-->

Mencintai Ahlulbait dan teman Nabi

TerasDN - Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, salah satu kewajiban Umat Islam adalah mengasihi keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa’ yaitu Sayyidah Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan seluruh keturunannya (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi yang kemudian disebut dengan Ummahatul Mukminin (QS. Al-Ahzab: 6 ).
Kecintaan yang dimaksud dengan tetap berpedoman pada prinsip seimbang (tawazun), tengah-tengah (tawassuth), dan tegak lurus (i’tidal), serta tidak berlebih-lebihan. Menanamkan fanatisme buta kepada keluarga Nabi dapat menimbulkan citra negatif ihwal eksklusif mereka. Bahkan pada tingkat tertentu dengan tanpa disadari justru menistakan keluarga Nabi sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan penakut (taqiyyah). Padahal Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah dari sikap yang kotor dan tercela tersebut (QS. Al-Ahzab: 33). Apalagi telah maklum bagi seluruh umat Islam bahwa Sayyidina Ali itu dijuluki ”laitsu Bani Ghalib” hero yang tak terkalahkan dalam setiap pertempuran. Jadi, sangatlah tidak mungkin jikalau ia bersikap taqiyyah apalagi menganjurkannya.

Salah satu pola adalah sikap kelompok yang terlalu berlebihan kecintaannya kepada Sayyidina Ali. Dalam keyakinan mereka, ketika Sayyidina Ali tidak terpilih menjadi khalifah pertama oleh dominan sahabat, ia murka dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan mengembangkan caci maki, dan kelak di kiamat, orang-orang yang dianggap merampas jabatannya akan dihidupkan kembali untuk dipukuli, disiksa, disalib dan dikeroyok oleh Sayyidina Ali beserta para putra dan pengikutnya untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar semenjak lama, sebagaimana dalam i’tiqad adanya raj’ah.

akidah ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada Sayyidina Ali. Namun imbas yang diakibatkan cukup merisaukan, karena menggambarkan potret buram keluarga Nabi yang suci dengan gambaran orang-orang yang selalu menyimpan dendam kesumat, asing jabatan, dan tidak berperikemanusiaan.

Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal itu mustahil terjadi pada keluarga Nabi Muhammad. Memang sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian keluarga dan para temannya, tetapi hal tersebut tidak hingga pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang zaman. Allah sendiri telah memberikan jaminan-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ. (الاية) الفتح

:29.

”Muhammad itu ialah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia yaitu bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi senantiasa memelihara kasih sayang diantara sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29).

Keyakinan ini bukan sekedar isapan jempol semata, tetapi didasarkan pada fakta sejarah, dari aneka macam literatur baik dari sumber Ahlussunnah maupun Syi’ah yang menyatakan bahwa di antara Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad ada kemesraan yang terjalin, saling menyayangi karena Allah, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Di antaranya adalah pernyataan Sayyidina abu bakar perihal kecintaan dia kepada keluarga Nabi:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا .قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي. (صحيح البخاري، رقم 3730).

“Dari ‘Aisyah R.A., bahu-membahu abu bakar berkata, “Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih saya cintai dari pada keluargaku sendiri. (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3730).

Sayyidina Umar juga merupakan salah seorang teman yang selalu memperhatikan dan memuliakan keluarga Nabi. Simak hadits berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَطَبَنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ أَقْضَانَا وَأُبَيٌّ أَقْرَؤُنَا (صحيح البخاري، 4121).

“Dari Ibn Abbas, ia bercerita, “Sayyidina Umar pernah berkhutbah , Ia berkata, “Sayyidina Alirkepada kami di atas mimbar Rasulullah yaitu orang yang paling hebat di bidang hukum, dan Ubay adalah orang yang paling fasih bacaannya.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 4121) .

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ صَلَّى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْعَصْرَ ثُمَّ خَرَجَ يَمْشِي فَرَأَى الْحَسَنَ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَحَمَلَهُ عَلَى عَاتِقِهِ وَقَالَ بِأَبِي شَبِيهٌ بِالنَّبِيِّ لا شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ (صحيح البخاري، 3278).

”Dari Uqbah bin Harits ia berkata, ”Suatu ketika debu Bakar melaksanakan shalat Ashar. sesudah itu berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan bawah umur sebaya. bubuk kolamar kemudian menggendongnya seraya berkata, ”Sungguh, anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak menyerupai Ali”. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3278).

Senda gurau tersebut tidak mungkin terjadi kalau di antara keduanya ada permusuhan. Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para teman Nabi Muhammad itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagaimana tergambarkan dalam ungkapan Sayyidina Ali:

عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لأَبِي أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ أَقُولَ ثُمَّ مَنْ فَيَقُولَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَةِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ (سنن ابي داود، 4013).

”Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata, “Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib), ”Siapakah insan paling mulia sesudah Rasulullah?”, Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina debu kolamar”. saya bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?” Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina .”. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi,tUmar bin Khattab ”Kemudian siapa lagi?”, Sayyidina Ali menjawab, ” Sayyidina Utsman bin Affan.” lalu aku berkata, ”Kemudian Engkau wahai ayahku.” Sayyidina Ali menjawab (seraya merendahkan diri), ”Tidak, aku hanya seorang pria biasa seolah-olah muslim lainnya.”(Sunan Abi Dawud, nomor hadits. 4013).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ وُضِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَيْنَ الْمِنْبَرِ وَالْقَبْرِ فَجَاءَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى قَامَ بَيْنَ يَدَيْ الصُّفُوفِ فَقَالَ هُوَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْكَ مَا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَلْقَاهُ بِصَحِيفَتِهِ بَعْدَ صَحِيفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ ثَوْبُهُ (مسند أحمد، 823).

“Dari Ibn Umar ia berkata, “Ketika mayat Sayyidina Umar diletakkan di antara minbar dan makam Rasulullah, Sayyidina Ali tiba dan bangkit di shaf terdepan, seraya mengatakan, “Inilah orangnya, inilah orangnya, inilah orangnya. Mudah-mudahan Allah menyampaikan rahmat-Nya kepadamu. Tidak seorangpun hamba Allah SWT yang paling saya cintai untuk bertemu Allah (dengan membawa buku catatan yang baik), sesudah buku catatan Nabi, selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Musnad Ahmad, nomor hadits. 823).

Ada beberapa hal yang mampu dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali ini. Pertama, penghormatan Sayyidina Ali yang begitu tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum dia. Tidak ada rasa dendam atau merasa tersaingi dan didholimi. Kedua, kerendahan hati sayyidina Ali. Dalam kapasitas ia sebagai Ahlul Bait, tidak ada perasaan lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan, ”Aku hanya seorang laki-laki biasa seakan-akan muslim lainnya”. Ketiga, mustahil ia melaksanakan taqiyyah (pura-pura) dalam ucapannya itu, alasannya adalah kebanggaan Sayyidina Ali diungkapkan pada dikala orang yang disanjung itu telah meninggal dunia (hadits riwayat Ahmad), bahkan ketika dia sedang menjadi khalifah seperti dalam hadits riwayat bubuk Daud di atas. Data seperti tersebut di atas tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab Ahlussunnah tetapi dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab Syi’ah, misalnya dalam kitab Talkhis Asy-Syafi (Juz. II, Hal. 48), Asy-Syafi (hal. 428), dan lain-lain.



Dalam riwayat lain juga disebutkan:

عَنْ جَمِيْعِ بْنِ عُمَيْرَ التَّيْمِي قَالَ: دَخَلْتُ وَمَعِي عَمَّتِي عَلَى عَا ئِشَةَ فَسَأَلْتُ: أَيُّ النَّاسِ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ فَاطِمَةُ فَقِيْلَ: مَنِ الرِّجَالُ؟ فَقَالَتْ: زَوْجُهَا إِنْ كَانَ مَاعَلِمْتُ صَوَّاماً قَوَّا ماً (رواه الترمذي).

“Jami’ bin Umair al-Taymi berkata, Suatu dikala aku bersama bibiku menemui ‘Aisyah dan saya bertanya kepada beliau: Siapakah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah, Sayyidah ‘Aisyah menjawab: ialah Fatimah: ditanyakan lagi kepada ia, kalau dari kalangan pria? Jawab Sayyidah ‘Aisyah: Ialah suaminya (Sayyidina Ali) karena aku tahu dia itu rajin berpuasa dan sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab.” (HR. Tirmidzi, nomor hadits 3873).

Mungkinkah Sayyidah ‘Aisyah menyampaikan hadits tersebut bila di lubuk hatinya ada dendam dan iri hati? Jawabnya: Tentu tidak mungkin, lantaran hadits tersebut menginformasikan keutamaan Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah.

Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan persaudaraan itu berlangsung terus hingga anak keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang mendalam di antara para sahabat dengan keluarga Nabi Muhammad tidak cukup dengan pernyataan semata, tetapi hingga pada pembuktian yang nyata seakan-akan memberikan nama putra mereka dengan nama para teman besar itu. misalnya Sayyidina Ali di antara 33 putra putri dia ada yang diberi nama dengan bubuk kolamar, Umar dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 9). Sayyidina Hasan memberi nama debu bakar dan Umar diantara 14 putra-putrinya. Sayyidina Husain juga memberi nama bubuk kolamar dan Umar diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali baitin Nabi). Imam Ali Zainal Abidin menunjukkan kecintaannya kepada para teman Nabi juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar. Begitu pula Imam Musa al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan nama debu bakar (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 217), Imam Ali al-Ridla memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah juga memberit(Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah. (Al-Fushuulul Muhimmah, hal. 238).

Siapapun tahu bahwa orang yang menyampaikan nama pada putra-putrinya, tentu menentukan nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah impian semoga anak yang dimaksud dapat meneladani dan mempunyai kualitas individu sebagaimana orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah melindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad dari berbagai penyakit hati.

Isteri Sayyidina Husain yang berjulukan Syahrbanu yaitu puteri dari Yazdajird, raja terakhir dari kerajaan Persia. Semula beliau yaitu tawanan perang bersama dayang-dayang kerajaan yang diboyong ke Madinah. Kemudian dia dihadapkan kepada Sayyidina Umar bin al-Khaththab. Semua orang mengira bahwa dia akan dinikahi oleh Sayyidina Umar bin sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putratal-Khaththab ia sendiri, Abdullah bin Umar. Akan tetapi di luar dugaan justru Sayyidina Umar menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina Husain sembari berkata:

يَا أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.

“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina Husain)! akad nikah engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik manusia di atas bumi.”

Maka kemudian puteri Yazdajird tersebut dinikahi oleh Sayyidina Husain, dari akad nikah ini lahir seorang putra berjulukan Ali bin Husain yang dikenal dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal. 466-467). Riwayat tersebut di atas tampak jelas bahwa Sayyidina Umar sangat menghormati dan mencintai Sayyidina Husain baik dengan ucapan maupun tindakan.

Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para teman dan keluarga Nabi Muhammad tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan ijab kabul dan perbesanan. contohnya Sayyidina Umar menikah dengan Ummi Kultsum putri Sayyidina Ali. (Al-Kafi, juz. 5, hal. 346). Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan. menikah dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz. IV, hal. 114 dan 120) (Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Utsman adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li al-Mas’udi, juz. 2, hal. 340). Dengan demikian di tubuh Sayyidina Utsman juga mengalir darah Bani Hasyim.

Imam Muhammad al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far al-Shadiq menikah dengan cucu Sayyidina debu Bakar, ialah Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin abu kolamar Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah Asma’ binti tAbdurrahman bin debu bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah (Al-Kafi, juz. I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far menyatakan:tal-Shadiq

وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ (ابن عنبة, عمدة الطالب : 195)

“Abu kolamar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya).” (Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib, hal. 195).

Jadi sangat tidak masuk budi bila Imam Ja’far al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul karimah. Simaklah baik-baik apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far al-Shadiq kepada muridnya yang berjulukan Salim bin Abi Hafshah:

عَنْ سَالِمْ بنُ أَبِي حَفْصَه, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ. وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ عَلِيٍّ شَيْئًا, إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ الاَلْمَاسِ, ص 97).

“Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki kakeknya sendiri? bubuk tentu akutBakar ialah kakekku, jikalau aku mengharapkan syafaat dari Ali mengharapkan syafaat yang sama dari abu kolamar. ” (Uqud Al-Almas, hal. 97).

menikah dengan Asma’ binti UmaistLast but not least, Sayyidina Ali (janda Sayyidina abu kolamar) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binti Umais tersebut yaitu perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah selama sakit di akibat hayatnya, padahal Asma’ binti Umais tersebut pada waktu itu masih menjadi istrinya debu Bakar (Al-Amali, juz. I, hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais adalah orang yang turut memandikan mayat Sayyidah Fathimah (Kasyful Ghummah, juz. I, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah berwasiat semoga Asma’ binti Umais turut mengkafani dan mengantarkan mayat Sayyidah Fathimah, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut (Jila’ul Uyun, hal. 235 dan 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin debu kolamar sebagai suaminya. karena, seorang istri yang shalehah, mustahil keluar rumah tanpa izin sang suami. kalau Asma’ bukan perempuan yang shalehah, tentu sayyidina Ali tidak kolamal menikahinya.

Fakta-fakta tersebut di atas menambah keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Sayyidina Ali tidak ada masalah dengan Sayyidina abu kolamar, bahkan Sayyidina Ali semenjak awal turut membai’at Sayyidina bubuk kolamar sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, juz. VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil, juz. II, hal. 220). Dengan demikian antara Sayyidina Ali dan Sayyidina debu bakar pada hakikatnya di antara keduanya terjalin tautan kasih dan tambatan sayang yang kokoh kolam karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan sayyidina Umar, sayyidina Utsman dan para sahabat lainnya. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad dalam membimbing keluarga dan para temannya.

Sejatinya, kalau dipikirkan dengan sederhana semua umat Islam mengetahui bahwa Sayyidina Abu kolamar dan Sayyidina Umar ialah mertua dari Rasulullah. Sayyidah ’Aisyah binti bubuk bakar dan Sayyidah Hafshah binti Umar dinikahi Rasulullah. Sementara Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah Ummu Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman secara berurutan. Sedangkan Sayyidah Fatimah ialah isteri Sayyidina Ali. Nabi tentu tidak salah dalam memilih mertua dan menantu karena beliau terjaga dari berbuat kesalahan (ma’shum).

jika kita benar-benar menyayangi Ahlul Bait dan sahabat Nabi Muhammad, tentu kita wajib mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka. Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad, yang bersih hati dan lidahnya, mereka jauh dari hal-hal yang mengotorinya, semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki. Semua itu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api. Walaupun di sisi lain tanpa harus menumbuhkan fanatisme buta yang berujung pada kultus yang dihentikan agama. Begitu pula sebaliknya, sikap anti pati, memusuhi apalagi mengkafirkan generasi terbaik Islam itu harus dijauhkan dari dalam dada kita.

Inilah cerminan sikap tawassuth, tawazun dan i’tidal golongan Aswaja kepada keluarga dan sahabat Nabi

0 Response to "Mencintai Ahlulbait dan teman Nabi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel