TerasDN - Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidinasy Syarif Abil Hasan Ali
asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar, terlahir dari
rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota
Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara pecahan ujung
paling barat, pada tahun 593 H / 1197M.
Beliau merupakan dzurriyat
atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad
SAW, dengan urut-urutan sebagai berikut, asy Syekh Abil Hasan Ali asy
Syadzily ialah putra dari :
1. Abdullah, bin عبد الله بن
2. Abdul Jabbar, bin عبد الجبار بن
3. Tamim, bin تميم بن
4. Harmuz, bin هرمز بن
5. Hatim, bin حاتم بن
6. Qushoy, bin قصى بن
7. Yusuf, bin يوسف بن
8. Yusya’, bin يوشع بن
9. Wardi, bin ورد بن
10. abu Baththal, bin أبي بطال بن
11. Ali, bin على بن
12. Ahmad, bin أحمد بن
13. Muhammad, bin محمّد بن
14. ‘Isa, bin عيسى بن
15. Idris al Mutsanna, bin إدريس بن
16. Umar, bin عمر بن
17. Idris, bin إدريس بن
18. Abdullah, bin عبدالله بن
19. Hasan al Mutsanna, bin الحسن المثنى بن
20. Sayyidina Hasan, bin سيّد شباب أهل الجنة أبي على محمّد الحسن
21. Sayyidina Ali bin abu Thalib wa Sayyidatina Fathimah az Zahro’ binti
22. Sayyidina wa habibina wa syafi’ina Muhammadin, Rosulillaahi shollolloohu ‘alaihi wa aalihi sallam.
sejak kecil dia biasa dipanggil dengan nama: ‘ALI, sudah dikenal
sebagai orang yang mempunyai akhlaq atau kecerdikan pekerti yang amat mulia.
Tutur katanya sangat fasih, halus, indah dan santun, serta mengandung
makna pengertian yang dalam. Di samping mempunyai impian yang tinggi
dan luhur, dia juga tergolong orang yang mempunyai kegemaran menuntut
ilmu. Di desa tempat kelahirannya ini, ia mendapat tempaan
pendidikan akhlaq serta cabang ilmu-ilmu agama lainnya langsung di bawah
bimbingan ayah-bunda ia. beliau tinggal di desa tempat kelahirannya
ini hingga usia 6 tahun, yang kemudian pada akhirnya hijrah ke kota
Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara) yang semata-mata
hanya untuk tujuan tholabul ‘ilmi di samping untuk menggapai impian
luhur dia menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan
di sisi Allah SWT.Beliau sampai di kota Tunis, sebuah kota pelabuhan
yang terletak di tepi pantai laut Tengah, pada tahun 599 H / 1202 M. Di
suatu hari Jumat, ia pernah ditemui oleh Nabiyyullah Khidlir
‘alaihissalam, yang mengatakan bahwa kedatangannya pada ketika itu adalah
diutus untuk menyampaikan keputusan Allah SWT atas diri ia yang pada
hari itu telah dinyatakan dipilih menjadi kekasih Robbul ‘Alamin dan
sekaligus diangkat sebagai Wali Agung dikarenakan ia memiliki budi
luhur dan akhlaq mulia.
Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah
Khidir a.s. tersebut, beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji,
rokhimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan
maksud untuk mengemukakan segala bencana yang dia alami sepanjang
hari itu. Akan tetapi pada dikala sudah berada di hadapan Syekh Abi Said,
sebelum beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya
menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan
jelas dan runtut menguraikan perihal seluruh perjalanan ia semenjak
keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya beliau
sebagai Wali Agung pada hari itu. semenjak saat itu ia tinggal bersama
Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu
agama. Dari Syekh Abi Said ia banyak berguru ilmu-ilmu wacana Al
Qur’an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain
itu, lantaran kedekatan ia dengan sang guru, ia juga berkesempatan
mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al
Mukarromah hingga beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut
ilmu, dia merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu
fiqih, tasawwuf, taukhid, sampai ilmu-ilmu wacana al Qur’an dan
hadist, semuanya itu beliau rasakan masih pada tataran syariat atau
kulitnya saja. karena itu dia berketetapan hati untuk segera
menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari
seorang Wali Quthub yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan
ruhaniyah beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang
kuat dia memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa
restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau
demi mencari seseorang yang berkedudukan sebagai Quthub.
Perantauan Mencari Sang Quthub
Tempat pertama yang dituju oleh beliau yaitu kota Mekkah yang
merupakan sentra peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama dan
sholihin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk memperdalam
berbagai cabang ilmu-ilmu agama. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di
Mekkah, beliau belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud.
Sampai balasannya pada suatu seat beliau memperoleh keterangan dari
beberapa ulama di Mekkah bahwa Sang Quthub yang beliau cari itu
kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilo meter dari
kota Mekkah.Sesampainya di Iraq, dengan tidak membuang-buang waktu,
segeralah beliau bertanya ke sana-sini perihal seorang Wali Quthub yang
Beliau cari kepada setiap ulama dan masyayikh yang berhasil dia
temui. Akan tetapi, mereka semua rata-rata menyatakan tidak mengetahui
keberadaan seorang Wali Quthub di negeri itu.
Memang sepeninggal
Sulthonil Auliya’il Quthbir Robbani wal Ghoutsish Shomadani Sayyidisy
Syekh bubuk Muhammad Abdul Qodir al Jilani, rodliyallahu ‘anh, kedudukan
Wali Quthub yang menggantikan Syekh Abdul Qodir Jilani oleh Allah
disamarkan atau tidak dinampakkan dengan terperinci. Pada waktu kedatangan
Syekh Abil Hasan ke Baghdad itu, Syekh Abdul Qodir Jailani (470 – 561
H./1077 – 1166 M.) sudah wafat sekitar 50 tahun sebelumnya (selisih
waktu antara wafatnya Syekh Abdul Qodir dan lahirnya Syekh Abil Hasan
terpaut sekitar 32 tahun). Di era hidupnya, asy Syekh. Abdul Qodir
diakui oleh para ulama minash Shiddiqin sebagai seorang yang
berkedudukan “Quthbul Ghouts”.Akhirnya, ia mendengar adanya seorang
ulama yang merupakan seorang pemimpin dan khalifah thoriqot Rifa’iyah
yaitu asy Syekh ash Sholih abul Fatah al Wasithi, rodliyAllahu ‘anh.
Syekh debul Fatah adalah, yang mempunyai imbas dan pengikut cukup besar
di Iraq pada waktu itu. Segeralah beliau sowan kepada Syekh abul Fatah
dan mengemukakan bahwa beliau sedang mencari seorang Wali Quthub yang
akan ia minta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu
perjalanan ruhani beliau menuju ke hadirat Allah SWT.
Mendengar
penuturan beliau, asy Syekh bubukl Fatah sembari tersenyum kemudian
mengatakan, “Wahai anak muda, engkau mencari Quthub jauh jauh hingga ke
sini, padahal orang yang engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu
sendiri. dia ialah seorang Quthubuz Zaman nan Agung pada saat ini.
Sekarang pulanglah engkau ke Maghrib (Maroko) dari pada bersusah payah
berkeliling mencari di negeri ini. ia, pada saat ini sedang berada
di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang
engkau cari di sana!”
Berguru Kepada Sang Quthub
Beberapa dikala
setelah mendapat klarifikasi dari Syekh abul Fatah al Wasithi, beliau
segera mohon diri sekaligus minta doa restu biar dia bisa segera
berhasil menemukan sang Quthub yang sedang dicarinya. Sesampainya di
Maroko, dia pribadi menuju ke desa Ghomaroh, tempat di mana ia
dilahirkan. Tidak berapa usang kemudian, beliau segera bertanya-tanya
kepada penduduk setempat maupun setiap pendatang di manakah tinggalnya
sang Quthub. Hampir setiap orang yang ia temui selalu ditanyai
tentang eksistensi sang Quthub. akhirnya setelah cukup lama mencari
didapatlah keterangan bahwa orang yang dimaksud oleh Syekh abul Fatah
tiada lain yaitu Sayyidisy Syekh ash Sholih al Quthub al Ghouts asy
Syarif bubuk Muhammad Abdus Salam bin Masyisy al Hasani, yang pada dikala
itu sedang berada di tempat pertapaannya, di suatu gua yang letaknya di
puncak sebuah gunung di padang Barbathoh. Demi mendengar keterangan itu,
sama seolah-olah yang dijelaskan oleh Syekh bubukl Fatah al Wasithi al Iraqi,
segera saja beliau menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.
Setelah
melakukan perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, akibatnya
ditemukanlah gunung yang dimaksud. dia segera mendaki gunung itu
menuju ke puncaknya. Dan, memang benar adanya, di puncak gunung tersebut
terdapat sebuah gua. Sebelum ia melanjutkan perjalanannya untuk
naik ke gua itu, ia berhenti di sebuah mata air yang terdapat di
bawah gua tersebut. Selanjutnya beliau kemudian mandi di pancuran mata air
itu. Hal ini dia lakukan semata-mata demi untuk menyampaikan
penghormatan serta untuk mengagungkan sang Quthub, sebagai salah seorang
yang mempunyai derajat kcmuliaan dan keagungan di sisi Robbul ‘alamin,
disamping juga sebagai seorang calon guru ia. Begitu setelah selesai
mandi, dia merasakan betapa seluruh ilmu dan amal ia seakan
luruh berguguran. Dan seketika itu pula beliau mencicipi kini dirinya
telah menjadi seorang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal.
Kemudian, setelah itu beliau lalu berwudlu dan mempersiapkan diri untuk
naik menuju ke gua tersebut. Dengan penuh rasa tawadhu’ dan rendah diri,
dia mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.
Namun,
entah tiba dari arah mana, tiba-tiba datang seseorang yang tampak
sudah lanjut usia. Orang tersebut mengenakan pakaian yang amat
sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan. Sebagai epilog kepala, orang
sepuh itu mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami. Dari
sinar wajahnya memperlihatkan bahwa orang tersebut mempunyai derajat
kesholihan dan ketaqwaan yang amat luhur. Kendati berpenampilan
sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat manis, akil, dan
berwibawa. Kakek tua itu kemudian mendekati dia seraya mengucapkan
salam, “Assalamu’alaikum”. beliau, dengan agak sedikit terkejut, serta
merta menjawab salam orang itu, “Wa ‘alaikumus salam wa rokhmatullohi wa
barokatuh.” Belum pula habis rasa keterkejutan ia, orang tersebut
terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, Ali bin
Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab dia
disebutkan dengan runtut dan terang sampai akibatnya berujung kepada
baginda Rosululloh, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Mendengar
itu semua, dia menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai
Beliau mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya
Ali, engkau tiba kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun
amal perbuatanmu, maka engkau akan mengambil dari saya kekayaan dunia
dan akhirat.” Dengan demikian, maka Jadi terperinci dan yakinlah ia kini,
bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar asy
Syekh al Quthub al Ghouts Sayyid bubuk Muhammad Abdus Salam bin Masyisy
al Hasani, rodhiyAllahu ‘anh, orang yang selama ini dicari-carinya.
“Wahai anakku, hanya puji syukur alhamdulillah kita haturkan ke hadirat
Allah SWT yang telah mempertemukan kita pada hari ini.” Berkata Syekh
Abdus Salam lagi, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum
engkau datang ke sini, Rosululloh SAW telah memberitahukan kepadaku
segala hal-ihwal ihwal dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini.
Selain itu, saya juga mendapat tugas dari beliau biar menyampaikan
pendidikan dan bimbingan kepada engkau. Oleh karena itu, ketahuilah,
bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.
Selanjutnya, beliau tinggal bersama dengan sang guru di situ sampai
waktu yang cukup lama. dia banyak sekali mereguk ilmu-ilmu perihal
hakikat ketuhanan dari Syekh Abdus Salam, yang selama ini belum pernah
Beliau dapatkan. Tidak sedikit pula wejangan dan pesan tersirat-nasihat yang
asy Syekh berikan kepada beliau.
Pada suatu hari dikatakan oleh asy
Syekh kepada beliau, “Wahai anakku, hendaknya engkau semua senantiasa
melanggengkan thoharoh (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap
engkau berhadats cepat-cepatlah bersuci dari ‘kenajisan cinta dunia’.
Dan setiap kali engkau condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang
hampir menodai dan menggelincirkan dirimu.”Berkata asy Syekh Ibn
Masyisy kepada beliau, “Pertajam pengelihatan imanmu, niscaya engkau
akan mendapatkms Allah; Dalam segala sesuatu; Pada sisi segala sesuatu;
Bersama segala sesuatu; Atas segala sesuatu; Dekat dari segala sesuatu;
Meliputi segala sesuatu; Dengan pendekatan itulah sifatNya; Dengan
meliputi itulah bentuk keadaanNya.”
Di lain waktu guru ia,
rodhiyallahu ‘anh, itu mengatakan, “Semulia-mulia amal yaitu empat
disusul empat : KECINTAAN demi untuk Allah; RIDHO atas ketentuan Allah;
ZUHUD terhadap dunia; dan TAWAKKAL atas Allah.
Kemudian disusul pula
dengan empat lagi, ialah MENEGAKKAN fardhu-fardbu Allah; MENJAUHI
larangan-laranganAllah; BERSABAR terhadap apa-apa yang tidak berarti;
danWARO’ menjauhi dosa-dosa kecil berupa segala sesuatu yang
melalaikan”.Asy Syekh juga pernah berpesan kepada. beliau, “Wahai
anakku, janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk Allah, sesuatu
yang mampu mendatangkan keridhoan Allah, dan jangan pula engkau duduk di
suatu majelis kecuali yang aman dari murka Allah.
Janganlah engkau
bersahabat kecuali dengan orang yang bisa membantu engkau berlaku taat
kepada-Nya. Serta jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang mampu
menambah keyakinanmu terhadap Allah”.
Asy Syekh Abdus Salam sendiri
adalah merupakan pribadi yang amat berpegang teguh kepada Kitab Allah
dan as Sunnah. Walaupun pada kenyataannya Syekh Abil Hasan ialah
muridnya, namun Syekh Abdus Salam juga amat mengagumi akan ilmu yang
dimiliki oleh sang murid, terutama wacana Kitabullah dan Sunnah,
disamping derajat kesholihan dan kewaliannya, serta kekeramatan Syekh
Abul Hasan.
Tetapi, dari semua yang dia terima dari asy Syekh,
hal yang terpenting dan paling bersejarah dalam kehidupan beliau di
kemudian hari ialah diterimanya ijazah dan bai’at sebuah thoriqot dari
asy Syekh Abdus Salam yang rantai silsilah thoriqot tersebut
sambung-menyambung tiada putus hingga balasannya berujung kepada Allah
SWT. Silsilah thoriqot ini urut-urutannya yaitu sebagai berikut :
dia, asy Syekh al Imam Abil Hasan Ali asy Syadzily mendapat bai’at thoriqot dari :
1. Asy Syekh al Quthub asy Syarif bubuk Muhammad Abdus Salam bin Masyisy, beliau menerima talgin dan bai’at dari
2. Al Quthub asy Syarif Abdurrahman al Aththor az Zayyat al Hasani al Madani, dari
3. Quthbil auliya’ Taqiyyuddin al Fuqoyr ash Shufy, dari
4. Sayyidisy Syekh al Quthub Fakhruddin, dari
5. Sayyidisy Syekh al Quthub Nuruddin Abil Hasan Ali, dari
6. Sayyidisy Syekh Muhammad Tajuddin, dari
7. Sayyidisy Syekh Muhammad Syamsuddin, dari
8. Sayyidisy Syekh al Quthub Zainuddin al Qozwiniy, dari
9. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Ishaq Ibrohim al Bashri, dari
10. Sayyidisy Syekh al Quthub Abil Qosim Ahmad al Marwani, dari
11. Sayyidisy Syekh abu Muhammad Said, dari
12. Sayyidisy Syekh Sa’ad, dari
13. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, dari
14. Sayyidisy Syekh al Quthub Muhammad Said al Ghozwaniy, dari
15. Sayyidisy Syekh al Quthub Abi Muhammad Jabir, dari
16. Sayyidinasy Syarif al Hasan bin Ali, dari
17. Sayyidina’Ali bin Abi Tholib, karromallahu wajhah, dari
18. Sayyidina wa Habibina wa Syafi’ina wa Maulana Muhammadin, shollollohu ‘alaihi wa aalihi wasallam, dari
19. Sayyidina Jibril, ‘alaihis salam, dari
20. Robbul ‘izzati robbul ‘alamin.
Setelah menerima pedoman dan baiat thoriqot ini, dari hari ke hari
Beliau mencicipi semakin terbukanya mata hati ia. beliau banyak
menemukan belakang layar-rahasia Ilahiyah yang selama ini belum pernah
dialaminya. semenjak ketika itu pula beliau semakin mencicipi dirinya kian
dalam menyelam ke dasar samudera hakekat dan ma’rifatulloh. Hal ini,
selain berkat dari keagungan ajaran thoriqot itu sendiri, juga tentunya
karena kemuliaan barokah yang terpancar dari ketaqwaan sang guru, asy
Syekh Abdus Salam bin Masyisy, rodhiyAllahu ‘anh.
Thoriqot ini pula,
di kemudian hari, yaitu pada waktu ia kelak bermukim di negeri
Tunisia dan Mesir, dia kembangkan dan sebar luaskan ke seluruh
penjuru dunia melalui murid-murid dia. Oleh karena beliau ialah
orang yang pertama kali mendakwahkan dan membuatkan pedoman thoriqot
ini secara luas kepada masyarakat umum, sehingga akhirnya masyhur di
mana-mana, maka ia pun kemudian dianggap sebagai pendiri thoriqot
ini yang pada akhirnya menisbatkan nama thoriqot ini dengan nama besar
beliau, dengan sebutan “THORIQOT SYADZILIYAH”. Banyak para ulama dan
pembesar-pembesar agama di seluruh dunia, dari ketika itu hingga sekarang,
yang mengambil berkah dari mengamalkan thoriqot ini.
Sebuah thoriqot
yang amat sederhana, tidak terlalu membebani bagi khalifah dan para guru
mursyidnya serta para pengamalnya.Setelah cukup lama beliau tinggal
bersama asy Syekh, maka tibalah dikala perpisahan antara guru dan murid.
Pada dikala perpisahan itu Syekh Abdus Salam membuat pemetaan kehidupan
murid tercinta beliau tentang hari-hari yang akan dilalui oleh Syekh
Abil Hasan dengan mengatakan, “Wahai anakku, setelah usai masa berguru,
maka tibalah ketikanya kini engkau untuk beriqomah. kini pergilah dari
sini, kemudian carilah sebuah kawasan yang bernama SYADZILAH. Untuk beberapa
waktu tinggallah engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, di sana
pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi engkau dengan sebuah nama
yang indah, asy Syadzily.”
“Setelah itu,” lanjut asy Syekh,
“Kemudian engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Di sana engkau akan
mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri
itu. sehabis itu, wahai anakku, engkau akan pindah ke arah timur. Di
sana pulalah kelak engkau akan menerima warisan al Quthubah dan menj
adikan engkau seorang Quthub.”
Pada waktu akan berpisah, beliau
mengajukan satu permohonan kepada asy Syekh agar memberikan wasiat untuk
yang terakhir kalinya, dengan mengatakan, “Wahai tuan Guru yang mulia,
berwasiatlah untukku.” Asy Syekh pun kemudian berkata, “Wahai Ali,
takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia.
Sucikanlah
lisanmu daripada menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu
dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari
segala yang maksiat, pen.) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan
dengan tepat. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani
dirimu.”
Lanjut asy Syekh lagi, “Jangan engkau memperingatkan kepada
mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas
dirimu, maka dengan Tutorial yang demikian akan sempurnalah waro’mu.” “Dan
berdoalah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilahlah diriku dari ingatan
kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan
selamatkanlah daku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah daku dengan
kebaikan-kebaikanMu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku
dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya
Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa.”‘
Selanjutnya, setelah perpisahan itu, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy
yang dilahirkan di kota Fes, Maroko, tetap tinggal di negeri
kelahirannya itu hingga janjkematian beliau. Sang Quthub nan agung ini
meninggal dunia pada tahun 622 H./1225 M. Makam dia sampai ketika ini
ramai diziarahi kamum muslimin yang tiba dari seluruh penjuru dunia.
Di Syadzilah
Seusai berpisah dengan asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, beliau mulai
menapaki perjalanan yang pertama sebagai apa yang telah dipetakan oleh
sang guru, yaitu mencari sebuah desa berjulukan Syadzilah. Setelah
dicari-cari, akibatnya hinggalah ia di sebuah desa bernama Syadzilah
yang terletak di wilayah negeri Tunisia. Pada dikala beliau tiba di desa
itu, yang mengherankan, ia sudah disambut dan dielu-elukan oleh
segenap penduduk Syadzilah, sedang dia sendiri tidak tahu siapa
sebenarnya yang memberitakan akan kedatangan ia. Tapi, itu sebuah
kenyataan bahwa mereka dalam menyampaikan sambutan kepada beliau tampak
sekali terlihat dari raut wajah mereka suatu kegembiraan yang amat
dalam, seakan mereka mampu bertemu dengan orang yang sudah usang
dinanti-nantikan.
ia tinggal di tengah-tengah desa Syadzilah
hanya beberapa hari saja. lantaran, semenjak tiba di kota itu, ia telah
memutuskan untuk tidak berlama-lama berada di tengah keramaian
masyarakat. ia ingin bermukim di tempat yang hening dan jauh dari
hiruk-pikuknya orang-orang. Memang, tujuan dia tiba ke kota itu,
sesuai dengan petunjuk sang guru, semata-mata hanyalah untuk lebih
meningkatkan dan menyempurnakan ibadah ia dengan Cara menjauh dari
masyarakat.
akibatnya, dia menentukan tempat di luar kota Syadzilah,
yaitu di sebuah bukit yang bernama Zaghwan. Maka, berangkatlah ia ke
bukit itu dengan diiringi oleh sahabat beliau bernama bubuk Muhammad
Abdullah bin Salamah al Habibie. Dia yaitu seorang pemuda penduduk orisinil
Syadzilah yang memiliki ketaqwaan dan telah terbuka mata hatinya
(mukasyafah).
Di bukit itu, ia melaksanakan laiihan-latihan ruhani
dengan menerapkan disiplin diri yang tinggi. Setiap jengkal waktu,
Beliau gunakan untuk menempa ruhani dengan melaksanakan riyadhoh, mujahadah
dan menjalankan wirid-wirid sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru
beliau, asy Syekh Abdus Salam. Di bukit itu, ia melaksanakan uzlah dan
suluk dengan Tutorial menggladi nafsu sehingga benar-benar menjadi pribadi
yang cemerlang dan istiqomah yang diliputi dengan rasa khidmah dan
mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk kehidupannya, ia
bersama sahabat setianya, al Habibie, hanya mengambil tanaman yang ada
di sekitar bukit Zaghwan itu saja. Tetapi, sejak dia bermukim di
bukit itu, Allah SWT telah mengaruniakan sebuah mata air untuk memenuhi
keperluan beliau.
Pernah, pada suatu hari, beliau menyaksikan gusi
al Habibie terluka hingga mengeluarkan darah lantaran terkena ranting
dari dedaunan yang dimakannya. Melihat hal itu, Leliau menjadi terharu
karena sahabat yang setia mengiringinya harus mengalami kesakitan.
Segera saja, setelah itu, beliau mengajak al Habibie turun ke desa
Syadzilah untuk mencari makanan yang lunak. Dan sekiranya telah
tercukupi, maka ia berdua segera naik kembali ke bukit Zaghwan untuk
meneruskan “perjalanan”. Memang, semenjak beruzlah di bukit itu,
kadang-kadang dia berdua turun ke desa Syadzilah untuk banyak sekali
keperluan.
Berkaitan dengan pengalaman keruhanian, diceritakan oleh
al Habibie, bahwa pada suatu ketika dia pernah melihat dalam pandangan
mata batinnya, nampak segerombolan malaikat, ‘alaihimus sholatu was
salam, mengerumuni asy Syekh. Bahkan, lanjut al Habibie, “Sebagian dari
malaikat itu ada yang berjalan beriringan bersamaku dan ada pula yang
bercakap-cakap dengan saya.” Tidak jarang pula dilihat oleh al Habibie
arwah para waliyulloh yang secara berkelompok maupun sendiri-sendiri,
mendatangi dan mengerubuti asy Syekh. Para wali-wali itu,
rohimahumulloh, dikatakan oleh al Habibie, merasakan memperoleh berkah
lantaran kedekatan dan kebersamaan mereka dengan asy Syekh.
Sehubungan dengan nama desa Syadzilah, yang balasannya bertautan dengan
nama beliau, diceritakan oleh beliau, bahwa ia pada suatu ketika
dalam fana’nya, pernah mengemukakan sebuah pertanyaan kepada Allah SWT,
“Ya Robb, mengapa nama Syadzilah Engkau kaitkan dengan namaku ?” Maka,
dikatakan kepadaku, “Ya Ali, saya tidak menamakan engkau dengan nama asy
Syadzily, tetapi asy Syaadz-ly (penekanan kata pada “dz”) yang artinya
jarang (langka), yaitu karena keistimewaanmu dalam menyatu untuk
berkhidmat demi untukKu dan demi cinta kepada-Ku.”
dia tinggal di
bukit Zaghwan itu sampai bertahun-tahun, sampai pada suatu hari, ia
menerima perintah dari Allah SWT biar turun dari bukit dan keluar
dari tempat khalwatnya untuk segera mendatangi masyarakat.Diceritakan
oleh dia, begini, “Pada waktu itu telah dikatakan kepadaku, ‘Hai Ali,
turun dan datangilah manusia-manusia, biar mereka memperoleh manfaat
dari padamu !’ kemudian, akupun mengatakan, ‘Ya Allah, selamatkanlah diriku
dari insan banyak, karena saya tidak berkemampuan untuk bergaul dengan
mereka’. kemudian dikatakan kepadaku, ‘Turunlah, wahai Ali ! aku akan
mendampingimu dengan keselamatan dan akan aku singkirkan engkau dari
marabahaya’. aku katakan pula, ‘Ya Allah, Engkau serahkan diriku kepada
manusia-manusia, termasuk apa yang aku makan dan harta yang saya pakai ?’
Maka, dikatakan kepadaku, ‘Hendaklah engkau menafkahkan dan saya-lah
yang mengisi, pilihlah dari jurusan tunai ataukah jurusan ghaib.”‘
Setelah simpulan menjalani seakan-akan apa yang telah dipetakan oleh asy
Syekh Abdus Salam dan setelah mendapat perintah untuk keluar dari tempat
uzlahnya guna mendatangi masyarakat, maka beliau segera melanjutkan
perjalanannya sesuai dengan pemetaan berikutnya, yaitu menuju ke kota
Tunis.
Di Tunis
Bagi ia, kota Tunis tentu sudah tidak gila
lagi. lantaran sejak usia anak-anak hingga akil balig cukup akal dia bemukim di kota
ini hingga bertahun-tahun. Namun, seperti apa yang ia saksikan pada
saat kedatangan beliau kali ini, ternyata negeri ini tidak mengalami
banyak perubahan dan kemajuan. Masih tetap seolah-olah dulu. Penduduk negeri
ini tetap miskin dan sering dilanda kelaparan. Namun demikian, semenjak
kedatangannya, dia juga masih tetap berusaha untuk meringankan
penderitaan penduduk dalam menghadapi kelaparan. Alkisah, dalam usaha
Beliau menyampaikan sumbangan kepada mereka, ia sering didatangi
nabiyulloh Khidlir, ‘alaihissalam, guna membantu dia sekaligus untuk
menyelamatkan dia dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Hal ini
terjadi lantaran berkat kebesaran jiwa dan kesantunan dia.
Pada
saat itu, negeri Tunisia berada di bawah kekuasaan pemerintahan seorang
sultan atau raja yang bernama Sultan bubuk Zakariyya al Hafsi. Dalam
pemerintahan Sultan bubuk Zakariyya, di antara jajaran para menterinya ada
seorang kadi (hakim agama) yang berjulukan Ibnul Baro’. Dia yaitu seorang
faqih, namun di sisi lain dia juga mempunyai hati yang jelek.
Keserakahan untuk memiliki kedudukan, pengaruh, dan kekuasaan itulah
yang membuat nafsu iri dengkinya tumbuh subur di dalam hati Ibnul Baro’.
Dendam kesumat dan keinginan menjatuhkan orang lain pun semakin membara
dalam dadanya. Pikiran dan hatinya siang malam hanya tertuju bagaimana
cara mempertahankan dan memperkuat dampak dan jabatannya.
Asy
Syekh Abil Hasan datang ke Tunis selain untuk menapaki seakan-akan apa yang
telah dipetakan oleh guru beliau, juga lantaran memang mendapat perintah
untuk berdakwah. Setelah beberapa bulan beliau melaksanakan dakwah di kota
Tunis itu, maka kelihatanlah semakin banyak orang-orang berkerumun
mendatangi dia. Selain masyarakat kebanyakan yang hadir dalam
majelis-majelis pengajiannya, juga tidak sedikit orang-orang alim,
sholih dan ahli karomah yang turut serta mendengarkan dan menyimak
nasehat-nasehat beliau. Di antara mereka tampak, antara lain: asy Syekh
Abul Hasan Ali bin Makhluf asy Syadzily, abu Abdullah ash Shobuni, bubuk
Muhammad Abdul Aziz az Zaituni, abu Abdullah al Bajja’i al Khayyath, dan
abu Abdullah al Jarihi. Mereka semua merasakan kesejukan siraman rohani
yang luar biasa yang keluar dari kecemerlangan hati dan lisan nan suci
asy Syekh. Padahal, pada waktu itu beliau masih berumur sekitar 25
tahun.
Fenomena tersebut ditangkap oleh Ibnul Baro’ sebagai sebuah
pemandangan yang amat tidak mengenakkan perasaannya. eksistensi asy
Syekh di kota Tunis ini dianggap sebagai batu yang mengganggu bagi
dirinya. Setiap berita yang berkaitan dengan asy Syekh ditangkap oleh
telinga Ibnul Baro’ kemudian menyusup masuk ke relung hatinya yang telah
terbakar bara kebencian dan rasa iri dengki yang mendalam.
Demi
melihat kenyataan masyarakat semakin condong dan berebut mengerumuni asy
Syekh, seketika itu pula pudarlah khayalan-khayalan Ibnul Baro’. Timbul
prasangka buruk bahwa Syekh Abil Hasan telah merampas haknya, bahkan
besar kemungkinan jikalau pada balasannya nanti akan menumbangkan
kedudukannya serta mengambil alih jabatan yang amat dicintainya itu.
Oleh lantaran itu, dengan menepuk dada disertai sikap angkuhnya Ibnul
Baro’ mengumumkan pernyataan secara terang-terangan, bahwa dia telah
memaklumkan “perang” melawan asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily,
rodhiyallahu ‘anh.
Namun demikian meski bertahun-tahun mengalami
serangan dan fitnahan dari orang yang dengki kepada ia, tetapi yang
namanya intan yaitu tetap intan. beliau ialah seorang kekasih Allah
yang memiliki derajat kemuliaan yang tinggi. Dan apabila seorang
kekasih-Nya dianiaya oleh orang lain, maka Allah sendirilah yang akan
membalasnya. Itulah yang terjadi, sehingga akibatnya seluruh negeri
mengetahui kemulian asy Syekh Abil Hasan Syadzily, rodhiyallahu ‘anh.
Setelah itu, terbetik dalam hati asy Syekh untuk kembali menunaikan
ibadah haji. dia lalu menyerukan kepada para murid dan pengikutnya
agar mereka, untuk sementara waktu, hijrah atau berpindah ke negeri
sebelah timur, sambil menunggu datangnya musim haji yang pada waktu itu
masih kurang beberapa bulan lagi. Maka, segera bersiap-siaplah dia
dengan para pengikutnya untuk melakukan perj alanan jauh menuju ke
negeri Mesir.
Dalam perjalan ke Mesir tersebut masih tidak lepas
dari rekayasa fitnah Ibnul Baro’ sehingga Sultan mempermasalahkan
kehadiran ia di negeri Mesir. Tetapi Allah tetap memberikan
perlindungan-Nya, menujukkan bahwa asy Syekh yaitu kekasihnya dan
dengan kebesaran hati dan kehalusan kebijaksanaan pekerti ialah, akibatnya
Beliau bersedia memaafkan dan mendoakan Sultan hingga mereka semua
menganggap pertemuan mereka dengan asy Syekh ialah merupakan anugerah
Tuhan yang tiada terkira bagi mereka.
Namun, sebagaimana yang telah
direncanakan, asy Syekh tinggal di Mesir hanya untuk beberapa bulan
saja, hingga tibanya waktu animo haji. Setelah tiba pada dikalanya asy
Syekh pun mohon diri kepada Sultan untuk melanjutkan perjalanan menuju
ke tanah suci Mekkah. Ringkas kisah, di sana dia mengerjakan ibadah
haji sampai secukupnya, lalu ia melanjutkan perjalanan ke tanah suci
Madinah guna untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Setelah semuanya
itu final, maka kembalilah dia beserta rombongan ke negeri Tunisia.
Sewaktu asy Syekh kembali dari tanah suci, Sultan debu Zakariyya al
Hafsi beserta penduduk Tunis tampak bersukacita menyambut kedatangan
beliau. Rasa besar hati sulit mereka sembunyikan, lantaran asy Syekh yang
mereka cintai dan mereka hormati kini telah kembali berkumpul bersama
mereka lagi. Namun, suasana bangga ini tidak berlaku bagi Ibnul Baro’.
Bagi dia, kembalinya asy Syekh berarti merupakan sebuah “malapetaka” dan
mengambarkan dimulainya lagi sebuah “pertempuran”. Tetap seakan-akan dulu.
Dengan berbagai Cara dia selalu berusaha biar asy Syekh, yang merupakan
musuh bebuyutannya itu, secepatnya lenyap dari muka bumi ini. Namun,
alhamdulillah, semua upaya jahat itu selalu menemui kegagalan.
Kemudian, setelah beberapa hari sejak kedatangan dari tanah suci, asy
Syekh lalu melanjutkan perannya untuk mengajar dan berdakwah. Zawiyah
atau pondok pesulukan, sebagai bengkel rohani yang dia dirikan juga
kian diminati para ‘pejalan’. Dalam catatan sejarah, zawiyah pertama
yang asy Syekh dirikan di Tunisia ialah pads tahun 625 H./1228 M.,
ketika dia berusia sekitar 32 tahun. Di hari-hari berikutnya semakin
banyak orang-orang yang mendatangi dia, baik penduduk setempat maupun
orang-orang yang datang dari luar negeri Tunisia.
Di antara
murid-murid asy Syekh yang tiba dari luar negeri Tunisia; terdapat
seorang cowok yang berasal dari tempat Marsiyah, negeri Marokko, tidak
jauh dari kawasan tempat kelahiran asy Syekh sendiri, yang bernama abul
Abbas al Marsi. Pertemuan asy Syekh dengan cowok ini tampak benar-benar
merupakan sebuah pertemuan yang amat Istimewa, sampai-sampai pada suatu
hari asy Syekh berkata, “Aku tentu tidak akan ditakdirkan kembali ke
negeri Tunisia, kecuali lantaran pemuda ini. Dialah yang akan menjadi
pendampingku dan dia pulalah yang kelak akan menjadi khalifah
penggantiku.” menurut sebuah catatan, cowok al Marsi (al Mursi) ini
ketika masih berada di Maroko, pernah pula, walaupun tidak terlalu lama,
berguru secara pribadi kepada asy Syekh Abdus Salam sampai
meninggalnya ia tahun 622 H./ 1225 M.
Kembalinya asy Syekh ke
Tunis dari perjalanan hajinya kali ini hanyalah semata-mata untuk
melanjutkan peran mengajar dan berdakwah, seakan-akan yang telah
diperintahkan pada dikala beliau di gunung Barbathoh dan di bukit Zaghwan.
Semuanya itu beliau jalani sambil menanti datangnya “perintah”
selanjutnya untuk menapaki seolah-olah apa yang telah dipetakan oleh asy
Syekh Abdus Salam bin Masyisy. Pada ketika pemetaan, guru beliau itu
mengatakan bahwa setelah bermukim di negeri Tunisia ini, yaitu setelah
“dihajar” oleh penguasa negeri itu, maka dia kemudian harus
melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur.
Dalam hari-hari
penantiannya itu, pada suatu malam asy Syekh bermimpi bertemu Rasulullah
SAW. Waktu itu, Rasulullah berkata, “Ya Ali, sudah ketikanya kini engkau
meninggalkan negeri ini. kini pergilah engkau ke negeri Mesir.”
Kemudian Rosululloh melanjutkan, “Dan ketahuilah, wahai Ali, selama
dalam perjalananmu menuju ke Mesir, Allah akan menganugerahkan kepadamu
tujuh puluh macam karomah. Selain itu, di sana pula kelak engkau akan
mendidik empat puluh orang dari golongan shiddiqin.”
Makara, apabila
dicermati, ketika turunnya asy Syekh dari puncak gunung di padang
Barbathoh, Maroko, yang merupakan ‘langkah pertama’, adalah lantaran atas
perintah guru ia, asy Syekh Abdus Salam. Kemudian, pada waktu
turunnya beliau dari bukit Zaghwan di Syadzilah, sebagai ‘langkah ke
dua’, adalah lantaran perintah Allah SWT. Sedangkan, pada kali ini,
keluarnya asy Syekh dari Tunisia menuju Mesir, sebagai ‘langkah ke tiga’
atau langkah yang terakhir, merupakan perintah Rasulullah SAW.
Bermukim di Mesir
Beberapa hari asy Syekh dan rombongan melaksanakan perjalanan, tibalah asy
Syekh di negeri Mesir. beliau pribadi menuju ke kota Iskandaria, kota
indah yang selalu ia singgahi setiap perjalanan haji ia.
Alkisah, pads saat asy Syekh menginjakkan kaki di negeri Mesir, ketika itu
bertepatan tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban). Dan, karena takdir Allah
jualah, hari itu bersamaan dengan wafatnya asy Syekh debul Hajjaj al
Aqshory, rodhiyAllahu ‘anh, yang dikenal sebagai Quthubuz Zaman pada
waktu itu. Sehingga, di kemudian hari, oleh para ulama minash shiddiqin
Mesir, asy Syekh bubukl Hasan asy Syadzily diyakini semenjak hari itu juga
telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Wali Quthub menggantikan asy
Syekh abul Hajjaj al Agshory.
Kedatangan dia di kota Iskandaria
ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir maupun penduduk yang
sudah banyak mengenal dan mendengar nama ia. Tidak hanya orang-orang
dari abadngan biasa, tapi juga segenap ulama, para sholihin dan
shiddiqin, para jago hadits, hebat fiqih, dan insan-manusia yang sudah
mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum
kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa
sahlan ! ” Pertemuan mereka dengan asy Syekh tampak begitu akrab dan
hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah usang
terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya
para ulama besar minash sholihin di wilayah itu.
Oleh Sultan Mesir,
ia diberi hadiah sebuah tempat tinggal yang cukup luas berjulukan
Buruj as Sur. Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang
terletak di pesisir maritim Tengah. Kota Iskandaria (Alexandria) populer
sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di
komplek pemukiman ia itu terdapat tempat penyimpanan air dan
kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid
besar, dan di sebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah
(tempat tinggal para murid thoriqot untuk uzlah atau suluk).
Di
tempat itu pula asy Syekh melaksanakan pernikahan dan membangun perahu
rumah tangga beliau. Dari ijab kabul asy Syekh, lahirlah beberapa putra
dan keturunan beliau, di antaranya: asy Syekh Syahabuddin Ahmad, bubukl
Hasan Ali, abu Abdullah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan ‘Arifatul
Khair. Sebagian putra-putri dia itu setelah menikah kemudian menetap
di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi
tetap tinggal di Iskandaria menemani asy Syekh bersama ibunda mereka.
seakan-akan apa yang telah dia lakukan selama di Tunisia, di “negeri
para Ulama” ini pun asy Syekh juga tetap berdakwah dan mengajar. Asy
Syekh mengakibatkan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai sentra
dakwah dan pengembangan thoriqot dia pada tahun 642 H./ 1244 M.
Beliau kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang
menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu asy Syekh
menjalankan peran sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat
untuk membai’at murid-murid ia. Sedangkan di pecahan menara yang
lain, beliau pergunakan sebagai tempat untuk “menyalurkan hobby” beliau
selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun,
sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, ia juga mempunyai
aktifitas rutin mengajar.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama,
majelis-majelis pengajian dia dibanjiri pengunjung, baik dari
kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para
ulama besar dan terkemuka. Para orang-orang alim dan sholeh yang bertemu
dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajian dia, yang tiba
dari barat maupun timur, mereka semua merasa kagum dengan apa yang
disampaikan oleh asy Syekh. Bahkan, tidak hingga berhenti di situ saja.
Mereka kemudian juga berbai’at kepada asy Syekh sekaligus menyatakan
diri sebagai murid ia.
Dari formasi para ulama itu, terdapat
nama-nama agung, seakan-akan: Sulthonul ‘Ulama Sayyid asy Syekh ‘Izzuddin
bin Abdus Salam, asy Syaikhul Islami bi Mishral Makhrusah, asy Syekh al
Muhadditsiin al Hafidh Taqiyyuddin bin Daqiiqil ‘led, asy Syekh al
Muhadditsiin al Hafidh Abdul ‘Adhim al Mundziri, asy Syekh Ibnush
Sholah, asy Syekh Ibnul Haajib, asy Syekh Jamaluddin Ushfur, asy Syekh
Nabihuddin bin’Auf, asy Syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan al Alam Ibnu
Yasin (salah satu murid terkemuka al Imamul Akbar Sayyidisy Syekh
Muhyiddin Ibnul Arabi, rodhiyAllahu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.),
serta masih banyak lagi yang lainnya. Mereka semua hadir serta mengikuti
dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara
terpola oleh asy Syekh, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo,
tempat yang biasa dipergunakan asy Syekh untuk berdakwah adalah di
perguruan “Al Kamilah”.
Selain dakwah dan syiar ia melalui
majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin
berkembang dan mengalami kemajuan pesat, thoriqot yang beliau dakwahkan
pun semakin berkibar. Orang-orang yang datang untuk berbaiat dan
mengambil barokah thoriqot beliau datang dari segala penjuru dan
memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum
hingga para ulama, para pejabat hingga rakyat jelata. Zawiyah (pondok
pesulukan), sebagai wadah penempaan ruhani, yang ia dirikan pun kian
hari semakin dipadati oleh santri-santri ia.
Thoriqot yang asy
Syekh terima dari guru beliau, asy Syekh Abdus Salam bin Masyisy, dia
dakwahkan secara luas dan terbuka. Sebuah thoriqot yang mempunyai
karakter tasawuf ala Maghribiy, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan
warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam
pengamalannya tidak terlalu memberatkan. Dalam pandangan thoriqot ini,
segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat,
terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu
merupakan media yang mampu dipakai untuk “lari” kepadaAllah SWT.
Selain itu, thoriqot yang ia populerkan ini juga dikenal sebagai
thoriqot yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqam, wangsit
dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai
ke hadirat Allah SWT. Di samping itu, thoriqot ini juga populer dengan
keluasan, keindahan, dan kehalusan doa dan hizib-hizibnya.
Di
samping peran dia dalam syiar dan dakwah serta training ruhani bagi
para murid-muridnya, asy Syekh juga turut secara pribadi terjun dan
terlibat dalarn perjuangan di medan peperangan. Ketika itu, raja
Perancis Louis IX yang memimpin tentara salib bermaksud hendak membasmi
kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islam dan
menaklukkan seluruh jazirah Arab. Asy Syekh, yang kala itu sudah berusia
60 tahun lebih dan dalam keadaan sudah hilang pengelihatan,
meninggalkan rumah dan keluarga berangkat ke kota Al Manshurah. ia
bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujahidin dan tentara
Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki
kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan
mereka ke kota Al Manshurah.
Selain syekh abul Hasan, tidak sedikit
para ulama Mesir yang turut berjuang dalam bencana itu, antara lain:
al Imam syekh Izzuddin bin Abdus Salam, syekh Majduddin bin Taqiyyuddin
Ali bin Wahhab al Qusyairi, syekh Muhyiddin bin Suroqoh, dan syekh
Majduddin al Ikhmimi. Para shalihin dan ulama minash shiddiqin itu, di
waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran
bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islam.
Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam
kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allah SWT, dengan
melakukan sholat dan menengadahkan tangan untuk berdoa dan bermunajat
kepada “Sang Penguasa” semoga kamum muslimin memperoleh kemenangan.
Setelahh akhir mereka beristighotsah, di tengah kepekatan malam,
mereka kemudian mengkaji dan mendaras kitab-kitab, terutama yang dinilai
ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara
lain: Ihya Ulumuddin, Qutul Qulub, dan ar Risalah.
Dan,
alhamdulillah, lantaran anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu
dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan
bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum
berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam asy Syekh, dalam mimpi
beliau, bertemu dengan Rasulullah SAW. Pada waktu itu, Rasulullah SAW
berpesan kepada beliau supaya memperingatkan Sultan agar tidak
mengangkat pejabat-pejabat yang lalim dan korup. Dan Rasulullah
menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di
pihak kaum muslimin. Maka, pada pagi harinya asy Syekh pun mengabarkan
berita besar hati itu kepada sahabat-teman seperjuangan dia. Dan
kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, maka kemenangan
pun tiba menjelang. tragedi berjayanya kaum muslimin itu terjadi
pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu asy
Syekh kemudian kembali ke Iskandaria.
Wafatnya Asy Syekh Abil Hasan Asy Syadzily
Asy Syekh menjalankan dakwah dan mensyiarkan thoriqotnya di negeri
Mesir itu hingga pada bulan Syawal 656 H./1258 M. Pada awal bulan Dzul
Qa’dah tahun itu juga, terbetik di hati asy Syekh untuk kembali
menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu berpengaruh
mendorong hati beliau. Maka, kemudian diserukanlah kepada seluruh
keluarga ia dan sebagian murid asy Syekh untuk turut menyertai
beliau. Ketika itu asy Syekh juga memerintahkan agar rombongan membawa
pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa
agak aneh bagi para pengikut ia. Pada saat ada seseorang yang
menanyakan ihwal hal itu, asy Syekh pun menj awab, “Ya, siapa tahu di
antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”
Pada
hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar
itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al Mukarromah. Pada
saat perjalanan hingga di gurun ‘Idzaab, sebuah kawasan di tepi pantai
Laut Merah, tepatnya di desa Khumaitsaroh, yaitu antara Gana dan Quseir,
asy Syekh memberi arahan biar rombongan menghentikan perjalanan untuk
beristirahat. Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah
tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka
sejenak melepas penatnya, kemudian asy Syekh meminta semoga mereka semua
berkumpul di tenda asy Syekh.
Setelah para keluarga dan murid ia
berkumpul, lalu asy Syekh menyampaikan beberapa wejangan dan
wasiat-wasiat dia kepada mereka. Di antara wasiat yang ia
sampaikan, asy Syekh mengatakan, “Wahai bawah umurku, perintahkan kepada
putra-putramu biar mereka menghafalkan HIZIB BAHRI. karena, ketahuilah
bahwa di dalam hizib itu terkandung Ismullahil a’dhom, yaitu nama-nama
Allah Yang Maha Agung.”
Kemudian, setelah asy Syekh mengatakan
pesan-pesan dia itu, kemudian asy Syekh bersama dengan murid terkemuka
beliau, asy Syekh debul Abbas al Marsi, meninggalkan mereka ke suatu
tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak
terlalu usang, sepasang insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda
semula, di mana pada waktu itu seluruh keluarga dan para murid ia
masih menunggunya. Setelah asy Syekh kembali duduk bersama mereka lagi,
kemudian beliau berkata, “Wahai putera-puteraku dan sahabat-sahabatku,
apabila sewaktu-waktu saya meningg
0 Response to "Asy Syekh Abil Hasan Ali asy Syadzily"
Post a Comment