-->

Kaum Salaf Dalam Menghadapi Fitnah (Godaan) Wanita

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxMSEhITEhIVFRUVFhUXFhUWGBUVFRYVFhUWFxUXFRUYHSggGBolGxUVITEhJSkrLi Kaum Salaf Dalam Menghadapi Fitnah (Godaan) Wanita
Kaum Salaf Dalam Menghadapi Fitnah (Godaan) Wanita
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan wacana kaum salaf dalam menghadapi fitnah (godaan wanita), semoga Allah menjadikan penyusunan risalah ini nrimo karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Pengantar
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ»
“Aku tidak meninggalkan setelahku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada wanita.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ»
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allah telah menjadikanmu sebagai khalifah di sana, Dia akan melihat amal yang kau kerjakan. Oleh lantaran itu, berhati-hatilah terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, lantaran fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil yaitu fitnah wanita.” (Hr. Muslim)
Kaum Salaf Dalam Menghadapi Fitnah (Godaan) Wanita
Dari Asy’ats bin Salim, ia berkata, “Aku mendengar Raja bin Haiwah, dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata, “Kalian diuji dengan fitnah kesusahan, dan kalian bisa bersabar. Namun kalian akan diuji dengan fitnah kesenangan, dan yang paling saya takuti menimpa kalian yaitu fitnah perempuan ketika mereka mengenakan gelang emas, menggunakan pakaian tipis dari Syam dan Yaman, sehingga mereka menciptakan repot suaminya yang kaya dan membebani suaminya yang miskin dengan sesuatu yang tidak bisa dibelinya.” (Shifatush Shafwah 1/497)
Dari Ali bin Zaid, dari Sa’id bin Musayyib ia berkata, “Setiap kali setan frustasi menghadapi manusia, maka ia menggunakan godaan wanita.”
Beliau juga berkata pada ketika berusia 84 tahun, sementara matanya yang satu buta, sedangkan yang satu lagi rabun, “Menurutku, tidak ada sesuatu yang lebih saya khawatirkan daripada fitnah wanita.” (Shifatush Shafwah 2/80) 
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hasan Al Bahiliy, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid ia berkata, “Yunus bin Ubaid berkata, “Ada tiga kasus yang perlu kalian ingat dariku, yaitu: janganlah salah seorang di antara kau menemui penguasa meskipun untuk mengajarkan Al Qur’an kepadanya, janganlah kamu  berduaan dengan perempuan meskipun untuk mengajarkan Al Qur’an kepadanya, dan janganlah kau membiarkan telingamu menyimak perkataan orang yang mengutamakan hawa nafsu.” (Siyar A’lamin Nubala 6/293)
Abbas Ad Duri berkata, “Sebagian kawan-kawan kami berkata, “Sufyan Ats Tsauri sering sekali melantunkan dua bait syair ini,
تَفْنَى اللَّذَاذَةُ مِمَّنْ نَالَ صَفْوَتَهَا ... مِنَ الْحَرَامِ وَيَبْقَى الْوِزْرُ وَالْعَارُ
تَبْقَى عَوَاقِبُ سُوْءٍ فِي مَغَبَّتِهَا ... لاَ خَيْرَ فِي لَذَّةِ مِنْ بَعْدِهَا النَّارُ
Kelezatan-kelezatan yang diperoleh dari yang haram akan sirna, dan tinggallah dosa dan aib
Segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, dan tidak ada kebaikan yang berujung ke neraka.
Al Husain bin Muthair berkata,
وَنَفْسَكَ أَكْرِمْ عَنْ أُمُوْرٍ كَثِيْرَةٍ ... فَمَا لَكَ نَفْسٌ بَعْدَهَا تَسْتَعِيْرُهَا
وَلاَ تَقْرَبِ الْمَرْعَى الْحَرَامَ فَإِنَّمَا ... حَلاَوَتُهُ تَفْنَى وَيَبْقَى مَرِيْرُهَا
Muliakanlah dirimu dalam banyak sekali urusan
Karena apabila telah binasa, engkau tidak akan mempunyai jiwa lagi yang bisa engkau pinjam
Jangan dekati daerah gembalaan yang haram, lantaran kenikmatannya akan sirna, dan yang tersisa hanya pahitnya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Masa muda yang sesungguhnya yaitu meninggalkan hawa nafsu untuk menjaga dari apa yang ia khawatirkan.” (Raudhatul Muhibbin karya Ibnul Qayyim 1/330)
Muhammad bin Ishaq berkata, “Sirriy bin Dinar pernah melewati jalanan di Mesir. Di sana tinggal seorang perempuan manis yang amat menarik hati lantaran kecantikannya, kemudian perempuan itu tahu wacana Sirri bin Dinar dan berkata, “Aku akan menggodanya.” Maka perempuan itu mendatangi pintu daerah tinggal Sirri dan masuk ke dalam sambil membuka wajah dan memperlihatkan dirinya.” Beliau pun bertanya, “Ada apa denganmu?” Wanita itu menjawab, “Maukah engkau berada di kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?” Sirri pun menghadap kepada perempuan itu dan berkata,
Betapa banyak pecandu maksiat yang mereguk kenikmatan dari para wanita
Namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk mencicipi siksaan yang nyata
Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat
Sementara kesannya tak kunjung sirna
Wahai perempuan jalang, sungguh Allah Maha Melihat dan Mendengar hamba-Nya
Dengan kehendak-Nya pulalah kemaksiatan tertutupi juga.
(Raudhatul Muhibbin karya Ibnul Qayyim 1/339)
Ketakwaan Ubaid bin Umair
Abul Faraj dan lainnya menceritakan, bahwa ada seorang perempuan manis di Mekah. Ia sudah bersuami. Suatu hari ia melihat dirinya di cermin, kemudian berkata kepada suaminya, “Apakah menurutmu ada seorang yang melihat wajah ini kemudian tidak tergoda?”
Sang suami menjawab, “Ya.”
“Siapa dia,” tanya si istri.
Suaminya menjawab, “Ubaid bin Umair.”
Istrinya berkata, “Izinkan saya untuk menggodanya.”
“Silahkan, saya telah mengizinkanmu,” jawab suaminya.
Maka perempuan ini mendatangi Ubaid seperti hendak meminta fatwa. Beliau membawanya ke ujung Masjidilharam, kemudian perempuan ini menyingkap wajahnya seperti menyerupai belahan rembulan. Lalu Ubaid berkata, “Wahai hamba Allah, tutuplah wajahmu!” Wanita itu menjawab, “Aku sudah terpengaruhi olehmu.”
Ubaid berkata, “Kalau begitu, saya ingin bertanya kepadamu wacana sesuatu. Jika engkau menjawabnya dengan jujur, maka saya akan mempertimbangkan keinginanmu.”
Ia menjawab, “Saya akan menjawab setiap pertanyaanmu dengan jujur.”
Ubaid berkata, “Katakan kepadaku, seandainya kini malaikat ajal tiba kepadamu untuk mencabut nyawamu, apakah kau mau jikalau saya memenuhi keinginanmu?”
Ia menjawab, “Tentu tidak.”
Beliau berkata, “Engkau telah menjawabnya dengan jujur.”
Beliau bertanya lagi, “Seandainya engkau telah masuk kubur dan berkemas-kemas untuk ditanya, apakah kau mau jikalau kini saya memenuhi keinginanmu?”
Ia menjawab, “Tentu tidak.”
Beliau berkata, “Engkau telah menjawabnya dengan jujur.”
Beliau bertanya lagi, “Seandainya catatan amal akan diberikan kepada manusia, dan kau tidak tahu apakah kau akan mengambilnya dengan tangan kananmu atau dengan  tangan kirimu, apakah kau mau jikalau saya memenuhi keinginanmu?”
Ia menjawab, “Tentu tidak.”
Beliau berkata, “Engkau telah menjawabnya dengan jujur.”
Beliau bertanya lagi, “Seandainya engkau akan melintasi shirat, dan engkau tidak tahu apakah kau akan selamat atau binasa, apakah kau mau jikalau saya memenuhi keinginanmu?”
Ia menjawab, “Tentu tidak.”
Beliau berkata, “Engkau telah menjawabnya dengan jujur.”
Beliau bertanya lagi, “Seandainya timbangan amal dihadirkan, dan dirimu di hadapkan kepadanya; engkau juga tidak tahu apakah timbangan kebaikanmu ringan atau berat, apakah kau mau jikalau saya memenuhi keinginanmu?”
Ia menjawab, “Tentu tidak.”
Beliau berkata, “Engkau telah menjawabnya dengan jujur.”
Beliau bertanya lagi, “Apabila engkau bangun di hadapan Allah untuk dimintai pertanggung-jawaban, apakah engkau tetap mau jikalau saya memenuhi keinginanmu?”
Ia menjawab, “Tentu tidak.”
Beliau berkata, “Engkau telah menjawabnya dengan jujur. Oleh lantaran itu, bertakwalah kepada Allah, kaena Dia telah mengaruniakan kepadamu nikmat itu dan telah berbuat baik kepadamu.”
Maka si perempuan ini pun kembali kepada suaminya, kemudian suaminya berkata, “Apa yang telah engkau lakukan?” Ia menjawab, “Sungguh, engkau ini pengangguran (malas beribadah), dan kita ini semua pengangguran.” Maka mulai ketika itu, perempuan ini rajin shalat, berpuasa, dan beribadah.”
Ketika itu suaminya sempat berkata, “Apa yang terjadi antara diriku dengan Ubaid bin Umair. Ia telah merubah istriku. Dahulu, setiap malam ia menyerupai pengantin, namun Ubaid merubahnya menjadi rahib (ahli ibadah)?!”
(Raudhatul Muhibbin hal. 340)
Tips Ibnul Qayyim dalam menundukkan pandangan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mata sebagai cermin bagi hati. Jika seorang hamba bisa menundukkan pandangan, maka hatinya akan bisa menundukkan syahwat dan keinginannya. Tetapi jikalau ia melepas begitu saja pandangannya, maka hatinya akan melepas pula syahwatnya.”
Ia juga menyatakan, “Dalam hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ»
“Sesungguhnya Allah telah tetapkan kepada anak cucu Adam kepingan yang akan menimpanya dari zina, ia niscaya akan mengenainya. Zina mata yaitu dengan melihat, dan zina lisan yaitu dengan menyebut, jiwa dengan berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan farji yang membenarkan hal itu dan mendustakannya.” (Hr. Bukhari dan Muslim, lafaz hadits ini bukan lafaz yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin)
Beliau memulai dengan zina mata, lantaran ia merupakan asal zina pada tangan, kaki, hati, dan farji. Beliau juga mengingatkan wacana zina lisan yang menjadikan zina mulut, yaitu dengan mencium, dan Beliau menjadikan farji yang membenarkan hal itu jikalau ia melakukannya, atau mendustakannya jikalau ia tidak melaksanakan hal itu.
Hadits di atas juga merupakan klarifikasi yang sangat gamblang, bahwa mata bermaksiat lantaran melihat, dan bahwa itulah zinanya. Dalam hadits tersebut juga terdapat bantahan terhadap mereka yang beropini bolehnya melepas pandangan secara mutlak. Padahal telah sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda, “Wahai Ali janganlah engkau iringi pandangan pertama dengan pandangan kedua, lantaran milikmu yang pertama; bukan yang kedua.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani)
Timbul persoalan, “Apa pendapat para alim ulama wacana seorang yang memandang sekali wanita, kemudian timbul rasa cinta dalam hatinya dan asmaranya semakin menggelora, di samping itu hatinya berkata, “Ini semua disebabkan pandangan pertama, kalau sekiranya engkau memandang lagi, tentu bekasnya tidak separah menyerupai yang pertama dan engkau akan merasa puas dengannya, maka bolehkah baginya memandang kedua kalinya lantaran tujuan ini?”
Jawab: Alhamdulillah, hal ini tetap dihentikan lantaran sepuluh alasan berikut:
Pertama, bahwa Allah menyuruhnya untuk menundukkan pandangan, dan Dia tidak menjadikan obat penawar hati dengan sesuatu yang diharamkan-Nya kepada hamba-Nya. 
Kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya wacana pandangan secara tiba-tiba, padahal Beliau tahu bahwa hal itu pribadi kuat di hati, namun Beliau menyuruh mengobatinya dengan memalingkan pandangan, tidak dengan meneruskan pandangan.
Ketiga, Beliau juga menerangkan, bahwa pandangan pertama memang untuknya, namun pandangan kedua dihentikan baginya. Tidak mungkin yang dihalalkan yaitu penyakit, sedangkan yang diharamkan malah menjadi obatnya.
