-->

Menuntut Ilmu Syar’I

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxISEhUTEhMWFhUXGBgYFxgXFhcXFRgVFxcYFxUXFxUYICggGBolHRgWITEhJSkrLi Menuntut Ilmu Syar’i
Menuntut Ilmu Syar’i
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan wacana menuntut ilmu syar’i (ilmu agama), semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Suatu ketika Abu Rifa’ah radhiyallahu anhu tiba kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika Beliau berkhutbah, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang absurd tiba hendak bertanya wacana agamanya, ia tidak tahu menyerupai apa agamanya?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berhenti berkhutbah dan mendatanginya, kemudian disiapkan dingklik yang kaki-kakinya terbuat dari besi, kemudian Beliau duduk di atasnya dan mengajarkan ilmu kepada Abu Rifa’ah, kemudian kembali melanjutkan khutbahnya hingga tamat (Hr. Bukhari).
Demikianlah perhatian para teman terhadap ilmu dan tawadhunya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai guru.
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, maka Ibnu Abbas radhiyalahu anhuma bertanya kepada para teman wacana sabda dan perilaku Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap suatu masalah, dan setiap kali ia tahu di sana ada orang yang mengetahui hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka ia mendatanginya. Ia juga menghormati gurunya, oleh jadinya ketika ia mendapat gurunya sedang istirahat, maka ia duduk menunggu di depan rumahnya meskipun membuatnya terkena debu-debu yang diterbangkan angin hingga teman tersebut bangun. Saat teman itu keluar bertemu dengan Ibnu Abbas, maka ia berkata, “Wahai putera paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apa maksud kedatanganmu? Apa tidak engkau kirim orang kepadaku semoga saya mendatangimu?” Ibnu Abbas berkata, “Tidak, bahkan saya lebih berhak mendatangimu semoga saya sanggup bertanya wacana hadits.” (Diriwayatkan oleh Hakim)
Keutamaan ilmu syar’i
Ilmu mempunyai keutamaan yang agung dalam Islam, bahkan ayat yang pertama kali turun yaitu permintaan untuk berguru yang sarananya yaitu dengan membaca. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,” (Qs. Al ‘Alaq: 1)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga bersumpah dengan alat untuk menulis, yaitu pena. Dia berfirman,
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis,” (Qs. Al Qalam: 1)
As Sunnah juga menguatkan kedudukan ilmu, sehingga menjadikan perjuangan mencari ilmu merupakan alasannya yaitu masuk ke surga. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (Hr. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Bahkan pahala ilmu akan terus mengalir kepada pemiliknya meskipun ia telah wafat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila insan meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga, yaitu: sedekah jariyah (yang mengalir), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakannya.” (Hr. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Dari Shafwan bin Assal Al Muradiy ia berkata, “Aku pernah tiba menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika Beliau berada di masjid bersandar dengan burdahnya yang berwarna merah, kemudian saya berkata, “Wahai Rasulullah, bahwasanya saya tiba untuk mencari ilmu.” Beliau bersabda,
مَرْحَبًا بِطَالِبِ الْعِلْمِ، إِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لَتَحُفُّهُ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، ثُمَّ يَرْكَبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغُوا السَّمَاءَ الدُّنْيَا مِنْ مَحَبَّتِهِمْ لِمَا يَطْلُبُ
“Selamat tiba penuntut ilmu, bahwasanya penuntut ilmu akan dikelilingi para malaikat dengan sayap-sayapnya, kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain hingga hingga ke langit dunia lantaran bahagia kepada apa yang mereka cari.” (Al Haitsami dalam Al Majma’ berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al Kabir, dan para perawinya yaitu perawi kitab Shahih.”)
Pembagian ilmu
Ilmu terbagi dua; ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain (wajib bagi setiap muslim mempelajarinya) dan ada pula ilmu yang hukumnya fardhu kifayah (wajib bagi sebagian kaum muslimin mempelajarinya; tidak setiap muslim).
Contoh ilmu yang fardhu ‘ain yaitu ilmu wacana mengenal Allah, mengenal agamanya, dan mengenal Nabinya shallallahu alaihi wa sallam, serta kewajiban-kewajiban agama yang menuntutnya diamalkan segera. Contoh ilmu yang fardhu kifayah yaitu ilmu yang menunjang kehidupan menyerupai kedokteran, matematika, dan semisalnya.
Dengan ilmu, seseorang sanggup mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh lantaran itu, Ahli Ilmu yaitu orang yang paling takut kepada Allah Azza wa Jalla, Dia berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Qs. Fathir: 28)
Adab penuntut ilmu
1. Berniat tulus lantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan lantaran riya, bukan untuk mencari popularitas, bukan semoga dikatakan mahir ilmu, dsb. Bahkan ia menuntut ilmu lantaran Allah memerintahkannya, kemudian untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapat sesuai apa yang beliau niatkan.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
مَنْ تَعَلَّمَ ِمماَّ يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ لَا يَتَعَلَّمَهُ ِالَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرَفَ اْلجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya mengharap Wajah Allah, tetapi ia menuntut ilmunya semoga mendapat aksesori dunia, maka ia tidak akan mencium harumnya nirwana pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban, serta Hakim dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami 2/1060).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan wacana orang yang pertama kali menjadi materi bakar api neraka, yang di antaranya yaitu seorang yang berguru ilmu, mengajarkannya, dan mempelajari Al Qur’an, kemudian ia dihadirkan di hadapan Allah, dan Allah memperkenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya sehingga ia mengakuinya, kemudian Allah berfirman, “Apa yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan saya hapalkan Al Qur’an lantaran Engkau.” Allah berfirman, “Engkau dusta. Engkau berguru ilmu semoga dikatakan Ahli Ilmu, dan engkau mempelajari Al Qur’an semoga dikatakan “Qari,” dan itu sudah dikatakan kepadamu,” maka ia pun diseret di atas wajahnya dan dilemparkan ke dalam neraka.” (Hr. Muslim)
Ya Allah, berikanlah kepada kami keikhlasan ke dalam hati kami, ke dalam ucapan kami, dan pada perbuatan kami. Ya Allah, jadikanlah ilmu yang kami pelajari sebagai hujjah yang membela kami pada hari Kiamat, bukan malah mencelakakan kami, Amin.
2. Mencari ilmu yang bermanfaat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdoa meminta pertolongan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, Beliau mengucapkan,
«اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وَعَذَابِ، الْقَبْرِ اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا»
“Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, perilaku bakhil, penyakit tua, dan azab kubur. Ya Allah, berikanlah kepada diriku ketakwaan. Bersihkanlah, lantaran Engkau sebaik-baik yang membersihkannya, Engkau yaitu wali dan pelindungnya. Ya Allah, bahwasanya saya berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu, jiwa yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak mustajab.” (Hr. Muslim dari Zaid bin Arqam)
Seorang penyair berkata,
مَا أَكْثَـرُ الْعِلْـمَ وَمَــا أَوْسَعَــهُ
مَنْ ذَا الَّـذِيْ يَقْــدِرُ أَنْ يَجْمَعَـهُ
إِنْ كُنْـتَ لاَ بـُدَّ لَـهُ طَـالِــبًا
مُحَاوِلاً، فَالْتَمِــسْ أَنْفَعَــــــــهُ
Alangkah banyak ilmu itu dan alangkah luasnya
Siapakah yang sanggup mengumpulkannya
Jika kau harus mencari dan berusaha kepadanya,
Maka carilah yang bermanfaat darinya.
Menurut Ibnu Rajab, ilmu yang bermanfaat yaitu menghapal nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah, memahami makna yang terkandung dalam keduanya, membatasi diri dalam hal tersebut dengan apa yang tiba dari para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabiin dalam menggali kandungan Al Qur’an dan hadits, dan mempelajari apa yang tiba dari mereka berkaitan dengan halal, haram, zuhud, kelembutan hati, pengetahuan, dan sebagainya. Barang siapa yang berhenti di atas ini dan mengikhlaskan niatnya lantaran Allah, serta memohon pertolongan kepada Allah dalam hal tersebut, maka Allah akan menolongnya, memberinya petunjuk, memberinya taufiq, meluruskannya, memahamkannya, dan mengilhaminya. Ketika itulah ilmu ini menghasilkan buahnya yang khusus, yaitu rasa takut kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Qs. Fathir: 28)
Menurut penulis, itulah ilmu syar’i dan ilmu yang bermanfaat.
Dengan demikian, bahwa tanda ilmu yang bermanfaat yaitu bahwa ilmu itu bersumber dari kitab Allah Azza wa Jalla, sunnah Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, dipahami dengan benar menyerupai generasi salaf memahaminya, mendorong pemiliknya mengamalkannya, menjadikan rasa takut kepada Allah, tidak membuat pemiliknya sombong dan hasad, membuat pemiliknya tidak suka terhadap pujian, membuat pemiliknya tawadhu, mendekatkan pemilik ilmu ini kepada Allah, bukan membuatnya semakin cinta dunia dan menginginkan kekuasaan dan popularitas, serta tidak membuatnya su’uzh zhan (buruk sangka) terhadap para ulama terdahulu, wallahu a’lam.
3. Fokus terhadap ilmu
Ada seorang yang berkata,
الْعِلْمُ لاَ يُعْطِيْكَ بَعْضَهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ
“Ilmu tidak akan memperlihatkan sebagiannya kepadamu hingga kau memperlihatkan bagianmu semua kepadanya.”
4. Membersihkan diri dari dosa dan budpekerti tercela.
Imam Syafi’i berkata,
شَكَوْتُ إِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ
فَأَرْشَدَنِيْ إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِى
فَإِنَّ الْحِفْظَ فَضْلٌ مِنَ اللهِ
وَفَضْلُ اللهِ لاَ يُعْطَى لِعَاصِى
Aku pernah mengeluh kepada Waki’ wacana buruknya hapalanku,
Maka ia menunjukiku semoga meninggalkan maksiat
Karena hapalan yaitu karunia Allah
Dan karunia Allah itu tidak diberikan kepada pelaku maksiat.
4. Bekerja tidak menghalangi seseorang menuntut ilmu
Para teman semuanya bekerja, namun sehabis mereka bekerja, maka sisa waktunya mereka gunakan untuk berguru agama. Abu Sa’id berkata, “Kami berperang dan membiarkan seorang atau dua orang untuk mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian keduanya menceritakan kepada kami sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami juga menceritakan; kami berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.” (HR. Ibnu ‘Asakir).
Oleh lantaran itu, tidak mengapa seseorang menggabungkan antara menuntut ilmu, bekerja, dan mencari rezeki.
5. Harus bersabar
Seorang penuntut ilmu menghiasi dirinya dengan perilaku sabar. Ada yang mengatakan, bahwa barang siapa yang tidak siap memikul penderitaan dalam menuntut ilmu, maka ia harus siap berada dalam hinanya kebodohan hingga hari Kiamat.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Yahya bin Katsir, ia berkata, “Ilmu tidaklah diperoleh dengan jiwa-raga yang santai.
Imam Syafi’i pernah berkata,
أَخِيْ لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنَبِّئُكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاجْتِهَادٍ وَدِرْهَمٍ وَصُحْبَةِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
“Saudaraku, kau tidak akan mencapai ilmu kecuali dengan enam perkara, saya akan terangkan dengan jelas, yaitu: kecerdasan, semangat, sungguh-sungguh, ada dirham (biaya), didampingi guru, dan waktu yang lama.”
6. Bertahap dalam belajar
Seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari yang lebih berhak didahulukan di antara sekian ilmu, menyerupai ilmu tauhid, ibadah, dst. Selanjutnya sanggup serahkan hal itu kepada gurunya yang terpercaya. Demikian pula hendaknya ia berusaha menguasai banyak sekali disiplin ilmu. Yahya bin Khalid pernah berkata kepada putranya, “Hendaknya engkau mengetahui banyak sekali macam disiplin ilmu, lantaran seseorang akan menjadi musuh terhadap apa yang tidak diketahuinya, dan saya tidak ingin engkau menjadi musuh salah satu cabang ilmu.”
7. Mendalami salah satu disiplin ilmu
Apabila seseorang hendak mendalami salah satu disiplin ilmu, maka hendaknya ia menentukan di antara ilmu itu yang lebih mulia dan bermanfaat, dan sesuai dengan talenta dan minatnya.
8. Menghapal, memahami, dan menghayati.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا، فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ»
“Semoga Allah membuat cemerlang wajah seorang yang mendengar dariku sebuah hadits, kemudian ia menghapalnya hingga ia menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu memberikan kepada yang lebih pintar lagi, dan betapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak menjadi faqih (Ahli Fiqh).” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani).
Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah pernah berkata,
اَوَّلُ الْعِلْمِ اْلإِسْتِمَاعُ ثُمَّ الْإِنْصَاتُ ثُمَّ الْحِفْظُ ثُمَّ الْعَمَلُ ثُمَّ النَّشْرُ
“Ilmu diawali dengan mendengarkan, kemudian memperhatikan, kemudian menghapalnya, kemudian mengamalkan kemudian menyebarkan.”
8. Mencatat ilmu
Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya di antara penyebab terhalangnya ilmu yaitu menghadiri majlis ilmu tanpa menyalinnya.”
Ada yang berkata, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Ada pula yang berkata, “Ilmu itu hewan buruan, dan talinya yaitu mencatat.”
9. Mengulang-ulang pelajaran
Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu, lantaran mempelajarinya lantaran Allah yaitu rasa takut, mencarinya yaitu ibadah, mengingat-ingatnya yaitu tasbih, mengkajinya yaitu jihad, mengajarkan kepada orang yang tidak tahu yaitu sedekah dan memperlihatkan kepada orang yang berhak yaitu sebuah pendekatan diri kepada Allah.”
10. Tidak aib dalam belajar
Aisyah berkata, “Sebaik-baik perempuan yaitu perempuan Anshar, dimana rasa aib tidak menghalangi mereka berguru agama.”
Mujahid berkata, “Orang yang aib dan sombong tidak sanggup mempelajari ilmu.”
Ketahuilah, ilmu yaitu perbendaharaan, sedangkan kuncinya yaitu bertanya.
11. Rihlah (mengadakan perjalanan) untuk mencari ilmu
Jabir bin Abdillah berkata, “Telah hingga kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang ia dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka saya beli seekor unta untuk pergi mendatanginya, maka saya pergi kepadanya dalam waktu sebulan hingga saya hingga di Syam, kemudian saya mendapatinya yaitu Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu, maka saya berkata kepada penjaga pintu, “Katakan kepadanya bahwa Jabir ada di pintu.” Maka Abdullah bin Unais berkata, “Apakah putera Abdullah?” Aku menjawab, “Ya.” Maka ia pun segera keluar menemuinya, kemudian ia memelukku dan saya pun memeluknya, maka saya berkata, “Ada sebuah hadits yang hingga kepadaku darimu; bahwa engkau mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wacana qishas, maka saya khawatir kau wafat atau saya wafat sebelum saya mendengarnya, maka Abdulllah bin Unais memberikan hadits itu kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani)
Asy Sya’biy rahimahullah berkata, “Kalau seseorang mengadakan safar dari ujung Syam ke ujung Yaman untuk mendengar satu kalimat hikmah (hadits), maka menurutku ia tidak sia-sia.”
12. Mengamalkan ilmu
Allah Subhaanahu wa Ta’ala mencela orang-orang yang tidak mengamalkan ilmu mereka dan menyerupakan mereka menyerupai keledai yang memikul kitab-kitab, namun tidak paham isinya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya yaitu menyerupai keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah jelek perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (Terj. QS. Al Jumu’ah: 5)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ»
“Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ditanya wacana usianya; dalam hal apa ia habiskan, wacana ilmunya; apa saja yang sudah ia amalkan, wacana hartanya; dari mana ia peroleh dan ke mana ia keluarkan, dan wacana badannya, untuk hal apa ia kerahkan.” (Hr. Tirmidzi dari Abu Barzah Al Aslami, dan dishahihkan oleh Al Albani)
13. Diam menyimak pelajaran
Al Hasan bin Ali pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, jikalau engkau duduk bersama para ulama, maka hendaknya telingamu lebih engkau dahulukan daripada ucapan, dan belajarlah mendengar yang baik sebagaimana engkau berguru bagaimana membisu yang baik.”
Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pertanyaan yang diajukan maksudnya yaitu meminta penjelasan, bukan untuk berdebat apalagi melemahkan.
14. Beradab ketika berada di majlis ilmu
Hendaknya seorang muslim duduk di hadapan gurunya dengan etika dan sopan santun, tidak banyak menoleh, berisyarat, apalagi tertawa, serta memperhatikan penampilan yang baik dan bersih.
15. Tidak bicara dan bertanya kecuali sehabis meminta izin
16. Tidak merendahkan sobat atau mengolok-olok mereka, bahkan ia mencicipi bahwa mereka yaitu saudaranya.
17. Memperhatikan alasannya yaitu untuk memperoleh ilmu.
Hendaknya tempatnya terang, suasananya tenang, tidak berguru di kasur, merapikan buku-buku, memperlihatkan waktu istirahat untuk badannya, menentukan waktu yang tepat, dan membagi waktu dengan baik.  
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, http://islam.aljayyash.net, dll.

0 Response to "Menuntut Ilmu Syar’I"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel