Syarah Kitab Tauhid (28)
بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (28)
(Tentang Dukun, Peramal, dsb.)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam biar tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, biar Allah mengakibatkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Dukun, Tukang Ramal, dan sejenisnya
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari salah seorang istri Nabi shallallahu alahi wa sallam, dari Nabi shallallahu alaihi wa salam, bahwa Beliau bersabda,
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Barang siapa yang mendatangi peramal, kemudian bertanya wacana sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari.”
**********
Penjelasan:
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim no. 2230 dan Ahmad no. 16638.
Istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang meriwayatkan hadits di atas ialah Hafshah radhiyallahu anha.
Kahin atau dukun ialah orang yang memberitahukan hal mistik di masa mendatang dengan meminta sumbangan kepada setan.
‘Arraf atau peramal ialah Ahli nujum atau orang yang menerka-nerka dan mengaku mengetahui yang gaib. Menurut Al Khaththabi, ‘arraf ialah orang yang mengaku tahu di mana letak barang yang dicuri berada, dan di mana keberadaan hewannya yang hilang, dsb.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memperlihatkan bahaya kepada orang yang mendatangi dukun atau peramal untuk bertanya hal gaib, bahwa orang tersebut tidak akan mendapat pahala dari shalatnya yang ia lakukan selama 40 hari, alasannya ialah amal salehnya itu dicampuri oleh maksiat. Hal ini memperlihatkan dilarangnya perbuatan tersebut, dan bahwa hal tersebut merupakan dosa besar. Jika demikian hukuman bagi orang yang mendatangi dukun dan peramal, kemudian bagaimanakah hukuman bagi dukun atau peramal itu? Tentu lebih berat lagi, wal ‘iyadz billah.
Sebagian ulama ada yang menerangkan, bahwa hukuman tidak diterima shalatnya selama 40 hari ialah bagi orang yang sekedar bertanya kepada dukun atau peramal. Jika hingga membenarkan, maka hal itu merupakan kekufuran. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa yang mendatangi dukun atau peramal, kemudian membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Ahmad no 9536, dan dinyatakan hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah)
Kesimpulan:
1. Larangan pergi ke dukun, peramal, dan sejenisnya.
2. Haramnya perdukunan dan ramalan, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
**********
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa yang mendatangi dukun, kemudian membenarkan kata-katanya, maka sungguh ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Abu Dawud)
Dalam riwayat empat imam Ahli Hadits dan juga Hakim ia berkata, “Shahih sesuai syarat keduanya (Bukhari-Muslim),” dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam disebutkan,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا ، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa yang mendatangi peramal atau dukun, kemudian membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Ya’la dengan sanad yang jayyid dari Ibnu Mas’ud secara mauquf (sampai kepada sahabat).
**********
Penjelasan:
Riwayat yang pertama disebutkan oleh Abu Dawud di no. 3904, dan Ahmad dalam Musnadnya 2/408, 429, 476.
Riwayat kedua disebutkan oleh Hakim dalam Al Mustadrak 1/8, dan Ahmad dalam Musnadnya 2/429, dinyatakan sebagai hadits hasan oleh pentahqiq Musnad Ahmad cet. Ar Risalah.
Riwayat ketiga disebutkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya no. 5408, dan Al Bazzar sebagaimana dalam Al Kasyf no. 2067. Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid 5/118 berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, para perawinya ialah para perawi kitab Shahih selain Hubairah bin Yuraim, ia ialah seorang yang tsiqah.”
Dalam hadits di atas terdapat larangan keras mendatangi dukun dan peramal untuk bertanya kepada mereka wacana hal-hal gaib, serta membenarkannya. Hal itu, alasannya ialah hal yang mistik hanya diketahui oleh Allah saja, maka barang siapa yang mendatangi untuk bertanya sesuatu dan membenarkan, sama saja telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Kesimpulan:
1. Haramnya tiba ke dukun dan peramal, serta bertanya kepada mereka, dan wajibnya menjauhi mereka.
2. Membenarkan dukun dan peramal sama saja kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
3. Wajibnya mendustakan para dukun dan peramal.
4. Barang siapa yang mendatangi dukun dan peramal serta membenarkan kata-katanya, maka sama saja telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
5. Perdukunan ialah kemusyrikan, alasannya ialah di dalamnya terdapat ratifikasi mengetahui yang gaib.
**********
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu anhu secara marfu (dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda),
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ، وَمَنْ أَتَى كَاهِناً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-
“Bukan termasuk golongan kami orang yang melaksanakan tathayyur (meramal nasib dengan terbangnya burung) atau minta dilakukan tathayyur, meramal atau minta diramal, menyihir atau minta disihirkan. Barang siapa yang mendatangi dukun dan membenarkan kata-katanya, maka ia telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.” (Hr. Al Bazzar dengan isnad yang jayyid. Thabrani juga meriwayatkan dalam Al Awsath dengan isnad yang hasan dari hadits Ibnu Abbas tanpa kalimat “Barang siapa yang mendatangi...dst.”)
Al Baghawi berkata, “Arraf ialah orang yang mengaku tahu banyak hal dengan memakai isyarat-isyarat yang dipergunakan untuk mengetahui barang curian atau daerah barang yang hilang dan sebagainya. Ada pula yang mengatakan, bahwa ‘araf ialah kahin (dukun).”
Kahin (dukun) ialah sebutan untuk orang yang memberitahukan hal-hal mistik di masa mendatang. Ada pula yang mengatakan, bahwa kahin ialah orang yang memberitahukan wacana isi hati seseorang.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah berkata, “Arraf ialah sebutan untuk kahin (dukun), munajjim (ahli nujum), peramal nasib dan sejenisnya yang mengaku mengetahui yang mistik dengan cara-cara itu.”
**********
Penjelasan:
Tentang hadits di atas, Al Haitsami dalam Majma’uz Zawaid (5/177) berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, para perawinya ialah para perawi kitab shahih selain Ishaq bin Rabi, ia ialah seorang yang tsiqah.”
Syaikh Al Albani menshahihkan hadits di atas dalam Shahihul Jami no. 5435.
Maksud “Bukan termasuk golongan kami,” ialah bahwa orang tersebut bukan termasuk pengikut kami dan bukan termasuk orang yang mengikuti jejak kami.
Dalam hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa bukan termasuk pengikut Beliau orang yang melaksanakan tathayyur atau meminta dilakukan tathayyur dst. Hal itu, alasannya ialah di dalamnya terdapat ratifikasi mengetahui yang gaib, padahal hanya Allah yang mengetahui yang gaib. Di samping itu, di dalamnya terdapat bentuk merusak akidah dan logika sehat. Oleh alasannya ialah itu, barang siapa yang membenarkan itu semua, maka sama saja telah kufur kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dimana wahyu itu diturunkan untuk membatalkan kebiasaan jelek kaum Jahiliyah ini serta menjaga logika sehat manusia.
Termasuk ke dalam tathayyur juga ialah meramal nasib dengan membaca telapak tangan atau dengan bintang (zodiak).
Dalam hadits di atas juga terdapat larangan keras terhadap praktek perdukunan dan sejenisnya, serta larangan membenarkannya.
Kesimpulan:
1. Haramnya mengaku tahu yang gaib, alasannya ialah hal itu bertentangan dengan tauhid.
2. Haramnya membenarkan orang yang melaksanakan hal itu, baik berupa perdukunan maupun ramalan, alasannya ialah hal itu merupakan kekafiran.
3. Wajibnya mendustakan dukun dan sejenisnya, menjauhi mereka dan menjauhi ilmu yang mereka pelajari.
4. Wajibnya berpegang dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam (Al Qur’an dan As Sunnah) serta membuang semua yang menyelisihinya.
**********
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata wacana orang yang menulis huruf-huruf “أبا جاد” sambil meramal dengannya dan memperhatikan bintang-bintang, “Menurutku, orang yang melaksanakan demikian tidak mempunyai serpihan (keuntungan) di sisi Allah.”
**********
Penjelasan:
Atsar di atas diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Baihaqi. Atsar ini dinyatakan shahih namun mauquf (sampai pada Ibnu Abbas saja) oleh Muhammad Al ‘Allawiy.
Atsar di atas menunjukkan, bahwa orang yang menulis abjad “أبا جاد” dan memperhatikan bintang-bintang untuk meramal sambil meyakini bahwa itu semua mempunyai pengaruh, maka sama saja melaksanakan ramalan dan perdukunan, dan berarti ia telah menghilangkan keberuntungannya di sisi Allah Azza wa Jalla.
Kesimpulan:
1. Haramnya mempelajari “أبا جاد” untuk meramal. Adapun mempelajari huruf-huruf itu untuk hitungan (matematika), maka tidak mengapa.
2. Haramnya ilmu nujum, alasannya ialah sanggup mengantarkan kepada perbuatan syirik.
3. Tidak terpedaya dengan pengetahuan yang dimiliki orang-orang yang berada di atas kebatilan, alasannya ialah hal itu sekedar istidraj (penangguhan kepada kebinasaan).
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Syarh Kitab Tauhid (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, takhrij M. Al ‘Allawi), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.
0 Response to "Syarah Kitab Tauhid (28)"
Post a Comment