Keempat, yang jelas, bahwa pandangan kedua tidaklah mengurangi gejolak syahwat, bahkan pengalaman mengambarkan demikian, bahkan sebetulnya keadaannya sama menyerupai pandangan pertama, maka mustahil mengambil resiko dengan mengulangi pandangan berikutnya.
Kelima, boleh jadi, dengan mengulangi pandangan dilihatnya sesuatu yang lebih berbahaya lagi baginya, sehingga penderitaannya pun bertambah.
Keenam, Iblis yang mempermainkan perasaannya semoga ia mengulangi dengan pandangan kedua, ia menghiasi perbuatan tersebut dengan citra yang baik, semoga bencananya semakin sempurna.
Ketujuh,  orang semacam ini tidak akan ditolong dari peristiwa ini jikalau ia meninggalkan perintah-perintah Allah dan mengobati dirinya dengan mengerjakan larangan-larangan-Nya. Bahkan orang yang demikian tidak layak mendapat pertolongan.
Kedelapan,  pandangan pertama merupakan panah beracun di antara panah-panah Iblis, maka sudah menjadi maklum, bahwa pandangan kedua tentu lebih beracun, dan bagaimana mungkin berobat dari racun dengan racun?
Kesembilan, sesungguhnya orang itu sedang bekerjasama kepada Allah Azza wa Jalla dalam meninggalkan apa yang disukai hawa nafsunya berdasarkan asumsi dirinya. Dengan pandangan kedua, ia bermaksud semoga semakin terang baginya keadaan perempuan yang dilihatnya. Apabila tidak disukainya, maka ia tinggalkan, sehingga meninggalkan hal itu bukan lantaran Allah, tetapi lantaran tidak sesuai hawa nafsunya, maka di mana letak bekerjasama kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggalkan sesuatu yang disukainya lantaran Allah Taala?
Kesepuluh, kasus ini akan semakin terang dengan memperlihatkan pola yang sesuai dengan keadaan tersebut, yaitu:
Jika engkau menaiki kuda yang gres yang melewati gang yang buntu dan mustahil berputar kembali untuk keluar. Ketika kuda itu ingin masuk, maka tahanlah semoga tidak masuk. Jika ia akan masuk selangkah atau dua langkah, maka berteriaklah dan tariklah ke belakang segera sebelum kuda itu masuk. Jika engkau segera menarik ke belakang, maka urusannya akan semakin mudah, namun jikalau engkau lambat sehingga kuda pun masuk ditambah engkau menggiringnya ke dalam, kemudian engkau menarik ekornya, maka tentu hal itu sulit bagimu dan engkau akan kesulitan keluar darinya. Maka adakah orang yang pandai menyatakan, bahwa jalan keluarnya yaitu membawanya terus masuk?! Demikian pula pandangan, jikalau telah membekas di hati, maka jikalau orang yang bertekad kuat ingin memberantas hal yang merusak hatinya semenjak dini, maka pengobatannya akan mudah, namun jikalau ia mengulang-ulang pandangannya dan menelusuri lebih lanjut wacana kecantikannya, kemudian memasukkanya ke hati yang kosong, hingga terpatri di sana, maka kecintaan pun semakin mendalam.
Pandangan yang satu ketika diiringi dengan pandangan berikutnya menyerupai air yang menyiram pepohonan, sehingga pohon cinta akan terus berkembang dan merusak hatinya, serta disibukkan dengannya hingga berpaling dari fikiran yang diperintahkan, pelakunya pun jatuh ke dalam banyak sekali cobaan, membuatnya jatuh ke dalam larangan dan fitnah, serta menjatuhkan hati ke jurang kebinasaan. Hal itu disebabkan ketika hati merasa nyaman dengan pandangan pertama kali, kemudian menuntut kembali, menyerupai memakan makanan yang yummy ketika pertama kali menyantapnya. Kalau sekiranya ia pertama kali menundukkan pandangan, tentu hatinya sanggup beristirahat dan sanggup selamat. Cobalah perhatikan hadits berikut,
النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُومٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ
“Pandangan yaitu panah beracun di antara panah-panah Iblis.” (Hr. Hakim dalam Al Mustadrak 4/314, namun didhaifkan oleh Adz Dzahabi lantaran dalam sanadnya ada Ishaq bin Abdul Wahid Al Qurasyi dan Abdurrahman Al Wasithi. Al Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani, di dalam sanadnya terdapat Abdurrahman bin Ishaq Al Wasithi, ia seorang yang dhaif.”)
Hal itu, lantaran pandangan itu biasanya mengalir ke dalam hati, kemudian bekerja di sana menyerupai racun yang merasuk ke dalam hati orang yang teracuni, ia harus segera mencabut dan mengeluarkannya, jikalau tidak, maka racun itu akan membunuhnya.” (Lihat Raudhatul Muhibbin karya Ibnul Qayyim hal. 92-95)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Dalam menundukkan pandangan terdapat beberapa faedah, di antaranya: membebasan hati dari rasa sakit lantaran penyesalan, lantaran siapa saja yang melepas pandangannya, maka akan terus mencicipi penyesalan. Oleh lantaran itu, sesuatu yang paling berbahaya bagi hati yaitu melepaskan pandangannya secara liar, dimana hal tersebut membuatnya semakin kuat mengejarnya, ia tidak bisa menahan dirinya, dan tidak pula bisa mencapainya. Hal itu merupakan puncak penderitaan dan siksa.
Al Ashma’i berkata, “Aku pernah melihat seorang gadis pada ketika thawaf seperti ia menyerupai matahari, saya pun memperhatikannya dan memuaskan hatiku dengan kecantikannya, kemudian ia berkata, “Wahai fulan, apa gerangan yang kau lakukan? Aku menjawab, “Apa ruginya jikalau Anda dilihat.” Maka gadis itu pun berkata,
وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَائِدًا ... لِقَلْبِكَ يَوْمًا أَتْعَبَتْكَ الْمَنَاظِرُ
رَأَيْتَ الَّذِي لاَ كُلَّهُ أَنْتَ قَادِرٌ ... عَلَيْهِ وَلاَ عَنْ بَعْضِهِ أَنْتَ صَابِرٌ
Kapan saja engkau lepaskan pandanganmu menuruti hasrat hatimu, maka pemandangan yang lain akan menyusahkanmu
Engkau juga akan menyaksikan sesuatu yang engkau tidak akan sanggup memilikinya, dan tidak bisa bersabar terhadap sebagian yang engkau pandang itu
Pandangan akan berbuat di dalam hati menyerupai panah terhadap sasarannya. Jika panah itu tidak membunuhnya, maka minimal ia melukainya. Ia menyerupai percikan kecil api yang dilemparkan ke rerumputan yang kering. Jika api itu tidak mengkremasi seluruhnya, minimal mengkremasi sebagiannya. Dalam syair diungkapkan,
كُلُّ الْحَوَادِثِ مَبْدَاهَا مِنَ النَّظَرِ ... وَمُعْظَمُ النَّارِ مِنْ مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ
كَمْ نَظْرَةً فَتَكَتْ فِي قَلْبِ صَاحِبِهَا ... فَتْكَ السِّهَامِ بِلاَ قَوْسٍ وَلاَ وَتَرٍ
وَالْمَرْءُ مَا دَامَ ذَا عَيْنٍ يُقَلِّبُهَا ... فِي أَعْيُنِ الْغَيْدِ مَوْقُوْفٌ عَلَى الْخَطَرِ
يَسُرُّ مُقْلَتَهُ مَا ضَرَّ مَهْجَتَهُ ... لاَ مَرْحَبًا بِسُرُوْرٍ عَادَ بِالضَّرَرِ
Segala kejadian berawal dari pandangan, lantaran api yang besar berawal dari percikan api
Betapa banyak pandangan yang melukai hati seseorang menyerupai panah yang lepas meskipun tanpa tali dan busur
Seseorang ketika melepaskan pandangannya kepada perempuan yang diinginkannya, maka akan senantiasa dalam bahaya
Menggembirakan matanya, namun menyengsarakan jiwanya
Tidak ada kegembiraan yang malah mendatangkan mara bahaya.
(Lihat Raudhatul Muhibbin hal. 97)
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’:  Maktabah Syamilah versi 3.45, Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf (Abdul Aziz Nashir Al Julail dan Bahauddin Fatih Aqil), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Related Posts

0 Response to "Kaum Salaf Dalam Menghadapi Fitnah (Godaan) Wanita"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel