Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
"Syafi’i adalah
mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhidnya, Junaidi jalan tasawufnya, Qadariyah
tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya
dan Samaniyah minumannya."
Dalam gugusan ulama Banjar, nama
Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah masyhur dibanding Muhammad Arsyad
al-Banjari. jika Muhammad Arsyad dikenal sebagai hebat syariat, maka Muhammad
Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia
berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.
Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
lahir sekitar tahun 1150 H (1735M) di Martapura Kabupaten banjar Kalimantan
selatan,beliau yaitu keturunan sultan kerajaan banjar dan nasabnya bersambung
sampai ke Pangeran Suriansyah atau Pangeran Samudera ,sultan pertama kerajaan
banjar yang memeluk agama islam dan terus bersambung
sampai ke Raja pertama ke Rajaan Daha Kalimantan yaitu Pangeran suryanata atau
Raden putera suami dari Puteri Junjung Buih.
Nasab dia adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kusuma Yoeda bin pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin sultan Tahlillah bin sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta'in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Tidak ada catatan tahun yang niscaya kapan ia pergi berangkat menuntut itmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pengetahuan ke tanah suci Makkah semenjak usia dini dan sangat muda, sehabis menerima pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya, Martapura. Di kemudian diketahui ia belajar dan menuntut ilmu agama Islam di kota Makkah, sebagaimana ia tuliskan dalam catatan pendahuluan pada karya tulisnya “ad-Durrun Nafis” ( ….. dia yang menulis risalah ini… yaitu, Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein, yang dilahirkan di Banjar dan hidup di Makkah). Juga tidak terdapat informasi dan catatan ihwal apakah ia di Makkah dan Madinah belajar bersama Syaikh Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa mencar ilmu Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa berguru Syaikh Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, dengan melihat daftar nama-nama guru Muhammad Nafis al-Banjari besar kemungkinan mereka berguru bersama pada satu masa atau masa yang Iain. Sebagaimana kebiasaan para ulama Jawi (Indonesia/Asia Tenggara) periode ke 17 dan ke 18, ia berguru dan menuntut ilmu pengetahuan keislaman kepada para ulama yang terkenal di dunia Islam pada masa itu, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain, Makkah dan Madinah, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, terutama tafsir, hadits, fiqih, tauhid dan tasauf.
Nasab dia adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kusuma Yoeda bin pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin sultan Tahlillah bin sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta'in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah. Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Tidak ada catatan tahun yang niscaya kapan ia pergi berangkat menuntut itmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pengetahuan ke tanah suci Makkah semenjak usia dini dan sangat muda, sehabis menerima pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya, Martapura. Di kemudian diketahui ia belajar dan menuntut ilmu agama Islam di kota Makkah, sebagaimana ia tuliskan dalam catatan pendahuluan pada karya tulisnya “ad-Durrun Nafis” ( ….. dia yang menulis risalah ini… yaitu, Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein, yang dilahirkan di Banjar dan hidup di Makkah). Juga tidak terdapat informasi dan catatan ihwal apakah ia di Makkah dan Madinah belajar bersama Syaikh Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa mencar ilmu Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa berguru Syaikh Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, dengan melihat daftar nama-nama guru Muhammad Nafis al-Banjari besar kemungkinan mereka berguru bersama pada satu masa atau masa yang Iain. Sebagaimana kebiasaan para ulama Jawi (Indonesia/Asia Tenggara) periode ke 17 dan ke 18, ia berguru dan menuntut ilmu pengetahuan keislaman kepada para ulama yang terkenal di dunia Islam pada masa itu, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain, Makkah dan Madinah, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, terutama tafsir, hadits, fiqih, tauhid dan tasauf.
Sejak muda beliau sangat cinta akan
ilmu ,sehari hari dipakai beliau untuk menuntut ilmu agama baik itu ilmu
tauhid,fiqih ,tasawuf maupun ilmu ilmu lainnya,sehingga kegemaran dia ini
membawa dia melanglang buana mencari ilmu hingga ke Mekkah,diperkirakan
jaman Syekh Muhammad nafis ini bertepatan dengan jamannya Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari, dan sebagian guru guru Syekh Muhammad Nafis juga guru-guru dari
Syekh Muhammad Arsyad, adapun sebagian guru guru ia ialah,
1. Syekh Abdullah Hijazi As-Syarkawi
2. Syekh Siddiq bin Umar Khan
3. Syekh Muhammad bin Abdul Karim
As-seman Al-Madani
4. Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz
Al-Banjari
5. Syekh Muhammad Al-Jawhari
Setelah berada ditanah air dengan berbekal ilmu yang diperoleh ia dari Tanah Suci Mekkah beliau berdakwah kebeberapa tempat di nusantara ini, untuk mangajak masyarakat mengESAkan Allah, karena kegigihannya dalam mempelajari ilmu tasauf Muhammad Nafis balasannya berhasil mencapai gelar “Syeikh al-Mursyid”, yaitu seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta memiliki ilmu yang cukup wacana tasauf, gelar yang menunjukkan bahwa ia sanggup dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasauf dan tarekatnya kepada orang lain.kemudian lantaran keluasan dan ketinggian ilmu dia serta keuletannya dalam berdakwah oleh masyarakat Sumatera beliau diberi gelar,
Setelah berada ditanah air dengan berbekal ilmu yang diperoleh ia dari Tanah Suci Mekkah beliau berdakwah kebeberapa tempat di nusantara ini, untuk mangajak masyarakat mengESAkan Allah, karena kegigihannya dalam mempelajari ilmu tasauf Muhammad Nafis balasannya berhasil mencapai gelar “Syeikh al-Mursyid”, yaitu seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta memiliki ilmu yang cukup wacana tasauf, gelar yang menunjukkan bahwa ia sanggup dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasauf dan tarekatnya kepada orang lain.kemudian lantaran keluasan dan ketinggian ilmu dia serta keuletannya dalam berdakwah oleh masyarakat Sumatera beliau diberi gelar,
'MAULANA AL-ALLAMAH AL-FAHHAMAH
AL-MURSYID ILAA THARIQ AL-SALAMAH AS-SYEKH MUHAMMAD NAFIS IBN IDRIS IBN HUEIN
AL-BANJARI.
(Tuan Guru yang sangat alim yang
menunjukkan kejalan keselamatan Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein
Al-Banjari)
Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang sepulang dari Makkah terus mengembangkan ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat Desa Dalam Pagar dan banyak memiliki kesempatan menulis sejumlah kitab, Datu Nafis atau Syekh Muhammad Nafis ini karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman berkelana dari suatu kawasan kedaerah lainnya sehingga ia hanya mengarang yang sampai kini yang terlacak hanya dua buah kitab saja yaitu,
- - Kanzus
Sa’adah. Yaitu kitab yang berisi perihal istilah-istilah ilmu tasauf. Kitab ini
belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
- - Ad-Durrun
Nafis (Permata
Yang Indah), Yaitu kitab
yang berisi tentang pengesaan perbuatan, nama, sifat dan zat yang kuasa.
Kitab Ad durrun Nafis tersebut pada,
mulanya dikarang beliau lantaran permintaan dari teman sahabatnya namun hasilnya
banyak diminati dan tersebar keseluruh dunia dan membuat nama dia menjadi
harum,kitab Ad-Durun Nafis tersebut tidak saja dicetak atau diterbitkan didalam
negeri,tetapi juga dicetak diluar negeri seperti ditemukan berdasarkan urutan tahun
adalah:
-- Terbitan thn
1313 H oleh Mathba'ah Al-Karimul Islamiah di Mekkah
2- Terbitan thn
1323 H oleh Mathba'ah Al-Miriah di Mekkah yang terbuat sebagai hamisy (tepi) Kitab Hidayatus Salikin Karya Syekh Abdus Shamad Al-Palembani.
3- Terbitan
thn1343 H oleh percetakan Musthafa Al-Babi Al-Halabi wa Awladihi
4- Terbitan thn
1347 H oleh Darut Thaba'ah Al-Mishriyah Mesir
5- Terbitan
Kedai Sulaiman Mar'i,Bashrah Sreet Singapore tanpa tahun
6- Terbitan
Maktabah Sulaiman Mar'i wa Syirkahu Surabaya indonesia tanpa tahun
7- Terbitan
Maktabah As-Saqafah tanpa tahun
8- Terbitan
Maktabah Haramain Singapore tanpa tahun
-- Terbitan
Ahmad Sa'ad bin Nabhan Surabaya tanpa tahun
- - Terbitan
Maktabah salim Nabhan Surabaya tanpa tahun
Kitab yang berbahasa melayu ini merupakan kitab kecil dan tipis tetapi isinya sangat padat yaitu berisi aliran Tauhid yang tinggi yang menjelaskan ihwal ke ESA an ALLAH dari segi ZAT, SIFAT ASMA dan AF'AL tujuannya untuk melepaskan segala macam penyakit hati, tetapi kitab ini tidak bisa dipelajari oleh sembarangan orang, kecuali orang yang sudah mantap fiqih,tauhid dan ma'rifatnya.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari
seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia juga mendapat tantangan dari orang-orang
yang tidak sependapat dengan pemikiran tasaufnya. Namun tidak sehebat ta ntangan
terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam
perkembangan mutakhir golongan sufi dunia Melayu cukup sering dibicarakan. Di satu pihak kitab itu tidak boleh
atau diharamkan memakainya, di pihak lain ternyata lebih banyak surau
ataupun masjid serta di rumah-rumah orang yang mengajarkannya. Bahkan KH.
Haderanie HN., seorang ulama di Surabaya berusaha menyalin ke dalam karakter latin
kitab tersebut, yang diberi kata sambutan oleh seorang ulama dan tokoh atau
ahli politik Islam Indonesia, KH. Dr. Idham Chalid. ad-Durr an-Nafis yang
disalin ke dalam aksara latin itu diberi judul Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah
(ad-Durrun Nafis). Juga kitab ad-Durrun Nafis telah disalin secara lengkap ke dalam
huruf latin dan diberi catatan kaki serta diberi indeks untuk fasilitas
menelaahnya oleh Tim Sahabat Kandangan. Kitab ad-Durrun Nafis latin tersebut
menjadi belahan dari buku Manakib Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari Berdasarkan
kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan pedoman-ajaran tasawuf
yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah diam-diam yang amat halus dan
perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang
rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah orisinil yang di tulis
tangan sendiri oleh pengarang, hingga kini belum ditemukan. Padahal berdasarkan
Laily Mansur imbas kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup
dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu
dibaca orang sejak terbitan pertama hingga kini, dicetak di Saudi Arabia,
Mesir, Singapura dan Indonesia serta besar lengan berkuasa dalam risalah Amal Ma’rifah
karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar
karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.
Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung fatwa-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, tuhan, insiden insan, kekerabatan manusia dengan yang kuasa yang kesemuanya mempunyai korelasi diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam anutan Muhammad Nafis ialah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia ialah tidak ada, jika selain Dia itu ada maka Cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut yaitu paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan wacana tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
Berdasarkan ilustrasi di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis mampu dimasukan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan aliran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, alasannya kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi aliran yang sesat menyesatkan. Boleh Kaprikornus hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja hingga kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara niscaya balasan mereka terhadap isi kitab tersebut, seakan-akan di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara niscaya isi kitabnya dan belahan-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. lantaran itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. alasannya jikalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara semenjak beredarnya tahun 1200 H hingga kini, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang menyampaikan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi anutan-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah memiliki dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya berdasarkan Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yaitu kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan pedoman tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa lantaran kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung aliran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. karena itu sebagai salah satu aspek pedoman Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.
Untuk menulis kitab ini Datu Nafis
disamping menggunakan bahan yang diperolehnya dari guru-guru dia juga
menggunakan literatur sebagai pengambilan antara lain dapat disebutkan sebagai
berikut:
- - Muhammad bin
Sulaiman Al-Jazuli Syarah Dalailul Khairat
- - Abdullah bin
Hijazi As-Syarqawi Al-Mishri Syarah Wirdu Syahrin
- - Abdul Wahab
Asy-Sya'rani Al-Jawahir wad Durar
- - Muhibbudin
ibnu Arabi Futuhal Makiyyah Fushushul Hikam
- Abdul ghani
An-Nabulusi Syarah Jawahirun Nushushu fi Halli Kalimatil fushush
- Ibnu '
Athaillah al-Iskandari Al-Hikam
- Ibnu Raslan
Syarah Hikam
- Ibnu 'Abbad
Syarah Hikam
- Abdul Karim
Al-Jili' Insanul kamil
- Siddiq Ibnu
'Umar Syarah Qashidah 'ainiyyah
- Sayyid
Musthfa Ibnu Qamaruddin Al-Bakri Wirdi Syahrin
- Syekh
Muhammad bin Abdul karim As-samani Al-manhah Al- Muhammadiyah,Iqhatsatul Lahfan,'Anwanul jaluwwah fii
Sya'nil Khalwah
- abu Hamid
Al-Ghazali Ihya 'Ulumid Din ,Minhajul Abidin
- Abdullah bin
Ibarahim Mirghani Mukhlish Mukhtasar Tuhfah al Mursalah
- Abdul karim
Al-Qusyairi Risalah Qusayriah
Dalam kitab tersebut dia
menyatakan bahwa dia pengikut Mazhab Syafi'i dalam Fiqih, Imam Asy'ari dalam hal Tauhid, Imam Junaidi dalam Tasawuf, Qadiriyah Tarekatnya, syattariyah pakaiannya, naqsabandiyah amalannya, Khalwatiyah makanannya dan
Sammaniyah minumannya. kontroversi terhadap isi ajaran
tasawuf yang terkandung dalam kitab tersebut merupakan salah satu kekayaan
intelektual di antara mereka yang berdebat, selama perbedaan dalam memahaminya
bersifat profesional dan proporsonal serta bisa melahirkan gagasan-gagasan gres
yang lebih baik dan sempurna. lantarannya dalam menilai permasalahan mengenai
keberadaan dan paradigma pemikiran tasawuf Syekh Muhammad Nafis ini ada
beberapa hal yang menjadi catatan penulis.
Pertama, naskah asli kitab tersebut hingga kini masih belum ditemukan sebagaimana pernah dilakukan oleh ilham Masykuri Hamdi (1989) dikala melacaknya kepada beberapa ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang diragukan keasliannya sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian isinya yang bertentangan dengan paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana pengesahan Muhammad Nafis bahwa Syafi’i yaitu mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji ilmu tasawuf dan tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan Abdussamad Al Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu mengingatkan bahwa mereka tidak pernah secara pribadi menemukan naskah orisinil yang ditulis oleh Muhammad Nafis sendiri, lantarannya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau percampuran terhadap isi kitab tersebut.
Pertama, naskah asli kitab tersebut hingga kini masih belum ditemukan sebagaimana pernah dilakukan oleh ilham Masykuri Hamdi (1989) dikala melacaknya kepada beberapa ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang diragukan keasliannya sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian isinya yang bertentangan dengan paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana pengesahan Muhammad Nafis bahwa Syafi’i yaitu mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji ilmu tasawuf dan tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan Abdussamad Al Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu mengingatkan bahwa mereka tidak pernah secara pribadi menemukan naskah orisinil yang ditulis oleh Muhammad Nafis sendiri, lantarannya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau percampuran terhadap isi kitab tersebut.
Kedua, seandainya paham dan pemikiran tasawuf Muhammad Nafis ialah Wahdatul Wujud yang menyerupai dengan tasawuf Hulul Husien Mansur Al Hallaj, konsep tasawuf Al Fana dan Al Baqa atau Al Ittihad bubuk Yazid Al Bustami yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan ilahi tanpa diantarai oleh sesuatu apapun, atau konsep Wahdatul Wujud (unity of existence) Muhyidin Ibnu Arabi yang merupakan bentuk lain dari paham Ittihad, ataukah pula Manunggaling Kawula Gustinya Syekh Siti Jenar, mengapa keberadaan Muhammad Nafis atau bukunya Al-Durr al-Nafis tidak menyebabkan dan memicu terjadinya pergolakan di masanya sebagaimana yang terjadi dengan Abdul Hamid debulung, Siti Jenar, atau Hamzah Fansuri? Lebih daripada itu sebagaimana penjelasan Ahmadi Isa di atas tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Nafis tidaklah murni wahdatul wujud, sebagaimana kesimpulan Laily Mansur, tetapi lebih kepada wahdatul syuhud.
Ketiga, buku tersebut secara luas telah menjadi referensi masyarakat dalam memahami ilmu tasawuf saat itu ––bahkan sekarangpun di beberapa kawasan negara-negara di Asia Tenggara masih dipelajari dan diajarkan secara ekspresi serta mengalami beberapa kali cetak ulang oleh beberapa penerbitan yang ada di Mekkah, Mesir, Basrah, Singapura, Surabaya––, dan memiliki dampak yang sangat luas terhadap upaya pencerahan pemikiran dan spiritual umat, sehingga menurut H. Muhammad Djanawi (Ulama dari HSU Amuntai) orang yang sudah mempelajari pemikiran tasawuf dalam kitab ini mereka akan merasa bangga. Namun walaupun menjadi acuan dan berpengaruh luas terhadap masyarakat Islam diberbagai tempat, terutama di Kalimantan Selatan, namun tidak pernah terbetik adanya warta terhadap pencekalan isi atau larangan pengajarannya oleh pihak kerajaan Banjar baik pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah 1778-1808 M, Sultan Sulaiman 1808-1825 M maupun Sultan Adam Al Watsiq Billah 1825-1857 M dan masa-masa Sultan kerajaan Islam Banjar yang memerintahnya setelahnya. Kecuali larangan yang dikeluarkan oleh Belanda, karena ketakutan mereka terhadap bangkitnya semangat orang-orang bumi putera dalam berjuang, berjihad guna mencapai kemerdekaannya. Sehingga mereka berkepentingan sekali untuk menghembuskan gosip bahwa mempelajari kitab tasawuf seakan-akan Al-Durr al-Nafis haram hukumnya.
Keempat, boleh Kaprikornus pasca tragedi dihukum bunuhnya Syekh Abdul Hamid abulung (Datu bubuklung) yang dipancung karena perkataannya yang menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat, untuk itu ia menyatakan statement gres bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah saya dan aku adalah Dia”, serta eksistensi dan luasnya pengaruh buku tasawuf Al-Durr al-Nafis karya syekh Muhammad Nafis ini menjadi salah satu faktor penyebab ditulisnya risalah tasawuf Kanzul Ma’rifah oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang menurut berita pada akhirnya dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh (Idwar Saleh, 1980).
Seorang yang kasyaf didaerah Amuntai yaitu Drs .Tabrani menyampaikan bahwa kitab Ad-Durrun Nafis berisi bagian ilmu dari para wali ,barang siapa mempelajarinya maka ia akan dicatat oleh para wali tersebut sebagai pecahan dari mereka,ini merupakan salah satu karamah dari Datu syekh Muhammad nafis Al-Banjari,selain itu kubur dia pernah berpindah dengan sendirinya empat kali dari Kotabaru,Pelaihari kemudian Martapura dan terakhir diKelua dan inilah yang sering di ziarahi orang sampai sekarang tepatnya di Mahar Kuning Desa Binturu Kecamatan Kelua Kabupaten Tabalong Tanjung,beliau wafat sekitar tahun 1200H atau 1780M.
0 Response to "Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari"
Post a Comment