Syarah Kitab Tauhid (32)
بسم الله الرحمن الرحيم
Syarah Kitab Tauhid (32)
(Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam biar tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya sampai hari Kiamat, amma ba'du:
Berikut lanjutan syarah (penjelasan) ringkas terhadap Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah, yang banyak kami rujuk kepada kitab Al Mulakhkhash Fii Syarh Kitab At Tauhid karya Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, biar Allah menyebabkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
**********
Bab : Tentang Menisbatkan Turunnya Hujan Kepada Bintang
Firman Allah Ta’ala,
وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ
“Kamu mengganti rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.” (Qs. Al Waqi’ah: 82)
**********
Penjelasan:
Kaum Jahiliyah terdahulu biasa mengatakan, bahwa mereka dihujani lantaran bintang ini atau itu, maka pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah mereka dan menyatakan, bahwa hal itu sama saja mendustakan nikmat Allah serta tidak bersyukur, padahal hujan turun yakni lantaran karunia Allah dan rahmat-Nya.
Menisbatkan turunnya hujan kepada bintang jikalau diyakini bahwa bintang itu mempunyai imbas terhadap turunnya hujan merupakan syirik besar, dan sanggup menjadi syirik kecil jikalau tidak diyakini bahwa bintang mempunyai pengaruh, tetapi hanya sekedar alasannya yakni terhadap turunnya hujan, padahal ia bukanlah sebagai alasannya yakni baik secara syara maupun akal.
Kesimpulan:
1. Pengingkaran terhadap penisbatan turunnya hujan kepada bintang.
2. Menisbatkan turunnya hujan kepada bintang merupakan sebuah kedustaan.
3. Wajibnya mensyukuri nikmat Allah, serta menisbatkan turunnya hujan kepada-Nya sebagai karunia dan rahmat-Nya.
**********
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: " أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ " وَقَالَ: «النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ»
Dari Abu Malik Al Asy’ariy radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada empat masalah Jahiliyah yang masih ada pada umatku yang belum mereka tinggalkan, yaitu: berbangga dengan keturunan, mencela nasab, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang, dan meratap.” Beliau juga bersabda, “Wanita yang meratap jikalau belum bertaubat sebelum meninggalnya, maka akan dibangkitkan pada hari Kiamat dengan mengenakan pakaian berlumuran cairan tembaga serta mantel yang bercampur penyakit gatal.”
**********
Penjelasan:
Abu Malik Al Al Asy’ariy berjulukan Harits bin Harits Asy Syami seorang sahabat.
Perkara Jahiliyah yakni perkara-perkara jelek yang terjadi sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Disebut ‘Jahiliyah’ lantaran keadaannya yang sangat jauh dari ilmu pengetahuan (bodoh), dan bahwa semua yang menyelisihi pedoman yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yakni masalah jahiliyyah.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan perihal masalah Jahiliyyah yang masih dilakukan umatnya, yaitu berbangga dengan keturunan atau leluhur -padahal yang paling mulia yakni orang yang bertakwa-, mencacatkan nasab orang lain, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang, dan berteriak meratap terhadap si mayit. Selanjutnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menandakan bahaya terhadap perbuatan yang terakhir (meratap), yaitu ia akan tiba pada hari Kiamat dengan mendapat lumuran tembaga yang dicairkan yang menjadi pakaiannya.
Dalam hadits di atas terdapat dalil haramnya menisbatkan turunnya hujan kepada bintang, dan bahwa hal itu termasuk masalah Jahiliyah.
Kesimpulan:
1. Haramnya menisbatkan turunnya hujan kepada bintang, dan bahwa hal itu termasuk masalah Jahiliyah.
2. Di antara masalah Jahiliyah ada yang masih dikerjakan manusia.
3. Perbuatan yang termasuk masalah Jahiliyah yakni tercela dalam Islam.
4. Larangan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir.
5. Haramnya berbangga dengan keturunan, dan bahwa hal itu termasuk masalah Jahiliyah.
6. Haramnya mencela dan mencacatkan nasab.
7. Haramnya meratap, eksekusi terhadapnya, dan bahwa hal itu termasuk dosa besar.
8. Taubat sanggup menghapuskan dosa meskipun besar.
9. Seorang muslim terkadang dalam dirinya terdapat masalah Jahiliyah, namun hal itu tidak menjadikannya kufur.
**********
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Zaid bin Khalid radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat Subuh mengimami kami di Hudaibiyah sesudah di malam harinya turun hujan. Seusai shalat Beliau menghadap jamaah dan bersabda, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb kalian?” Para sobat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Allah berfirman, “Pada pagi hari ini di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kufur. Orang yang menyampaikan “Kita mendapat curahan hujan lantaran karunia Allah dan rahmat-Nya” yakni orang yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang. Adapun orang yang menyampaikan “Kita mendapat curahan hujan lantaran bintang ini dan itu” maka ia kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang.”
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas yang semakna dengan hadits di atas, hanyasaja di dalam haditsnya terdapat kalimat, bahwa sebagian mereka berkata, “Sungguh benarlah bintang ini dan itu,” maka Allah menurunkan firman-Nya,
{فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ} إلى قوله: {تُكَذِّبُونَ}
“Maka Aku bersumpah dengan tempat-tempat peredaran bintang.” Sampai pada firman-Nya, “Kamu mengganti rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah.” (Qs. Al Waqi’ah: 75-82)
**********
Penjelasan:
Zaid bin Khalid Al Juhanniy yakni seorang sobat masyhur yang wafat di Madinah pada tahun 78 H dalam usia 85 tahun. Ada pula yang berpendapat, bahwa ia wafat di Kufah. Ia yang memegang bendera Juhainah pada ketika Fathu Makkah (penaklukkan Mekkah).
Hadits Zaid bin Khalid di atas disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71.
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan firman Allah Ta’ala berkenaan dengan perilaku insan ketika mendapat nikmat diturunkan hujan, bahwa di antara mereka ada yang bersyukur dengan mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah sebagai karunia dan rahmat-Nya, mereka sandarkan nikmat itu kepada-Nya. Namun ada pula yang mengingkari nikmat itu dengan menyandarkan kepada selain-Nya. Hal ini merupakan bentuk perilaku kufur nikmat.
Dalam hadits di atas terdapat larangan menyandarkan turunnya hujan kepada bintang, dan bahwa itu merupakan kufur nikmat.
Kesimpulan:
1. Haramnya menyandarkan turunnya hujan kepada bintang ini atau itu, tahun ini atau tahun itu, dan bahwa hal itu merupakan kekufuran.
2. Disyariatkan mengajarkan insan dan mengingatkan mereka terhadap hal yang merusak akidah.
3. Wajibnya bersyukur atas nikmat Allah, dan bahwa dilarang menyandarkan nikmat kepada selain-Nya.
4. Salah satu model pembelajaran yakni dengan metode tanya-jawab.
5. Seorang yang tidak tahu hendaknya membisu dan menyerahkan hal itu kepada yang tahu.
6. Di antara kekufuran ada yang tidak menyebabkan keluar dari Islam.
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alaa alihi wa shahbihi wa sallam
Marwan bin Musa
Maraji’: Al Mulakhkhash fii Syarh Kitab At Tauhid (Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan), Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam Li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), dll.
0 Response to "Syarah Kitab Tauhid (32)"
Post a Comment