Aturan Wadhi Dan Macam-Macam Aturan Wadhi








KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb!
Segala puji syukur hanya bagi Allah swt. Hanya kepada-Nya segala makhluk menyembah. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. keluaraga, sahabat, serta pengikut dia hingga selesai zaman.
Alhamdulillah, kami sanggup menuntaskan makalah ini. Adapun isi dari makalah ini kami kutip dari buku ataupun dari situs-situs internet.
Makalah ini menjelaskan perihal “Hukum Wadh’i dan Penerapannya dalam Islam” yang terdiri atas pengertian dan macam-macamnya. Mudah-mudahan makalah ini sanggup bermanfaat dan sanggup kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Billahi taufik walhidayah
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii

BAB   I   PENDAHULUAN
A. Latar belakang………………………………………………………………………...1
B. Rumusan masalah……………………………………………………………………...1

BAB   II   PEMBAHASAN
A. Pengertian aturan wadh’i……………………………………………………………….2
B. Macam-macam aturan wadh’i………………………………………………………….3
1. Sebab (as-sabab).....................................................................................................3
2. Syarat……………………………………………………………………………..4
3. Mani’.......................................................................................................................5
4. Azimah dan rukhsah………………………………………………………………..7
5. Sah dan batal………………………………………………………………………8

BAB   III   PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………9
B. Saran…………………………………………………………………………………..9
DAFTAR PUSTAKA








