-->

Syarah Qashidah (Syair) Lamiyyah (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxMTEhUTExMWFhUWGBsYGBgYGBgYHRgYGBoXGxkZGBoaHSggGh Syarah Qashidah (Syair) Lamiyyah (1)
Syarah Qashidah Lamiyyah
(Syair Akidah Ahlissunnah Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Bagian ke-1
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya sampai hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut syarah (penjelasan) terhadap Qashidah Lamiyyah yang pertanda tentang akidah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H), yang memperlihatkan bahwa iktikad Beliau yaitu iktikad Ahlussunnah wal Jamaah, iktikad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan merupakan iktikad imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah)  semoga Allah mengakibatkan penyusunan risalah ini nrimo karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Biografi Ringkas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau yaitu Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Taimiyah Al Haraaniy. Lahir di Harran pada hari Senin pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H.
Guru-guru dia lebih dari dua ratus orang (sebagaimana dikatakan Ibnu Abdil Hadiy dalam Al Uqud Ad Durriyyah hal. 18). Di antara mereka yang masyhurnya yaitu Ibnu Asakir Ad Dimasyqi dan Al Mawardi. Adapun murid-muridnya, di antaranya Al Hafizh Al Mizzi, Ibnu Abdil Hadi Al Maqdisiy, Syamsuddin Adz Dzahabi, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Ibnu Muflih, dan Ibnu Katsir rahimahumullah.
Imam Adz Dzahabiy berkata, “Aku mengumpulkan karya tulis Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah, dan saya jumlahkan mencapai seribu karya tulis, kemudian ternyata ada karya tulisnya yang lain.” (Lihat Ar Raddul Wafir karya Ibnu Nashiruddin hal 35).
Imam As Subki Asy Syafi’i berkata, “Tidak ada yang membenci Ibnu Taimiyah kecuali orang yang kolot atau pengikut hawa nafsu. Orang kolot tidak tahu terhadap apa yang diucapkannya, sedangkan pengikut hawa nafsu ditolak oleh nafsunya dari mengikuti kebenaran sehabis mengetahuinya.”  (Ar Raddul Wafir hal 24)
Sanad penerjemah sampai ke Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Marwan Hadidi bin Musa berkata, “Telah saya baca Manzhumah Lamiyyah di hadapan Abu Adil Ahmad bin Muhammad bin Hasan bin Abdul Hamid Nafi dan Beliau telah memperlihatkan ijazah kepadaku, ia membacanya di hadapan Abu Abdillah Laits bin Abdul Wahid Al Hayaliy dan lainnya –beliau juga mempunyai sanad ali sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-, dimana dirinya membacakan di hadapan Muhammad bin Abu Bakar Al Habsyi, dari Umar bin Hamdan Al Mahrasi, dari Abu Nashr Al Khatib, dari Umar Al Amidiy Ad Diyarabkariy, dari Al Murtadha Az Zubaidi, dari Umar bin Uqailah, dari Hasan Al Ujaimiy, dari Az Zain Ath Thabari Al Makkiy, dari Al Ma’mar Al Hishariy, dari Jalaluddin As Suyuthi, dari Muhammad bin Muqbil Al Halabiy, dari Al Hafizh bin Muhammad bin Abdillah bin Ahmad Al Maqdisi bin Al Muhib Ash Shamit, dari Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyah.  
Matan Manzhumah Lamiyyah dan syarahnya
**********
يَا سَائِلِي عَنْ مَذْهَبِي وَعَقِيْدَتِي
         رُزِقَ الهُدَى مَنْ لِلْهِدَايَةِ يَسْأَلُ
Wahai orang yang bertanya wacana madzhab dan akidahku
Semoga mendapat petunjuk orang yang bertanya tentangnya
**********
Syarah (penjelasan)
Madzhab artinya jalan atau pemahaman dalam beragama, Beliau yaitu seorang yang bermadzhab Hanbali, kemudian menjadi seorang mujtahid mutlak.
Bait syair di atas yaitu tanggapan terhadap orang yang bertanya wacana madzhab dan iktikad Syaikhul Islam, dimana kalau maksudnya mencari hidayah atau kebenaran, maka ia akan mendapat petunjuk.
**********
اِسْمَعْ كَلاَمَ مُحَقِقٍ فِي قَوْلِهِ
       لاَ يَنْثَنِي عَنْهُ ولا يَتَبَّدَلُ
Dengarlah ucapan orang yang mengikuti
Tidak menyimpang maupun berganti
**********
Syarah (Penjelasan):
Maksud orang yang mengikuti di sini yaitu orang yang mengikuti madzhab dan pendapat kaum salaf (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya). Pendapat tersebut tidak menyimpang dan berubah-ubah, lantaran merujuk kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
**********
حُبُّ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ لِيْ مَذْهَبٌ
            وَمَوَدَّةُ القُرْبَى بِهَا أَتَوَسَّــلُ
Mencintai semua para sahabat yaitu madzhabku
Demikian pula mengasihi kerabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang kujadikan sebagai sarana beribadah
**********
Syarah (Penjelasan):
Para sahabat yaitu mereka yang bertemu dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepadanya dan wafat di atas Islam.
Syair di atas merupakan bantahan terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang membenci sebagian para sahabat radhiyallahu anhum.
Sikap kita terhadap para sahabat yaitu mendoakan keridhaan Allah untuk mereka, mengasihi mereka, meyakini bahwa mereka yaitu orang-orang yang terbaik sehabis para nabi dan rasul, dan menahan diri terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Adapun kerabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka maksudnya istri-istri Beliau dan keturunan Bani Hasyim serta Bani Muththalib.
Ahlussunnah wal Jamaah mengasihi keluarga Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sarana beribadah dan berdoa (tawassul) ada yang syar’i dan ada yang terlarang. Tawassul yang syar’i yaitu dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya (seperti mengucapkan “Ya Allah Ar Razzaq, berilah saya rezeki”), dengan amal saleh yang dikerjakannya (seperti mengucapkan “Ya Allah, kalau amal yang kukerjakan ini nrimo karena-Mu, maka kabulkanlah permohonanku”), atau dengan doa orang yang saleh yang masih hidup yang ada di hadapannya (seperti menyampaikan kepadanya, “Wahai ustadz, doakan saya”). Sedangkan tawassul yang terlarang yaitu dengan perantaraan doa orang-orang yang telah meninggal dunia, dengan ibadah yang dilakukan di kuburan, dengan jah (kedudukan) para nabi atau orang-orang saleh (seperti mengucapkan “Yaa rabbi bil Mushthafa” atau “Bi Ahlil Badri Yaa Allah”), dsb.
**********
وَلِكُلِّهِمْ قَدْرٌ عَلاَ وَفَضَائِلُ
            لَكِنَّمَا الصِّدِّيْقُ مِنْهُمْ أفْضَلُ
Masing-masing mereka mempunyai kedudukan yang tinggi dan keutamaan
Akan tetapi Abu Bakar Ash Shiddiq adalah yang paling utama
**********
Syarah (Penjelasan):
Dalam bait di atas, Syaikhul Islam pertanda madzhab Ahlussunnah wal Jamaah bahwa para sahabat mempunyai keutamaan, akan tetapi yang paling utama di antara mereka yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu anhu.
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Kami di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak bisa membandingkan Abu Bakar dengan yang lain, kemudian Umar, kemudian Utsman...dst.” (Diriwayatkan oleh Bukhari no. 3697)
Faedah:
Siapa saja yang mencaci-maki para sahabat secara keseluruhan, maka dia telah melaksanakan kekafiran. Tetapi barang siapa yang mencaci-maki salah seorang sahabat saja, maka dalam hal ini ada perincian; kalau tertuju kepada diri sahabat maka dia telah melaksanakan dosa besar, tetapi kalau maksudnya mencela syariat, maka hal itu merupakan kekafiran.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»
“Barang siapa yang mencaci-maki para sahabatku, maka dia berhak mendapat laknat Allah, para malaikat-Nya, dan insan semua.” (Hr. Thabrani dalam Al Kabir, dan Ibnu Abi Syaibah, dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 3340)
**********
وَأَقُولُ فِي القُرآنِ مَا جَاءَتْ بِهِ
            آياتُه فَهْوَ الْكَرِيْمُ الْمُنْزَلُ
Tentang Al Qur’an, saya menyatakan menyerupai yang disebutkan
Oleh ayat-ayat-Nya. Ia yaitu kitab mulia yang diturunkan
**********
Syarah (Penjelasan):
Al Qur’an yaitu firman Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, yang ditulis dalam mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir (At Ta’rifat oleh Al Jurjani hal. 174).
Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alahi wa sallam disebut sebagai Al Qur’an lantaran di dalamnya menghimpun aneka macam kisah, perintah dan larangan, kesepakatan dan ancaman, menghimpun ayat  dan surat. (An Nihayah fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir 4/30)
Dalam bait syair di atas, Syaikhul Islam menyebutkan iktikad Beliau wacana Al Qur’an bahwa ia yaitu firman Allah; bukan makhluk, dan turun dari sisi Allah Azza wa Jalla. Hal ini menurut firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kalau seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta derma kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang kondusif baginya. Hal itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا
“Dan ini (Al Quran) yaitu kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan biar kau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar itu.” (Qs. Al An’aam: 92)
Beliau pertegas dengan bait syair setelahnya berikut ini:
**********
وَأَقُولُ: قَالَ اللهُ جَلَّ جَلَالُهُ
         الْمُصْطَفَى الهَادِي وَلاَ أَتأَولُ
Aku katakan ‘Al Qur’an yaitu firman Allah Jalla Jalaluh’
Yang telah dipilih (untuk Rasul pilihan-Nya) lagi memberi petunjuk, dan saya tidak mentakwilnya.
**********
Maksud ‘aku tidak mentakwilnya’ yakni merubah makna(kandungan)nya yang hak (benar) yang ditunjukkan olehnya. Misalnya mentakwil sifat Allah ‘Istawa’ (bersemayam di atas Arsy) diartikan denganistawla (menguasai), sifat ‘Tangan’ dengan ‘kekuasaan’, dsb.
Hal ini dipertegas lagi dengan bait syair setelahnya, yaitu:
**********
وَجَمِيْعُ آيَاتِ الصِّفَاتِ أُمِرُّهَا
            حَقًّا كَمَا نَقَلَ الطِّرَازُ الْأَوَّلُ
Seluruh ayat yang menyebutkan sifat Allah, maka kusebutkan
Dengan benar sebagaimana yang disebutkan oleh generasi pertama yang saleh terdahulu
**********
Syarah (Penjelasan):
Maksud bait syair di atas adalah, bahwa semua ayat atau hadits yang menyebutkan wacana sifat Allah hendaknya kita sebutkan sesuai zhahirnya dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah Azza wa Jalla tanpa tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), tanpa takyif (menanyakan hakikatnya), tanpa ta’thil (meniadakan), dan tanpa ta’wil (mengartikan lain) sebagaimana generasi pertama (kaum Salafus Shalih) menyebutkannya.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan Hadidi bin Musa, M.PdI
Maraji’: At Ta’liqaat Alal Laamiyyah (Khalid bin Mahmud Al Juhanniy), http://majles.alukah.net/t114718/ Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.

Related Posts

0 Response to "Syarah Qashidah (Syair) Lamiyyah (1)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel