Al-Tibyan (Nawawi) IV - Panduan Mengajar Dan mencar ilmu Al-Qur’an
Bagian
ini serta dua potongan yang merupakan tujuan penulisan kitab ini. cuilan ini
mengandung pembahasan yang panjang dan luas sekali. Saya telah berusaha menyajikan
tujuan-tujuannya secara ringkas dalam beberapa fasal supaya mudah diingat dan
seterusnya diamalkan, insya Allah.
Masalah ke-1:
Pertama-tama
yang mesti dilakukan oleh guru dan pembaca ialah mengharapkan keridhaan Allah swt:
Allah
berfirman:
.
Terjemahan:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah swt dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan
supaya mereka mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan yang demikian
itulah agama yang lurus.”
(QS Al-Bayyinah 98:5)
Diriwayatkan
dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Rasulullah saw:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niatnya dan sessungguhnya setiap
orang mendapat apa yang diniatkannya.”
Hadits
ini merupakan tonggak dan dasar Islam.
Telah
kami terima riwayat dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Sesungguhnya manusia diberi
ganjaran sesuai dengan niatnya."
Dan
dari lainnya: “Sesungguhnya orang-orang diberi ganjaran sesuai dengan niat-niat
mereka.”
Telah
kami terima riwayat dari Al-ustadz abu Qasim Al-Qusyairi rahimahullah dia
berkata: “Ikhlas ialah taat kepada Allah swt saja dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah swt tanpa sesuatu tujuan lainnya, seakan-akan berpura-pura kepada
makhluk atau menunjukkan perbuatan baik kepad orang banyak atau mengharap
kecintaan atau pujian dari insan atau sesuatu makna selain mendekatkan diri
kepada Allah swt.” Dan dia berkata: “Bisa dikatakan, ikhlas itu yaitu
membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk.”
Diriwayatkan
dari Huzaifah Al-Mar’asyi rahimahullah: “Ikhlas ialah kesamaan antara
perbuatan-perbuatan hamba secara lahir dan batinnya.”
Diriwayatkan
dari Dzin Nun Rahimahullah, katanya: “Tiga perkata merupakan tanda ikhals yaitu
sama saja tidak terpengaruh oleh kebanggaan dan celaan orang banyak; lupa melihat
di antara amal-amal; dan mengharapkan pahala amal-amalnya di alam baka.”
Diriwayatkan
dari Fudhai bin Iyadh ra, katanya: “Meninggalkan amal untuk orang banyak adalah
riya dan bermal untuk orang banyak adalah syirik, sedangkan nrimo yaitu bila Allah
swt membebaskanmu dari keduanya.”
Diriwayatkan
dari Sahl At-Tustari rahimahullah, katanya: “Orang-orang cerdas mengetahui penafsiran
surah Al-Ikhlas, tapi mereka tidak mendapat selain ini yaitu gerak dan diamnya
dalam keadaan sendiri ataupun di hadapan orang lain hanya bagi Allah swt semata-mata,
tidak bercampur sesuatu apapun baik nafsu, harapan ataupun kesenangan dunia.”
Diriwayatkan
dari As-Sariyyu rahimahullah, katanya: “Jangan lakukan sesuatu karena mengharap
pujian orang banyak, jangan tinggalkan sesuatu lantaran mereka, jangan menutup
sesuatu lantaran mereka dan jangan membuka sesuatu lantaran mereka.”
Diriwayatkan
dari Al-Qusyairi, katanya: “Kebenaran yang paling utama yaitu kesamaan antara
dalam keadaan sunyi (sendiri) ataupun di dalam kebanyakan orang banyak.”
Diriwayatakan
dari Al-Harith Al-Muhasibi rahimahullah, katanya: “Orang yang benar tidak
peduli, meskipun dia keluar dari segala apa yang ditetapkan dalam hati makhluk
terhadapnya untuk kebaikan hatinya. Dan dia tidak suka orang-orang mengetahui
kebaikan perbuatannya sedikit pun dan tidak benci jika orang-orang mengetahui
perbuatannya yang buruk karena kebenciannya atas hal itu adalah sebagai bukti
bahwa dia menyukai perhiasan di kalangan mereka, yang demikian itu termasuk
akhlak orang-orang yang lurus.”
Diriwayatkan
dari lainnya: “Jika engkau memohon kepada Allah swt dengan kebenaran, maka Allah
swt memberimu cermin di mana engkau melihat segala sesuatu dari keajaiban dunia
dan darul baka.”
Banyak
pendapat ulama Salaf berkenaan dengan hal ini. Saya hanya menyinggung sebagian kecil
saja sekedar untuk mengingatkan. Saya telah menyebutkan sejumlah pendapat ulama
dan menjelaskannya di awal Syarhil Muhadzdzan dan saya tambahkan watak-adab
orang alim dan pelajar, orang faqih dan pelajar fiqh yang diharapkan bagi
mereka yang sedang menuntut ilmu. Wallahua’lam.
Masalah ke-2:
Hendaknya
seseorang tidak memiliki tujuan dengan ilmu yang dimilikinya untuk mencapai
kesenangan dunia berupa harta atau ketenaran. Kedudukan, keunggulan atas orang-orang
lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang banyak
dan hal-hal seolah-olah itu.
Hendaklah
guru tidak mengharapkan dengan pengajarannya itu sesuatu yang dperlukan dari murid-muridnya,
baik itu berupa santunan harta atau pelayanan, meskipun sedikit dan sekalipun
berupa hadiah yang seandainya dia tidak mengajarinya membaca Al-Qur’an,
tentulah dia tidak diberi hadiah. Allah berfirman:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa yang menghendaki laba di dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian daripada keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu belahanpun di
akhirat.”
(QS
Asy-Syuura 26:20)
Allah
berfirman:
Terjemahan:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan
baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.”
(QS Al-Israa’ 17:18)
Diriwayatkan
dari debu Hurairah ra, katanya: Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa yang keridhaan Allah swt dari ilmu yang dipunyainya, sedangkan dia
tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapat kesenangan dunia, maka diapun tidak
mencium kedaluwarsa syurga pada hari kiamat. Kata Suraij, maksud hadits ini ilalah bau
Syurga.”
(Riwayat abu Dawud dengan isnad
Shahih)
Dan
masih banyak lagi hadits-hadits seakan-akan itu.
Diriwayatkan
dari Anas, Hudzaifah dan Ka’ab bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Barangsiapa menuntut ilmu sekedar untuk mencari kemenangan berdebat dengan
orang-orang yang lemah (bodoh) atau membanggakan diri kepada para ulama atau
memalingkan perhatian orang-orang kepadanya, maka biarlah dia mendapatkan kawasan
yang celaka di neraka.” bubuk Isa berkata: Hadits ini adalah hadits Gharib.
Masalah ke-3:
Hendaklah
dia waspada supaya tidak memaksakan banyak orang yang berguru dan orang yang
datang kepadanya, hendaklah dia tidak membenci murid-muridnya yang berguru
kepada orang lain selain dirinya. Ini bencana alam yang menimpa sebagian pengajar
yang lemah dan itu bukti terperinci dari pelakunya atas niatnya yang buruk dan
batinnya yang rusak. Bahkan itu adalah hujah yang meyakinkan bahwa dia tidak
menginginkan keridhaan Allah Yang Maha Pemurah dengan pengajarannya itu. karena
jika dia menginginkan keridhaan Allah swt dengan pengajarannya, tentulah dia tidak
membenci hal itu, tetapi dia akan mengatakan kepada dirinya: “Aku menginginkan
ketaatan dengan pengajarannya. Dengan mencar ilmu kepada orang lain dia ingin
menambah ilmu, maka tidak ada yang salah dengan dirinya.”
Telah
kami terima riwayat dalam Musnad Imam yang diakui keafsahannya dan
kepemimpinannya abu Muhammad Ad-Daarimi rahimahullah dari Ali bin bubuk Thalib ra,
katanya: “Wahai orang-orang berilmu! Amalkanlah ilmumu lantaran orang alim itu
ialah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya dan ilmunya sesuai dengan
amalnya. Akan muncul orang-orang yang mempunyai ilmu dan tidak melampaui
tenggorokan mereka dan perbuatan mereka bertentangan dengan ilmu mereka dan
batin mereka bertentangan dengan zahirnya. Mereka duduk di majelis-majelis dan
sebagian mereka membanggakan diri kepada sebagian lainnya hingga ada orang yang
marah kepada mitra duduknya lantaran mencar ilmu kepada orang lain dan dia meninggalkannya.
Amal-amal yang mereka lakukan di majelis-majelis itu tidak akan hingga kepada Allah
swt.”
Telah
sah riwayat dari Imam Asy-Syafi’i ra bahwa beliau berkata: “Aku berharap
kiranya -orang berguru ilmu ini - yaitu ilmu dan kitab-kitabnya - agar kiranya
dia tidak menisbahkan kepadaku satu karakter pun daripadanya.”
Masalah ke-4:
Pengajar
mesti memiliki akhlak yang baik sebagaimana ditetapkan syarak, berkelakuan
terpuji dan sifat-sifat baik yang diutamakan Allah swt, seakan-akan zuhud terhadap
keduniaan dan mengambil sedikit daripadanya, tidak mempedulikan dunia dan
pecintanya, sifat pemurah dan dermawan serta kecerdikan pekerti mulia, wajah yang
berseri-seri tanpa melampaui batas, penyantun, tabah, bersikap badak, khusyuk,
tenang, berwibawa, rendah hati dan tunduk, menghindari tertawa dan tidak banyak
bergurau. Dia mesti selalu mengerjakan amalan-amalan syar’iyah seakan-akan
membersihkan kotoran dan rambut yang disuruh menghilangkannya oleh syarak,
seperti mencukur kumis dan kuku, menyisir jenggot, menghilangkan basi busuk dan
menghindari pakaian-pakaian tercela. Hendaklah dia menjauhi sifat dengki, riya,
sombong dan suka meremehkan orang lain, meskipun tingkatan orang itu di
bawahnya.
Sudah
sepatutnya dia menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan
tasbih, tahlil, dzikir-dzikir dan doa-doa lainnya. Dan hendaknya dia selalu
memperhatikan Allah swt dalam kesunyian ataupun dalam kebanyakan, serta
memelihara sikap itu dan hendaklah bersandar kepada Allah swt dalam semua
urusannya.
Masalah ke-5:
Seorang
pengajar sudah sepatutnya bersikap lemah-lembut kepada orang yang berguru
kepadanya dan menyambutnya serta berbuat baik kepadanya sesuai dengan
keadaannya.
Kami
telah meriwayatkan dari debu Harun Al-Abdi, katanya: “Kami mendatangi debu Said
Al-Khudri ra, kemudian katanya: ‘Selamat datang dengan wasiat Rasulullah saw,
sesungguhnya Nabi saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Orang-orang akan mengikuti kau dan ada
orang-orang yang tiba kepada kau dari berbagai penjuru bumi mencar ilmu ilmu
agama. jika mereka datang kepadamu, berwasiatlah kau kepada mereka dengan
baik.”
(Riwayat Tirnidzi dan Ibnu Majah dan lainnya)
Telah
kami terima riwayat seperti itu dalam Musnad Ad-Daarimi dari debu Darda’ ra
Masalah ke-6:
Seorang
guru mesti memberikan nasihat bagi mereka karena Rasulullah saw bersabda:
.
Terjemahan:
“Agama itu nasihat, bagi Allah swt, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin
muslimin dan orang awam di antara mereka.”
(Riwayat Muslim)
Termasuk
nasihat bagi Allah swt dan Kitab-Nya ialah memuliakan pembaca Al-Qur’an dan
pelajarnya, membimbingnya kepada maslahatnya,
bersikap lemah-lembut kepadanya dan membantunya untuk mempelajarinya
sedapat mungkin serta membujuk hati pelajar di samping bersikap praktis ketika
mengajarinya, bersikap lemah-lembut kepadanya dan mendorongnya untuk mencar ilmu.
Hendaklah
dia mengingatkannya akan keutamaan hal itu untuk membangkitkan kegiatannya dan
menambah kecintaanya, membuatnya zuhud terhadap kesenangan dunia dan menjauhkan
dari kecondongan serta mencegahnya biar tidak terpedaya olehnya.
Seorang
guru hendaklah mengingatkan dia akan keutamaan menyibukkan diri dengan mengkaji
Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’iyyah lainnya. Itu ialah jalan orang-orang yang
teguh dan cerdik serta hamba-hamba Allah yang sholeh dan itu yaitu derajat para
nabi, simpel-mudahan sholawat dan salam Allah swt tetap atas mereka.
Hendaklah
seorang guru menyayangi muridnya dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatannya
seperti perhatiannya terhadap maslahat-maslahat bawah umur dan dirinya sendiri.
Dan
hendaklah murid itu diperlakukan seolah-olah anaknya sendiri yang mesti disayangi
dan diperhatikan akan kebaikannya, tabah menghadapi gangguan dan kelakuannya
yang buruk. Dan memaafkan atas kelakuannya yang kurang baik dalam sutu waktu
karena insan cenderung berbuat kesalahan dan tidak sempurna, lebih-lebih lagi
jika mereka masih kecil.
Sudah
sepatutnya guru menyukai kebaikan baginya sebagai mana dia menyukai kebaikan
bagi dirinya dan tidak menyukai kekurangan baginya secara mutlak sebagaiamana
dia tidak menyukai bagi dirinya.
Terdapat
riwayat di dalam Shahihain dari Rasulullah saw bahwa baginda Bersabda:
.
Terjemahan:
“Tidaklah tepat dogma seseorang dari kau hingga dia mencintai saudaranya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra, katanya: “Orang yang termulia di sampingku yaitu kawan
dudukku yang melangkah melalui diantara manusia hingga dia duduk menghadapku.
Seandainya aku sanggup mencegah lalat hinggap diwajahnya, pasti saya
melakukannya.”
Dalah
suatu riwayat: “Sungguh lalat yang hinggap di atasnya menggangguku.”
Masalah ke-7:
Sudah
sepatutnya guru tidak menyombongkan diri kepada para pelajar, tetapi bersikap
lemah-lembut dan rendah hati terhadap mereka.
Telah
banyak keterangan berkenaan dengan tawadhuk terhadap kebanyakan insan. Maka
bagaimana pula terhadap mereka ini yang seolah-olah belum dewasanya di samping
kesibukan mereka dengan Al-Qur’an dan hak pergaulannya pada mereka dan
keseringan mereka tiba kepadanya.
Diriwayatkan
dari Nabi saw bahwa Baginda bersabda:
.
Terjemahan:
“Bersikaplah lemah-lembut kepada orang yang kamu ajari dan guru yang mengajari
kamu.”
Diriwayatkan
dari abu Ayub As-Sakhtiyani rahimahullah, katanya: “Patutlah orang yang alim
meletakkan tanah di atas kepalanya karena merendah diri terhadap Allah Azza wa
Jalla.”
Masalah ke-8:
Sudah
sepatutnya pelajar dididik secara berangsur-angsur dengan akhlak-adab yang luhur
dan sikap yang baik serta dilatih dirinya atas perkara-perkara kecil yang
terpuji.
Hendaklah
guru membiasakan diri memelihara dri dalam semua urusan yang batin dan terang
di samping mendorongnya dengan perkataan dan perbuatan yang berulangkali untu
menunjukkan keikhlasan dan berlaku benar serta mempunyai niat yang baik serta
memperhatikan Allah swt pada setiap ketika.
Hendaklah
guru memberitahu kepada pelajar bahwa dengan karena itu terbukalah cahaya
makrifat di atasnya, dadanya menjadi lapang, memancar dari hatinya
sumber-sumber nasihat dan pengetahuan, Allah swt akan memberikan berkat pada
ilmu dan perbuatannya dan memberikan petunjuk pada setiap perbuatan dan
perkataannya.
Masalah ke-9:
0 Response to "Al-Tibyan (Nawawi) IV - Panduan Mengajar Dan mencar ilmu Al-Qur’an"
Post a Comment