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi insan pada masa perkembangan zaman, Ushul Fiqh muncul dengan beberapa aturan Syara’ yang berkhasiat untuk menjawab banyak sekali dilema yang di hadapi insan pada perkembangan zaman.
Dalam pembagian aturan syara’, Ushul Fiqh membagi aturan syara’ menjadi dua, yaitu aturan taklif’i dan aturan wad’i.Dalam makalah ini akan dijelaskan perihal aturan wadh’i beserta macam-macamnya.
Untuk memahami hal tersebut kami mempunyai beberapa klarifikasi mengenai perkembangan insan yang tersusun dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.      Apakah pengertian dari aturan wadh’i?
2.      Apa macam-macam aturan wadh’i?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HUKUM WADH’I
Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu ialah alasannya untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Hukum wadh’i merupakan hokum yang berafiliasi dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, alasannya atau mani’.
Hukum wadh’i ialah aturan yang berafiliasi dengan dua hal, yakni antara dua alasannya (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara aturan yang sah dan aturan yang tidak sah.
Hukum ini dinamakan aturan wadh’i lantaran dalam aturan tersebut terdapat dua hal yang saling berafiliasi dan berkaitan. Seperti korelasi alasannya akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain menyampaikan bahwa definisi aturan wad’i ialah aturan yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai alasannya (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah.
Jadi, Hukum wadh’i ialah Hukum yang berafiliasi dengan perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan alasannya akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus azimah dan rukhsah.
B.     MACAM-MACAM HUKUM WADH’I
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah dan azimah, sah dan batal.
1)      Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis, artinya ialah “sesuatu yang memungkinkan dengannya hingga pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, lantaran “jalan” sanggup memberikan seseorang  kepada tujuan.
Semua tanda yang melahirkan aturan dan apabila korelasi antara tanda dan ketentuan aturan nampak terang tanda itu memang cocok dijadikan alasannya lahirnya aturan yang dinamakan ”illat”. Tetapi apabila korelasi antara tanda dan ketentuan aturan kurang terang dan kurang cocok yang menyerupai ini dinamakan sebab.
Dari pengertian diatas, sanggup disimpulkan sebetulnya alasannya ialah sesuatu yang keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai mengambarkan keberadaan suatu hokum dan ketiadaan alasannya sebagai mengambarkan tidak adanya hukum.
Sebab yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam, alasannya yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf menyerupai tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib mengeluarkan zakat,timbul bulan awal Ramadhan yang menimbulkan wajib puasa, syirik yang menimbulkan haram kawin, sakit yang menimbulkan buka puasa pada bulan Ramadhan, keluarga yang menjadi alasannya lahirnya hak waris, perkawinan yang menjadi alasannya kebolehan talak dan balig yang menjadi alasannya sahnya tindakan.
Sebab dari perbuatan mukallaf menyerupai pembunuhan berencana yang menimbulkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.
Ditetapkan alasannya tentunya akan melahirkan musabab, lantaran itu tidak diterima nalar jikalau ditetapkan alasannya tanpa melahirkan musabab. Setiap ketentuan aturan syara’ bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan insan dari kerusakan, inilah yang menjadi alasannya utama lahirnya banyak sekali ketentuan hukum.
Dilihat dari segi dampak yang ditimbulkan, maka al-sabab sanggup dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.  Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dirikanlah salat dari sehabis matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra`: 78)
2.   Sabab al- ma’nawi, menyerupai mabuk sebagai penyebab keharaman khamr, sebagaimana sabda Rasul:
Artinya:
Setiap yang memabukkan itu ialah haram” (H.R Muslim, Ahmad Ibnu Hambal dan Ashhab Al-Sunan)
2)      Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya aturan dengan adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat maka aturan tidak ada. Syarat letaknya di luar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrut pun tidak ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut.
Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai perhiasan alasannya aturan menyerupai pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun semoga ijab kabul itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan gres dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
Syarat-syarat dalam acara aturan kadang kala ditetapkan syara’ yang menyerupai ini dinamakan syarat syar’i dan kadang kala ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat syar’i menyerupai syarat yang ditetapkan sahnya ijab kabul yang dihadiri oleh dua orang saksi dan referensi syarat ja’li menyerupai jatuhnya talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan perkawinan.
Syarat syar’i sanggup dibagi menjadi 2 macam:
a)  Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang kala dalam bentuk tuntutan untuk memperbuatnya menyerupai wudhu dalam shalat. Dan kadang kala dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya menyerupai ijab kabul tahlil, ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
b) Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang mempunyai harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li sanggup dibagi menjadi 3 macam:
a)  Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan pesan tersirat sesuatu perbuatan aturan dan tidak bertentangan dengan pesan tersirat perbuatan aturan itu.
b)  Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan aturan yang dimaksud bahkan bertentangan dengan pesan tersirat perbuatan aturan itu.
c)  Syarat yang tidak terang bertentangan atau sesuai dengan pesan tersirat perbuatan hukum. Syarat yang menyerupai ini jikalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku lantaran tidak ada seorang juapun yang berhak memutuskan syarat dalam ibadah. Namun, jikalau terjadi dalam bidang muamalah sanggup diterima.
3)      Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ berdasarkan para jago ialah:
Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada aturan atau batal alasannya aturan sekalipun berdasarkan syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi lantaran adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya aturan atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, aturan tidak akan ada atau alasannya aturan menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya lantaran yang membunuh itu ialah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak sanggup dilaksanakan eksekusi qisas sekalipun alasannya lahirnya ketentuan aturan menyerupai pembunuhan telah tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi 5 macam:
a)      Mani’ yang menghalangi sahnya alasannya aturan menyerupai menjual orang yang merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, lantaran orang yang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli menjadi alasannya berpindahnya hak mi,ik dan membeli menjadi alasannya kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
b)      Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan alasannya lahirnya aturan bagi orang yang tidak ikut serta melaksanakan perjanjian dan menjadi penghalang alasannya bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti menjual barang bukan miliknya, penjual yang menyerupai ini tidak sah lantaran terdapat mani’ ialah barang yang dijuala ialah milik orang lain. Namun apabila pemilik barang yang dijual menyetujui penjualan itu, maka perjanjian itu menjadi sah.
c)      Mani’ yang menjadi penghalang berlaku aturan menyerupai khiyar syarat dari pihak penjualan yang menghalangi pembelian mempergunakan haknya terhadap barang yang diberinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A dilarang dan si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B dilarang dipergunakan selama tiga hari lantaran si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan jikalau pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.
d)     Mani’ yang hanya menghalangi tepat aturan menyerupai khiyar ru’yah. Khiyar ru’yah tidak menghalangi lahirnya hak milik, namun hak milik itu dianggap belum tepat sebelum pembeli melihat barang itu sudah berada ditangan pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pembelian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang ditetapkan tetapi dalam hal barang yang dijual belikan tidak cocok dengan persyaratan yang ditetapkan pembeli sanggup membatalkan tanpa menunggu persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan.
e)      Mani’ yang menghalangi berlakunya aturan menyerupai ‘aib. Si A sebagai pembeli sesuatu barang yang memang belum tahu keadaan barang yang dibelinya kemudian ternyata cacat, pembeli berhak menentukan antara meneruskan perjanjian atau mengembalikan barang yang dibelinya. Hanya haknya mengembalikan barang itu sehabis menerima persetujuan dari penjual atau melalui peradilan dan lamanya hak mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.
4)      Azimah dan Rukhsah
Para jago ushul menyampaikan yang dimaksud dengan azimah ialah:
Hukum yang disyriatkan Allah sejak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan aturan yang ditetapkan sejak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk daerah dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang cakap melakukannya.
Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:
aturan yang telah ditetapkan untuk memperlihatkan akomodasi bagi mukhalaf pada keadaan tertentu yang menimbulkan kemudahan”.
Rukhsah menyerupai yang telah diuraikan diatas mempunyai empat macam:
a)      Rukhsah yang menjadi pengecualian aturan umum dikarenakan terdapat kesulitan dalam melaksanakan ketentuan umum. Bentuk rukhsah yang menyerupai ini menyerupai kebolehan utang piutang perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada seluruh anggota keluarga yang membunuh.
b)      Rukhsah lantaran adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
“. . .  Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. . .” (Q.S. Al Baqarah: 286)
c)      Rukhsah yang ditetapkan untuk memperlihatkan keluasan dalam ibadah sehingga terdapat akomodasi dan orang yang sanggup melaksanakan ibadah lebih banyak.
d)     Rukhsah berdasarkan pengertian yang diberikan para jago ushul ialah aturan pengecualian dari ketentuan aturan umum.
5)      Sah dan Batal
Lafal ‘sah’ sanggup diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah dikarenakan telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal ‘batal’ yang sanggup diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban didunia dan di alam abadi tidak memperoleh pahala.
Secara umum sebetulnya  sah ialah perbuatan yang dilakukan mukalaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang yang di menetapkan syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila perbuatan tersebut tidak tercapai maka dianggap bathil.




BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Hukum Wadh’i ialah aturan yang bertujuan menjadikan sesuatu ialah alasannya untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani’, rukhsah dan azimah, sah dan batal.
B.     SARAN
Dengan riwayat yang diatas telah memperlihatkan betapa pentingnya mengetahui Pengertian aturan wadh’i dan macam-macamnya.Banyak hal yang belum terselesaikan dalam makalah ini. Kami menyadari akan keterbatasan dan kekurangan baik dalam penulisan, pemahaman, dan sumber rujukan. 




DAFTAR PUSTAKA
Effendi Satria.  2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Preda Media Group
Haroen Nasrun. 1996. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Publishing House
Hudari, Muhammad. 1965. Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah Tijariyatil Kubra.
Karim Asyafi’i. 1997. Fiqih (Ushul Fiqh). Bandung: Pustaka Setia
Mughits Abdul. 1983. Ushul Fikih Bagi Pemula. Bandung: Al-Ma’rif
Umam Chaerul. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia

0 Response to "Pengertian Aturan Wadhi Dan Macam-Macam Aturan Wadhi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel