-->

Syarah Hadits Hudzaifah (1)

بسم الله الرحمن الرحيم
wCEAAkGBxMSEhUTExMVFhUVGBYXGBcYGBUXGhcVFxYXFxcXFhgYHSggGBolHRUVIjEhJSkrLi Syarah Hadits Hudzaifah (1)
Syarah Hadits Hudzaifah (1)
(Jalan Keluar Problematika Umat di Akhir Zaman)
Segala puji bagi Allah Rabbul 'alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba'du:
Berikut pembahasan ihwal jalan keluar problematika umat di simpulan zaman, semoga Allah menimbulkan penyusunan risalah ini tulus karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Tamhid (Pengantar)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dengan sanadnya yang hingga kepada Abu Idris Al Khaulani, bahwa ia mendengar Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu anhu berkata,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» قُلْتُ: وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ» قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: «قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ» قُلْتُ: فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ، دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، صِفْهُمْ لَنَا؟ فَقَالَ: «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ، قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتَّى يُدْرِكَكَ المَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ»
“Dahulu para sobat bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ihwal kebaikan, tetapi saya bertanya kepada Beliau ihwal keburukan alasannya yakni khawatir menimpa diriku, saya pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, dahulu kami berada di masa Jahiliyah dan dalam keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan (Islam) ini kepada kami, maka apakah sehabis kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah sehabis keburukan ini ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, namun di sana ada dakhan (kabut).” Aku bertanya, “Apa kabutnya?” Beliau menjawab, “Adanya orang-orang yang mengarahkan insan namun bukan memakai petunjukku, engkau kenali mereka, namun pada ketika yang sama engkau ingkari.” Aku bertanya kembali, “Apakah sehabis kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya, ada penyeru-penyeru ke pintu neraka Jahannam. Siapa saja yang menyambut undangan mereka, maka mereka akan menjatuhkan ke dalam neraka.” Aku bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, terangkanlah sifat mereka kepada kami!” Beliau menjawab, “Mereka berasal dari kalangan kita dan berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya, “Apa perintahmu kepadaku ketika saya menemukan masa tersebut?” Beliau menjawab, “Engkau berpegang dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka.” Aku bertanya kembali, “Jika mereka tidak mempunyai jamaah dan tidak pula mempunyai imam (bagaimana sikapku)?” Beliau menjawab, “Tinggalkanlah semua golongan yang ada meskipun engkau harus menggigit akar pohon hingga simpulan hidup tiba kepadamu sedangkan dirimu di atas itu.” (Hr. Bukhari no. 3606 dan Muslim no. 1847)
Biografi Rawi
Abu Abdillah Hudzaifah bin Husail (gelarnya Al Yaman) bin Jabir bin Usaid Al ‘Absiy yakni shahib sir (sahabat pemegang belakang layar Rasulullah shallallahu alahi wa sallam). Ia dan ayahnya hadir bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam perang Uhud, namun ayahnya terbunuh ketika itu. Hudzaifah pernah diangkat Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu sebagai gubernur Mada’in, dan wafat 40 hari sehabis terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu.
Syarah (Penjelasan)
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerangkan, bahwa sehabis tiba kebaikan (Islam), maka akan tiba keburukan, dan sehabis keburukan itu datang, maka akan tiba lagi kebaikan, namun di sana ada dakhan (kabut) yang mengeruhkan kebaikan itu.
Dakhan (kabut) dari kata dukhan (kabut atau asap) yang memperlihatkan tidak murni kebaikan yang ada ketika itu, bahkan kebaikan itu tercampuri sesuatu yang mengotorinya. Ada pula yang mengartikan dakhan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/36) berkata,” Maksudnya yakni dengki. Ada yang mengatakan, bahwa maksudnya kerusakan. Dan ada pula yang mengatakan, bahwa maksudnya rusaknya hati. Ketiga arti ini saling berdekatan; yang memperlihatkan bahwa kebaikan yang tiba sehabis keburukan itu tidak murni lagi, bahkan telah menjadi keruh. Yang lain mengatakan, bahwa ‘dakhan’ yakni kabut, yang memperlihatkan keruhnya keadaan. Ada yang berpendapat, bahwa ‘dakhan’ yakni semua kasus yang tidak menyenangkan. Abu Ubaid berkata, “Maksud hadits tersebut ditafsirkan oleh hadits yang lain, yaitu bahwa hati insan tidak kembali kepada keadaan semula sebelumnya. Asalnya yakni warna keruh pada kulit hewan, yang seperti maksudnya hati mereka tidak jernih lagi antara yang satu dengan yang lain.”
Al Baghawi dalam Syarhus Sunah (15/15) berkata, “Kebaikannya tidak murni, bahkan di dalamnya mengandung kekeruhan dan kegelapan.”
Al Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (11/316) menukil pernyataan Al Qari, bahwa arti asal dakhan yakni keruh dan warna yang kehitam-hitaman, sehingga kata itu memperlihatkan kebaikan yang dicampuri kerusakan.
Intinya, bahwa masa tersebut tidak murni kebaikan, bahkan dicampuri sesuatu yang mengeruhkan. Demikian juga, bahwa hal yang mengeruhkan itu merusak hati, menjadikannya lemah sehingga gampang terjangkit penyakit, dan gampang terjangkit syubhat (Lihat Limaadzaa ikhtartul manhajas Salafiy karya Salim Al Hilaliy hal. 15).
Syaikh Salim  Al Hilali cenderung menafsirkan maksud Ad Dakhan dalam bukunya Limaadzaa ikhtartul manhajas Salafiy dengan munculnya banyak sekali bid’ah (baik dalam kepercayaan maupun syariat) sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Adanya orang-orang yang mengarahkan insan namun bukan memakai petunjukku.Ia juga berkata, “Berdasarkan sabda Beliau ini, maka semakin jelas, bahwa maksud dakhan yang mencampuri kebaikannya, mengeruhkan kejernihannya, serta merubah kesegarannya yakni banyak sekali bid’ah yang mendatangi sarang-sarang Mu’tazilah, Shufi, Jahmiyyah, Khawarij, Asy’ariyyah, Murji’ah, dan Rafidhah semenjak lama, alasannya yakni keadaan mereka yang hendak mencari fitnah sehingga melihat Islam dengan pandangan yang menyimpang, berkelompok, dan perilaku takwil, sehingga Al Qur’an tidak tersisa selain tulisannya, Islam tinggal namanya, dan ibadah hanya jasmaninya saja. Dan dari sini juga semakin jelas, bahwa bid’ah yakni problem yang berbahaya, alasannya yakni sanggup merusak hati dan tubuh sebagaimana penyakit merusak badan.” (Limaadzaa hal. 15-16).
Di samping bid’ah, termasuk dakhan pula penyeru-penyeru ke pintu neraka Jahannam sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, dimana lahiriah mereka sama menyerupai kita, namun batinnya menyelisihi syariat.
Adapun maksud kalimat “Engkau kenali mereka, namun pada ketika yang sama engkau ingkari,” yakni engkau lihat dari mereka ada beberapa kasus yang sejalan dengan syariat, dan ada pula yang bertentangan dengannya (dari catatan kaki Syaikh  Musthafa Al Bigha).
Kalimat, “Ada penyeru-penyeru ke pintu neraka Jahannam. Siapa saja yang menyambut undangan mereka, maka mereka akan menjatuhkan ke dalam neraka,” para ulama berkata, bahwa mereka yakni dari kalangan pemimpin yang menyeru kepada bid’ah atau kesesatan menyerupai kaum Khawarij, Qaramithah, dan para pembawa fitnah. (Dari catatan kaki Syaikh M. Fuad Abdul Baqi).
Kalimat, “Mereka berasal dari kalangan kita dan berbicara dengan bahasa kita,” maksudnya lahiriah mereka sama menyerupai kita, namun batin mereka menyelisihi kita. Dalam riwayat Muslim disebutkan,
«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ»
“Akan ada setelahku para imam yang tidak membimbing dengan petunjukku dan tidak memakai sunnahku, dan akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya menyerupai hati setan namun dengan fisik manusia.”
Hudzaifah bertanya, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah, bila saya mendapat zaman itu?”
Beliau menjawab,
«تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
“Engkau mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil. Mendengar dan taatilah.” (Hr. Muslim no. 1847)
Menurut Syaikh Salim Al Hilaliy, para penyeru ke pintu neraka Jahannam menampakkan perhatian terhadap maslahat umat serta menciptakan ridha mereka dengan kata-katanya, akan tetapi hatinya tidak menghendaki selain mengarahkan umat kepada kesesatan yang mereka telah pelajari dan terima dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. (Lihat kitab Limaadzaa hal. 18)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّوْنَ
“Sesungguhnya yang paling saya takuti menimpa umatku yakni para imam yang menyesatkan.” (Hr. Ahmad dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 1551)
Di samping pemimpin-pemimpin yang membimbing ke arah kesesatan, termasuk dakhan pula yakni terjadinya sanawat khadda’ah (tahun-tahun yang terdapat penipuan). Ketika itu, urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, orang yang jujur didustakan, sedangkan orang dusta dibenarkan, orang yang amanah dikhianati, sedangkan orang yang khianat dipercaya. Hal ini menurut hadits berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ» ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Akan tiba kepada insan tahun-tahun yang menipu; orang dusta dibenarkan, orang jujur didustakan, orang khianat dipercaya, orang amanah dikhianati, dan akan berbicara ketika itu Ruwaibidhah.” Lalu ada yang bertanya, “Apa itu Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang hina yang berbicara ihwal problem masyarakat umum.”[i].

Kalimat “Jamaah kaum muslimin,” yakni jamaah kaum muslimin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (dari catatan kaki Syaikh  Musthafa Al Bigha).
Al Hafizh dalam Fathul Bari (13/37) menyebutkan pendapat para ulama ihwal maksud kata ‘jamaah’, di antaranya yakni as sawadul a’zham (kumpulan besar kaum muslimin), para sahabat, Ahli Ilmu, dan jamaah yang berada di atas ketaatan yang berkumpul di bawah seorang pemimpin. Al Hafizh juga menerangkan, bahwa hadits di atas juga menunjukkan, bahwa ketika insan tidak mempunyai pemimpin, kemudian mereka berpecah-belah menjadi beberapa kelompok, maka hendaknya seseorang tidak mengikuti kelompok yang ada dan menjauhi semua kelompok itu ketika bisa alasannya yakni dikhawatirkan jatuh ke dalam keburukan. Dibawa kepada tafsir inilah semua hadits yang tiba tentangnya, dan dengan cara ini sanggup dipadukan semua riwayat yang lahiriahnya seperti bertentangan.  
Menurut Syaikh Salim Al Hilali, bahwa jamaah kaum muslimin yang dimaksud yakni yang semua kaum muslimin berkumpul di bawahnya dengan dipimpin seorang imam yang menjalankan aturan Allah, dimana kita wajib menaatinya dan menawarkan kesetiaan kita kepadanya; dan yang dimaksud yakni negara Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang menjalankan aturan Allah. Adapun jamaah-jamaah yang berusaha menegakkan negara Islam, maka itu sekedar kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang seharusnya antara sesama mereka saling bekerjsama dan menyingkirkan banyak sekali penghalang antara sesama mereka semoga mereka sanggup bertemu di atas satu kalimat yang sama; di atas kalimat tauhid dan sunnah dengan pemahaman generasi pertama umat ini (Lihat limaadzaa hal. 25).
Kalimat “Meskipun engkau harus menggigit akar pohon,” maksudnya benar-benar meninggalkan golongan-golongan yang ada (ketika tidak ada jamaah keseluruhan kaum muslimin dan imam mereka) (dari catatan kaki Syaikh  Musthafa Al Bigha).
Menurut Syaikh Salim, perintah menggigit akar pohon bukan secara zhahir, akan tetapi maksudnya tetap bersabar di atas kebenaran dan meninggalkan kelompok-kelompok sesat yang menjauhi kebenaran, atau maksudnya bahwa pohon Islam yang rindang akan terhempas oleh angin sehingga menggugurkan ranting dan daun-daunnya sehingga tidak tersisa selain akar dan batang yang tetap kokoh berhadapan dengan topan itu, ketika itulah kaum muslimin harus memeluk dengan berpengaruh batang ini dan mengedepankannya meskipun harus mengorbankan jiwa dan sesuatu yang berharga, alasannya yakni batang itu suatu ketika akan berkembang (Lihat Limaadzaa hal. 27).
Bersambung…
Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Limaadza ikhtartul manhajas salafiy (Salim Al Hilaliy), Mausu’ah Ruwathil Hadits (Markaz Nurul Islam li Abhatsil Qur’ani was Sunnah), Tahdzibul Kamal (Imam Al Mizziy), Maktabah Syamilah versi 3.45, dll.




[i] Syaikh Salim Al Hilaliy berkata, “Shahih lighairih. Disebutkan Ibnu Majah (4036), Ahmad (2/291), Hakim (4/465-466, 512), Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq hal. 30, Asy Syajari dalam Amalinya (2/256, 265) dari jalan Abdul Malik bin Qudamah Al Jumhiy, dari Ishaq bin Abi Furat dari Al Maqburiy dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “…dst.” Hakim berkata, “Shahih isnadnya.” Disetujui oleh Dzahabi. Menurutku (Syaikh Salim), sanad hadits itu tidak sesuai menyerupai yang mereka berdua katakan, alasannya yakni isnadnya dhaif. Di dalamnya terdapat Abdul Malik bin Qudamah Al Jumhiy yang didhaifkan oleh Dzahabi rahimahullah dalam beberapa kitabnya, ia juga menukil pernyataan dhaifnya dari sejumlah ulama. Demikian pula terdapat Ishaq bin Abi Furat; seorang yang majhul sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Namun hadits tersebut mempunyai jalur lain yang menguatkannya, yatu riwayat Ahmad (2/338) dari jalan Fulaih bin Sulaiman dari Sa’id bin Ubaid, dari Abu Hurairah secara marfu’. Menurutku, semua perawinya yakni tsiqah selain Fulaih yang terdapat pembicaraan dari segi hapalannya, sehingga hadits Abu Hurairah tersebut alasannya yakni kedua jalan ini menjadi hasan. Akan tetapi hadits ini juga mempunyai syahid (penguat dari jalan lain) yang mengangkatnya ke derajat shahih, yaitu:
Pertama, hadits Anas radhiyallahu anhu yang mempunyai dua jalan, yaitu:
a. Dari jalan Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Dinar, dari Anas. Diriwayatkan oleh Ahmad (3/220), Thahawi dalam Musykilul Atsar (466). Pemberi catatan kaki kitab Musykilul Atsar (1/405) berkata, “Para perawinya tsiqah, hanyajasa di dalamnya terdapat ‘an’anah Ibnu Ishaq.” Haitsami dalam Al Majma’ (7/844) berkata, “Diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan Muhammad bin Ishaq menyebutkan dengan tegas ‘mendengarnya’ dari Abdullah bin Dinar, sedangkan para perawi lainnya yakni tsiqah.” Menurutku, sesuai dengan pernyataannya itu, alasannya yakni hadits tersebut dalam Kasyful Astar ‘an Zawaidil Bazzar (3373) disebutkan pernyataan ‘haddatsana’ oleh Ibnu Ishaq.
b. Dari jalan Muhammad bin Ishaq, dari Muhammad bin Al Munkadir, dari Anas. Disebutkan oleh Ahmad (3/220). Menurutku, di dalamnya terdapat Ibnu Ishaq, sedangkan ia seorang mudallis, dan telah melaksanakan ‘an’anah.
Dari sini sanggup diketahui, bahwa Muhammad bin Ishaq mempunyai dua orang guru dalam meriwayatkan hadits tersebut, yaitu: (1) Abdullah bin Dinar, dan ia menegaskan pernyataan haddatsana. (2) Muhammad bin Al Munkadir, namun tidak menegaskan ‘mendengar darinya’.
Kedua, hadits Auf bin Malik Al Asyja’i radhiyallahu anhu. Disebutkan oleh Al Bazzar (3373), Thabrani dalam Al Kabir (18/56-57), Musnad Asy Syamiyin (47, 48), dan Thahawi dalam Musykilul Atsar (464) dari beberapa jalan, dari Ibrahim bin Abi Ablah, dari ayahnya, dari Auf. Menurutku (Salim Al Hilali), di dalamnya terdapat Syamr bin Yaqzhan, ayah Ibrahim bin Abi Ablah yang hanya diriwayatkan oleh anaknya, dan tidak ditsiqahkan selain oleh Ibnu Hibban, sehingga sebagai orang yang majhul.
Kesimpulannya, hadits tersebut shahih menurut jalur-jalur dan syahid-syahidnya sesuai yang ditetapkan dalam Musthalul Hadits dan Qawaidnya (Limaadza karya Salim Al Hiali hal. 20-21). 

0 Response to "Syarah Hadits Hudzaifah (1)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel